PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi telah banyak kemajuan-kemajuan di berbagai bidang, pola pikir
manusia, dan keilmuan. Pada saat ini telah banyak muncul disiplin ilmu salah satunya yaitu
Ulumul Hadits.
Menurut ulama hadits, mendefinisikan sunnah sebagai sesuatu yang dihubungkan kepada
Nabi SAW. Tapi, menurut sebagian ahli hadits, sunnah itu termasuk sesuatu yang dihubungkan
kepada sahabat atau tabien, baik berupa perkataaan, perbuatan , taqrir, maupun sifat-sifatnya.
Untuk lebih memahami Ilmu Hadits hendaknya perlu pengenalan sejarah hadits itu
sendiri. Sehingga kami menyusun makalah berjudul “Sejarah Perkembangan Hadits” yang
B. Rumusan masalah
1. Untuk mengetahui perkembangan hadits pada masa Rasulullah, Sahabat dan Tabiin.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hadis-hadis Nabi yang terhimpun didalam kitab-kitab hadis yang ada sekarang adalah hasil
kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadis dimasa Nabi SAW dahulu.
Ada empat cara yang ditempuh para sahabat untuk mendapatkan hadis Nabi SAW yaitu:
Kadang-kadang terjadi sejumlah peristiwa pada diri para sahabat, kemudian mereka
menanyakan hukumnya kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah SAW memberi fatwa atau
dan sering kali yang berkaitan dengan tatacara pelaksanaan ibadah, seperti shalat, puasa
Setelah Islam trun, kegiatan membaca dan menulis ini semakin lebih digiatkan dan
digalakan, hal ini terutama adalah karena diantara tuntutan yang pertama diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui wahyunya adalah perintah membaca dan belajar menulis
2
1) Larangan menulis Hadis
Terdapat sejumlah hadis Nabi SAW yang melarang para sahabat menuliskan hadis. Hadis
yang mereka dengar atau peroleh dari Nabi SAW. Hadis-hadis tersebut adalah: Dari Abi Sa’id
al-Kurdi, bahwasanya Rasul SAW bersabda, “ Janganlah kamu menuliskan sesuatu dariku, dan
siapa yang menulisan sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hendaklah ia menghapusnya”. (HR.
Muslim)
Dari Anas Ibn Malik bahwa dia berkata, Rasullullah SAW bersabda: “ Ikatlah ilmu itu dengan
tulisan (menuliskannya).
3) Sikap para ulama dalam menghadapi kontroversi Hadis-hadis mengenai penulisan hadis.
c. Faktor-faktor yang menjamin kesinambungan hadis sejak masa Nabi SAW, yaitu:
Quwwat al-dzakirah
kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada balasan waktu dan jumlah.
Sedangkan pengertian Tabi’in adalah orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam
3
b. Pemeliharaan Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Dalam periode Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar Ibn al-Khatab, periwayatan hadis dilakukan
dengan cara yang ketat dan sangat hati-hati. Hal ini terlihat dari cara mereka menerima hadis.
Wilayah kekuasaan Islam pada periode Utsman telah meliputi seluruh jazirah Arabia,
wilayah Syam (Palestina, Yordania, Siria, dan Libanon), seluruh kawasan Irak, Mesir, Persia,
dan kawasan Sanarkand. Dengan tersebarnya para sahabat kedaerah-daerah disertai dengan
semangat menyebarkan agama Islam, maka tersebar pulalah hadis-hadis Nabi SAW yang baik
Kegiatan penulisan hadis pada masa Rasul SAW bagi mereka yang diberi kelonggaran oleh
Rasul SAW untuk melakukannya, namun para sahabat, pada umumnya menahan diri dari
melakukan penulisan hadis dimasa pemerintahan Khulafa al-Rasidin. Hal tersebut adalah karena
besarnya keinginan mereka untuk menyelamatkan Al-Qur’an Al- Karim dan sekaligus Sunah
(Hadis), dari pernyataan Umar, terlihat bahwa penolakannya terhadap penulisan hadis adalah
disebabkan adanya kekhawatiran berpalingnya umat Islam untuk menuliskan suatu yang lain
selain Al-Qur’an dan melontarkan kitab Allah (Al-Qur’an). Justru itu dia melarang umat Islam
Akan halnya Tabi’in, sikap mereka dalam hal penulisan hadis adalah mengikuti jejak para
sahabat. Hal ini tidak lain adalah karena para Tabi’in memperoleh ilmu, termasuk didalamnya
4
A. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr Al-wahyi wa At-taqwin (masa turunnya wahyu dan
pembentukan masyarakat islam). Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal, af’al, dan
taqrir) Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syariat islam dan
Periode ini berlangsung cukup singkat sekitar 23 tahun mulai beliau diangkat menjadi
Rasul sampai wafat pada tahun 11 H; para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak
langsung. Penerimaan secara langsung misalnya saat Nabi memberi ceramah, pengajian,
khotbah, atau penjelasan terhadap pernyataan para sahabat. Adapun penerimaan secara langsung
adalah mendengar dari sahabat lain atau dari utusan-utusan, baik utusan yang dikirim Nabi ke
Ada beberapa cara Rasul SAW. Menyampaikan hadis kepada para sahabat yang di
1. Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang disebut majelis al-ilmi.
2. Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para
3. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah.
4. Melaui perbuatan langsung yang di saksikan oleh para sahabatnya ( jalan musyahadah ),
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadis dinasakh ( dimansukh ) dengan
Ketika Rasulullah wafat, al-Qur’an telah dihafal dengan sempurna oleh sahabat, selain itu
ayat-ayat al-Qur’an talah lengkap di tulis, tapi belum dikumpulkan dalam bentuk sebuah mushaf,
5
adapun hadis belum memiliki perhatian dalam penulisannyaketika itu kurang memperoleh
perhatian seperti halnya al-Qur’an, penulisan hadis dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak
resmi, karena tidak ada perintah Rasul, sebagaimana Beliau memerintahkan mereka untuk
menulis al-Qur’an.
Abdullah bin Amr bin Ash yang menulis sahifah-sahifah yang bernama As-Sadiqah, sebagian
sahabat ada yang keberatan dengan beralasan bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Janganlah kamu sekalian menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an . Barangsiapa yang
(HR. Muslim)
Nabi telah mengeluarkan izin menulis hadits secara khusus setelah peristiwa fathu Makkah.
Itupun hanya kepada sebagian sahabat yang sudah terpercaya. Dalam hadits yang diriwayatkan
Abu Hurairah disebutkan, bahwa ketika Rasulullah membuka kota Makkah, beliau berpidato di
depan orang banyak dan ketika itu ada seorang lelaki dari Yaman bernama Abu Syah meminta
agar dituliskan isi pidato tersebut untuknya. Kemudian Nabi memerintahkan sahabat agar
“Wahai Rasulullah. Engkau memerintahkan menulis kepadaku. Nabi bersabda (pada sahabat
yang lain), tuliskanlah untuknya.dalam riwayat lain disebutkan,”menulis kamu kepada Abu
Syah.”
Kemudian Nabi member izin menulis hadis secara umum, sebagaimana disebutkan dalam
hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, Rsulullah bersabda:
6
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, Demi Tuhan yang jiwaku di tangan-Nya, tidak
Adapun faktor-faktor utama dan terpenting yang menyebabkan Rasulullah melarang penulisan
a. Khawatir terjadi kekaburan antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul bagi orang- orang
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa diucapkan atau ditela’ah
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa Rsulullah tidak menghalang usaha para sahabat
menulis hadis secara tidak resmi, mereka memahami hadis Rasul SAW. Diatas bahwa larangan
Nabi menulis hadis adalah di tujukan kepada mereka yang khawatir mencampur adukkan hadis
dengan al-Qur’an, sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan
mencampuradukkan hadis dengan al-Qur’an, oleh karena itu, setelah al-Qur’an ditulis dengan
sempurna dan telah lengkap pula turunannya, maka tidak ada larangan menulis hadis.
Pada masa Nabi SAW. Sudah ada sahabat Nabi yang bisa baca tulis akan tetapi masih sangat
sedikit, oleh karena itu Nabi menerangkan untuk menghafal, memahami, mematenkan, dan
mengamalkna hadits pasa kehidupan sehari-hari. Diantara nama sahabat yang menulis hadits,
antara lain:
2. Ali Ibn Abi Thalib, penulis hadits tentang hukum diyat, hukum keluarga, dan lain-lain
7
B. Perkembangan Hadits Pada Masa Sahabat
Periode ini disebut ‘Ashr At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi
dan mengeditkan riwayat). Nabi SAW. Wafat pada tahun 11 hijriah. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua dua pegangan sebagai dasar bgi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits
Pada masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits tersebut secara terbatas.
