Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Sebelumnya

Achmad Fauzan H.S., et al, (2017), telah melakukan eksperimen yang

mempelajari kemungkinan terjadinya pembakaran bahan bakar cair yang stabil

pada meso-scale combustor. Penelitian ini menggunakan tiga jenis mesocombustor

dengan tabung berdiameter dalam 3,5 mm. setiap mesocombustor dibuat dari

tabung kaca kuarsa-tembaga-tabung kaca kuarsa dengan menggunakan lem

keramik sebagai perekat (Ceramabond 569, Aremco Product Inc.). Setiap

mesocombustor memiliki bagian tembaga yang berfungsi sebagai ruang

pencampuran bahan bakar. Bagian tembaga dari masing-masing mesocombustor

diisolasi dengan lapisan perekat keramik.

Mesocombustor pertama (gambar 2.1), disebut combustor tipe A, memiliki

kanal sempit sepanjang dinding tembaga yang digunakan untuk menginjeksikan

bahan bakar cair. Kanal sempit ini memiliki kedalaman, lebar, dan panjang, masing-

masing 0,5 mm, 2 mm, dan 5 mm terhubung ke kanal melingkar yang mengelilingi

pembakaran. Ada 5 lubang masuk untuk uap bahan bakar dikanal melingkar.

8
9

Gambar 2.1: Mesocombustor tipe A

Sumber: (Achmad Fauzan et al., 2017)

Combustor kedua (gambar 2.2) ruang, disebut combustor tipe B, memiliki

sebuah kanal pembakaran berbentuk anulus disepanjang dinding tembaga dan lima

lubang kecil untuk masuk uap bahan bakar kedalam ruang pembakaran. Udara

dialirkan pada mesocombustor tipe A dan tipe B dari arah hulu mesocombustor.

Dalam dua jenis combustor ini, uap dan udara bahan bakar dicampur didalam ruang

pembakaran.

Gambar 2.2: Mesocombustor tipe B

Sumber: (Achmad Fauzan et al., 2017)


10

Combustor tipe C (Gambar 2.3) mirip dengan tipe B, memiliki kanal

pembakaran berbentuk anulus disepanjang dinding tembaga yang mengelilingi

mesocombustor. Akan tetapi, pada tipe C, udara tidak mengalir dari arah hulu

mesocombustor; sebagai gantinya dialirkan ke kanal anulus menggunakan sebuah

pipa kecil, oleh karena itu bahan bakar dapat dicampur didalam kanal anulus

sebelum masuk ke ruang bakar.

Gambar 2.3: Mesocombustor tipe C

Sumber: (Achmad Fauzan et al., 2017)

2.2 Pembakaran

Proses pembakaran yaitu merupakan rangkaian suatu reaksi kimia yang

terjadi antara zat pengoksida berupa oksigen dan bahan bakar, dimana dalam proses

pembakaran tersebut menghasilkan energi berupa panas dan perubahan senyawa

kimia. Pelepasan energi panas tersebut menimbulkan cahaya dalam bentuk api.

Reaksi pembakaran terjadi ketika suatu zat mampu bereaksi cepat dengan oksidator
11

dan mendapat suhu yang cukup untuk memulai awal proses pembakaran atau yang

disebut dengan energi aktivasi.

Energi aktivasi yang digunakan pada proses pembakaran umumnya berupa

panas, panas tersebut akan mengaktifkan molekul penyusun dari bahan bakar,

sehingga pada kulit terluar molekul bahan bakar akan melepas elektron dan

berikatan membentuk suatu molekul baru dengan oksidator. Ilustrasi secara

sederhana yang menjelaskan proses terjadinya pembakaran tersebut ditunjukkan

pada Gambar 2.4 dibawah ini.

