PENDAHULUAN
1
merokok, konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang
aktifitas fisik, obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol serta
menindaklanjuti secara dini faktor risiko yang ditemukan melalui konseling
kesehatan dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Berdasarkan latar belakang diatas, para Dokter Internship yang bertugas
di Puskesmas Pupuan I menyusun sebuah Mini Project dengan judul,
“Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Hipertensi pada Penduduk di
Wilayah Kerja Puskesmas Pupuan I, Kecamatan Pupuan, Kabupaten
Tabanan, Bali”. Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat digunakan
sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam program dan kebijakan dalam
program Pencegahan Penyakit Tidak Menular di wilayah kerja Puskesmas
Pupuan I.
2
3. Mengetahui hubungan tingkat aktivitas fisik terhadap kejadian hipertensi
pada penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pupuan I, Kecamatan Pupuan,
Kabupaten Tabanan, Bali.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sitem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi
biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan
binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi
dapat memulai proses penyakit.11
Ada beberapa nama lain untuk rabies di berbagai negara, la rage
(Perancis), la rabia (Spanyol), la rabbia (Italia), die tollwut (Jerman) atau di
Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.12
4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23
sebelum masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas bin atang
menderita rabies pada tahun 500 SM, Tulisan adanya infeksi rabies pada
manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh
Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke 16 oleh Francastoro,
seorang dokter asal Italia.12
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara
yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris,
Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua nugini, Brunai, Selandia
Baru, Jepang dan Tiwan. Di indonesia data terakhir pada tahun 2004, di
Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatan 21
orang. Sedangkan di provinsi Bali, desa kendongan dan ungasan pada
tanggal 2009 november 2008 terdspat beberapa anjing mati dan dinyatakan
positif Rabies.
Rabies terdapat dalam 2 bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak di imunisasi, dan
Sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak
(mongos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada manusia cenderung terjadi
pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak
populasi binatang jinak yang tidak di imunisasi, dan manusia kontak dengan
udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh
World Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies
diseluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia
Tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan adalah area tempat penyakit
biasanya terjadi. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian
besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara-
negara yang di dalamnya terdapat endemik rabies anjing.12
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting
virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala, (Eropa timur, daerah kutub
utara), luwak (afrika selatan, karibia), rubah (Eropa barat) dan kelelawar
5
(Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di
Amerika, Rabies dari kucing juga sekarang ini dilaporkan lebih sering
daripada rabies anjing, sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di
Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85%
rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-
3%.12
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui
transplantasi kornea juga pernah ditemukan.12
2.3 ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal,
beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80 nm termasuk
anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
aseetikolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penhambat hemaglutinasi, dan merangsang
imunitas se T.12
6
dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, solusi jodium.12
2.4 PATOGENESIS
Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau kedalam
membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik
didaerah inokulasi, sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus
kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf
pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus mencapai sistem
saraf pusat, virus melakukan replikasisecara eksklusif dalam substansia
kelabu dn kemudia lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk
mencapai jaringan-jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis,
ginjal, paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar
pada air susu dan urine.12
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih
dari 1 tahun (rata-rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung
padajumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme
pertahanan penderita dan perjalanan virus dari daerah inokulasi ke 7ystem
saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2
sampai 7 tahun) telah di laporkan tapi jarang terjadi.12
7
Gambar 2.2 Patogenesis Rabies12
2.5 MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa
bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7
tahun. karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadi gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek
dari pada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi di pengaruhi oleh dalam
dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf
pusat), derajat patogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka
pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.12
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal
non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran
klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies yang mendalam.11
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan
ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terangsang
8
lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk
yang tidak produktif.11
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia
dan/atau fassikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang mungkin
berhubungan dengan multiplikasi virus dalam ganglion dorsalis saraf sensoris
yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50% sampai 80%
pasien.11
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian
penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa
furius atau paralitik.12
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik
yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot,
meningimus, posisi opistotonik, kejang dan paralisis fokal. yang khas,
periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi
bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi leboh
pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hipertensi, dengan
sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan,
bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. pada pemeriksaan fisis, suhu
tubuh naik hingga 40,6 oC, abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi
pupilyang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih.
Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan,
meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris.
Paralisis pita suara biasa terjadi.11
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase
ensefalitis. terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan
menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan
menelan menimbulkan gambaran tradisional "foaming at the mounth''.
Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. pasien menjadi koma dengan
terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan kematian
apneik. menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari
ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala
9
adalah 4 hari, dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan
artifisial.11
10
manifestasi klinissetelah adanya paparan terhadap hewan. Pada kasus dimana
tidak ditemukan manifestasi klinis yang jelas dan riwayat paparan terhadap
hewan yang tidak diketahui butuh dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosis.13
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis rabies dapat
dilakukan secara in vivo atau post mortem. Pemeriksaan ante mortem
meliputi deteksi antigen virus (direct fluorescent antibody (DFA), isolasi
virus, deteksi antibodi virus (rapid fluorescent focus inhibition test/RFFIT,
ELISA, fluorescent antibody virus neutralization/FAVN), dan deteksi protein
virus/RNA virus (PCR, histopatologi).14
11
berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada pasien yang
telah meninggal dapat digunakan jaringan otak yang masih segar. Diagnosis
post mortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada jaringan otak
pasien, meskipun hasil postif kurang dari 80%. Badan negri merupakan
badan inklusi sitoplasma berbentuk bulat atau oval, yang merupakan
gumpalan nukleokapsid virus. Ukurannya bervariasi dari 0,25 sampai 27 um,
paling sering ditemukan di sel piramidal Ammon’s horn dan sel purkinje
serebelum.15
12
Post exposure prophylaxis (PEP) adalah tatalaksana secepatnya
pada korban gigitan setelah paparan rabies. Hal ini dilakukan untuk
mencegah virus masuk ke dalam sistem saraf pusat, yang mengakibatkan
kematian.4Tidak adanya terapi yang efektif pada saat ini menyebabkan
pentingnya untuk mencegah rabies setelah suspek atau terbukti adanya
paparan terhadap virus.Post exposure prophylaxis (PEP) terdiri dari
penanganan lokal pada luka, imunisasi pasif (serum/imunoglobulin
rabies), dan imunisasi aktif (vaksin rabies).1 Tidak ada kontra indikasi
untuk pemberian PEP, termasuk ibu hamil dan menyusui, bayi dan
immunocompromised.1
a. Penanganan luka
Tindakan yang pertama harus dilakukan adalah membersihkan luka
dari saliva yang mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan
cara disikat dengan sabun dan air mengalir selama 10-15 menit kemudian
dikeringkan dan diberi cairan antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%,
povidin iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1% centrimonium
bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika perlu sekali, maka
dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisannya disuntikkan secara
intramuskular ditempat yang jauh dari inokulasi vaksin. 15 Disamping itu
perlu dipertimbangkan pemberian serum/vaksin antitetanus, antibiotik
untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik.1
b. Pemberian serum dan vaksin anti rabies
Menurut WHO, pemberian VAR dan SAR dilihat dari derajat
keparahan kontak dengan tersangka hewan rabies.
Tabel 2.1 Indikasi pemberian VAR dan SAR1
13
Segera VAR. stop
vaksinasi bila hewan
Sehat tersangka masih
Luka garukan Tersangka gila
sehat selama 14 hari
atau lecet
Luka kecil observasi
Gila VAR lengkap
disekitar bdan,
Hewan liar, atau VAR lengkap
tangan atau kaki
hewan yang gila dan
-
hewan yang tidak
dapat diobservasi
Luka parah VAR dan SAR. Stop
(multipel, luka di Mencurigakan/gila/ bila hewan sehat
3 muka, kepala, bila hewan tidak - selama 14 hari
leher, jari kaki, dapat diobservasi
jari tangan)
14
bulan sampai satu tahun, VAR diberikan satu kali dan bila > 1 tahun, harus
diberi VAR lengkap.1
Efek samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikkan (35-45%),
reaksi sistemik ringan seperti nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut
(5-15%), gangguan sistem saraf atau reaksi sistemik sangat jarang terjadi.1
d. Serum Anti Rabies (SAR)
Serum anti rabies (SAR) atau imunoglobulin rabies menetralkan
langsung virus pada luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum
antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian SAR tidak diperlukan
jika vaksinasi telah diberikan lebih dari 7 hari sebelumnya. Indikasi SAR
adalah pada luka resiko tinggi, meliputi luka multipel, luka di area banyak
persarafan (muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki) dam kontak
air liur di mukosa/selaput lendir.1
Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum manusia dan kuda.
