DOSEN PENGAMPU :
Deprizon, S.Pd.I., M.Pd.I.
DISUSUN OLEH :
Aditya Aulia Rahman 1807110653
Faiprianda Assyari Rahmatullah 1807111319
Mutia Salsabilla Octaruri 1807111456
Kelompok 12
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Mawaris adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara pembagian
harta waris. Ilmu mawaris disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta
peninggalan orang yang sudah meninggal. Di dalam islam, harta waris disebut juga
tirkah, yang berarti peninggalan atau harta yang ditinggal mati oleh pemiliknya. Di
kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta pusaka. Banyak terjadi fitnah
berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan persaudaraan dapat terputus
karena terjadi persengketaan dalam pembagian harta warisan tersebut. Islam hadir
di tengah-tengah masyarakat untuk memberi petunjuk bagaimana cara pembagian
harta waris.
Menurut istilah ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah
meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik yang legal secara syar’i.
Para ulama berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan mawaris
adalah fardhu kifayah. Dalam artian apabila jika sudah ada sebagian orang yang
melakukannya, maka dapat menggugurkan kewajiban semua orang. Dan apabila
tidak ada satu pun yang melaksanannya, maka semua orang menanggung dosa
tersebut.
Oleh karena itu, pada makalah ini kami akan menguraikan mengenai
mawaris dan hal apa saja yang terdapat didalamnya.
2.1. Pengertian
Waris dapat didefinisikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang
yang meninggal dunia kepada Ahli Waris yang masih hidup.
Warisan dapat didefinisikan sebagai perpindahan berbagai hak dan
kewa#iban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain
yang masih hidup dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Ahli Waris dapat didefinisikan sebagai orang-orang yang karena sebab
(keturunan, perkawinan/perbudakan) berhak mendapatkan bagian dari harta pusaka
orang yang meninggal dunia.
2.2. Tujuan
Mawaris tentunya memiliki tujuan. Adapun tujuan kewarisan dalam Islam
dapat kita rumuskan sebagai berikut :
1. Penetapan bagian-bagian warisan dan yang berhak menerima secara rinci
dan jelas, bertujuan agar tidak terjadinya perselisihan dan pertikan antara
ahli waris. Karena dengan ketentuan-ketentuan tersebut, masing-masing
ahli waris harus mengikuti ketentuan syariat dan tidak bisa mengikuti
kehendak dan keinginan masing-masing.
2. Baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian warisan (yang pada
masa jahiliyah hanya laki-laki yang berhak) sebagai upaya mewujudkan
pembagian kewarisan yang berkeadilan berimbang. Dalam artian masing-
masing berhak menerima warisan sesuai dengan porposi beban dan
tanggung jawabnya.
2.3. Sumber Hukum
1. Alqur’an
a) Surat An-Nisa’ Ayat 11
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-
bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)
dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”
2. Hadist
a) Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas
“Kami telah diberi tahu oleh Ma’mar dari Ibn Thowus, dari
bapaknya,dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah SAW telah bersabda:
“Bagilah harta waris diantaraorang-orang yang berhak menerima
bagian sesuaidengan ketentuan al-Qur’an. Jika masih ada
tinggalan (sisa) maka yang lebih berhak adalah ahli waris laki-
laki.”
3. Ijtihad Ulama
Ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh ahli hukum
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas
atau tidak ada ketentuannya di dalam Alqur’an dan Sunnah Rasul.
2.4. Rukun
Menurut pendapat Sayyid Sabiq, pewarisan hanya dapat terwujud apabila
terpenuhi 3 hal, yaitu :
1. Al-Muwarris
Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan. Bagi
seorang pewaris terdapat ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan miliknya
dengan sempurna, baik menurut kenyataan maupun menurut hukum.
2. Al-Waris
Orang yang akan menerima harta warisan dari pewaris disebabkan
mempunyai hak-hak untuk menerima warisan. Seperti keluarga, namun
tidak semua keluarga dari pewaris dinamakan ahli waris. Begitu pula orang
yang berhak menerima warisan mungkin saja diluar ahli waris.’