Gambar 2.4: ilustrasi proses suatu pembakaran

Sumber: (Safer Wood, 2007)

2.2.1 Reaksi Kimia Pada Proses Pembakaran

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya komponen penyusun reaksi

kimia pembakaran dibagi menjadi tiga yaitu bahan bakar, oksigen dan energi

aktivasi. Perbedaan kadar komposisi pada masing-masing komponen tersebut

berpengaruh pada bagaimana reaksi tersebut terjadi, reaksi kimia yang terjadi pada

proses pembakaran membawa dampak pada fenomena fisiknya seperti perpindahan


12

panas dan perpindahan massa. Secara sederhana rumus reaksi pembakaran

dituliskan sebagai berikut:

CxHy + aO2 + Energi aktivasi b CO2 + cH2O + Energi aktivasi

Persamaan diatas merupakan rumus reaksi pembakaran ideal, namun pada

faktanya pembakaran sempurna sangat sulit terjadi, karena kebanyakan reaksi

pembakaran yang terjadi menggunakan oksigen (oksidator) dari udara bebas.

Kandungan udara bebas tidak hanya oksigen saja, melainkan banyak gas lainnya

yang terkandung didalam udara bebas tersebut. Pada umumnya komposisi udara

bebas yang kering dan bersih terdiri dari berbagai gas sebagai berikut.

Tabel 2.1: Komposisi Udara kering

Sumber: (Cut Meurah Regariana, 2010)

Dari tabel diatas apabila kandungan gas yg lain diabaikan karena

persentasenya kecil, maka dapat diasumsikan udara hanya terdiri dari 79% Nitrogen

(N2) dan 21% Oksigen (O2). Sehingga untuk penggunaan setiap 1 mol O2 yang

terkandung di dalam oksigen pada reaksi pembakaran, secara otomatis akan

79
mencakup penggunaan ( ) = 3.76 molar N2.
21
13

Suatu pembakaran dikatakan stoikiometri apabila udara dan bahan bakar

bercampur pada komposisi yang tepat untuk bereaksi secara menyeluruh. Pada

pembakaran hidrokarbon, keadaan stoikiometri dapat tercapai jika semua atom C

dan H pada hidrokarbon berikatan semuanya dengan O2 menjadi CO2 dan H2O.

Berdasarkan pada perhitungan diatas maka rumus stoikiometri pembakaran

hidrokarbon dan udara dapat dituliskan sebagai berikut.

CxHy + (x + y/4) O2 + 3,76 (x + y/4) N2 x CO2 + y/2 H2O +3,76 (x + y/4) N2

Suatu reaksi pembakaran tidak selalu berlangsung seperti reaksi

pembakaran diatas, akan tetapi reaksi pembakaran justru kebanyakan menghasilkan

gas pembuangan seperti Nitrogen Oksida (NOx) atau Karbon Monoksida (CO).

Nitrogen Oksida (NOx) baik berupa Nitrogen Monoksida (NO) ataupun

Nitrogen Dioksida (NO2) terbentuk karena kelebihan oksigen dalam reaksi burning

sehingga oksigen (O2) sisa tidak berikatan terhadap atom karbon (C) terikat pada

molekul nitrogen. Sebaliknya, molekul CO terbentuk dikarenakan kurangnya

oksigen pada reaksi pembakaran, sehingga mengakibatkan setiap atom C (karbon)

hanya berikatan dengan satu atom oksigen saja. Pembentukan gas-gas tersebut

berdampak pada penurunan efisiensi pembakaran serta berpotensi menyebabkan

polusi udara.

2.2.2 Rasio Bahan Bakar dan Udara (Air-Fuel Ratio)

Prosedur ini merupakan prosedur yang paling sering dibunakan untuk

mendifinisikan pencampuran udara dengan bahan bakar. Air Fuel Ratio (AFR)
14

adalah rasio perbandingan antara massa bahan bakar dengan udara yang terjadi pada

suatu rekasi pembakaran. Pada reaksi pembakaran AFR memegang peran penting

dalam menentukan jalannya proses pembakaran tersebut, selain itu AFR juga

berperan dalam pembentukan nyala api dan hasil gas buang dari suatu proses

pembakaran. Persamaan AFR pada campuran stoikiometri dituliskan dalam rumus

sebagai berikut.

