Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KARSINOMA NASOFARING

A. Pengertian
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah
nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arima,
2006 dan Nasional Cancer Institute, 2009). Kanker nasofaring adalah tumor
ganas yang berasal dari sel epitel nasofaring. Tumor ini bermula dari dinding
lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat menyebar ke dalam atau
keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior, asar tengkorak,
palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar limfe leher.
Nasofaring merupakan suatu ronga dengan dinding kaku di atas, belakang dan
lateral yang secara anatomi termasuk bagian faring. Ke anterior berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana dan tepi belakang septum nasi, sehingga
sumbatan hidung merupakan gangguan yang sering timbul. Kea rah posterior
dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior dan terletak di bawah os
sphenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring berbatasan dengan ruang
retrofaring, fasia pre vertebralisdan otot-otot dinding faring. Pada dinding
lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius diamana orifisium ini
dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehinga penyebaran tumor
ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius dan akan
mengganggu pendengaran. Kearah posterosuperior dari torus tubarius terdapat
fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring.
Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh
jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding posterior-superior
nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan
edenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang terutama
mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Reuviere).

B. Etiologi dan patofisiologi


1. Etiologi
Ada 3 faktor penyebab terjadinya kanker nasofaring, yaitu adanya
infeksi Virus Epstein Barr (EBV), faktor genetik, dan faktor lingkungan
yang memungkinkan terjadinya insidens yang tinggi pada kanker nasofaring.
a) Virus Epstein Barr (EBV)
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya
kanker nasofaring dengan keberadaan virus ini. Virus ini merupakan virus
DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini
telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,
mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker
nasofaring.
Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya
tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan
manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan tetap tinggal
di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang lama.
Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus
ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses
keganasan.
b) Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif lebih menonjol. Telah banyak ditemukan kasus herediter dari
pasien karsinoma nasofaring. Penelitian pertama menemukan adanya
perubahan genetik pada ras Cina yang dihubungkan dengan karsinoma
nasofaring adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA).
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi,
putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik.
Teori tersebut didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai
angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan
pada masyarakat keturunan Tionghoa.
c) Faktor Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi
terjadinya kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker
nasofaring yang tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang
mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan
kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring
adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk
kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara
zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat dijelaskan.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (chinese
herbal medicine atau CHB) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
erat antara terjadinya kanker nasofaring, infeksi Virus Epstein Barr (EBV),
dan penggunaan CHB. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama
juga mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.
2. Patofisiologi
Virus Epsteinn-barr adalah virus yang berperan penting dalam timbulnya
kanker nasofaring. Virus yang hidup bebas di udara ini bisa masuk ke dalam
tubuh dan tetap tinggal di nasofaring tanpa menimbulkan gejala, kanker
nasofaring sebenarnya dipicu oleh zat nitrosamine yang ada dalam daging
ikan asin. Zat ini mampu mengaktifkan virus Epsteinn-barr yang masuk ke
dalam tubuh ikan asin, tetapi juga terdapat dalam makanan yang diawetkan
seperti daging, sayuran dan difermentasi (asinan) serta tauco.
C. Gejala Klinis
1. Gejala Dini
KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting
(Roezin,Anida, 2007).
Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien
mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat
dini. Radang telinga tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini
merupakan kelainan lanjut yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba,
dimana rongga telinga tengah akan terisi cairan. Cairan yang diproduksi
makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi kebocoran gendang
telinga dengan akibat gangguan pendengaran ( Roezin, Anida, 2007 dan
National Cancer Institute, 2009).
Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya
rapuh sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan
hidung atau mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga
berwarna merah muda. Selain itu, sumbatan hidung yang menetap terjadi
akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga hidung dan menutupi koana.
Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan gangguan
penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini bukan
merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada
infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga
sering terjadi pada anak yang sedang menderita radang ( Roezin, Anida,
2007 dan National Cancer Institute, 2009 ).
2. Gejala Lanjut
Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher
3-5 cm di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan
pembesaran kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor
meluas ke bagian tubuh yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri,
sehingga sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit digerakan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar limfe leher
merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter (Nutrisno
,Achadi, 1988 dan Nurlita, 2009 ).
Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke
arah rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai
saraf otak dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal
(mati rasa) didaerah wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher
dan gangguan pendengaran serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya
dapat berupa sakit kepala hebat akibat penekanan tumor ke selaput otak
rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot rahang yang terkena
tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi tubuh saja
(unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua
sisi tubuh (Arima, 2006 dan Nurlita, 2009).
Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir
bersama aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh
dari nasofaring, hal ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada
tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu stadium dengan
prognosis sangat buruk (Pandi, 1983 dan Arima, 2006).
Secara singkat gejala-gejala dari karsinoma nasofaring adalah sebagai
berikut :