a. Serum heterolog (kuda) mempunyai kemasan berbentuk vial 2 ml (1
ml= 100 IU). Cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis
yang diberikan adalah 40 IU/kgBB diberikan bersamaan dengan VAR
pada hari ke-0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya resiko anafilaktik.
Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah riwayat alergi terhadap
protein kuda.
b. Serum homolog (manusia) mempunyai kemasan berbentuk vial 2 ml
(1ml= 150 IU). Cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi disekitar
luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan secara intramuskular.
Dosis yang diberikan adalah 20 IU/kgBB diberikan bersamaan dengan
VAR pada hari ke-0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu.15
15
tidak diindikasikan lagi, karena antibodi yang diinduksi vaksin dianggap telah
ada. SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.1
Karakteristik:
Umur
Tingkat pendidikan
Pekerjaan
Kepemilikan anjing
BAB III
Riwayat mendapat KERANGKA TEORI
Pengetahuan
penyuluhan
Sumber Informasi
Tindakan pencegahan
Lingkungan rabies
Pengalaman
Sikap dan perilaku masyarakat
berdasarkan referensi dari petugas
kesehatan 16
BAB IV
METODE PENELITIAN
17
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap pencegahan rabies pada
penduduk wilayah kerja puskesmas Busungbiu I, kecamatan Busungbiu,
kabupaten Buleleng.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu 1,
Kabupaten Buleleng periode Juli 2018.
4.3 Subjek dan Sampel
4.3.1 Subjek dan sampel penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat usia dewasa (18
tahun ke atas) yang berdomisili di Kecamatan Busungbiu dan menjadi
peserta Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) di wilayah kerja Puskesmas
Busungbiu 1 atau pasien poliklinik pada bulan Juli 2018. Semua peserta
Posbindu dan pasien poliklinik yang bersedia mengisi kuisioner
dijadikan sampel dalam penelitian ini.
4.3.2 Besaran sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan program Win
Episcope 2.0. Jumlah penduduk yang berusia di atas 18 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Busungbiu sejumlah 28.550 jiwa (BPS, 2017).
Penentuan besaran sampel pada penelitian ini menggunakan selang
kepercayaan 90% dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima sebesar
5%, dan proporsi yang diharapkan mencakup 20% dari jumlah
penduduk totalnya. Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh besaran
sampel sebanyak 173 sampel.
4.3.3 Teknik Penentuan Sampel
Pemilihan sampel penelitian menggunakan metode consecutive
sampling, yaitu setiap masyarakat yang datang ke posbindu atau
puskesmas dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan sebagai
sampel sampai jumlah subyek terpenuhi.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti meliputi:
18
1. Karakteristik responden: Pendidikan, pekerjaan, alamat, kepemilikan
anjing, cara pemeliharaan anjing, kepatuhan vaksinasi rabies pada
anjing
2. Pengetahuan responden terhadap penyakit rabies
3. Sikap responden terhadap penyakit rabies
4. Perilaku responden terhadap penyakit rabies
4.5 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuisioner penelitian. Kuesioner disusun
untuk mendapatkan data tentang karakteristik, pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I terhadap rabies.
Kuesioner terdiri atas empat bagian yaitu karakteristik masyarakat
(responden), tingkat pengetahuan masyarakat terhadap rabies, sikap
masyarakat terhadap rabies, dan perilaku masyarakat terhadap rabies. Lembar
kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terlampir.