3. Al-Maurus
Harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang akan di warisi oleh
para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi
hutang dan melaksanakan wasiat. Harta peninggalan ini oleh para
faradhiyun di sebut juga dengan tirkah yaitu semua yang menjadi milik
seseorang, baik berupa harta benda maupun hak-hak kebendaan yang
diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, hak-hak
kewarisan bukan hanya berupa harta benda akan tetapi juga menyangkut
harta yang tidak berupa harta benda yang dapat berpindah kepadam ahli
warisnya. Seperti hak-hak menarik hasil dari sumber air, benda-benda yang
digadaikan oleh pewaris (orang yang meninggal dunia), termasuk benda-
benda yang sudah dibeli oleh pewaris yang bendanya belum diterima.
2.5. Syarat
1. Meninggalnya seorang pewaris. Menurut doktrin fikih dibedakan menjadi 3
macam :
Mati haqiqy adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim
Mati hukmy adalah suatu kematian yang dinyatakan atas dasar
putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Mati taqdiry adalah sebuah kematian berdasarkan dugaan keras.
2. Adanya ahli waris yang hidup pada waktu pewaris meninggal dunia.
Masih hidup secara hakiki diketahui dengan menyaksikan langsung
Secara hukum, contohnya janin mewarisi harta pusaka jika jelas
keberadaannya ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal,
walaupun janin tersebut belum bernyawa. Dengan syarat bayi
tersebut lahir dalam keadaan hidup.
3. Seluruh ahli waris di ketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
masing.
2. Hubungan perkawinan
Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisansebagaimana
termuat dalam surah an-Nisa’[4] ayat 11. Hubungan perkawinan terjadi jika
akad telah dilakukan secara sah antara suami danistri. Meskipun diantara
keduanya belum pernah melakukan hubunganintim, hak pewaris tetap
berlaku. Adapun pernikahan yang batilataurusak, tidak bias menjadi sebab
untuk mendapatkan hak waris.
3. Murtad
Orang yang keluar dari agama Islam tidak mendapatkan harta waris
dari keluarganya yang masih memeluk agama Islam, dan sebaliknya
keluarganya yang masih memeluk agama Islam tidak dapat mewarisi
hartanya.
4. Berbeda Agama
Orang yang tidak memeluk agama Islam (kafir yang berupa apapun
kekafirannya)tidak berhak menerima waris dari keluarganya yang memeluk
agama islam. Begitu pula sebaliknya.
3.1. Kesimpulan
Mawaris membicarakan tentang pembagian harta warisan. Ilmu mawaris
disebut juga ilmu faraid. Harta waris ialah harta peninggalan orang mati. Di dalam
islam, harta waris disebut juga tirkah yang berarti peninggalan atau harta yang
ditinggal mati oleh pemiliknya. Di kalangan tertentu, harta waris disebut juga harta
pusaka. Banyak terjadi fitnah berkenaan dengan harta waris. Terkadang hubungan
persaudaraan dapat terputus karena terjadi persengketaan dalam pembagian harta
tersebut. Islam hadir memberi petunjuk cara pembagian harta waris. Diharapkan
dengan petunjuk itu manusia akan terhindar dari pertikaian sesama ahli waris.
3.2. Saran
Bagi pembaca setelah membaca makalah ini diharapkan lebih memahami
mawaris dalam kehidupan keluarga maupun orang lain sesuai sesuai dengan ajaran
islam dimana hukum memahami mawaris adalah fardhu kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Wicaksono, F. Satrio. 2011. Hukum Waris (Cara Mudah dan Tepat Membagi Harta
Waris). Jakarta: Tranmedia Pustaka.
A Karim, Muchith. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam
Indonesia. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press.
Khalifah, Muhammad Thaha Abul Ela. 2007. Pembagian Warisan Berdasarkan
Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai.
Rasjid, Sulaiman. 2000. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Shalih Al-Utsaimin, Muhammad. 2012. Panduan Praktis Hukum Waris Menurut
Alqur’an dan Sunnah yang Shahih. Ponorogo: Pustaka Ibnu Katsir.
Margiono, Anwar J, Latifah. 2015. Pendidikan Agama Islam 3. Jakarta: Yudhistira