1. Epiktasis : sekitar 70% pasien mengalami gejala ini, diantaranya 23,2 %


pasien datang berobat dengan gejala awal ini . Sewaktu menghisap dengan
kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring , bagian dorsal palatum
mole bergesekan dengan permukaan tumor , sehingga pembuluh darah di
permukaan tumor robek dan menimbulkan epiktasis. Yang ringan timbul
epiktasis, yang berat dapat timbul hemoragi nasal masif.
2. Hidung tersumbat : sering hanya sebelah dan secara progesif bertambah
hebat. Ini disebabkan tumor menyumbat lubang hidung posterior.

3. Tinitus dan pendengaran menurun: penyebabnya adalah tumor di resesus


faringeus dan di dinding lateral nasofaring menginfiltrasi , menekan tuba
eustaki, menyebabkan tekana negatif di dalam kavum timpani , hingga
terjadi otitis media transudatif . bagi pasien dengan gejala ringan, tindakan
dilatasi tuba eustaki dapat meredakan sementara. Menurunnya kemmpuan
pendengaran karena hambatan konduksi, umumnya disertai rasa penuh di
dalam telinga.

4. Sefalgia : kekhasannya adalah nyeri yang kontinyu di regio temporo


parietal atau oksipital satu sisi. Ini sering disebabkan desakan tumor,
infiltrasi saraf kranial atau os basis kranial, juga mungkin karena infeksi
lokal atau iritasi pembuluh darah yang menyebabkan sefalgia reflektif.

5. Rudapaksa saraf kranial : kanker nasofaring meninfiltrasi dan ekspansi


direk ke superior, dapat mendestruksi silang basis kranial, atau melalui
saluran atau celah alami kranial masuk ke area petrosfenoid dari fosa
media intrakanial (temasuk foramen sfenotik, apeks petrosis os temporal,
foramen ovale, dan area sinus spongiosus ) membuat saraf kranial III, IV,
V dn VI rudapaksa, manifestasinya berupa ptosis wajah bagian atas,
paralisis otot mata ( temasuk paralisis saraf abduksi tersendiri ), neuralgia
trigeminal atau nyeri area temporal akibat iritasi meningen ( sindrom
fisura sfenoidal ), bila terdapat juga rudapaksa saraf kranial II, disebut
sindrom apeks orbital atau petrosfenoid.

6. Pembesaran kelenjar limfe leher : lokasi tipikal metastasisnya adalah


kelenjar limfe kelompok profunda superior koli, tapi karena kelompok
kelenjar limfe tersebut permukaannya tertutup otot sternokleidomastoid,
dan benjolan tidak nyeri , maka pada mulanya sulit diketahui. Ada
sebagian pasien yang metastasis kelenjar limfenya pertama kali muncul di
regio untaian nervi aksesorius di segitiga koli posterior.

7. Gejala metastasis jauh : lokasi meatstasis paling sering ke tulang, paru,


hati . metastasi tulang tersering ke pelvis, vertebra, iga dan keempat
ekstremitas. Manifestasi metastasis tulang adalah nyeri kontinyu dan nyeri
tekan setempat, lokasi tetap dan tidak berubah-ubah dan secara bertahap
bertambah hebat. Pada fase ini tidak selalu terdapat perubahan pada foto
sinar X, bone-scan seluruh tubuh dapat membantu diagnosis. Metastasis
hati , paru dapat sangat tersembunyi , kadang ditemukan ketika dilakukan
tindak lanjut rutin dengan rongsen thorax , pemeriksaan hati dengan CT
atau USG