𝑀𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
(𝐴𝐹𝑅)𝑠𝑡𝑜𝑖𝑘𝑖𝑜𝑚𝑒𝑡𝑟𝑖 = (𝑀 ) 2-1
𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟

(Powers, 2014)

Keterangan:

 (AFR)stoic = Rasio udara dan bahan bakar dalam keadaan stoikiometri

 Mudara = Jumlah mol udara

 Mbahan bakar = Jumlah mol bahan bakar

Dengan berdasarkan rumus diatas maka dapat dihitung nilai AFR dari

bahan bakar heksana (C6H14) pada kondisi stoikiometrinya, perhitungannya

sebagai berikut:

Diketahui:

C6H14 + 9,5 (O2 +3,76 N2) 6 CO2 + 7 H2O + 35,72 N2

 Massa relatif atom (Ar)

C = 12 g/mol; H = 1 g/mol; O = 16 g/mol; N = 14 g/mol

 Rumus stoikiometri heksana (C6H14) berdasarkan massa

𝑀𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
(AFR)Stoikiometri = ( )
𝑀𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟
15

9,5 × ((2 × 16) + (3,76 × 14 × 2))


(AFR)Stoikiometri =
(12 × 6) + (14 × 1)

1304,16 𝑔𝑟 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
(AFR)Stoikiometri = = 15,1646
8,6 𝑔𝑟 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟

 Dari hasil perhitungan AFR diatas dapat dicari perbandingan antara

heksana(liquid) dengan udara

𝑔𝑟 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
AFR = 15,1646 𝑔𝑟 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟

1 gr (heksana) : 15,1646 gr (udara)

1 𝑔𝑟 (ℎ𝑒𝑘𝑠𝑎𝑛𝑎) 15,1646 𝑔𝑟 (𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎)


:
𝜌 ℎ𝑒𝑘𝑠𝑎𝑛𝑎(𝑙)=0,6548 𝑔𝑟/𝑚𝑙 𝜌 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎=0.001185 𝑔𝑟/𝑚𝑙

1,5272 ml (heksana) : 12797,1308 ml (udara)

 Nilai diatas adalah perbandingan stoikiometri antara volume heksana dan

volume udara untuk terjadinya reaksi pembakaran. Sehingga untuk

perbandingan debitnya dapat dihitung sebagai berikut:

12797,1308 𝑚𝑙 (𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎)
1,5272 ml (heksana) = 1,5272 𝑗𝑎𝑚

1 ml/jam = 8379,4727 ml/jam

1 ml/hjam = 139,6578 ml/min

2.2.3 Rasio Ekuivalen ()

Menurut (Farizkarja M., Sasongko, M. N., 2014), rasio ekuivalen

merupakan perbandingan antara rasio udara dan bahan bakar stoikiometri terhadap

rasio udara dan bahan bakar aktual untuk proses pembakaran dengan kuantitas

udara teoritis. Persamaan rasio ekuivalen dapat dituliskan:


16

ṁf × (𝐴𝐹𝑅) 𝑠𝑡𝑜𝑖𝑐
Ф= 2-2
ṁa

Keterangan:

  = Rasio ekuivalen

 AFRstoic = Rasio bahan bakar dan udara pada keadaan stoikiometri

 ṁf = massa alir fuel (gr/min)

 ṁa = massa alir udara (gr/min)

Perhitungan rasio ekuivalen sendiri berfungsi sebagai penentuan jenis

campuran bahan bakar dan udara yang terjadi pada reaksi burning. Jenis

pencampuran bahan bakar dan udara dibedakan menjadi tiga bergantung pada nilai

rasio ekuivalen, sebagai berikut:

 Apabila nilai  > 1 maka menandakan terdapat lebih banyak fuel dan

campuran disebut dengan campuran kaya bahan bakar (fuel-rich mixture).