Penulisan hadispun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi, bahkan Umar melarang
para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan menekankan agar sahabat
1. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari nabi SAW. Yang mereka
2. Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal asli dari
Nabi SAW.
Setelah daerah islam meluas yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand. Bahkan pada
tahun 93 H, meluas hingga spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke
daerah-daerah tersebut, sehingga banyak sahabat yang menyebar ke seluruh pelosok wilayah
Mereka dengan setia mengikuti jejak langkah sahabat sebagai guru mereka. Walaupun
Al-Qur’an berhasil dibukukan secara resmi pada masa sahabat, bukan berarti persoalan yang
dihadapi para tabien tidak begitu hebat. Pada masa tabien muncul persoalan baru baru yaitu
8
masalah pergolakan politik sebagai akibat dari perpecahan kaum muslimin setelah perang shiffin
yang berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib pada tahun 40 H.
Pada masa al-Khalafa al-Rasyidin, para sahabat ahli hadits banyak yang menyebar ke
berbagai daerah kekuasaan islam. Hal ini merupakan kesempatan bagi para tabien untuk
memperoleh hadist dari mereka. Apalagi setelah pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah,
kekuasaan islam membentang dari perbatasan Cina (tahun 96) bagian timur ke Spanyol (tahun
93) bagian barat termasuk Afrika bagian utara, seperti Mesir, Tunis, Libia,Al-jazair dan Maroko.
Sejalan dengan pesatnya perluasan kekuasaan Islam, maka pengiriman atau penyebaran para
sahabat ke berbagai daerah juga semakin tinggi. Secara otomatis penyebaran hadits juga semakin
meningkat.
Mereka sangat tekun dan gigih dalam melaksanakan dan mengemban tugas sucinya
dengan mendirikan masjid sebagai pusat kegiatannya. Dari sana mereka menyebarkan ajarannya
, mengajarkan Al-Qur’an dan hadits. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap tinggal
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan hadits dimulai sejak keberadaan Nabi Muhammad SAW. Beliau meriwayatkan
hadits kepada para sahabatnya, sejak saat itulah sumber hukum kedua muncul, perkembangan
hadits sejak zaman Nabi ke Zaman sahabat ke zaman tabien dan seterusnya berkembang dengan
pesat dan baik, banyak para sahabat dan tabien yang berpindah tempat untuk
Pada zaman sahabat hadits belum dilakukan secara resmi karena mereka masih memfokuskan
terhadap pelafalan, penghafalan, dan pembukuan Al-Qur’an. Setelah pada masa tabien, hadits
mulai dibukukan secara resmi dan perkembangan dalam penulisan hadits semakin baik. Meski
pada saat itu pengumpulan hadits masih belum terdapat penyaringan antara hadits shahih, daif,
mudu’, dan sebagainya sampai pada abad kedua hijriah. Banyak para ulama yang mempelajari
hadits dan membuat kitab hadits dan pada zaman ketiga hijriah mulailah ada penyaringan hadits
yang pertma kali dilakukan oleh Imam Bukhari. Beliau menulis hadits shahih saja dalam
bukunya Al-Janius Shahih dan disusul muridnya Muslim serta para ulama yang lain.
Pada abad keempat para ulama tetap terus berupaya menyusun dan mengumpulkan hadits yang
belum diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dengan melakukan Istikhraj dan Istidrak.
B. Saran
Untuk lebih cepat memahami makalah ini penulis menyarankan untuk membaca dengan teliti
dan berulang-ulang.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga kritik
dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan tugas selanjutnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Solahudin. Agus, Suyadi. Agus. M.., Ulumul Hadis. Pustaka Setia. Bandung. 2009
Abd. Nasir. Jamal, Pengantar ilmu hadits. Stain Pamekasan. Pamekasan. 2006
Sahrani. Sohari, Drs., M.M,M.H, Ulumul Hadits, cet.I: Ghalia Indonesia, Bogor. 2010
Muhammad Alwi al-Maliki, Prof. Dr., Ilmu Ushul Hadis, (terj.) Drs Adnan Qohar Dari Judul
Asli , Al-Manhalu Al-Latifu Fi Ushulin Al-hadisi Al-Syarifi, cet II, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2009
Sulaiman, Hasan. Abbas, Alwi, (Terj.) Ibanatul Ahkam Syarh Bulughul Maram Jilid I. Mutiara
Ahmad. Muhammad. Drs. H., Mudzakir. Drs., Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung.1998
11