D. Pengkajian Keperawatan

No Data Subyektif Data Obyektif Masalah


Keperawatan
1. Melaporkan atau a. Posisi untuk Gangguan rasa
mengeluh nyeri secara menahan nyeri nyaman (nyeri akut)
b. Tingkah laku
verbal dengan skala
berhati-hati
nyeri … (0-10)
c. Gangguan tidur
(mata sayu, tampak
capek, sulit atau
gerakan kacau,
menyeringai)
d. Terfokus pada diri
sendiri
e. Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses berpikir,
penurunan interaksi
dengan orang dan
lingkungan)
f. Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan,
menemui orang lain
dan/atau aktivitas,
aktivitas berulang-
ulang)
g. Respon autonom
(seperti diaphoresis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
h. Perubahan
autonomic dalam
tonus otot (mungkin
dalam rentang dari
lemah ke kaku)
i. Tingkah laku
ekspresif (contoh :
gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, nafas
panjang/berkeluh
kesah)
j. Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum

2. Menyatakan kesulitan a. Penurunan suara Ketidakefektifan


untuk bernafas nafas bersihan jalan nafas
b. Ortopnea
(Dispnea)
c. Sianosis
d. Suara nafas
tambahan
e. Kesulitan berbicara
f. Batuk tidak efektif
atau tidak ada
g. Sputum dalam
jumlah berlebihan
h. Gelisah
i. Perubahan frekuensi
dan irama nafas
j. Mata terbuka lebar

3. a. Nyeri abdomen a. Diare Ketidakseimbangan


b. Muntah b. Rontok rambut yang
nutrisi kurang dari
c. Kejang perut
berlebih
d. Rasa penuh tiba- kebutuhan tubuh
c. Kurang nafsu makan
tiba setelah makan d. Bising usus berlebih
e. Konjungtiva pucat
f. Denyut nadi lemah
4. Menyatakan secara a. Ketidakakuratan Kurang Pengetahuan
verbal adanya mengikuti instruksi
b. perilaku tidak sesuai
masalah

Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi : Pada bagian leher terdapat benjolan, terlihat pada benjolan warna
kulit mengkilat.
2. Palpasi : Pasien saat dipalpasi adanya massa yang besar, selain itu terasa
nyeri apabila ditekan.
3. Pemeriksaan THT :

a. Otoskopi : Liang telinga, membran timpani.


b. Rinoskopia anterior :
Pada tumor endofilik tak jelas kelainan di rongga hidung, mungkin
hanya banyak sekret.
2) Pada tumor eksofilik, tampak tumor di bagian belakang rongga hidung,
tertutup sekret mukopurulen, fenomena palatum mole negatif.

c. Rinoskopia posterior :
1) Pada tumor indofilik tak terlihat masa, mukosa nasofaring tampak agak
menonjol, tak rata dan paskularisasi meningkat.
2) Pada tumor eksofilik tampak masa kemerahan.

4. Faringoskopi dan laringoskopi : Kadang faring menyempit karena penebalan


jaringan retrofaring; reflek muntah dapat menghilang.
5. X – foto : tengkorak lateral, dasar tengkorak, CT Scan