4.6 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan meminta kesediaan responden,
dilanjutkan dengan mengisi inform concern di depan lembar kuesioner.
Kuisioner dapat diisi secara mandiri oleh responden atau diwawancara oleh
peneliti.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Pengolahan data
a. Coding data
Masing-masing form penelitian diberikan kode tertentu untuk
mempermudah entri dan analisis data.
b. Entry data
Data dimasukkan secara komputerisasi setelah dibuat struktur entri
data yang mencakup nomer, nama, variabel, tipe variabel, width,
decimals, variable labels, value labels, dan missing values.
c. Cleaning data
Untuk menghindari kemungkinan adanya kesalahan dalam analisis
data, data yang telah dimasukkan akan dicek kembali sehingga
kesalahan data dapat segera diperbaiki.
4.7.2 Teknik analisis data
19
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara univariat dan
bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
deskriptif responden secara umum, dan beberapa perilaku responden
terkait kesadaran akan vaksin dan cara memelihara anjing. Analisis
bivariat menilai hubungan antara beberapa karakteristik responden
dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap rabies.
Selain itu, analisis bivariat juga dilakukan untuk menilai
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat sikap dan perilaku
responden terhadap rabies. Pada studi ini, metode analisis bivariat yang
digunakan adalah chi square/fisher’s exact test.
4.7.3 Interpretasi Hasil
Pengukuran tingkat pengetahuan dilakukan dengan memberikan
sebanyak 10 pertanyaan tentang rabies. Pengukuran tingkat sikap
dilakukan dengan memberikan 7 pernyataan menggunakan skala
Guttman, yaitu skala yang mengharapkan jawaban tegas dari responden.
Skala tersebut mempunyai empat atau lebih butir-butir pernyataan yang
dikombinasikan sehingga membentuk sebuar skor atau nilai yang
merepresentasikan sikap individu terhadap rabies. Pengukuran tingkat
perilaku dilakukan dengan memberikan 6 pertanyaan berkaitan praktik
dalam menghadapi risiko rabies.
Responden dikategorikan memiliki tingkat pengetahuan dan
sikap yang baik bila memiliki skor >75%, kategori sedang bila memiliki
skor antara 50-75%, dan kategori kurang jika <50%. Responden dengan
tingkat perilaku baik bila memiliki skor >50% dan kategori buruk bila
<50%.
BAB V
HASIL PENELITIAN
20
Berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner secara mandiri diperoleh
karakteristik demografi meliputi usia dan jenis kelamin, karakteristik sosial
ekonomi responden meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah responden
yang sudah mendapatkan penyuluhan rabies, dan jumlah responden yang
memelihara anjing.
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
No. Variable N %
1. Jenis Kelamin
Laki-laki 65 37.1
Perempuan 110 62.9
2. Usia
18-25 tahun 22 12.6
26-35 tahun 36 20.6
>35 tahun 117 66.9
3. Asal Desa
Bengkel 16 9.1
Busungbiu 73 41.7
Kedis 6 3.4
Kekeran 24 13.7
Pelapuan 12 6.9
Subuk 5 8.6
Telaga 2 1.1
Tinggarsari 12 6.9
Titab 13 7.4
Umejero 2 1.1
4. Pendidikan
S1 dan >S1 21 12.0
SMA 67 38.3
SMP 40 22.9
SD 37 21.1
Tidak sekolah 10 5.7
5. Pekerjaan
PNS, guru, tenaga medis 18 10.3
Karyawan swasta, 33 18.9
pengusaha
Buruh, petani, pedagang 83 47.4
Tidak bekerja 41 23.4
6. Kepemilikan Anjing
Ya 93 53.1
Tidak 82 46.9
7. Tingkat Pengetahuan
Buruk 51 29.1
21
Sedang 96 54.9
Baik 28 16.0
8. Sikap
Kurang 25 14.3
Sedang 113 64.6
Baik 37 21.1
9. Perilaku
Buruk 54 30.9
Baik 121 69.1
10. Riwayat Penyuluhan Rabies
Ya 51
Tidak 49
22
Gambar 5.1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Asal Desa
23
a
Mengalami 2 1 173 99%
sendiri
24
Anjing
Ya 23 24.7 55 59.1 15 16.1 0.37 - - -
0
Tidak 28 34.1 41 50.01 13 15.9
4 Penyuluhan
.