 Apabila  < 1 menandakan campuran miskin bahan bakar (fuel-lean

mixture), dalam keadaan tersebut jumlah oksigen melimpah akan tetapi

bahan bakar kurang untuk bereaksi.

 Sedangkan jika nilai  = 1 adalah campuran stoikiometri yaitu jumlah

bahan bakar dan udara berada pada komposisi yang tepat.

Menurut (Farizkarja M., Sasongko, M. N., 2014), perbedaan warna nyala

api dapat dipengaruhi oleh adanya perbedaan antara perbandingan campuran bahan

bakar dan udara. Jika diperhatikan pada pengujian bunsen burner pengaruh

pencampuran udara-bahan bakar, nyala api campuran miskin akan akan terlihat
17

berjelaga dan berwarna merah. Sedangkan jika nyala api campuran kaya, akan

membentuk api berwarna biru atau lebih terang. Warna api yang lebih terang

menandakan temperaturnya lebih tinggi.

2.2.4 Laju Aliran Reaktan

Pada proses pembakaran di dalam ruang bakar meso-scale combustor

terdapat laju aliran reaktan yang mana dapat mempengaruhi stabilitas nyala api.

Laju aliran tersebut merupakan hasil dari campuran antara bahan bakar dengan

udara yang diinjeksikan pada saluran masuk meso-scale combustor. Laju aliran

reaktan pada meso-scale combustor dapat dihitung menggunakan rumus:

𝑄 𝑄1 + 𝑄2 𝑄𝑓 + 𝑄𝑎
U= =( )=( )
𝐴 𝐴 𝐴

(𝑄𝑓(𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟) +𝑄𝑎)
(𝑄𝑓(𝑣𝑎𝑝𝑜𝑟) +𝑄𝑎) 60
U= = (𝜋 ×𝑟2 )
2-4
(𝜋 × 𝑟 2 )
100

Keterangan:

 𝑈 = Kecepatan

 𝑄 = Debit bahan bakar + udara

 𝐴 = Luas penampang (𝐴 = 𝜋𝑟 2 )

 “60” = Merubah satuan dari menit ke detik

 “100” = Merubah satuan dari mm2 ke cm2


18

2.3 Klasifikasi Pembakaran

2.3.1 Klasifikasi Pembakaran Berdasarkan Sifat Reaksi Kimia

a. Pembakaran Sempurna

Pembakaran sempurna adalah pembakaran dimana reaktan terbakar secara

keseluruhan dengan oksigen sehingga menghasilkan energi panas. Pada kehidupan

nyata, pembakaran sempurna sangat sulit untuk tercapai.

b. Pembakaran tidak Sempurna

Proses pembakaran tidak sempurna dapat disebabkan oleh jumlah oksigen

tidak cukup untuk membakar fuel sehingga menghasilkan suatu zat sisa

pembakaran yang berupa karbon monoksida dan jelaga yang sangat berbahaya bagi

kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh sebab itu zat sisa yang berupa karbon

monoksida harus dihindari, hal tersebut dapat tercapai dengan melakukan optimasi

pada proses pembakaran.

2.3.2 Klasifikasi Pembakaran Berdasarkan Cara Pencampuran Reaktan dan

Pengoksidasi

a. Pembakaran Difusi

Pembakaran pada jenis difusi, bahan bakar akan bercampur dengan uadara

didalam ruang pembakaran, sama halnya dengan proses pembakaran pada mesin

diesel yang dimana bahan bakar diinjeksikan ke dalam ruang pembakaran agar

dapat bercampur dengan udara bertekanan tinggi sehingga terjadilah proses

pembakaran.
19

Pembakaran difusi mempunyai bentuk nyala api yang didominasi dengan

warna kuning, sedangkan untuk pembakaran secara premixed memiliki bentuk

nyala api yang berwarna biru dan memiliki suhu yang tinggi. Dalam hal ini warna

api menunjukkan tingkat panas dari hasil suatu pembakaran. Kelemahan pada

pembakaran premixed yaitu terjadinya flash back, dimana api akan menjalar ke

dalam ruang kebakaran. Apabila kebakaran terjadi pada api tipe ini, maka akan sulit

untuk dipadamkan. (Siamullah et al. 2013)

b. Pembakaran Premixed

Pembakaran premixed mengalami proses pembakaran, zat pengoksida dan

bahan bakar tercampur secara sempurna satu dengan lainnya terlebih dahulu

sebelum dialirkan menuju ruang pembakaran untuk mengalami proses pembakaran.