Pemeriksaan diagnostik
Untuk mencapai diagnosis dini harus melaksanakan hal berikut :
1. Tindakan kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien.
Pasien dengan epiktasis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli
unilateral, limfadenopati leher tak nyeri, sefalgia, rudapaksa saraf kranial
dengan kausa yang tak jelas, dan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga
nasofaringya dengan nasofaringoskop indirek atau elektrik.
2. Pemeriksaan kelenjar limfe leher.
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai vena jugularis interna, rantai
nervus aksesorius dan arteri vena transvesalis koli apakah terdapat
pembesaran.
3. Pemeriksaan saraf kranial
Terhadap saraf kranial tidak hanya memerlukan pemeriksaan cermat sesuai
prosedur rutin satu persatu , tapi pada kecurigaan paralisis otot mata,
kelompok otot kunyah dan lidah kadang perlu diperiksa berulang kali,
barulah ditemukan hasil yang positif
4. Pemeriksaan serologi virus EB
Dewasa ini, parameter rutin yang diperiksa untuk penapisan kanker
nasofaring adalah VCA-IgA, EA-IgA, EBV-DNAseAb. Hasil positif pada
kanker nasofaring berkaitan dengan kadar dan perubahan antibodi tersebut.
Bagi yang termasuk salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memilki
resiko tinggi kanker nasofaring :
a) Titer antibodi VCA-IgA >= 1:80
b) Dari pemeriksaan VCA-IgA, EA-IgA dan EBV-DNAseAb, dua diantara
tiga indikator tersebut positif.
c) Dua dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer
yang tinggi kontinyu atau terus meningkat.
Bagi pasien yang memenuhi patokan tersebut , harus diperiksa teliti
dengan nasofaringoskop elektrik , bila perlu dilakukan biopsi. Yang perlu
ditekankan adalah perubahan serologi virus Eb dapat menunjukkan reaksi
positif 4 – 46 bulan sebelum diagnosis kanker nasofaring ditegakkan.
5. Diagnosis pencitraan.
a) Pemeriksaan CT : makna klinis aplikasinya adalah membantu diagnosis,
memastikan luas lesi, penetapan stadium secara adekuat, secara tepat
menetapkan zona target terapi, merancang medan radiasi, memonitor
kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaa tingkat lanjut.
b) Pemeriksaan MRI : MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan
lunak, dapat serentak membuat potongan melintang, sagital, koronal,
sehingga lebih baik dari pada CT. MRI selai dengan jelas memperlihatkan
lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini
menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara fibrosis
pasca radioterapi dan rekurensi tumor , MRI juga lebih bermanfaat .
c) Pencitraan tulang seluruh tubuh : berguna untuk diagnosis kanker
nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif dibandingkan
rongtsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 4-6 bulan dibandingkan
rongsen. Setelah dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak sebagai
akumulasi radioaktivitas, sebagian kecil tampak sebagai area defek
radioaktivitas. Bone-scan sangat sensitif untuk metastasis tulang, namun
tidak spesifik . maka dalam menilai lesi tunggal akumulasi radioaktivitas ,
harus memperhatikan riwayat penyakit, menyingkirkan rudapaksa operasi,
fruktur, deformitas degeneratif tulang, pengaruh radio terapi, kemoterapi,
dll.
d) PET ( Positron Emission Tomography ) : disebut juga pencitraan biokimia
molukelar metabolik in vivo. Menggunakan pencitraan
biologismetabolisme glukosa dari zat kontras 18-FDG dan pencitraan
anatomis dari CT yang dipadukan hingga mendapat gambar PET-CT . itu
memberikan informasi gambaran biologis bagi dokter klinisi, membantu
penentuan area target biologis kanker nasofaring , meningkatka akurasi
radioterapi, sehingga efektifitas meningkat dan rudapaksa radiasi terhadap
jaringan normal berkurang.
6. Diagnosis histologi
Pada pasien kanker nasofaringn sedapat mungkin diperoleh jaringan dari
lesi primer nasofaring untuk pemeriksaan patologik. Sebelum terapi dimulai
harus diperoleh diagnosis histologi yang jelas. Hanya jika lesi primer tidak
dapat memeberikan diagnosis patologik pasti barulah dipertimbangkan biopsi
kelenjar limfe leher.

E. Diagnosa Keperawatan (NANDA)


1. Nyeri akut berhubungan dengan pengaruh kanker pada nasofaring ditandai
dengan melaporkan atau mengeluh nyeri secara verbal dengan skala nyeri
… (0-10), posisi untuk menahan nyeri, ingkah laku berhati-hati, gangguan
tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai),
terfokus pada diri sendiri, fokus menyempit (penurunan persepsi waktu,
kerusakan proses berpikir, penurunan interaksi dengan orang dan
lingkungan), tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang
lain dan/atau aktivitas, aktivitas berulang-ulang), respon autonom (seperti
diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan dilatasi
pupil), perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang
dari lemah ke kaku), tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih,
menangis, waspada, iritabel, nafas panjang/berkeluh kesah), perubahan
dalam nafsu makan dan minum
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas akibat sekresi yang tertahan ditandai dengan menyatakan kesulitan
untuk bernafas (Dispnea), penurunan suara nafas, ortopnea, sianosis, suara
nafas tambahan, kesulitan berbicara, batuk tidak efektif atau tidak ada,
sputum dalam jumlah berlebihan, gelisah, perubahan frekuensi dan irama
nafas, mata terbuka lebar.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan asupan nutrisi yang tidak adekuat ditandai dengan nyeri abdomen,
muntah, kejang perut, rasa penuh tiba-tiba setelah makan, diare, rontok
rambut yang berlebih, kurang nafsu makan, bising usus berlebih,
konjungtiva pucat, denyut nadi lemah.
4. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan interpretasi terhadap informasi
yang salah ditandai dengan menyatakan secara verbal adanya masalah,
ketidakakuratan mengikuti instruksi, perilaku tidak sesuai
5. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
6. Risiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif, imunitas tubuh
menurun
F. Perencanaan Keperawatan (NOC, NIC)

