Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peningkatan tekanan darah merupakan penyebab kematian dari 7,6 juta
orang per tahunnya di dunia (13,5% dari total penduduk). Sekitar 54% dari
stroke dan 47% dari penyakit jantung coroner terkait dengan tekanan darah
tinggi (hipertensi). Lebih dari 80% dari beban ini terjadi di negara
berpenghasilan rendah hingga menengah.(1) Banyak orang dewasa dengan
hipertensi memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi (seperti, merokok,
diabetes mellitus, dyslipidemia, obesitas, inaktivitas, dan pola diet yang
buruk) dan faktor risiko yang secara relatif tetap (seperti, penyakit ginjal
kronis, riwayat keluarga, peningkatan usia, keadaan sosioekonomi yang
rendah, stres psikososial). Orang dewasa di Amerika Serikat (AS) dengan
hipertensi dari tahun 2009-2012, 15,5% merupakan perokok, 49,5%
merupakan orang dengan obesitas, 63,2% memiliki hiperkolesterolemia,
27,2% merupakan penderita diabetes mellitus, dan 15,8% memiliki penyakit
ginjal kronis.(2) Prevalensi hipertensi di Indonesia sendiri dapat dikatakan
cukup tinggi, yaitu 25,8% berdasarkan Riskesdas 2013.(3) Untuk angka
hipertensi di provinsi Bali, prevalensinya adalah 19,9% berdasarkan
Riskesdas 2013. (4) Angka hipertensi di Kabupaten Tabanan pada tahun 2016
yang dilakukan pengukuran tekanan darah terhadap 185.512 orang dan
hasilnya sebanyak 11.178 orang atau 6% menderita hipertensi/tekanan darah
tinggi. Hipertensi di Puskesmas Pupuan I menduduki angka tertinggi dari
keseluruhan Penyakit Tidak Menular (PTM) yakni sebesar …
Untuk menekan angka hipertensi di Indonesia berbagai upaya
pencegahan telah dilakukan. Salah satu program unggulan pemerintah yang
berkaitan langsung dengan hipertensi yaitu Pos Pembinaan Terpadu Penyakit
Tidak Menular (Posbindu PTM). Posbindu PTM merupakan salah satu upaya
kesehatan berbasis masyarakat yang bersifat promotif dan preventif dalam
rangka deteksi dini dan pemantauan faktor risiko PTM Utama yang
dilaksanakan secara terpadu, rutin, dan periodik. Faktor risiko PTM meliputi

1
merokok, konsumsi minuman beralkohol, pola makan tidak sehat, kurang
aktifitas fisik, obesitas, stres, hipertensi, hiperglikemi, hiperkolesterol serta
menindaklanjuti secara dini faktor risiko yang ditemukan melalui konseling
kesehatan dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Berdasarkan latar belakang diatas, para Dokter Internship yang bertugas
di Puskesmas Pupuan I menyusun sebuah Mini Project dengan judul,
“Pengaruh Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Hipertensi pada Penduduk di
Wilayah Kerja Puskesmas Pupuan I, Kecamatan Pupuan, Kabupaten
Tabanan, Bali”. Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat digunakan
sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam program dan kebijakan dalam
program Pencegahan Penyakit Tidak Menular di wilayah kerja Puskesmas
Pupuan I.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, adapun rumusan masalah
pada penelitian ini yaitu “Bagaimana gambaran dan pengaruh aktivitas fisik
terhadap hipertensi pada penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pupuan I,
Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran gambaran dan pengaruh aktivitas fisik terhadap
hipertensi pada penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pupuan I, Kecamatan
Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan usia,
tingkat pendidikan, pekerjaaan, dan alamat di wilayah kerja Puskesmas
Pupuan I, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali.
2. Mengetahui gambaran aktivitas fisik pada penduduk di wilayah kerja
Puskesmas Pupuan I, Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali.

2
3. Mengetahui hubungan tingkat aktivitas fisik terhadap kejadian hipertensi
pada penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pupuan I, Kecamatan Pupuan,
Kabupaten Tabanan, Bali.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Bagi Puskesmas Busungbiu I
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
Puskesmas Pupuan I mengenai gambaran dan hubungan antara tingkat
aktivitas fisik terhadap hipertensi pada penduduk di wilayah kerja, sehingga
dapat menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi bagi kegiatan puskesmas,
terutama pada bidang Pencegahan Penyakit Tidak Menular agar dapat
meningkatkan kinerja dalam pencegahan dan pengendalian hipertensi.

1.4.2 Bagi Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat menambah luas wawasan dan
pengetahuan peneliti tentang penyakit hipertensi terutama dalam hal
pencegahan yang dalam hal ini adalah aktivitas fisik yang termasuk dalam
salah satu gaya hidup yang berhubungan dengan hipertensi serta dapat
menambah pengalaman peneliti dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang
didapat selama pendidikan dan profesi dokter.

1.4.3 Bagi Masyarakat di Wilayah Kerja Puskesmas Pupuan I


Dengan adanya penelitian ini dan peran pihak Puskesmas setempat,
masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kepedulian mereka terhadap
gaya hidup yang merupakan faktor risiko hipertensi yang dapat
dimodifikasi, sehingga dapat lebih berperan aktif dalam membantu upaya
Puskesmas dan pemerintah dalam mencegah dan mengendalikan penyakit
hipertensi. Selain itu, diharapkan dapat mencegah hipertensi serta
menurunkan angka mortalitas akibat penyakit yang berhubungan dengan
hipertensi di Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sitem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi
biasanya saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan
binatang yang terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi
dapat memulai proses penyakit.11
Ada beberapa nama lain untuk rabies di berbagai negara, la rage
(Perancis), la rabia (Spanyol), la rabbia (Italia), die tollwut (Jerman) atau di
Indonesia terkenal dengan nama penyakit Anjing Gila.12

4
2.2 EPIDEMIOLOGI
Istilah rabies dikenal sejak zaman Babylonia kira-kira abad ke 23
sebelum masehi (SM) dan Democritus menulis secara jelas bin atang
menderita rabies pada tahun 500 SM, Tulisan adanya infeksi rabies pada
manusia dengan gejala hydrophobia dilaporkan pada abad pertama oleh
Celsus dan gejala klinis rabies baru ditulis pada abad ke 16 oleh Francastoro,
seorang dokter asal Italia.12
Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara
yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris,
Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua nugini, Brunai, Selandia
Baru, Jepang dan Tiwan. Di indonesia data terakhir pada tahun 2004, di
Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatan 21
orang. Sedangkan di provinsi Bali, desa kendongan dan ungasan pada
tanggal 2009 november 2008 terdspat beberapa anjing mati dan dinyatakan
positif Rabies.
Rabies terdapat dalam 2 bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak di imunisasi, dan
Sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak
(mongos), serigala, dan kelelawar. Infeksi pada manusia cenderung terjadi
pada tempat rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak
populasi binatang jinak yang tidak di imunisasi, dan manusia kontak dengan
udara terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh
World Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies
diseluruh dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia
Tenggara, Philipina, Afrika dan Amerika Selatan adalah area tempat penyakit
biasanya terjadi. Di Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian
besar kasus sekarang berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara-
negara yang di dalamnya terdapat endemik rabies anjing.12
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting
virus rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala, (Eropa timur, daerah kutub
utara), luwak (afrika selatan, karibia), rubah (Eropa barat) dan kelelawar

5
(Amerika Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di
Amerika, Rabies dari kucing juga sekarang ini dilaporkan lebih sering
daripada rabies anjing, sehingga vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di
Amerika, rabies pada binatang buas bertanggung jawab terhadap sekitar 85%
rabies binatang yang dilaporkan, dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-
3%.12
Beberapa kasus penularan rabies dari manusia ke manusia melalui
transplantasi kornea juga pernah ditemukan.12

2.3 ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus asam ribonukleat berantai tunggal,
beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80 nm termasuk
anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
aseetikolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penhambat hemaglutinasi, dan merangsang
imunitas se T.12