Keuntungan dari pembakaran premixed adalah efisiensinya yang lebih

tinggi dari pembakaran difusi. Hal ini dikarenakan reaktan telah bercampur terlebih

dahulu dengan udara sebelum memasuki daerah reaksi, sehingga perbandingan

bahan bakar dan udara bisa diatur sampai titik stoikiometrinya. Seperti yang telah

diketahui pembakaran pada kondisi stoikiometri membuat bahan bakar bereaksi

seluruhnya sehingga tidak ada bahan bakar yang terbuang percuma.

2.4 Batas Nyala Api

Api yang terbentuk dalam proses pembakaran merupakan hasil dari

pelepasan energi panas pada reaksi pembakaran. Api dapat terbentuk apabila

terdapat bahan bakar yang bercampur dengan oksidator mendapatkan penambahan

energi eksternal untuk mengawali terjadinya reaksi pembakaran. Dalam hal ini
20

terdapat kisaran batas komposisi antara bahan bakar dengan udara agar terbentuk

nyala api.

Menurut (Farizkarja M., Sasongko, M. N., 2014) pemunculan dari nyala

api bergantung dari sifat bahan bakar dan kecepatan aliran bahan bakar bereaksi

terhadap udara sekitarnya. Visualisasi nyala api ini memiliki batas bawah atau

disebut dengan campuran miskin maupun batas atas atau disebut campuran kaya.

Batas bawah terjadi jika kondisi campuran awal minimal akan terbentuk nyala api

kecil.

Kisaran batas bawah stabilitas nyala api lebih dikenal juga dengan lower

flammability limit, sedangkan batas atas stabilitas nyala api dikenal dengan istilah

upper flammability limit. Melalui kedua parameter ini kita dapat mengetahui sifat

dari suatu reaksi pembakaran, apakah suatu reaksi pembakaran itu memiliki

stabilitas nyala api tingggi atau sebalaiknya. Selain itu dengan mengetahui nilai dari

stabilitas nyala api dapat dipakai untuk mengatur komposisi campuran udara dan

bahan bakar sehingga reaksi pembakaran dapat terjaga kestabilannya.

2.5 Sifat Nyala api

Dalam reaksi pembakaran, api memiliki satbilitas nyala yang banyak

dipengaruhi oleh campuran reaktan. Menurut (Mahandari, C. P., 2010), dalam

reaksi pembakaran dapat terbentuk nyala api dengan sifat nyala yang berbeda-beda.

Klasifikasi nyala api berdasarkan sifat nyala adalah sebagai berikut:


21

a. Flashback

Flashback adalah keadaan dimana kecepatan pembakaran lebih besar jika

dibandingkan dengan kecepatan campuran reaktan sehingga nyala api merambat

kembali menuju ke dalam tabung pembakaran. Istilah lain dari fenomena ini biasa

dikenal dengan back fire atau light back.

b. Lift-off

Lift-off merupakan kondisi dimana batas kestabilan yang dicapai oleh nyala

api pada renggang tertentu dari ruang pembakaran, permukaan mulut tabung

pembakaran tidak tersentuh oleh nyala api. Keadaan nyala api terangkat (lift-off)

disebabkan oleh kecepatan nyala api dan sifat campuran aliran reaktan di dekat

ujung (mulut) ruang pembakaran. Dengan meningkatnya kecepatan aliran reaktan

hingga mencapai kecepatan kritis, nyala ujung akan melompat menuju ke posisi

yang jauh dari ujung (mulut) pembakaran dan nyala api menjadi terdorong ke atas.