Diagnosa Rencana keperawatan


Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Masalah Kolaborasi

Nyeri akut NOC : NIC :


berhubungan a. Pain Level a. Lakukan
b. pain control
dengan pengaruh pengkajian nyeri
c. comfort level
kanker pada secara
nasofaring komprehensif
Setelah dilakukan tindakan
termasuk lokasi,
keperawatan selama …. pasien
karakteristik,
tidak mengalami nyeri, dengan
durasi, frekuensi,
kriteria hasil:
kualitas dan
a. Mampu mengontrol nyeri
faktor presipitasi
(tahu penyebab nyeri,
b. Observasi reaksi
mampu menggunakan
nonverbal dari
tehnik nonfarmakologi
ketidaknyamanan
untuk mengurangi nyeri, c. Bantu pasien dan
mencari bantuan) keluarga untuk
b. Melaporkan bahwa nyeri
mencari dan
berkurang dengan
menemukan
menggunakan manajemen
dukungan
nyeri d. Kontrol
c. Mampu mengenali nyeri
lingkungan yang
(skala, intensitas, frekuensi
dapat
dan tanda nyeri)
mempengaruhi
d. Menyatakan rasa nyaman
nyeri seperti suhu
setelah nyeri berkurang
e. Tanda vital dalam rentang ruangan,
normal pencahayaan dan
f. Tidak mengalami
kebisingan
gangguan tidur e. Kurangi faktor
presipitasi nyeri
f. Kaji tipe dan
sumber nyeri
untuk
menentukan
intervensi
g. Ajarkan tentang
teknik non
farmakologi:
napas dala,
relaksasi,
distraksi, kompres
hangat/dingin
h. Berikan analgetik
untuk mengurangi
nyeri
i. Tingkatkan
istirahat
j. Berikan informasi
tentang nyeri
seperti penyebab
nyeri, berapa
lama nyeri akan
berkurang dan
antisipasi
ketidaknyamanan
dari prosedur
k. Monitor vital sign
sebelum dan
sesudah
pemberian
analgesik pertama
kali
Ketidakefektifan NOC: NIC:
bersihan jalan nafas a. Respiratory status : a. Pastikan
berhubungan dengan Ventilation (ventilasi kebutuhan oral /
obstruksi jalan nafas tidak terganggu) tracheal
b. Respiratory status :
akibat sekresi yang suctioning.
Airway patency b. Berikan O2 ……
tertahan
(kepatenan jalan napas) l/mnt,
c. Aspiration Control
metode………
(pencegahan aspirasi) c. Anjurkan pasien
untuk istirahat
Setelah dilakukan tindakan dan napas dalam
d. Posisikan pasien
keperawatan selama ………
untuk
jam pasien
memaksimalkan
menunjukkan keefektifan
ventilasi
jalan nafas dibuktikan
e. Lakukan
dengan kriteria hasil :
fisioterapi dada
a. Mendemonstrasikan
jika perlu
batuk efektif dan suara f. Keluarkan sekret
nafas yang bersih, tidak dengan batuk
ada sianosis dan atau suction
g. Auskultasi suara
dispnea (mampu
nafas, catat
mengeluarkan sputum,
adanya suara
bernafas dengan
tambahan
mudah, tidak ada
h. Berikan
pursed lips)
bronkodilator
b. Menunjukkan jalan
i. Monitor status
nafas yang paten (klien
hemodinamik
tidak merasa tercekik, j. Berikan
irama nafas, frekuensi pelembab udara
pernafasan dalam Kassa basah