Gambar 2.1. Rhabdovirus12

Virus rabies inaktif pada pemanasan, pada temperature 56 oC waktu


paruh kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37 oC

6
dapat bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, solusi jodium.12

2.4 PATOGENESIS
Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau kedalam
membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik
didaerah inokulasi, sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus
kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf
pusat, mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus mencapai sistem
saraf pusat, virus melakukan replikasisecara eksklusif dalam substansia
kelabu dn kemudia lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk
mencapai jaringan-jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis,
ginjal, paru-paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar
pada air susu dan urine.12
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih
dari 1 tahun (rata-rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung
padajumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme
pertahanan penderita dan perjalanan virus dari daerah inokulasi ke 7ystem
saraf pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang (2
sampai 7 tahun) telah di laporkan tapi jarang terjadi.12

7
Gambar 2.2 Patogenesis Rabies12

2.5 MANIFESTASI
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa
bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7
tahun. karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadi gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek
dari pada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi di pengaruhi oleh dalam
dan besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf
pusat), derajat patogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka
pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.12
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal
non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran
klasik ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies yang mendalam.11
Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan
ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terangsang

8
lelah (fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk
yang tidak produktif.11
Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan parestesia
dan/atau fassikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang mungkin
berhubungan dengan multiplikasi virus dalam ganglion dorsalis saraf sensoris
yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50% sampai 80%
pasien.11
Stadium prodromal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian
penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa
furius atau paralitik.12
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik
yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot,
meningimus, posisi opistotonik, kejang dan paralisis fokal. yang khas,
periode penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi
bersama dengan berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi leboh
pendek sampai pasien akhirnya menjadi koma. Hipertensi, dengan
sensitivitas yang berlebihan terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan,
bahkan rangsangan oleh udara sering terjadi. pada pemeriksaan fisis, suhu
tubuh naik hingga 40,6 oC, abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi
pupilyang ireguler, lakrimasi meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih.
Juga terdapat tanda paralisis motor neuron bagian atas dengan kelemahan,
meningkatnya refleks tendo profunda, dan respon ekstensor plantaris.
Paralisis pita suara biasa terjadi.11
Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase
ensefalitis. terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan
menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan
menelan menimbulkan gambaran tradisional "foaming at the mounth''.
Hidrofobia, tampak pada sekitar 50% kasus. pasien menjadi koma dengan
terkenanya pusat respirasi oleh virus, yang akan menimbulkan kematian
apneik. menonjolnya disfungsi batang otak dini membedakan rabies dari
ensefalitis virus lainnya. Daya tahan hidup rata-rata setelah mulainya gejala

9
adalah 4 hari, dengan maksimum 20 hari, kecuali diberikan tindakan bantuan
artifisial.11

Gambar 2.3 Perjalanan Penyakit Penderita Rabies11

2.6 Diagnosis Rabies


Rabies adalah sebuah ensephalomyelitis progresif akut. Diagnosis klinis
pada pasien rabies dapat dikenali dengan lebih mudah jika ditemukan

10
manifestasi klinissetelah adanya paparan terhadap hewan. Pada kasus dimana
tidak ditemukan manifestasi klinis yang jelas dan riwayat paparan terhadap
hewan yang tidak diketahui butuh dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosis.13
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis rabies dapat
dilakukan secara in vivo atau post mortem. Pemeriksaan ante mortem
meliputi deteksi antigen virus (direct fluorescent antibody (DFA), isolasi
virus, deteksi antibodi virus (rapid fluorescent focus inhibition test/RFFIT,
ELISA, fluorescent antibody virus neutralization/FAVN), dan deteksi protein
virus/RNA virus (PCR, histopatologi).14

Gambar 2.4 Diagnosis rabies14

Pada awal infeksi rabies, pemeriksaan cairan serebrospinal tidak


menunjukkan hasil yang spesifik. Hasil yang ditemukan akan menyerupai
ensefalitis oleh karena virus lainnya, seperti pleositosis dengan limfositosis,
protein dapat sedikit meningkat, dan glukosa umumnya normal. Diagnosis
rabies ante mortem diperlukan beberapa tes. Spesimen yang dapat diguankan

11
berupa cairan serebrospinal, serum, saliva, dan biopsi kulit. Pada pasien yang
telah meninggal dapat digunakan jaringan otak yang masih segar. Diagnosis
post mortem ditegakkan dengan adanya badan Negri pada jaringan otak
pasien, meskipun hasil postif kurang dari 80%. Badan negri merupakan
badan inklusi sitoplasma berbentuk bulat atau oval, yang merupakan
gumpalan nukleokapsid virus. Ukurannya bervariasi dari 0,25 sampai 27 um,
paling sering ditemukan di sel piramidal Ammon’s horn dan sel purkinje
serebelum.15

2.7 Tata Laksana Rabies


Pasien rabies memiliki tingkat mortalitas yang sangat tinggi. Hasil yang
baik ditemukan jika dilakukan tindakan profilaksis sebelumnya. Terapi
standar yang sudah terbukti belum tersedia, sehingga terapi untuk pasien
rabies saat ini meliputi simptomatik dan paliatif, termasuk agen sedatif
adekuat, menempatkan pasien pada area yang privat, tenang dan memberikan
dukungan emotional. Beberapa agen terapi, seperti kombinasi terapi dengan
imunoglobulin dan vaksinasi, ketamin dan interferon-ɑ, atau dosis besar dari
imunoglobulin rabies (RIG) manusia intravena belum terbukti efektif.13
Terapi harus mengkombinasikan antieksitatori dan antivirus dan
perawatan intensif sambil menunggu respon imun menghadapi infeksi virus;
seperti vaksin rabies untuk meningkatkan respon imun, serum anti rabies
untuk viral clearence, antibodi monoklonal (antibodi penetral virus rabies
lewat rute intravena dan intratekal), ribavirin dan amantadin, interferon-
ɑ(diberikan secara intravena dan intratekal), ketamin (agen anestesi yang
memiliki aktivitas anti rabies dengan berinteraksi dengan antagonis reseptor
N-methyl-D-aspartate ), benzodizepine dan barbiturat (agonis reseptor GABA
dan menginduksi koma terapeutik untuk mengurangi metabolisme eksitatori
otak dan reaktivitas otonom. Kortikosteroid tidak seharusnya digunakan
karena meninkatkan mortalitas dan mempercepat masa inkubasi.14

2.8 Profilaksis Rabies


2.8.1. Post exposure prophylaxis (PEP)

12
Post exposure prophylaxis (PEP) adalah tatalaksana secepatnya
pada korban gigitan setelah paparan rabies. Hal ini dilakukan untuk
mencegah virus masuk ke dalam sistem saraf pusat, yang mengakibatkan
kematian.4Tidak adanya terapi yang efektif pada saat ini menyebabkan
pentingnya untuk mencegah rabies setelah suspek atau terbukti adanya
paparan terhadap virus.Post exposure prophylaxis (PEP) terdiri dari
penanganan lokal pada luka, imunisasi pasif (serum/imunoglobulin
rabies), dan imunisasi aktif (vaksin rabies).1 Tidak ada kontra indikasi
untuk pemberian PEP, termasuk ibu hamil dan menyusui, bayi dan
immunocompromised.1
a. Penanganan luka
Tindakan yang pertama harus dilakukan adalah membersihkan luka
dari saliva yang mengandung virus rabies. Luka segera dibersihkan dengan
cara disikat dengan sabun dan air mengalir selama 10-15 menit kemudian
dikeringkan dan diberi cairan antiseptik (merkurokrom, alkohol 70%,
povidin iodine, 1-4% benzalkonium klorida atau 1% centrimonium
bromida). Luka sebisa mungkin tidak dijahit. Jika perlu sekali, maka
dilakukan jahitan situasi dan diberi SAR yang disuntikkan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin dan sisannya disuntikkan secara
intramuskular ditempat yang jauh dari inokulasi vaksin. 15 Disamping itu
perlu dipertimbangkan pemberian serum/vaksin antitetanus, antibiotik
untuk mencegah infeksi, dan pemberian analgetik.1
b. Pemberian serum dan vaksin anti rabies
Menurut WHO, pemberian VAR dan SAR dilihat dari derajat
keparahan kontak dengan tersangka hewan rabies.
Tabel 2.1 Indikasi pemberian VAR dan SAR1

Keadaan Hewan Penggigit


Tipe Luka
No. Pada waktu Pengobatan
Gigitan Observasi 14 hari
menggigit
Kontak tanpa ada Tak Perlu
Sehat Sehat
luka
1 Kontak tak
langsung, tidak Gila Rabies
ada kontak
2 Sehat Sehat Tak Perlu