Keadaan nyala terngkat inilah yang dinamakan dengan lift-off, dan api akan padam

jika kecepatan reaktan dinaikkan.

c. Blow-off

Blow-off adalah suatu keadaan dimana nyala api mati disebabkan oleh

pembakaran lebih lambat dibandingkan aliran reaktan, oleh sebab itu keadaan ini

harus dihindari agar keberlangsungan nyala api dapat terlindung.

2.6 Pembakaran Bahan Bakar Cair

Pembakaran bahan bakar cair selalu diawali dengan proses penguapan

terlebih dahulu sebelum terjadinya reaksi pembakaran. Artinya fase dari bahan
22

bakar cair harus dirubah terlebih dahulu menjadi fase gas atau dengan kata lain

diuapkan. Proses penguapan bahan bakar cair dapat dilakukan dengan dua cara.

Cara yang pertama dengan memperluas bidang kontak fluida dengan

sumber panas, cara seperti ini disebut metode liquid film dimana pada dasarnya

membuat fluida pada kondisi selebar dan setipis mungkin sehingga bidang kontak

fluida dengan sumber panas semakin lebar dan transfer panas dapat terjadi dengan

baik dan penguapan lebih cepat terjadi. Sumber panas yang digunakan pada metode

ini biasanya berupa permukaan dinding yang dipanaskan. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 2.5 berikut adalah ilustrasi metode liquid film secara

sederhana.

Gambar 2.5: Penguapan dengan metode liquid film

Sumber: (Wesley Sund, 2009)

Cara yang kedua disebut dengan atomisasi droplet, tujuannya hampir sama

dengan metode liquid film yaitu memperluas bidang kontak permukaan fluida.

Bedanya metode atomisasi droplet memperluas permukaan bidang kontak

permukaan fluida dengan cara membuat fluida pada kondisi terpisah-pisah hingga

ukuran mikro (droplet) dengan demikian luas bidang kontak antara fluida dan
23

lingkungan sebagai sumber panas akan semakin besar, sehingga waktu yang

dibutuhkan untuk menguapkan bahan bakar akan semakin cepat, karena kalor

langsung tersebar keseluruh permukaan droplet tanpa perlu meresap kedalamnya.

Gambar 2.6 berikut adalah ilustrasi atomisasi droplet.

Gambar 2.6: Penguapan dengan metode atomisasi droplet

Sumber: (Jagadeesh Varma Indukuri, 2015)

2.7 Heksana (C6H14)

Heksana merupakan suatu senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus

kimia C6H14 bentuk rantainya lurus atau sering disebut juga dengan n-heksana.

Isomer utama dari n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3. Awalnya heks-

merujuk pada enam karbon ataom yang terdapat pada heksana, sedangkan akhiran

–ana berasal dari jenis alkana yang merujuk pada ikatan tunggal yang

menghubungkan atom-atom kerbon tersebut. (IPCS, 2010).

Pada suhu ruangan heksana berbentuk cair, tidak berwarna dan berbau

seperti bensin. Heksana bersifat flammable atau mudah terbakar sehingga cocok

dijadikan bahan bakar pada meso-scale combustor. Berikut ini adalah karakteristik

dari n-heksana:
24

 Rumus molekul : C6H14

 Berat molekul : 86,18 gr mol-1

 Penampilan : cairan tidak berwarna

 Densitas : 0,6548 gr/ml

 Temperatur didih : 68,7oC pada tekanan 1 atm

 Titik beku : -95oC, 178 K, -139oF

 Titik nyala : 225oC pada tekanan 1 atm

 Kalor laten penguapan : 3,35 × 105 J/kg

2.8 Micro power Generator dan Meso-Scale Combustor

Micropower generator adalah suatu sumber energi berskala kecil yang

pembangkitan energinya memanfaatkan prinsip pembakaran. Dengan adanya micro

power generator diharapkan ketergantungan peralatan mikro pada sumber energi

baterai dapat dikurangi. Micropower generator sendiri pada dasarnya dibagi

menjadi 2 jenis. Diantaranya adalah micro power generator yang menggunakan

siklus daya konvensional dan micro power generator yang menggunakan smodul

pengkonvensi energi panas menjadi energi listrik (thermo photo voltaic/

thermoelectric). Perbedaan dari kedua micro power generator ini terletak pada cara