rentang normal, tidak NaCl Lembab
k. Berikan
ada suara nafas
abnormal) antibiotik
c. Mampu l. Atur intake untuk
mengidentifikasikan cairan
dan mencegah faktor mengoptimalkan
yang penyebab. keseimbangan.
d. Saturasi O2 dalam m. Monitor respirasi
batas normal dan status O2
e. Foto thorak dalam n. Pertahankan
batas normal hidrasi yang
adekuat untuk
mengencerkan
secret
o. Jelaskan pada
pasien dan
keluarga tentang
penggunaan
peralatan : O2,
Suction, Inhalasi
Ketidakseimbangan NOC: NIC:
nutrisi kurang dari a. Nutritional status: a. Kaji adanya alergi
kebutuhan tubuh Adequacy of nutrient makanan
b. Nutritional Status : food b. Kolaborasi
berhubungan dengan
and Fluid Intake dengan ahli gizi
asupan nutrisi yang
c. Weight Control
untuk
tidak adekuat
menentukan
Setelah dilakukan tindakan
jumlah kalori dan
keperawatan selama…. nutrisi
nutrisi yang
kurang teratasi dengan
dibutuhkan pasien
indikator: c. Yakinkan diet
a. Albumin serum yang dimakan
b. Pre albumin serum
mengandung
c. Hematokrit
d. Hemoglobin tinggi serat untuk
e. Total iron binding capacity
mencegah
f. Jumlah limfosit
konstipasi
d. Ajarkan pasien
bagaimana
membuat catatan
makanan harian.
e. Monitor adanya
penurunan BB
dan gula darah
f. Monitor
lingkungan
selama makan
g. Jadwalkan
pengobatan dan
tindakan tidak
selama jam
makan
h. Monitor turgor
kulit
i. Monitor
kekeringan,
rambut kusam,
total protein, Hb
dan kadar Ht
j. Monitor mual dan
muntah
k. Monitor pucat,
kemerahan, dan
kekeringan
jaringan
konjungtiva
l. Monitor intake
nuntrisi
m. Informasikan
pada klien dan
keluarga tentang
manfaat nutrisi
n. Kolaborasi
dengan dokter
tentang kebutuhan
suplemen
makanan seperti
NGT/ TPN
sehingga intake
cairan yang
adekuat dapat
dipertahankan.
o. Atur posisi semi
fowler atau
fowler tinggi
selama makan
p. Kelola pemberan
anti emetic
q. Anjurkan banyak
minum
r. Pertahankan
terapi IV line
s. Catat adanya
edema,
hiperemik,
hipertonik papila
lidah dan cavitas
oval
Kurang pengetahuan NOC: NIC :
berhubungan dengan a. Kowlwdge : disease a. Kaji tingkat
interpretasi terhadap process pengetahuan
b. kowledge : health
informasi yang salah pasien dan
c. Behavior
keluarga
b. Jelaskan
Setelah dilakukan tindakan
patofisiologi dari
keperawatan selama …. pasien
penyakit dan
menunjukkan pengetahuan
bagaimana hal ini
tentang proses penyakit dengan
berhubungan
kriteria hasil:
dengan anatomi
a. Pasien dan keluarga dan fisiologi,
menyatakan pemahaman dengan cara yang
tentang penyakit, kondisi, tepat.
c. Gambarkan tanda
prognosis dan program
dan gejala yang
pengobatan
b. Pasien dan keluarga biasa muncul
mampu melaksanakan pada penyakit,
prosedur yang dijelaskan dengan cara yang
secara benar tepat