Pernah 20 22.5 55 61.8 14 15.7 0.11 - - -
3
Tidak 31 36.0 41 47.7 14 16.3
Keterangan : *Signifikan
25
Penyuluhan pada responden juga tidak mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap tingkat pengetahuan (p>0.05), dimana hanya 15.7% responden yang
pernah mendapat penyuluhan dengan tingkat pengetahuan baik.
26
Tabel 5.4 menunjukkan distribusi frekuensi sikap berdasarkan
karakteristik responden. Usia responden dan pendidikan terhadap sikap tidak
mempunyai hubungan yang signifikan (p>0.05) dengan menggunakan uji
Kruskal-Wallis. Begitu pula dengan kepemilikan anjing tidak mempunyai
hubungan yang signifikan (p>0.05) terhadap sikap responden dengan
menggunakan uji Chi-Square. Walaupun demikian, proporsi responden
terbanyak dengan sikap baik berasal dari usia 26-35 tahun sebesar 36.1%,
pendidikan S1 dan lebih dari S1 sebesar 33.3%, responden tidak bekerja
sebesar 29.3%, dan responden yang memiliki anjing sebesar 24.7%. Riwayat
penyuluhan tidak mempengaruhi sikap responden terhadap rabies dengan
p=0.426 (p>0.05), dimana hanya terdapat 23.6% responden yang pernah
mendapat penyuluhan mempunyai perilaku baik.
27
3. Kepemilikan Anjing
Ya 28 30.1 65 69.9 0.948 - - -
Tidak 26 31.7 56 68.3
4. Penyuluhan
Pernah 27 30.3 62 69.7 1.00 - - -
Tidak 27 31.4 59 68.6
Keterangan: *Signifikan
28
Tabel 5.7. Korelasi Pengetahuan dengan Sikap dan Perilaku
29
Gambar 5.2 Grafik Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku
30
BAB VI
PEMBAHASAN
31
langkah yang lebih efektif dalam pemberian informasi mengenai rabies. 17
Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan Etheart et al. di Haiti pada
program Integrated Bite Case Management (IBCM) mengatakan bahwa
terdapat peningkatan 1,2 kali lipat responden yang mencari pengobatan rabies
ke fasilitas kesehatan serta 2,4 kali lipat responden yang mendapatkan vaksin
setelah adanya konseling rabies pada responden gigitan rabies. Setelah
adanya implementasi program IBCM Haiti, yakni, terdapat 18 kali lipat
peningkatan kasus rabies pada hewan penular rabies seperti kelinci, serta
peningkatan 30% deteksi kasus gigitan hewan penular rabies.18
32
pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang rabies berhubungan erat dengan
tingkat pendidikan.20 Penelitian ini juga serupa dengan penelitian di
kabupaten Manggarai, NTT, yang menyatakan adanya hubungan bermakna
antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan.21 Menurut
Notoatmodjo (2012), tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah
tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka
peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseornag semakin baik
pula pengetahuannya. Responden dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik terkait rabies,
sehingga tingkat sikap dan perilakunya terkait rabies juga lebih baik.22
Hasil analisis hubungan karakteristik berupa usia dan kepemilikkan
anjing tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat
pengetahuan mengenai rabies (p>0,05). Hal ini serupa dengan penelitian
pengetahuan,sikap dan perilaku masyarakat di kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2014, yang menunjukkan tidak ada hubungan
signifikan antara usia responden dengan tingkat pengetahuan mengenai
rabies.21 Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kota Bahir
Dar , yang menyatakan tidak ada hubungan (p=0,07) bermakna antara
kepemilikan anjing dengan tingkat pengetahuan responden mengenai rabies.