kerja pembangkitan energinya. Untuk micro power generator yang menggunkan

siklus daya konvensional cara kerjanya mirip dengan turbin gas yaitu dengan

memanfaatkan pembakaran untuk memutar turbin yang berskala kecil.


25

Gambar 2.7: Micro power generator siklus daya konvensional

Sumber: (A. C. Fernandez-Pello, 2002)

Sedangkan micropower generator dengan menggunakan thermo photo

voltaic (TPV) prinsip kerjanya sama dengan cara kerja thermo electric pada

umumnya. Bedanya sumber energy panas pada micro power generator jenis ini

bukan berasal dari sinar matahari melainkan dari proses pembakaran berskala kecil.

Gambar 2.8: Micro power generator prinsip thermoelectric

Sumber: (A. C. Fernandez-Pello, 2002)

Meskipun micropower generator terbagi menjadi dua jenis seperti diatas,

dapat dilihat bahwa persamaan dari kedua micropower generator tersebut yaitu

sumber energy panasnya. Dimana sumber energy panas dalam micro power
26

generator berasal dari proses pembakaran skala kecil atau biasa dikenal dengan

istilah Micro atau meso-scale combustor. Micro atau meso-scale combustor adalah

suatu proses pembakaran dalam suatu ruang bakar yang memiliki karakteristik

dimensi relatif mendekati quenching distance atau lebar minimal suatu ruang bakar

agar dapat terjadi proses pembakaran didalamnya. Suatu ruang bakar yang

ukurannya mendekati quenching distance disebut dengan microcombustor. (Ju and

Maruta, 2011)

Microcombustor dibagi menjadi macam-macam bentuk dan ukuran. Akan

tetapi secara garis besar microcombustor dibedakan secara sederhana menjadi 2

golongan, yaitu micro-scale combustor dan meso-scale combustor.

Pengelompokkan tersebut berdasarkan diameter pada ruang bakar. Untuk micro-

scale combustor celah ruang bakarnya memiliki ukuran kurang dari 1 cm.

sedangkan pada meso-scale combustor memiliki ukuran lebih dari 1 cm. adapun

klasifikasi pembakaran skala micro daalah seperti pada tabel dibawah ini. (Maruta,

2011)

Tabel 2.2: Klasifikasi jenis pembakaran

Lenght scale menyatakan ukuran diameter dalam suatu combustor

Sumber: (Ju and Maruta, 2011)


27

Dalam penelitian ini combustor yang digunakan adalah jenis meso-scale

combustor. Pembakaran yang stabil pada meso-scale combustor sangat sulit dicapai

disebabkan perbandingan luas volume permukaan sangatlah besar (surface to

volume ratio, S/V), sehingga menyebabkan heat-loss yang terjadi juga semakin

tinggi. Hal tersebut dapat mengakibatkan api menjadi padam karena panas dari hasil

pembakaran sebelumnya tidak mencukupi untuk menjadi energi aktivasi bagi

pembakaran selanjutnya.

Sejauh ini bahan bakar yang umum digunakan pada meso-scale combustor

adalah bahan bakar gas, karena gas mudah diatur debit bahan bakarnya serta mudah

tercampur dengan udara. Namun karena sifat tersebut juga yang membuat bahan

bakar gas harus disimpan pada tabung bertekanan sehingga mempersulit proses

penyimpanan dan pengirimannya. Oleh karena itu pada penelitian ini dicoba

menggunkan bahan bakar cair untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Anda mungkin juga menyukai