Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

WARISAN DALAM ISLAM

DOSEN PENGAMPU :
Deprizon, S.Pd.I., M.Pd.I.

DISUSUN OLEH :
Aditya Aulia Rahman 1807110653
Faiprianda Assyari Rahmatullah 1807111319
Mutia Salsabilla Octaruri 1807111456

Program Studi Teknik Kimia S1


Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik
Universitas Riau
Pekanbaru
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena


atas berkah karunia dan rahmat-Nya, kami bisa menyelesaikan makalah ini.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah,
yaitu mata kuliah Agama Islam. Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih
jauh dari kata sempurna. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan agar
dapat menjadi bahan evaluasi di kemudian hari. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membawa manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 27 November 2018

Kelompok 12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mawaris adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara pembagian
harta waris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta
peninggalan orang yang sudah meninggal. Di dalam islam, harta waris disebut juga
tirkah, yang berarti peninggalan atau harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Di
kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi fitnah
berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus
karena terjadi persengketaan dalam pembagian harta warisan tersebut. Islam hadir
di tengah-tengah masyarakat untuk memberi petunjuk bagaimana cara pembagian
harta waris.
Menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan mawaris
adalah fardhu kifayah. Dalam artian apabila jika sudah ada sebagian orang yang
melakukannya, maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Dan apabila
tidak ada satu pun yang melaksanannya, maka semua orang menanggung dosa
tersebut.
Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan menguraikan mengenai
mawaris dan hal apa saja yang terdapat didalamnya.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini yaitu sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud mawaris?
2. Tujuan mawaris?
3. Apa saja rukun- rukun kewarisan ?
4. Apa saja syarat-syarat kewarisan ?
5. Siapa yang berhak mendapatkan mawaris?
6. Bagaimana cara pembagian mawaris?

1.3. Tujuan Makalah


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu :
1. Memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam
2. Mempelajari dan mengetahui apa saja hal yang ada dalam mawaris.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian
Waris dapat didefinisikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang
yang meninggal dunia kepada Ahli Waris yang masih hidup.
Warisan dapat didefinisikan sebagai perpindahan berbagai hak dan
kewa#iban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Ahli Waris dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang karena sebab
(keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka
orang yang meninggal dunia.

2.2. Tujuan
Mawaris tentunya memiliki tujuan. Adapun tujuan kewarisan dalam Islam
dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci
dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara
ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing
ahli waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti
kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada
masa jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan
pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-
masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan
tanggung jawabnya.
2.3. Sumber Hukum
1. Alqur’an
a) Surat An-Nisa’ Ayat 11

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)


anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan
bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia
memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang)
orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
b) Surat An-Nisa’ Ayat 12

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan


oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-
isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para
isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan
sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.
Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah,
dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
c) Surat An-Nisa’ Ayat 176

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:


"Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan
saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang
saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”

d) Surat An-Nisa’ Ayat 7

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”

e) Surat An-Nisa’ Ayat 33

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu


bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan
mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya
Allah menyaksikan segala sesuatu.”

f) Surat Al-Anfal Ayat 75

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah


serta berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk
golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

g) Surat Al-Ahzab Ayat 6

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari


diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih
berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-
orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu
berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah).”

2. Hadist
a) Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
“Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari
bapaknya,dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:
“Bagilah harta waris diantaraorang-orang yang berhak menerima
bagian sesuaidengan ketentuan al-Qur’an. Jika masih ada
tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris laki-
laki.”
3. Ijtihad Ulama
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh ahli hukum
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas
atau tidak ada ketentuannya di dalam Alqur’an dan Sunnah Rasul.

2.4. Rukun
Menurut pendapat Sayyid Sabiq, pewarisan hanya dapat terwujud apabila
terpenuhi 3 hal, yaitu :
1. Al-Muwarris
Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Bagi
seorang pewaris terdapat ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya
dengan sempurna, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum.