13
Segera VAR. stop
vaksinasi bila hewan
Sehat tersangka masih
Luka garukan Tersangka gila
sehat selama 14 hari
atau lecet
Luka kecil observasi
Gila VAR lengkap
disekitar bdan,
Hewan liar, atau VAR lengkap
tangan atau kaki
hewan yang gila dan
-
hewan yang tidak
dapat diobservasi
Luka parah VAR dan SAR. Stop
(multipel, luka di Mencurigakan/gila/ bila hewan sehat
3 muka, kepala, bila hewan tidak - selama 14 hari
leher, jari kaki, dapat diobservasi
jari tangan)

c. Vaksin Anti Rabies (VAR)


Vaksinasi rabies diberikan dengan tujuan menginduksi munculnya
antibodi penetral rabies. Vaksin diberikan sesuai dengan indikasi diatas.
Vaksin PVRV (Purified Vero Rabies Vaccine) terdiri dari vaksin kering dalam
vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe. Vaksin disuntikkan secara
intramuskular (IM) di deltoid atau di anterolateral paha (pada anak yang lebih
kecil). Vaksin tidak boleh diberikan pada area gluteal karena buruknya respon
antibodi yang didapat.15
Depkes mengajurkan pemberian PVRV dengan regimen 2-1-1. Cara
pemberiannya adalah diberikan dua dosis sekaligus pada hari 0 dan satu dosis
diberikan masing-masing pada hari ke-7 dan hari ke-21. Jika VAR dan SAR
diberikan bersamaan, VAR diberikan dengan cara yang sama dan diulang
pada hari ke 90.15
Pada daerah dengan keterbatasan vaksin dan biaya, vaksin dapat
diberikan secara intradermal. Dengan cara ini, volume dan biaya vaksin dapat
dikurangi 60-80%.15 Penyuntikkan secara intradermal di deltoid, paha lateral
dan supraskapula diberikan sebanyak 0,1 mL selama 4 kali dengan regimen
0-3-7-28. Cara pemberiannya disuntikkan sebanyak dua tempat pada awal
dan kunjungan berikutnya.1
Pada gigitan berulang dalam waktu kurang dari tiga bulan setelah
profilaksis, VAR tidak perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup
untuk melindungi tubuh. Bila gigitan berulang terjadi setelah lebih dari tiga

14
bulan sampai satu tahun, VAR diberikan satu kali dan bila > 1 tahun, harus
diberi VAR lengkap.1
Efek samping vaksin meliputi reaksi lokal penyuntikkan (35-45%),
reaksi sistemik ringan seperti nyeri kepala, pusing, demam, mual, nyeri perut
(5-15%), gangguan sistem saraf atau reaksi sistemik sangat jarang terjadi.1
d. Serum Anti Rabies (SAR)
Serum anti rabies (SAR) atau imunoglobulin rabies menetralkan
langsung virus pada luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum
antibodi yang diinduksi vaksinasi muncul. Pemberian SAR tidak diperlukan
jika vaksinasi telah diberikan lebih dari 7 hari sebelumnya. Indikasi SAR
adalah pada luka resiko tinggi, meliputi luka multipel, luka di area banyak
persarafan (muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki) dam kontak
air liur di mukosa/selaput lendir.1
Terdapat dua jenis SAR, yaitu serum manusia dan kuda.
a. Serum heterolog (kuda) mempunyai kemasan berbentuk vial 2 ml (1
ml= 100 IU). Cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis
yang diberikan adalah 40 IU/kgBB diberikan bersamaan dengan VAR
pada hari ke-0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya resiko anafilaktik.
Kontraindikasi pemberian vaksin ini adalah riwayat alergi terhadap
protein kuda.
b. Serum homolog (manusia) mempunyai kemasan berbentuk vial 2 ml
(1ml= 150 IU). Cara pemberian disuntikkan secara infiltrasi disekitar
luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan secara intramuskular.
Dosis yang diberikan adalah 20 IU/kgBB diberikan bersamaan dengan
VAR pada hari ke-0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu.15

Injeksi SAR secara intramuskular dapat diberikan pada deltoid atau


anterolateral paha . Injeksi harus dilakukan pada area yang jauh dari area
injeksi vaksin karena dapat menekan produksi antibodi. Pada luka berat dan
multipel (biasa pada anak-anak) dilakukan pengenceran dengan normal salin
2-3 kali sehingga dapat menginfiltrasi seluruh luka. SAR dapat diberikan
sekali atau hingga hari ketujuk setelah vaksinasi. Setelah hari ketujuh, SAR

15
tidak diindikasikan lagi, karena antibodi yang diinduksi vaksin dianggap telah
ada. SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.1

2.8.2 Pre exposure prophylaxis


CDC dan WHO merekomendasikan pemberian vaksin pra pajanan
pada orang secara kontinu sering atau beresiko tinggi terpajan virus rabies
seperti pekerja laboratorium, dokter hewan, pekerja kontak hewan penular,
wisatawan, penjelajah gua, penduduk area endemik, dll.13 Vaksin yang
diberikan berupa vaksin PVRV terdiri dari vaksin kering dalam vial dan
pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.15
Jadwal vaksinasi pra pajanan diberikan 3 dosis intramuskular. Dosis
injeksi berupa 1-1-1 pada hari 0,7, dan 21 atau 28. Injeksi dilakukan sebanyak
0,5 mL secara IM pada orang dewasa dan anak ≥ 2 tahun di otot deltoid,
sedangkan pada anak < 2 tahun dilakukan di paha anterolateral. Kombinasi
vaksinasi prapajanan dan booster pasca pajanan terbukti efektif. Pekerja yang
terpajan virus rabies secara kontinu dan sering direkomendasikan untuk
memeriksa antibodi berkala tiap 6 bulan dan bila titer <0,5 IU/mL perlu
booster dosis tunggal secara IM/ID. Dokter hewan atau petugas kesehatan
yang tidak terpajan secara kontinu dianjurkan untuk memeriksa antibodi
berkala tiap 2 tahun.1

Karakteristik:
Umur

Tingkat pendidikan

Pekerjaan

Kepemilikan anjing
BAB III
Riwayat mendapat KERANGKA TEORI
Pengetahuan
penyuluhan
Sumber Informasi
Tindakan pencegahan
Lingkungan rabies

Pengalaman
Sikap dan perilaku masyarakat
berdasarkan referensi dari petugas
kesehatan 16

Tersedianya sarana dan Prasarana


Gambar 3.1. Kerangka Teori

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dengan desain cross-
sectional. Studi ini dilakukan untuk memperoleh gambaran tingkat

17
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap pencegahan rabies pada
penduduk wilayah kerja puskesmas Busungbiu I, kecamatan Busungbiu,
kabupaten Buleleng.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu 1,
Kabupaten Buleleng periode Juli 2018.
4.3 Subjek dan Sampel
4.3.1 Subjek dan sampel penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah masyarakat usia dewasa (18
tahun ke atas) yang berdomisili di Kecamatan Busungbiu dan menjadi
peserta Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) di wilayah kerja Puskesmas
Busungbiu 1 atau pasien poliklinik pada bulan Juli 2018. Semua peserta
Posbindu dan pasien poliklinik yang bersedia mengisi kuisioner
dijadikan sampel dalam penelitian ini.
4.3.2 Besaran sampel
Besar sampel dihitung dengan menggunakan program Win
Episcope 2.0. Jumlah penduduk yang berusia di atas 18 tahun di
wilayah kerja Puskesmas Busungbiu sejumlah 28.550 jiwa (BPS, 2017).
Penentuan besaran sampel pada penelitian ini menggunakan selang
kepercayaan 90% dengan tingkat kesalahan yang dapat diterima sebesar
5%, dan proporsi yang diharapkan mencakup 20% dari jumlah
penduduk totalnya. Berdasarkan perhitungan tersebut, diperoleh besaran
sampel sebanyak 173 sampel.
4.3.3 Teknik Penentuan Sampel
Pemilihan sampel penelitian menggunakan metode consecutive
sampling, yaitu setiap masyarakat yang datang ke posbindu atau
puskesmas dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan sebagai
sampel sampai jumlah subyek terpenuhi.
4.4 Variabel Penelitian
Variabel yang akan diteliti meliputi:

18
1. Karakteristik responden: Pendidikan, pekerjaan, alamat, kepemilikan
anjing, cara pemeliharaan anjing, kepatuhan vaksinasi rabies pada
anjing
2. Pengetahuan responden terhadap penyakit rabies
3. Sikap responden terhadap penyakit rabies
4. Perilaku responden terhadap penyakit rabies
4.5 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan kuisioner penelitian. Kuesioner disusun
untuk mendapatkan data tentang karakteristik, pengetahuan, sikap, dan
perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I terhadap rabies.
Kuesioner terdiri atas empat bagian yaitu karakteristik masyarakat
(responden), tingkat pengetahuan masyarakat terhadap rabies, sikap
masyarakat terhadap rabies, dan perilaku masyarakat terhadap rabies. Lembar
kuisioner yang digunakan dalam penelitian ini terlampir.
4.6 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan meminta kesediaan responden,
dilanjutkan dengan mengisi inform concern di depan lembar kuesioner.
Kuisioner dapat diisi secara mandiri oleh responden atau diwawancara oleh
peneliti.
4.7 Analisis Data
4.7.1 Pengolahan data
a. Coding data
Masing-masing form penelitian diberikan kode tertentu untuk
mempermudah entri dan analisis data.
b. Entry data
Data dimasukkan secara komputerisasi setelah dibuat struktur entri
data yang mencakup nomer, nama, variabel, tipe variabel, width,
decimals, variable labels, value labels, dan missing values.
c. Cleaning data
Untuk menghindari kemungkinan adanya kesalahan dalam analisis
data, data yang telah dimasukkan akan dicek kembali sehingga
kesalahan data dapat segera diperbaiki.
4.7.2 Teknik analisis data

19
Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara univariat dan
bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
deskriptif responden secara umum, dan beberapa perilaku responden
terkait kesadaran akan vaksin dan cara memelihara anjing. Analisis
bivariat menilai hubungan antara beberapa karakteristik responden
dengan tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku terhadap rabies.
Selain itu, analisis bivariat juga dilakukan untuk menilai
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan tingkat sikap dan perilaku
responden terhadap rabies. Pada studi ini, metode analisis bivariat yang
digunakan adalah chi square/fisher’s exact test.
4.7.3 Interpretasi Hasil
Pengukuran tingkat pengetahuan dilakukan dengan memberikan
sebanyak 10 pertanyaan tentang rabies. Pengukuran tingkat sikap
dilakukan dengan memberikan 7 pernyataan menggunakan skala
Guttman, yaitu skala yang mengharapkan jawaban tegas dari responden.
Skala tersebut mempunyai empat atau lebih butir-butir pernyataan yang
dikombinasikan sehingga membentuk sebuar skor atau nilai yang
merepresentasikan sikap individu terhadap rabies. Pengukuran tingkat
perilaku dilakukan dengan memberikan 6 pertanyaan berkaitan praktik
dalam menghadapi risiko rabies.
Responden dikategorikan memiliki tingkat pengetahuan dan
sikap yang baik bila memiliki skor >75%, kategori sedang bila memiliki
skor antara 50-75%, dan kategori kurang jika <50%. Responden dengan
tingkat perilaku baik bila memiliki skor >50% dan kategori buruk bila
<50%.

BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Responden


Penelitian ini dilakukan pada 175 responden di wilayah puskesmas
Busungbiu 1, Kabupaten Buleleng. Pengumpulan data dilakukan melalui
metode wawancara dan pengisian kuesioner pada periode Juli 2018.

20
Berdasarkan wawancara dan pengisian kuesioner secara mandiri diperoleh
karakteristik demografi meliputi usia dan jenis kelamin, karakteristik sosial
ekonomi responden meliputi tingkat pendidikan, pekerjaan, jumlah responden
yang sudah mendapatkan penyuluhan rabies, dan jumlah responden yang
memelihara anjing.
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
No. Variable N %
1. Jenis Kelamin
 Laki-laki 65 37.1
 Perempuan 110 62.9
2. Usia
 18-25 tahun 22 12.6
 26-35 tahun 36 20.6
 >35 tahun 117 66.9
3. Asal Desa
 Bengkel 16 9.1
 Busungbiu 73 41.7
 Kedis 6 3.4
 Kekeran 24 13.7
 Pelapuan 12 6.9
 Subuk 5 8.6
 Telaga 2 1.1
 Tinggarsari 12 6.9
 Titab 13 7.4
 Umejero 2 1.1
4. Pendidikan
 S1 dan >S1 21 12.0
 SMA 67 38.3
 SMP 40 22.9
 SD 37 21.1
 Tidak sekolah 10 5.7
5. Pekerjaan
 PNS, guru, tenaga medis 18 10.3
 Karyawan swasta, 33 18.9
pengusaha
 Buruh, petani, pedagang 83 47.4
 Tidak bekerja 41 23.4
6. Kepemilikan Anjing
 Ya 93 53.1
 Tidak 82 46.9
7. Tingkat Pengetahuan
 Buruk 51 29.1

21
 Sedang 96 54.9
 Baik 28 16.0
8. Sikap
 Kurang 25 14.3
 Sedang 113 64.6
 Baik 37 21.1
9. Perilaku
 Buruk 54 30.9
 Baik 121 69.1
10. Riwayat Penyuluhan Rabies
 Ya 51
 Tidak 49

Hasil analisis menunjukkan bahwa proporsi perempuan (62.9%) lebih


banyak 2 kali lipat dibandingkan laki-laki (37.1%). Usia responden terbanyak
pada usia lebih dari 35 tahun sebesar 66.9%. sedangkan, hanya 12.6%
responden yang memiliki usia 18-25 tahun. Responden terbanyak berasal dari
desa Busungbiu sebanyak 41.7%, sedangkan yang paling sedikit berasal dari
desa Telaga dan Umejero sebanyak 1.1%. Distribusi ini dapat dilihat pada
gambar 5.1. Sebagian besar responden mempunyai latar belakang pendidikan
SMA sebesar 38.3%, diikuti dengan SMP sebesar 22.9%. Hanya 12.0%
responden yang memiliki latar belakang pendidikan S1 dan >S1. Terdapat
47.4% responden yang memiliki pekerjaan sebagai buruh, petani, dan
pedagang, diikuti responden yang tidak bekerja sebanyak 23.4%. Hanya
10.3% responden yang memiliki pekerjaan sebagai PNS, guru, maupun
tenaga medis. Sebagian besar responden memiliki anjing sekitar 53.1%.
Walaupun demikian, tingkat pengetahuan responden terbanyak adalah pada
tingkatan sedang sebesar 54.9%. Sedangkan, tingkat pengetahuan baik
sebesar 16.0%. Demikian halnya dengan sikap responden sebagian besar
memiliki kategori sedang sebesar 64.6%. Tetapi, jumlah responden yang
memiliki perilaku baik lebih banyak dari perilaku buruk, yakni sebesar
69.1%.