c. Pasien dan keluarga d. Gambarkan
mampu menjelaskan proses penyakit,
kembali apa yang dengan cara yang
dijelaskan perawat/tim tepat
e. Identifikasi
kesehatan lainnya
kemungkinan
penyebab,
dengan cara yang
tepat
f. Sediakan
informasi pada
pasien tentang
kondisi, dengan
cara yang tepat
g. Sediakan bagi
keluarga
informasi tentang
kemajuan pasien
dengan cara yang
tepat
h. Diskusikan
pilihan terapi
atau penanganan
i. Dukung pasien
untuk
mengeksplorasi
atau
mendapatkan
second opinion
dengan cara yang
tepat atau
diindikasikan
j. Eksplorasi
kemungkinan
sumber atau
dukungan,
dengan cara yang
tepat
Risiko aspirasi NOC : NIC:
berhubungan dengan a. Respiratory Status : a. Monitor tingkat
gangguan menelan Ventilation kesadaran, reflek
b. Aspiration control
batuk dan
c. Swallowing Status
kemampuan
menelan
Setelah dilakukan tindakan
b. Monitor status
keperawatan selama…. pasien
paru
tidak mengalami aspirasi c. Pelihara jalan
dengan kriteria: nafas
d. Lakukan suction
a. Pasien dapat bernafas
jika diperlukan
dengan mudah, tidak
e. Cek nasogastrik
irama, frekuensi
sebelum makan
pernafasan normal f. Hindari makan
b. Pasien mampu menelan,
kalau residu masih
mengunyah tanpa terjadi g. Banyak
h. Potong makanan
aspirasi, dan mampu
kecil kecil
melakukan oral hygiene
i. Haluskan obat
c. Jalan nafas paten, mudah
sebelumpemberian
bernafas, tidak merasa
j. Naikkan kepala
tercekik dan tidak ada
30-45 derajat
suara nafas abnormal
setelah makan
Risiko infeksi NOC : NIC :
berhubungan dengan a. Immune Status a. Pertahankan
b. Knowledge : Infection
prosedur invasif, teknik aseptif
control b. Batasi
imunitas tubuh
c. Risk control
pengunjung bila
menurun
perlu
Setelah dilakukan tindakan c. Cuci tangan
keperawatan selama…… setiap sebelum
pasien tidak mengalami dan sesudah
infeksi dengan kriteria hasil: tindakan
a. Pasien bebas dari tanda keperawatan
d. Gunakan baju,
dan gejala infeksi
b. Menunjukkan kemampuan sarung tangan
untuk mencegah sebagai alat
timbulnya infeksi pelindung
c. Jumlah leukosit dalam e. Ganti letak IV
batas normal perifer dan
d. Menunjukkan perilaku
dressing sesuai
hidup sehat
dengan petunjuk
e. Status imun,
umum
gastrointestinal,
f. Gunakan kateter
genitourinaria dalam batas
intermiten untuk
normal
menurunkan
infeksi kandung
kencing
g. Tingkatkan
intake nutrisi
h. Berikan terapi
antibiotic
i. Monitor tanda
dan gejala infeksi
sistemik dan
local
j. Pertahankan
teknik isolasi k/p
k. Inspeksi kulit
dan membran
mukosa terhadap
kemerahan,
panas, drainase
l. Monitor adanya
luka
m. Dorong masukan
cairan
n. Dorong istirahat
o. Ajarkan pasien
dan keluarga
tanda dan gejala
infeksi
p. Kaji suhu badan
pada pasien
neutropenia
setiap 4 jam