2. Al-Waris
Orang yang akan menerima harta warisan dari pewaris disebabkan
mempunyai hak-hak untuk menerima warisan. Seperti keluarga, namun
tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan ahli waris. Begitu pula orang
yang berhak menerima warisan mungkin saja diluar ahli waris.’

3. Al-Maurus
Harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh
para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi
hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para
faradhiyun di sebut juga dengan tirkah yaitu semua yang menjadi milik
seseorang, baik berupa harta benda maupun hak-hak kebendaan yang
diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, hak-hak
kewarisan bukan hanya berupa harta benda akan tetapi juga menyangkut
harta yang tidak berupa harta benda yang dapat berpindah kepadam ahli
warisnya. Seperti hak-hak menarik hasil dari sumber air, benda-benda yang
digadaikan oleh pewaris (orang yang meninggal dunia), termasuk benda-
benda yang sudah dibeli oleh pewaris yang bendanya belum diterima.

2.5. Syarat
1. Meninggalnya seorang pewaris. Menurut doktrin fikih dibedakan menjadi 3
macam :
 Mati haqiqy adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim
 Mati hukmy adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar
putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
 Mati taqdiry adalah sebuah kematian berdasarkan dugaan keras.
2. Adanya ahli waris yang hidup pada waktu pewaris meninggal dunia.
 Masih hidup secara hakiki diketahui dengan menyaksikan langsung
 Secara hukum, contohnya janin mewarisi harta pusaka jika jelas
keberadaannya ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal,
walaupun janin tersebut belum bernyawa. Dengan syarat bayi
tersebut lahir dalam keadaan hidup.
3. Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.

2.6. Sebab Mendapatkan Warisan


Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memilikihak untuk
saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab, yaitu:
1. Hubungan darah atau kekerabatan
Hubungan inidikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu
hubungankeluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi.
Sepertikedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya. Hal ini
ditegaskan dalam ayat yang artinya, “orang-orang yang memilikihubungan
kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya(daripada
yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Anfal:75).

2. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisansebagaimana
termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika
akad telah dilakukan secara sah antara suami danistri. Meskipun diantara
keduanya belum pernah melakukan hubunganintim, hak pewaris tetap
berlaku. Adapun pernikahan yang batilataurusak, tidak bias menjadi sebab
untuk mendapatkan hak waris.

3. Hubungan antara budak dengan yang memerdekakannya


Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu. Zaman perbudakan.
Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan wala’. Seseorang yang
telah memerdekakan budak, jika budak itu telahmerdeka dan memiliki
kekayaan jika ia mati yang membebaskan budak berhak mendapatkan
warisan. Akan tetapi, jika yang mati adalah yangmembebaskannya, budak
yang telah bebas tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaiman
hadis berbunyi,”Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah membebaskan
hamba sahayanya.”(H.R. Bukhari dan Muslim).

2.7. Sebab Tidak Mendapatkan Warisan


Ada beberapa sebab yang menghalangi orang-orang yang seharusnya
mendapat waris dari keluarga mereka yang meninggal dunia :
1. Hamba
Seorang hamba tidak mendapat waris dari sekalian kelurganya yang
meninggal dunia selama dia masih bersifat hamba.
2. Pembunuh
Orang yang membunuh keluarganya tidak mendapat waris dari
keluarganya yang dibunuhnya itu.

3. Murtad
Orang yang keluar dari agama Islam tidak mendapatkan harta waris
dari keluarganya yang masih memeluk agama Islam, dan sebaliknya
keluarganya yang masih memeluk agama Islam tidak dapat mewarisi
hartanya.

4. Berbeda Agama
Orang yang tidak memeluk agama Islam (kafir yang berupa apapun
kekafirannya)tidak berhak menerima waris dari keluarganya yang memeluk
agama islam. Begitu pula sebaliknya.