22
Gambar 5.1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Asal Desa

Distribusi frekuensi responden berdasarkan sumber pengetahuan tentang


rabies menunjukkan bahwa hanya 51 % responden yang pernah mendapat
penyuluhan. Walaupun demikian, responden yang pernah mendengar rabies
sebanyak 95%, dan pernah mendengar tentang vaksin rabies sebanyak 93%.
Responden yang pernah mendengar rabies, paling banyak mendapatkan
informasi dari media elektronik seperti televisi dan radio sebanyak 57%,
kemudian diikuti dengan penyuluhan di balai desa sebanyak 51%. Hanya 1%
responden yang pernah mengalami gigitan anjing.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Sumber Pengetahuan Responden


No. Variabel Ya Tidak
N % N %
1. Pernah mendengar 166 95 9 5
rabies
2. Pernah mendengar 163 93 13 7
vaksin
3. Sumber mendengar rabies
 TV/Radio 100 57 75 43
 Penyuluhan di 89 51 86 49
balai desa
 Diberitahu 43 25 132 75
keluarga/tetangg

23
a
 Mengalami 2 1 173 99%
sendiri

5.2 Gambaran Tingkat Pengetahuan dalam Pencegahan Rabies berdasarkan


Karakteristik Responden
Penilaian tingkat pengetahuan responden terhadap rabies dilakukan
dengan memberikan 8 pertanyaan pilihan ganda yang mencangkup
pertanyaan mengenai gambaran umum rabies, cara penularan rabies, HPR,
gejala rabies pada HPR, pemberian VAR, gejala rabies pada manusia,
pencegahan rabies pada hewan peliharaan, dan eliminasi rabies. Apabila
responden menjawab benar maka mendapat skor 1 dan apabila salah akan
mendapat skor 0. Skor maksimal responden yang dicapai apabila mampu
menjawab seluruh komponen pertanyaan dengan benar adalah 15 yang
kemudian dikonversi dengan rumus nilai dibagi 25 dikali 100 untuk
mendapatkan nilai akhir. Nilai akhir tersebut nantinya dikategorikan menjadi
1) Baik jika mendapat total nilai skor : 75 -100 2) Sedang jika mendapat total
nilai skor : 50 - 74 3) Buruk jika men dapat total nilai skor : < 50.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan berdasarkan Karakteristik


Responden

No Variable Kurang Sedang Baik p- PR 95%CI


N % n % n % value Lowe Upp
r er
1. Usia
 18-25 3 13.6 15 68.2 4 18.2 0.536 - - -
tahun
 26-35 11 30.6 20 55.6 5 13.9
tahun
 >35 37 31.6 61 52.1 19 16.2
tahun
2. Pendidikan
 S1 dan 1 4.8 14 66.7 6 28.6 0.000* - - -
>S1
 SMA 10 14.9 45 67.2 12 17.9
 SMP 15 37.5 20 50.0 5 12.5
 SD 18 48.6 15 40.5 4 10.8
 Tidak 7 70.0 2 20.0 1 10.0
sekolah
3. Kepemilikan

24
Anjing
 Ya 23 24.7 55 59.1 15 16.1 0.37 - - -
0
 Tidak 28 34.1 41 50.01 13 15.9
4 Penyuluhan
.
 Pernah 20 22.5 55 61.8 14 15.7 0.11 - - -
3
 Tidak 31 36.0 41 47.7 14 16.3
Keterangan : *Signifikan

Tabel 5.3 menunjukkan hasil analisis hubungan tingkat pengetahuan


berdasarkan karakteristik responden dimana tingkat pendidikan memiliki
hubungan yang signifikan dengan p<0.05 terhadap tingkat pengetahuan.
Responden dengan tingkat pendidikan tidak sekolah cenderung memiliki
tingkat pengetahuan kurang, yakni <50% jawaban benar, sebanyak 70%
dibandingkan dengan tingkat pengetahuan sedang dan baik. Begitu pula
responden dengan tingkat pendidikan SD cenderung memiliki tingkat
pengetahuan kurang. Sebaliknya, responden dengan tingkat pendidikan SMP,
SMA, S1 dan diatasnya, cenderung memiliki tingkat pengetahuan sedang dan
baik, terutama tingkat pendidikan SMA dan S1. Pada tingkat pendidikan
SMA, jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang sebanyak
67.2% dan baik sebanyak 17.9%. Pada tingkat pendidikan S1 dan diatasnya,
jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang sebanyak
66.7% dan baik sebanyak 28.6%.
Usia responden tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
tingkat pengetahuan dengan p>0.05. Sekitar setengah dari jumlah total
responden dari masing-masing kelompok usia memiliki tingkat pengetahuan
sedang. Tetapi, terdapat kecenderungan dengan kelompok usia 18-25 tahun
memiliki tingkat pengetahuan baik sebanyak 18.2% dibandingkan tingkat
pengetahuan kurang sebanyak 13.6%, sedangakan kelompok usia >35 tahun
cenderung memiliki tingkat pengetahuan kurang sebanyak 31.6%
dibandingkan dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 16.2%.
Kepemilikan anjing juga tidak mempunyai hubungan yang signifikan
dengan p>0.05, dimana baik responden yang memiliki anjing maupun tidak
cenderung memiliki tingkat pengetahuan rabies sedang hingga kurang.

25
Penyuluhan pada responden juga tidak mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap tingkat pengetahuan (p>0.05), dimana hanya 15.7% responden yang
pernah mendapat penyuluhan dengan tingkat pengetahuan baik.

5.3 Gambaran Sikap Masyarakat dalam Pencegahan Rabies berdasarkan


Karakteristik Responden
Penilaian sikap responden terhadap penyakit rabies dilakukan dengan
memberikan 7 pertanyaan mengenai pendapat masyarakat dengan memilih
setuju atau tidak setuju. Pertanyaan tersebut mencangkup penularan rabies,
prognosis rabies, pengobatan rabies, cara pemeliharaan anjing, pemberian
VAR,dan eliminasi rabies. Apabila responden menjawab setuju maka
mendapatkan skor 1, tidak setuju mendapatkan skor 0. Skor maksimal yang
dapat dicapai responden yaitu 7. Nilai akhir tersebut nantinya dikategorikan
menjadi 1) Baik jika mendapat total nilai skor : 75 -100 2) Sedang jika
mendapat total nilai skor : 50 - 74 3) Buruk jika mendapat total nilai skor : <
50.
Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Sikap berdasarkan Karakteristik Responden
No Variable Kurang Sedang Baik p-value PR 95%CI
N % n % N % Lower Upper
1. Usia
 18-25 1 4.5 17 77.3 4 18.2 0.07** - - -
tahun
 26-35 4 11.1 19 52.8 13 36.1
tahun
 >35 tahun 20 17.1 77 65.8 20 17.1
2. Pendidikan
 S1 dan >S1 1 4.8 13 61.9 7 33.3 0.172** - - -
 SMA 5 7.5 47 70.1 15 22.4
 SMP 5 12.5 27 67.5 8 20.0
 SD 9 24.3 21 56.8 7 18.9
 Tidak 5 50.0 5 50.0 0 0.0
sekolah
3. Kepemilikan
Anjing
 Ya 9 9.7 61 65.6 23 24.7 0.123 - - -
 Tidak 16 19.5 52 63.4 14 17.1
4. Penyuluhan
 Pernah 10 11.2 58 65.2 21 23.6 0.426 - - -
 Tidak 15 17.4 55 64.0 16 18.6
Keterangan :*Signifikan; **Kruskal Wallis

26
Tabel 5.4 menunjukkan distribusi frekuensi sikap berdasarkan
karakteristik responden. Usia responden dan pendidikan terhadap sikap tidak
mempunyai hubungan yang signifikan (p>0.05) dengan menggunakan uji
Kruskal-Wallis. Begitu pula dengan kepemilikan anjing tidak mempunyai
hubungan yang signifikan (p>0.05) terhadap sikap responden dengan
menggunakan uji Chi-Square. Walaupun demikian, proporsi responden
terbanyak dengan sikap baik berasal dari usia 26-35 tahun sebesar 36.1%,
pendidikan S1 dan lebih dari S1 sebesar 33.3%, responden tidak bekerja
sebesar 29.3%, dan responden yang memiliki anjing sebesar 24.7%. Riwayat
penyuluhan tidak mempengaruhi sikap responden terhadap rabies dengan
p=0.426 (p>0.05), dimana hanya terdapat 23.6% responden yang pernah
mendapat penyuluhan mempunyai perilaku baik.

5.4 Gambaran Perilaku Masyarakat dalam Pencegahan Rabies berdasarkan


Karakteristik Responden
Penilaian tingkat perilaku responden terhadap penyakit rabies dilakukan
dengan memberikan 6 pertanyaan pilihan ganda yang mencangkup upaya
pencegahan dan upaya penanganan dalam pencegahan rabies. Apabila
responden menjawab benar maka mendapat skor 1 dan apabila salah akan
mendapat skor 0. Skor maksimal responden yang dicapai apabila mampu
menjawab seluruh komponen pertanyaan dengan benar adalah 6. Nilai akhir
tersebut nantinya dikategorikan menjadi 1) Baik jika mendapat total nilai
skor > 50 ; 2) Buruk jika mendapat total nilai skor < 50 .