G. Pelaksanaan : tindakan kritis


1. Indikasi Pemberian O2
Indikasi utama pemberian O2 adalah sebagai berikut: (1) klien
dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah, (2) klien
dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon terhadap
keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya pernapasan
serta adanya kerja otot-otot tambahan pernapasan, (3) klien dengan
peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha untuk mengatasi
gangguan O2 melalui peningkatan laju pompa jantung yang adekuat.
Berdasarkan indikasi utama di atas maka terapi pemberian O 2
diindikasikan kepada klien dengan gejala : (1) sianosis, (2) hipovolemi,
(3) perdarahan, (4) anemia berat, (5) keracunan CO, (6) asidosis, (7)
selama dan sesudah pembedahan, (8) klien dengan keadaan tidak sadar.

2. Metode Pemberian O2
a. Sistem Aliran Rendah
Tehnik system aliran rendah diberikan untuk menambah
konsentrasi udara ruangan. Tehnik ini menghasilkan FiO2 yang
bervariasi tergantung pada tipe pernapasan dengan patokan
volume tidal pasien. Pemberian O2 sistem aliran rendah ini
ditujukan untuk klien yang memerlukan O2 tetapi masih mampu
bernapas dengan pola pernapasan normal, misalnya klien dengan
volume tidal 500 ml dengan kecepatan pernapasan 15-20
kali/menit.
Contoh system aliran rendah ini adalah : (1) kateter nasal, (2)
kanula nasal, (3) sungkup muka sederhana, (4) sungkup muka
dengan kantong rebreating, (5) sungkup muka dengan kantong
non rebreating.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing system :
1) Kateter Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 secara kontinu dengan aliran 1-6 L/menit
dengan konsentrasi 24%-44%. Keuntungannya adalah
pemberian O2 stabil, klien bebas bergerak, makan dan
berbicara, murah dan nyaman, serta dapat juga dipakai
sebagai kateter penghisap. Adapun kerugiannya adalah tidak
dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%,
tehnik memasukkan kateter nasal lebih sulit dari kanula
nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi
selaput endir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/menit
dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa
hidung, kateter mudah tersumbat.
2) Kanula Nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat
memberikan O2 kontinu dengan aliran 1-6 L/menit dengan
konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal. Keuntungannya
adalah pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju
pernapasan teratur, mudah memasukkan kanul dibanding
kateter, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih
mudah ditolerir klien dan nyaman. Kerugiannya adalah
tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%,
suplai O2 berkurang bila klien bernapas lewat mulut, mudah
lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm, mengiritasi
selaput lender.
3) Sungkup Muka Sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang-
seling 5-8 L/menit dengan konsentrasi O2 40-60%.
Keuntungannya adalah konsentrasi O2 yang diberikan lebih
tinggi dari kateter atau kanul nasal, system humidifikasi
dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang
besar, dapat digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
Adapun kerugiannya adalah tidak dapat memberika
konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.
4) Sungkup Muka dengan Kantong Rebreating
Suatu tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi
yaitu 60-80% dengan aliran 8-12 L/menit. Keuntungannya
adalah konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka
sederhana, tidak mengeringkan selaput lender. Kerugiannya
adalah tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika
aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2,
kantong O2 bisa terlipat.
5) Sungkup Muka dengan Kantong non Rebreating
Merupakan tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi O2
mencapai 99% dengan aliran 8-12 L/menit dimana udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi.
Keuntungannya adalah konsentrasi O2 yang diperoleh dapat
mencapai 100%, tidak mengeringkan selaput lender.
Kerugiannya adalah kantong O2 bisa terlipat.
b. Sistem Aliran Tinggi
Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan
tidak dipengaruhi oleh tipe pernapasan, sehingga dengan tehnik
ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih tepat dan
teratur.
Adapun contoh tehnik system aliran tinggi yaitu, sungkup
muka dengan ventury. Prinsip pemberian O 2 dengan alat ini yaitu
gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang
kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga
tercipta tekanan negatif, akibatnya udara luar dapat dihisap dan
aliran udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat
ini sekitar 4-14 L/menit dengan konsentrasi 30-55%.
Keuntungannya adalah konsentrasi O2 yang diberikan
konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi
perubahan pola napas terhadap FiO2, suhu dan kelembapan gas
dapat dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2. Kerugian
sistem ini pada umumnya hamper sama dengan sungkup muka
yang lain pada aliran rendah.
H. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :

1. Pasien dapat mengontrol nyeri, nyeri berkurang, mengenali nyeri,


menyatakan rasa nyaman, tanda vital dalam rentang norma, dan tidak
mengalami gangguan tidur.

2. Pasien menunjukkan jalan nafas yang paten, dapat mendemonstrasikan


batuk efektif dan suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan dispnea,
mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang penyebab, foto
thorak dalam batas normal, saturasi O2 dalam batas normal

3. Nutrisi kurang pada pasien teratasi

4. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit, kondisi,


prognosis dan program pengobatan, pasien dan keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar. pasien dan keluarga
mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan
lainnya.
5. Pasien dapat bernafas dengan mudah, tidak irama, frekuensi pernafasan
normal, pasien mampu menelan, mengunyah tanpa terjadi aspirasi, dan
mampu melakukan oral hygiene, jalan nafas paten, mudah bernafas, tidak
merasa tercekik dan tidak ada suara nafas abnormal.
6. Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi, menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal,
menunjukkan perilaku hidup sehat, status imun, gastrointestinal,
genitourinaria dalam batas normal.

Daftar Pustaka

Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. EGC.
Jakarta.

Doenges, M. G. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 EGC. Jakarta.


Ikhsanuddin. 2013. Keperawatan. http://repository.usu .ac.id/bitstream /12345
6789/3583/1/keperawatan-ikhsanuddin2.pdf

NANDA International. 2012. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi


2012-2014. Jakarta: EGC.
Nuzulul. 2013. Askep Kanker Nasofaring. http://nuzulul fkp09. web.unair. ac.id/
artikel_detail-35551 Kep%20Sensori%20dan%20Persepsi Askep%20Kanke
r%20Nasofaring.html

Anda mungkin juga menyukai