2.8. Golongan Ahli Waris


Orang-orang yang berhak menerima harta waris dari seseorang yang
meninggal sebanyak 25 orang yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10
orang dari pihak perempuan.
Golongan dari pihak laki-laki :
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki (anak laki-laki dari anak laki-laki) dan seterusnya, buyut laki-
laki…..
3. Bapak/ayah
4. Kakek (bapaknya bapak) dan seterusnya ke atas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki sebapak
7. Saudara laki-laki se-ibu
8. Keponakan laki-laki sekandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki
sekandung).
9. Keponakan laki-laki sebapak (anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak).
10. Paman sekandung (saudara sekandung bapak).
11. Paman sebapak (saudar sebapak-nya bapak).
12. Sepupu laki-laki sekandung (anak laki-laki paman sekandung).
13. Sepupu laki-laki sebapak ( anak laki-laki paman yang sebapak).
14. Suami.
15. Laki-laki yang memerdekakan budak (al-mu’tiq)
Golongan dari pihak perempuan :
1. Anak perempuan.
2. Cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki).
3. Ibu / bunda / mama / mami / emak /biyung dan sejenisnya.
4. Nenek dari ibu (ibunya ibu), dan seterusnya ke atas.
5. Nenek dari bapak (ibunya bapak), dan seterusnya ke atas.
6. Saudara perempuan sekandung.
7. Saudara perempuan sebapak.
8. Saudara perempuan se-ibu.
9. Isteri.
10. Perempuan yang memerdekakan (al-Mu'tiqah).

2.9. Bagian-bagian Ahli Waris


1. Yang mendapatkan 1/2
 Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si
mayyit tidak meninggalkan anak.
 Seorang anak perempuan.
 Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan
menurut ijma’ (kesepakatan ulama). Ibnu Mundzir berkata, para
ulama sepakat bahwa cucu laki-laki dan cucu perempuan menempati
kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. cucu laki-laki sama
dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama dengan anak
perempuan, Jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung laki-
laki.
 Saudara perempuan seibu dan sebapak
 Saudara perempuan sebapak.

2. Yang mendapatkan 1/4


 Suami dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak.
 Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak.

3. Yang mendapatkan 1/8


 Istri dapat seperdelapan, Jika suami meninggalkan anak.

4. Yang mendapatkan 2/3


 Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak laki-laki).
 Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara perempuan
sebapak.

5. Yang mendapatkan 1/3


 Ibu, Jika ia tidak mahjub (terhalang).

6. Yang mendapatkan 1/6


 Ibu dapat seperenam, Jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara
lebih dari seorang.
 Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu.
 Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.
 Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak
perempuan.
 Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang
saudara perempuan seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga,
karena dikiaskan kepada cucu perempuan, bila si mayyit
meninggalkan anak perempuan.
 Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak.
 Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan
bapak.

2.10. Hikmah Waris Islam


 Terpeliharanya hubungan silahturahmi dalam keluarga muslim
 Keluarga laki-laki mendapat bagian lebih besar dari perempuan
 Menjunjung tinggi perintah Allah SWT
 Mewujudkan keadilan menurut syariat islam
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Mawaris membicarakan tentang pembagian harta warisan. Ilmu mawaris
disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan orang mati. Di dalam
islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti peninggalan atau harta yang
ditinggal mati oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta
pusaka. Banyak terjadi fitnah berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan
persaudaraan dapat terputus karena terjadi persengketaan dalam pembagian harta
tersebut. Islam hadir memberi petunjuk cara pembagian harta waris. Diharapkan
dengan petunjuk itu manusia akan terhindar dari pertikaian sesama ahli waris.

3.2. Saran
Bagi pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami
mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai sesuai dengan ajaran
islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA

Wicaksono, F. Satrio. 2011. Hukum Waris (Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta
Waris). Jakarta: Tranmedia Pustaka.
A Karim, Muchith. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela. 2007. Pembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai.
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shalih Al-Utsaimin, Muhammad. 2012. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut
Alqur’an dan Sunnah yang Shahih. Ponorogo: Pustaka Ibnu Katsir.
Margiono, Anwar J, Latifah. 2015. Pendidikan Agama Islam 3. Jakarta: Yudhistira

Anda mungkin juga menyukai