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Perilaku berdasarkan Karakteristik Responden

No Variable Buruk Baik p-value PR 95%CI


N % N % Lower Upper
1. Usia
 18-25 tahun 9 40.9 13 59.1 0.445 - - -
 26-35 tahun 9 25.0 27 75.0
 >35 tahun 36 30.8 81 69.2
2. Pendidikan
 S1 dan >S1 4 19.0 17 81.0 0.267 - - -
 SMA 17 25.4 50 74.6
 SMP 14 35.0 26 65.0
 SD 14 37.8 23 62.2
 Tidak sekolah 5 50.0 5 50.0

27
3. Kepemilikan Anjing
 Ya 28 30.1 65 69.9 0.948 - - -
 Tidak 26 31.7 56 68.3
4. Penyuluhan
 Pernah 27 30.3 62 69.7 1.00 - - -
 Tidak 27 31.4 59 68.6
Keterangan: *Signifikan

Tabel 5.5.. menunjukkan distribusi frekuensi perilaku terhadap


karakteristik responden. Dari masing-masing karakteristik, tidak terdapat
hubungan yang signifikan terhadap sikap responden (p>0.05). Walaupun
demikian, proporsi responden terbanyak dengan sikap baik berasal dari usia
26-35 tahun sebesar 75%, pendidikan S1 dan lebih dari S1 sebesar 81%,
responden yang memiliki anjing sebesar 69.9%, serta responden yang pernah
mendapat penyuluhan sebesar 69.7%.
Tabel. 5.6. Distribusi Frekuensi Perilaku Responden berdasarkan Status Kepemilikan
Anjing
No. Variable N %
1. Status kepemilikan anjing
 Ya 93 53
 Tidak 82 47
2. Cara Pemeliharaan*
 Dikandangkan 21 23
 Diikat di pekarangan rumah 35 38
 Dilepas di pekarangan rumah 23 25
 Dibebaskan melebihi 14 15
pekarangan
3. Kepatuhan pemeriksaan/vaksinasi*
 Pernah 88 95
 Tidak 5 5
Keterangan : *Proporsi perilaku responden terhadap pemeliharaan anjing berdasarkan kepemilikan
anjing
Tabel 5.6. menunjukkan gambaran perilaku responden yang memiliki
anjing mengenai cara pemeliharaan dan kepatuhan pemeriksaan maupun
vaksinasi anjing. Sebagian besar responden memelihara anjing dengan
mengikatnya di pekarangan rumah sebesar 38%, diikuti dengan dilepas di
pekarangan rumah sebesar 25%. Hanya 15% responden yang membebaskan
anjingnya melebihi pekarangan rumah. Terdapat 95% responden telah
memeriksa maupun memvaksin anjingnya.

5.5 Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku


Masyarakat terhadap Pencegahan Rabies

28
Tabel 5.7. Korelasi Pengetahuan dengan Sikap dan Perilaku

No. Variabel Uji Pengetahuan Sikap Perilaku


Korelasi
R p- R p- R p-
value value value
1. Pengetahuan Gamma 0.311 0.009* 0.551 0.000*
2. Sikap Gamma 0.311 0.009 0.526 0.000*
3. Perilaku Gamma 0.551 0.000 0.526 0.000
Keterangan : *Signifikan

Berdasarkan tabel 5.7. hasil uji korelasi gamma menunjukkan terdapat


korelasi positif kuat (r>0.3) yang signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan
sikap, pengetahuan dengan perilaku, serta sikap dengan perilaku. Gambar grafik
menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan sejalan dengan sikap dan perilaku
responden, dimana terdapat kecenderungan dengan tingkat pengetahuan sedang
akan mempunyai sikap sedang sebesar 61% dan perilaku baik 69%. Sama halnya
dengan responden yang memiliki sikap baik mempunyai perilaku yang baik
sebesar 30%. Tetapi, masih terdapat responden dengan tingkat pengetahuan baik
dengan perilaku buruk sebesar 26%.

29
Gambar 5.2 Grafik Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Tingkat
Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku

30
BAB VI
PEMBAHASAN

Penelitian tentang hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku


terhadap penyakit rabies pada responden dilaksanakan di wilayah Puskesmas
Busungbiu 1 pada periode Juli 2018. Penelitian ini merupakan jenis penelitian
observasional analitik dengan desain cross sectional. Besar sampel diperoleh 175
sampel dimana pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling.

6.1 Sumber Pengetahuan Responden mengenai Rabies


Pada penelitian ini, 51 % responden belum pernah mendapatkan
penyuluhan mengenai rabies. Tetapi, responden banyak yang pernah
mendengar mengenai rabies sebanyak 95% maupun vaksin rabies sebanyak
93%. Sebagian besar responden mendapat sumber pengetahuan dari media
elektronik berupa televisi maupun radio sebesar 57%, diikuti dengan
penyuluhan sebesar 47%. Hanya 1 % responden yang pernah mengalami
gigitan atau cakaran hewan penular rabies secara langsung.
Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bahwa perlu adanya
peningkatan kegiatan penyuluhan maupun edukasi rabies akibat kurangnya
informasi kesehatan mengenai rabies dan manajemennya dari pusat layanan
kesehatan primer terhadap masyarakat. Selain itu, media komunikasi yang
mudah dipahami seperti poster, leaflet, banner maupun pamflet yang
bergambar dapat dijadikan acuan dalam media penyuluhan. Evaluasi setelah
adanya penyuluhan maupun edukasi juga perlu ditingkatkan untuk menilai
apakah masyarakat paham mengenai apa yang disampaikan oleh narasumber.
Penelitian yang dilakukan oleh Ghosh et al. menunjukkan bahwa media
massa dan pemberian informasi dari pemerintah melalui televisi merupakan

31
langkah yang lebih efektif dalam pemberian informasi mengenai rabies. 17
Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan Etheart et al. di Haiti pada
program Integrated Bite Case Management (IBCM) mengatakan bahwa
terdapat peningkatan 1,2 kali lipat responden yang mencari pengobatan rabies
ke fasilitas kesehatan serta 2,4 kali lipat responden yang mendapatkan vaksin
setelah adanya konseling rabies pada responden gigitan rabies. Setelah
adanya implementasi program IBCM Haiti, yakni, terdapat 18 kali lipat
peningkatan kasus rabies pada hewan penular rabies seperti kelinci, serta
peningkatan 30% deteksi kasus gigitan hewan penular rabies.18

6.2 Tingkat Pengetahuan Rabies berdasarkan Karakteristik Responden


Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pengetahuan responden
cukup baik mengenai gejala, tanda-tanda, cara penularan, pencegahan dan
pengobatan rabies. Dalam penelitian ini, sebagian besar (54.9%)
respondenmemiliki pengetahuan tentang rabies dikategorikan sedang dan
16% responden memiliki pengetahuan baik, sedangkan 29,1% responden
memiliki pengetahuan buruk. Pengetahuan responden tentang rabies sebagian
besar termasuk dalam kategori sedang. Responden dengan pengetahuan
buruk persentasenya masih lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang
memiliki pengetahuan baik. Hasil inisesuai dengan penelitian yang dilakukan
Sambo et al. (2014) diperoleh hasil tingkat pengetahuan baik mengenai rabies
pada masyarakat di Tanzania dengan persentase rendah (37%).19
Pengetahuan responden mengenai cara mencegah rabies pada umumnya
menyebutkan melalui pemberian vaksin anti rabies (VAR), terdapat pula
responden yang menjawab tidak kontak dengan Hewan penular rabies (HPR).
Cara memberantas rabies sebagian besar responden sudah mengetahui
melalui eliminasi dan pemberian suntikan vaksin, diikat atau dikandangkan.
Sejumlah responden lebih mengenal tanda-tanda HPR terkena rabies yaitu air
liur keluar berlebihan dan menjadi ganas.
Hasil analisis hubungan karakteristik responden dengan tingkat
pengetahuan responden terhadap rabies diperoleh hubungan yang signifikan
antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan (p<0,05). Hal ini serupa
dengan penelitian yang dilakukan oleh Tadesse didapatkan bahwa tingkat