Namun berlawanan pada karakteristik usia, dimana didapatkan hubungan
bermakna (p=0,01) antara usia dengan tingkat pengetuna responden.20
Menurut penelitian oleh Matibag et al (2007) tentang survei
pengetahuan, sikap dan tindakan rabies dalam komunitas di Sri Lanka,
disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku yang baik akan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian rabies, dimana
seseorang yang telah mengetahui penyakit rabies itu berbahaya, maka dia
memiliki niat (sikap) untuk menjaga kesehatan anjingnya.23
Pengetahuan yang baik dapat mendukung responden untuk bersikap dan
berperilaku baik terhadap kejadian rabies. Sikap dan perilaku baik tersebut
dapat mendorong responden untuk melakukan pencegahan agar rabies tidak
muncul dan membahayakan dirinya sendiri serta orang-orang di sekitarnya
(Astuty 2009).24 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
33
oleh Jeany, dkk di Ambon yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan tentang perawatan anjing dengan kejadian rabies pada
anjing. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan yang tidak baik bagi
pemilik anjing memberikan risiko bagi anjingnya untuk terkena rabies,
pemilik anjing dengan pengetahuan baik dapat mengambil keputusan yang
baik tentang cara pemeliharaan dan penanganan anjing.25
Pada penelitian yang dilakukan di Bali oleh Nugroho, dkk (2013),
menemukan bahwa peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit
rabies, kesadaran untuk mencari pengobatan medis akan memberikan
kontribusi untuk penurunan kasus gigitan dan kematian akibat rabies pada
manusia.26 Etheart et al. mengatakan terdapat peningkatan perilaku responden
dalam mencari pengobatan ke tenaga kesehatan setelah mendapatkan
konseling mengenai rabies.27
34
Sikap merupakan respon terhadap sesuatu hal dengan tingkatan
menerima,menghargai, dan merespon (Chaiklin 2011).29 Sikap merupakan
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka, sikap adalah
ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).Menurut
Wattimena dan Suharyo (2010) bila masyarakat memiliki sikap yang baik
terhadap cara pemeliharaan anjing maka hal ini sangat membantu dalam
mencegah terjadinya penyakit rabies.31
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi lebih banyak memiliki sikap yang baik dalam pencegahan
rabies sedangkan responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
lebih banyak memiliki sikap yang buruk dalam pencegahan rabies. Hal
tersebut diakibatkan karena tingkat pendidikan berpengaruh pada perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat (Atmarita 2004). Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka seseorang memiliki rasionalisasi yang lebih baik sehingga
akan lebih dinamis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan. Berdasarkan
penelitian di Bahir Dar Town ditemukan pula semakin tinggi tingkat
pendidikan responden semakin baik sikap terhadap rabies, hal ini
berhubungan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
menyebabkan semakin tinggi pengetahuan yang dimilikinya.20
Responden yang memiliki anjing cenderung mempunyai sikap yang baik
terhadap rabies yang lebih banyak dibandingkan responden yang tidak
memiliki anjing. Sebaliknya, mayoritas yang tidak memiliki anjing memiliki
sikap yang buruk terhadap rabies lebih banyak dibandingkan responden yang
memiliki anjing. Menurut Azwar (2007) salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap yaitu pengalaman, dalam hal ini adalah
status kepemilikan anjing. Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak ada
pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis, cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.
Dari hasil analisa menggunakan uji Kruskal Wallis ditemukan tidak ada
hubungan signifikan (p>0,05) antara usia, tingkat pendidikan dan
kepemilikan anjing terhadap sikap responden mengenai rabies. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di provinsi NTT yang
35
menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dan tingkat
pendidikan dengan sikap responden terhadap rabies.21 Hal ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan di kota Bahir Dar, yang menyatakan tidak ada
hubungan bermakna antara kepemilikan anjing dengan sikap responden
mengenai rabies. Namun berlawanan pada karakteristik usia, dimana terdapat
hubungan bermakna antara usia dengan sikap responden.20
Penelitian yang dilakukan oleh Hoetama et al. mengatakan riwayat
mendapatkan informasi sebelumnya baik melalui media massa maupun
bukan media massa, tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku (p>0.05). Hal tersebut sejalan
dengan penelitian ini dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
riwayat mendapatkan penyuluhan dengan sikap responden.32
36
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden dengan tingkat
pendidikan yang tinggi memiliki tingkat perilaku terhadap rabies yang baik.