32
pengetahuan, sikap, dan perilaku tentang rabies berhubungan erat dengan
tingkat pendidikan.20 Penelitian ini juga serupa dengan penelitian di
kabupaten Manggarai, NTT, yang menyatakan adanya hubungan bermakna
antara tingkat pendidikan dengan tingkat pengetahuan.21 Menurut
Notoatmodjo (2012), tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah
tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka
peroleh, pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseornag semakin baik
pula pengetahuannya. Responden dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik terkait rabies,
sehingga tingkat sikap dan perilakunya terkait rabies juga lebih baik.22
Hasil analisis hubungan karakteristik berupa usia dan kepemilikkan
anjing tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan tingkat
pengetahuan mengenai rabies (p>0,05). Hal ini serupa dengan penelitian
pengetahuan,sikap dan perilaku masyarakat di kabupaten Manggarai, Nusa
Tenggara Timur pada tahun 2014, yang menunjukkan tidak ada hubungan
signifikan antara usia responden dengan tingkat pengetahuan mengenai
rabies.21 Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan di kota Bahir
Dar , yang menyatakan tidak ada hubungan (p=0,07) bermakna antara
kepemilikan anjing dengan tingkat pengetahuan responden mengenai rabies.
Namun berlawanan pada karakteristik usia, dimana didapatkan hubungan
bermakna (p=0,01) antara usia dengan tingkat pengetuna responden.20
Menurut penelitian oleh Matibag et al (2007) tentang survei
pengetahuan, sikap dan tindakan rabies dalam komunitas di Sri Lanka,
disimpulkan bahwa pengetahuan, sikap dan perilaku yang baik akan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian rabies, dimana
seseorang yang telah mengetahui penyakit rabies itu berbahaya, maka dia
memiliki niat (sikap) untuk menjaga kesehatan anjingnya.23
Pengetahuan yang baik dapat mendukung responden untuk bersikap dan
berperilaku baik terhadap kejadian rabies. Sikap dan perilaku baik tersebut
dapat mendorong responden untuk melakukan pencegahan agar rabies tidak
muncul dan membahayakan dirinya sendiri serta orang-orang di sekitarnya
(Astuty 2009).24 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

33
oleh Jeany, dkk di Ambon yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara pengetahuan tentang perawatan anjing dengan kejadian rabies pada
anjing. Hal ini membuktikan bahwa pengetahuan yang tidak baik bagi
pemilik anjing memberikan risiko bagi anjingnya untuk terkena rabies,
pemilik anjing dengan pengetahuan baik dapat mengambil keputusan yang
baik tentang cara pemeliharaan dan penanganan anjing.25
Pada penelitian yang dilakukan di Bali oleh Nugroho, dkk (2013),
menemukan bahwa peningkatan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit
rabies, kesadaran untuk mencari pengobatan medis akan memberikan
kontribusi untuk penurunan kasus gigitan dan kematian akibat rabies pada
manusia.26 Etheart et al. mengatakan terdapat peningkatan perilaku responden
dalam mencari pengobatan ke tenaga kesehatan setelah mendapatkan
konseling mengenai rabies.27

6.3 Sikap Responden terhadap Pencegahan Rabies berdasarkan


Karakteristik Responden
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka. Komponen ada
sikap yaitu kepercayaan ( keyakinan) ide dan konsep terhadap suatu objek,
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan
untuk bertindak ( Notoatmodjo, 2007).22
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian
besar(64,6%) responden memiliki sikap tentang rabies yang dikategorikan
sedang, sedangkan sisanya memiliki sikap dengan kategori baik (21,1%) dan
kurang(14,3%). Hal ini sejalan dengan penelitian Malahayati (2009) bahwa
tingkat sikap masyarakat di kota Medan dalam upaya pencegahan dan
penyebarluasan rabies berada pada kategori sedang (43.2%).12Penelitian ini
juga serupa dengan Penelitian yang dilakukan di Minahasa, dimana
didapatkan sikap yang baik mengenai tindakan pencegahan rabies sebanyak
53 orang (75,7%), sedangkan responden yang memiliki sikap yang kurnag
baik sebanyak 17 orang (24,3%).29

34
Sikap merupakan respon terhadap sesuatu hal dengan tingkatan
menerima,menghargai, dan merespon (Chaiklin 2011).29 Sikap merupakan
komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka, sikap adalah
ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).Menurut
Wattimena dan Suharyo (2010) bila masyarakat memiliki sikap yang baik
terhadap cara pemeliharaan anjing maka hal ini sangat membantu dalam
mencegah terjadinya penyakit rabies.31
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang memiliki tingkat
pendidikan tinggi lebih banyak memiliki sikap yang baik dalam pencegahan
rabies sedangkan responden dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
lebih banyak memiliki sikap yang buruk dalam pencegahan rabies. Hal
tersebut diakibatkan karena tingkat pendidikan berpengaruh pada perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat (Atmarita 2004). Semakin tinggi tingkat
pendidikan maka seseorang memiliki rasionalisasi yang lebih baik sehingga
akan lebih dinamis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan. Berdasarkan
penelitian di Bahir Dar Town ditemukan pula semakin tinggi tingkat
pendidikan responden semakin baik sikap terhadap rabies, hal ini
berhubungan dengan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
menyebabkan semakin tinggi pengetahuan yang dimilikinya.20
Responden yang memiliki anjing cenderung mempunyai sikap yang baik
terhadap rabies yang lebih banyak dibandingkan responden yang tidak
memiliki anjing. Sebaliknya, mayoritas yang tidak memiliki anjing memiliki
sikap yang buruk terhadap rabies lebih banyak dibandingkan responden yang
memiliki anjing. Menurut Azwar (2007) salah satu faktor yang
mempengaruhi pembentukan sikap yaitu pengalaman, dalam hal ini adalah
status kepemilikan anjing. Middlebrook (1974) mengatakan bahwa tidak ada
pengalaman sama sekali dengan suatu objek psikologis, cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut.
Dari hasil analisa menggunakan uji Kruskal Wallis ditemukan tidak ada
hubungan signifikan (p>0,05) antara usia, tingkat pendidikan dan
kepemilikan anjing terhadap sikap responden mengenai rabies. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di provinsi NTT yang

35
menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dan tingkat
pendidikan dengan sikap responden terhadap rabies.21 Hal ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan di kota Bahir Dar, yang menyatakan tidak ada
hubungan bermakna antara kepemilikan anjing dengan sikap responden
mengenai rabies. Namun berlawanan pada karakteristik usia, dimana terdapat
hubungan bermakna antara usia dengan sikap responden.20
Penelitian yang dilakukan oleh Hoetama et al. mengatakan riwayat
mendapatkan informasi sebelumnya baik melalui media massa maupun
bukan media massa, tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan
tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku (p>0.05). Hal tersebut sejalan
dengan penelitian ini dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
riwayat mendapatkan penyuluhan dengan sikap responden.32

6.4 Perilaku Responden terhadap Pencegahan Rabies berdasarkan


Karakteristik Responden
Terkait perilaku responden terhadap rabies diperoleh hasilbahwa
sebagian besar (69,1%) responden memiliki perilaku baik, sedangkan 30,9%
memiliki perilaku buruk. Perilaku merupakan tindakan yang terdiri atas
berbagai aspek, yaitu persepsi, mengenal, serta memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil dalam usaha pencegahan dan
pengendalian rabies (Notoadmodjo 2003).22 Perilaku merupakan respons
terhadap rangsangan dari luar dan terjadi melalui proses adanya rangsangan
terhadap organisme dan organisme tersebut merespon.
Perilaku baik responden terhadap rabies menunjukkan hasil persentase
yang cukup tinggi, artinya responden sudah memahami hal-hal yang harus
dilakukan dalam mencegah kejadian rabies. Hasil ini sama seperti penelitian
yang dilakukan oleh Yunita (2008) sebagian besar (63.9%) masyarakat
memiliki perilaku yang baik dalam upaya pencegahan penyakit rabies di
Kelurahan Lubuk Buaya Kecamatan Koto Tangah.33
Pada penelitian didapatkan tingkat pengetahuan sedang, sikap yang
sedang dan perilaku yang baik. Masyarakat dapat terhindar dari suatu
penyakit apabila pengetahuan tentang kesehatan dapat ditingkatkan sehingga
perilaku seseorang dan keadaan sosialnya juga menjadi sehat.34