Responden dengan tingkat pendidikan tinggi (S1 dan >S1) memiliki perilaku
yang baik sebnayak 81%, responden dengan tingkat pengetahuan SMA
memiliki perilaku yang baik sebesar 71,4%, responden dengan tingkat
pengetahuan SMP memiliki perilaku yang baik sebesar 65% Sedangkan
sebanyak 5 responden (50%) memiliki tingkat perilaku yang kurang
mengenai rabies yaitu responden dengan tingkat tidak sekolah.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya (Guadu 2014),
terlihat bahwa tingkat pendidikan pemilik anjing Tahun 2014 di Bahir Dar
Town yang memiliki tingkat perilaku baik terbanyak adalah berpendidikan
SMP dan SMA sebanyak 64 responden (60,3%), kuliah sebanyak 123
responden (79,3%) dan sarjana sebanyak 76 responden (100%).Dari 41
responden tidak bersekolah, didapatkan seluruhnya memiliki perilaku buruk
(100%) sebanyak 32 responden berpendidikan SD seluruhnya juga memiliki
perilaku buruk.20 Hal ini sama dengan penelitian yang di lakukan di desa
Bakbakan Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar, yaitu responden yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki perilaku yang baik
terhadap menyikapi rabies.
Diketahui bahwa dari total responden yang tidak memelihara anjing
lebih banyak berperilaku buruk terhadap upaya pencegahan rabies (31,7%)
dibandingkan dengan responden yang memelihara anjing (30,1%).
Responden pemilik anjing memiliki proporsi perilaku baik yang lebih tinggi
(69,9%) dibandingkan dengan responden yang tidak memelihara anjing
(68,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Guadu 2014), terlihat
bahwa responden yang memelihara anjing yang memiliki tingkat perilaku
baik yaitu sebanyak 225 responden (54,9%), sedangkan yang memiliki
tingkat perilaku buruk yaitu responden yang tidak memelihara anjing yaitu
sebanyak 37 responden (9%).20
Pada penelitian ini, tidak didapatkan hubungan yang signifikan (p>0.05)
antara masing-masing karakteristik responden dengan perilaku responden
terhadap rabies. Usia responden tidak memiliki hubungan yang signifikan
37
terhadap perilaku dengan p=0.445, dimana proporsi responden dengan
perilaku baik terbanyak pada usia 26-35 tahun sebanyak 75%. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti et al.di Bali mendapatkan
hubungan yang tidak signifikan antara usia dengan perilaku dengan p=0.513
dan proporsi responden usia <30 tahun sebesar 25 orang (100 %). Walaupun
demikian, responden dengan usia 30-50 tahun sebanyak 180 orang, dimana
172 orang (96%) mempunyai perilaku baik.35
Sama halnya dengan pendidikan, tidak didapatkan hubungan yang
signifikan dengan p=0.343 dengan proporsi responden terbanyak pada tingkat
pendidikan SMA sebanyak 108 orang. Sebanyak 64 orang responden (93%)
dengan tingkat pendidikan S1 memiliki perilaku yang baik. Pada penelitian
tersebut, tidak terdapat responden tidak sekolah dengan perilaku buruk serta
hanya terdapat 3% responden yang memiliki tingkat pendidikan SD dengan
perilaku buruk. 35
Penelitian yang dilakukan oleh Sor et al. mendapatkan responden yang
memiliki anjing tidak mempunyai hubungan yang signifikan (p=0.26) dengan
tingkat pengetahuan, dimana hanya 27 orang (10.6%) responden yang
memiliki anjing mempunyai tingkat pengetahuan yang baik.20,36 Hal tersebut
sejalan dengan penelitian ini dimana tidak terdapat hubungan (p=0.948)
antara kepemilikan anjing dengan perilaku responden. Walaupun demikian,
terdapat 69.9% responden dengan kepemilikan anjing memiliki perilaku baik.
Penelitian yang dilakukan Guadu et al. mengatakan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kepemilikan anjing dengan skor PSP.20 Walaupun
demikian responden yang memiliki yang memiliki anjing dengan skor PSP
baik sebesar 54.9%.
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara
riwayat mendengarkan penyuluhan dengan perilaku (p=1.00). Walaupun
demikian, responden yang memiliki riwayat mendengarkan penyuluhan
dengan perilaku baik sebesar 69.7%. Penelitian yang dilakukan Hasanov et
al. mengatakan adanya peningkatan pengetahuan responden yang pernah
pernah mendapatkan kampanye public mengenai rabies, berupa poster,
leaflet, dan text messages. 37
38
6.5 Korelasi Pengetahuan Responden dengan Sikap dan Perilaku mengenai
Rabies
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat korelasi positif kuat yang
signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan sikap sebesar 0.311,
pengetahuan dengan perilaku sebesar 0.551, serta sikap dengan perilaku
sebesar 0.526. Penelitian yang dilakukan di Iran juga menunjukkan adanya
korelasi positif kuat yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap sebesar
0.58, pengetahuan dengan perilaku sebesar 0.58, serta sikap dengan perilaku
sebesar 0.56.38 Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Morowatisharifabad et al., juga didapatkan korelasi positif lemah yang
signifikan antara pengetahuan dengan sikap pencegahan terhadap rabies
sebesar 0.154.39
Penelitian yang dilakukan di Iran tersebut mengatakan bahwa tingkat
pendidikan dipengaruhi oleh tingkap pendidikan responden yang sesuai
dengan penelitian ini. Jumlah skor KAP pada responden dengan tingkat
pendidikan SD dan SMP cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat pendidikan SMA dan yang lebih tinggi (p<0.05). Begitu pula dengan
responden yang buta huruf, juga didapatkan skor sikap yang lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat pendidikan SD (p<0.001) dan SMP (p<0.05).
Penelitian yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan bahwa responden yang
pernah mengalami gigitan hewan penular rabies, mempunyai tingkat
pengetahuan yang lebih baik mengenai transmisi penularan rabies dan gejala
rabies pada hewan serta manusia. Hal ini dapat disebabkan karena Ethiopia
memiliki rabies health center, sehingga mereka lebih banyak mendapatkan
informasi mengenai rabies dan manajemennya.38
Tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi sikap, termasuk sikap dalam
pencegahan rabies. Tetapi, perilaku tidak harus diiringi dengan tingkat
pengetahuan dan sikap. Perilaku dapat muncul sebelum maupun setelah
pengetahuan dan sikap muncul. Bagaimanapun, perilaku muncul didasari
39
suatu keputusan, dan keputusan muncul karena adanya pengetahunan dan
sikap.38
BAB VII
PENUTUP
7.1 Simpulan
1. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat pengetahuan sedang terkait
pencegahan rabies di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng.
2. Sebagian besar masyarakat memiliki sikap sedang terkait pencegahan
rabies di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan Busungbiu,
Kabupaten Buleleng.
3. Sebagian besar masyarakat memiliki perilaku baik Sebagian besar
masyarakat memiliki pengetahuan sedang terkait pencegahan rabies di
wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten
Buleleng.
4. Berdasarkan karakteristik responden diketahui bahwa masyarakat yang
memiliki pendidikan tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi
pula. Hanya sebagian kecil masyarakat yang pernah mendapat penyuluhan
rabies memiliki pengetahuan yang baik.
5. Terdapat hubungan yang positif kuat antara pengetahuan dengan sikap
dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadap pencegahan rabies
7.2 Saran
1. Masih diperlukan optimalisasi program Promosi Kesehatan melalui
peningkatan frekuensi penyuluhan rabies dan peningkatan cakupan
masyarakat yang ikut serta dalam penyuluhan rabies. Evaluasi setelah
adanya penyuluhan maupun edukasi juga perlu ditingkatkan untuk menilai
apakah masyarakat paham mengenai apa yang disampaikan oleh
narasumber
40