36
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden dengan tingkat
pendidikan yang tinggi memiliki tingkat perilaku terhadap rabies yang baik.
Responden dengan tingkat pendidikan tinggi (S1 dan >S1) memiliki perilaku
yang baik sebnayak 81%, responden dengan tingkat pengetahuan SMA
memiliki perilaku yang baik sebesar 71,4%, responden dengan tingkat
pengetahuan SMP memiliki perilaku yang baik sebesar 65% Sedangkan
sebanyak 5 responden (50%) memiliki tingkat perilaku yang kurang
mengenai rabies yaitu responden dengan tingkat tidak sekolah.
Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian sebelumnya (Guadu 2014),
terlihat bahwa tingkat pendidikan pemilik anjing Tahun 2014 di Bahir Dar
Town yang memiliki tingkat perilaku baik terbanyak adalah berpendidikan
SMP dan SMA sebanyak 64 responden (60,3%), kuliah sebanyak 123
responden (79,3%) dan sarjana sebanyak 76 responden (100%).Dari 41
responden tidak bersekolah, didapatkan seluruhnya memiliki perilaku buruk
(100%) sebanyak 32 responden berpendidikan SD seluruhnya juga memiliki
perilaku buruk.20 Hal ini sama dengan penelitian yang di lakukan di desa
Bakbakan Kecamatan Gianyar Kabupaten Gianyar, yaitu responden yang
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi memiliki perilaku yang baik
terhadap menyikapi rabies.
Diketahui bahwa dari total responden yang tidak memelihara anjing
lebih banyak berperilaku buruk terhadap upaya pencegahan rabies (31,7%)
dibandingkan dengan responden yang memelihara anjing (30,1%).
Responden pemilik anjing memiliki proporsi perilaku baik yang lebih tinggi
(69,9%) dibandingkan dengan responden yang tidak memelihara anjing
(68,3%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Guadu 2014), terlihat
bahwa responden yang memelihara anjing yang memiliki tingkat perilaku
baik yaitu sebanyak 225 responden (54,9%), sedangkan yang memiliki
tingkat perilaku buruk yaitu responden yang tidak memelihara anjing yaitu
sebanyak 37 responden (9%).20
Pada penelitian ini, tidak didapatkan hubungan yang signifikan (p>0.05)
antara masing-masing karakteristik responden dengan perilaku responden
terhadap rabies. Usia responden tidak memiliki hubungan yang signifikan

37
terhadap perilaku dengan p=0.445, dimana proporsi responden dengan
perilaku baik terbanyak pada usia 26-35 tahun sebanyak 75%. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Widyastuti et al.di Bali mendapatkan
hubungan yang tidak signifikan antara usia dengan perilaku dengan p=0.513
dan proporsi responden usia <30 tahun sebesar 25 orang (100 %). Walaupun
demikian, responden dengan usia 30-50 tahun sebanyak 180 orang, dimana
172 orang (96%) mempunyai perilaku baik.35
Sama halnya dengan pendidikan, tidak didapatkan hubungan yang
signifikan dengan p=0.343 dengan proporsi responden terbanyak pada tingkat
pendidikan SMA sebanyak 108 orang. Sebanyak 64 orang responden (93%)
dengan tingkat pendidikan S1 memiliki perilaku yang baik. Pada penelitian
tersebut, tidak terdapat responden tidak sekolah dengan perilaku buruk serta
hanya terdapat 3% responden yang memiliki tingkat pendidikan SD dengan
perilaku buruk. 35
Penelitian yang dilakukan oleh Sor et al. mendapatkan responden yang
memiliki anjing tidak mempunyai hubungan yang signifikan (p=0.26) dengan
tingkat pengetahuan, dimana hanya 27 orang (10.6%) responden yang
memiliki anjing mempunyai tingkat pengetahuan yang baik.20,36 Hal tersebut
sejalan dengan penelitian ini dimana tidak terdapat hubungan (p=0.948)
antara kepemilikan anjing dengan perilaku responden. Walaupun demikian,
terdapat 69.9% responden dengan kepemilikan anjing memiliki perilaku baik.
Penelitian yang dilakukan Guadu et al. mengatakan tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara kepemilikan anjing dengan skor PSP.20 Walaupun
demikian responden yang memiliki yang memiliki anjing dengan skor PSP
baik sebesar 54.9%.
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara
riwayat mendengarkan penyuluhan dengan perilaku (p=1.00). Walaupun
demikian, responden yang memiliki riwayat mendengarkan penyuluhan
dengan perilaku baik sebesar 69.7%. Penelitian yang dilakukan Hasanov et
al. mengatakan adanya peningkatan pengetahuan responden yang pernah
pernah mendapatkan kampanye public mengenai rabies, berupa poster,
leaflet, dan text messages. 37

38
6.5 Korelasi Pengetahuan Responden dengan Sikap dan Perilaku mengenai
Rabies
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat korelasi positif kuat yang
signifikan (p<0.05) antara pengetahuan dengan sikap sebesar 0.311,
pengetahuan dengan perilaku sebesar 0.551, serta sikap dengan perilaku
sebesar 0.526. Penelitian yang dilakukan di Iran juga menunjukkan adanya
korelasi positif kuat yang signifikan antara pengetahuan dengan sikap sebesar
0.58, pengetahuan dengan perilaku sebesar 0.58, serta sikap dengan perilaku
sebesar 0.56.38 Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Morowatisharifabad et al., juga didapatkan korelasi positif lemah yang
signifikan antara pengetahuan dengan sikap pencegahan terhadap rabies
sebesar 0.154.39
Penelitian yang dilakukan di Iran tersebut mengatakan bahwa tingkat
pendidikan dipengaruhi oleh tingkap pendidikan responden yang sesuai
dengan penelitian ini. Jumlah skor KAP pada responden dengan tingkat
pendidikan SD dan SMP cenderung lebih rendah dibandingkan dengan
tingkat pendidikan SMA dan yang lebih tinggi (p<0.05). Begitu pula dengan
responden yang buta huruf, juga didapatkan skor sikap yang lebih rendah
dibandingkan dengan tingkat pendidikan SD (p<0.001) dan SMP (p<0.05).
Penelitian yang dilakukan di Ethiopia menunjukkan bahwa responden yang
pernah mengalami gigitan hewan penular rabies, mempunyai tingkat
pengetahuan yang lebih baik mengenai transmisi penularan rabies dan gejala
rabies pada hewan serta manusia. Hal ini dapat disebabkan karena Ethiopia
memiliki rabies health center, sehingga mereka lebih banyak mendapatkan
informasi mengenai rabies dan manajemennya.38
Tingkat pengetahuan dapat mempengaruhi sikap, termasuk sikap dalam
pencegahan rabies. Tetapi, perilaku tidak harus diiringi dengan tingkat
pengetahuan dan sikap. Perilaku dapat muncul sebelum maupun setelah
pengetahuan dan sikap muncul. Bagaimanapun, perilaku muncul didasari

39
suatu keputusan, dan keputusan muncul karena adanya pengetahunan dan
sikap.38

BAB VII
PENUTUP

7.1 Simpulan
1. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat pengetahuan sedang terkait
pencegahan rabies di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan
Busungbiu, Kabupaten Buleleng.
2. Sebagian besar masyarakat memiliki sikap sedang terkait pencegahan
rabies di wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan Busungbiu,
Kabupaten Buleleng.
3. Sebagian besar masyarakat memiliki perilaku baik Sebagian besar
masyarakat memiliki pengetahuan sedang terkait pencegahan rabies di
wilayah kerja Puskesmas Busungbiu I, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten
Buleleng.
4. Berdasarkan karakteristik responden diketahui bahwa masyarakat yang
memiliki pendidikan tinggi memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi
pula. Hanya sebagian kecil masyarakat yang pernah mendapat penyuluhan
rabies memiliki pengetahuan yang baik.
5. Terdapat hubungan yang positif kuat antara pengetahuan dengan sikap
dengan sikap dan perilaku masyarakat terhadap pencegahan rabies

7.2 Saran
1. Masih diperlukan optimalisasi program Promosi Kesehatan melalui
peningkatan frekuensi penyuluhan rabies dan peningkatan cakupan
masyarakat yang ikut serta dalam penyuluhan rabies. Evaluasi setelah
adanya penyuluhan maupun edukasi juga perlu ditingkatkan untuk menilai
apakah masyarakat paham mengenai apa yang disampaikan oleh
narasumber

40

Anda mungkin juga menyukai