Anda di halaman 1dari 23

Marak Perburuan Liar, Harimau Sumatera

Terancam Punah di Bengkulu

Yuliardi Hardjo Putro


24 Jan 2018, 20:31 WIB

Perburuan liar terus dilakukan yang mengakibatkan jumlah Harimau Sumatra semakin kritis
(Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)
Liputan6.com, Bengkulu - Keberadaan harimau Sumatera atau Panthera tigris sumatrae di
hutan Bengkulu, semakin terancam. Data Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA)
Bengkulu mencatat, saat ini jumlahnya hanya 17 ekor, angka tersebut sudah mendekati ambang
kepunahan.

Kepala BKSDA Bengkulu Abu Bakar mengatakan, perburuan terhadap kucing besar itu terus
dilakukan. Jika tidak diantisipasi sejak sekarang, bukan tidak mungkin, harimau Sumatera hanya
tinggal nama saja di hutan Bengkulu.

"Perburuan liar terhadap harimau Sumatera terus dilakukan, angkanya sudah sangat
mengkhawatirkan," Abu Bakar menegaskan di Bengkulu, Rabu (24/1/2018).
BACA JUGA

 Harimau Sumatera Nyaris Susul Nasib Harimau Jawa dan Harimau Bali
 Harimau Sumatra Mendadak Berkunjung ke Areal Tambang Batu Bara

 Benarkah Harimau Penyerang Karyawati Diasingkan Teman-temannya?

Selain perburuan liar, wilayah jelajah harimau Sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat
(TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) juga terus mengalami pengikisan.
Perambahan hutan akibat aktivitas pembukaan ladang baru dan untuk permukiman terus terjadi.

Kondisi ini sering memicu konflik antara harimau dan manusia. Sebab, jumlah persediaan
makanan yang ada terus berkurang, perebutan hewan buruan harimau dan manusia juga sering
terjadi.

"Hewan buruan untuk makanan harimau Sumatera pun harus berebut dengan manusia," ujar
Abu.

1 dari 3 halaman

Musnahkan Barang Bukti


BKSDA Bengkulu memusnahkan barang bukti sitaan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap
dan menyeret para pelaku ke meja hijau (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)
Terus berkurangnya jumlah harimau Sumatera terbukti dengan banyaknya kasus perburuan
yang naik ke meja hijau. Salah satu barang bukti tindak kejahatan perdagangan satwa dilindungi
tersebut dimusnahkan BKSDA Bengkulu, pada Rabu siang tadi.

Kulit harimau sepanjang dua meter dimusnahkan bersama tulang belulang dan beberapa gading
gajah. Bahkan beberapa benda terbuat dari gading gajah tersebut diolah menjadi berbagai
perhiasan dan cendera mata.

Menurut Kepala BKSDA Bengkulu Abu Bakar, barang bukti yang dimusnahkan itu merupakan
tangkapan pihak kepolisian yang sudah selesai proses hukum di tingkat pengadilan. Para pelaku
yang sudah divonis hukuman pidana akibat perdagangan satwa dilindungi itu masih mendekam
di balik jeruji penjara.

Sesuai amanat undang-undang, barang bukti yang disita dan telah memenuhi ketetapan hukum
diserahkan kepada pihak BKSDA. Selain dimusnahkan, barang bukti itu juga bisa diserahkan
kepada lembaga pendidikan atau penelitian untuk kepentingan keilmuan.

"Karena tidak ada permintaan, barang bukti ini kita musnahkan saja," Abu Bakar
mengungkapkan.

Pemusnahan yang dilakukan dengan cara dibakar dan dihancurkan menggunakan martil
tersebut berlangsung di halaman Kantor BKSDA, Jalan Mahoni, Kota Bengkulu. Jika ditaksir
berdasarkan harga para pelaku, jumlahnya mencapai Rp 500 juta.
2 dari 3 halaman
Faktor Ekonomi Memicu Perburuan Liar

Faktor ekonomi dan permintaan pasar yang besar memicu perburuan Satwa DIlindungi terus
dilakukan masyarakat (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo)
Perburuan harimau Sumatera, gajah, dan beberapa jenis satwa dilindungi lain dipicu faktor
ekonomi. Mahalnya harga kulit dan organ tubuh harimau, gading gajah, dan beberapa organ
tubuh satwa dilindungi itu diyakini menjadi daya tarik para pemburu.

Dari barang bukti yang dimusnahkan pihak BKSDA, terlihat kulit harimau Sumatera yang sudah
dikeringkan, tulang belulang utuh, dan beberapa cendera mata. Sedangkan barang bukti
berbahan gading gajah, sudah dibentuk menjadi pipa rokok hingga aksesori menyerupai tongkat
komando.

Menurut Abu Bakar, permintaan terhadap barang berbahan organ satwa dilindungi tersebut
sangat tinggi. Tidak hanya dari dalam negeri, permintaan untuk pasar internasional juga tidak
sedikit.

"Faktor kemiskinan dan permintaan pihak luar yang tinggi memicu perburuan liar terus
dilakukan," ia menegaskan.
Selain memasok ke berbagai kota di Indonesia, perdagangan organ satwa dilindungi juga
menyasar ke negara-negara Asia hingga Eropa. Tidak hanya untuk perhiasan, beberapa negara
seperti China mengincar organ satwa dilindungi ini untuk dijadikan obat-obatan.

Dahsyatnya Topan Bom di AS: Hiu Membeku,


Iguana pun Kaku

Rizki Akbar Hasan


05 Jan 2018, 21:20 WIB

 1

3.6k

Hiu yang membeku akibat cuaca ekstrem yang dipicu oleh fenomena Bom Siklon di Amerika
Serikat (sumber: The Atlantic White Shark Conservancy)
Liputan6.com, Miami - Temperatur dingin ekstrem tengah melanda kawasan pesisir
timur Amerika Serikat sepanjang pekan ini. Suhu dilaporkan anjlok hingga berkisar minus 0 - 50
derajat Celcius.

Hal itu dipicu oleh siklon musim dingin dahsyat yang populer disebut sebagai 'topan bom'.
Fenomena alam itu membawa badai salju dan kondisi berangin dingin nan beku, menyebabkan
kelumpuhan aktivitas hingga korban tewas di beberapa daerah di Amerika Serikat dan Kanada
kawasan timur laut.
BACA JUGA

 VIDEO: Rekaman Badai Tornado di Thailand

 Untuk Ketiga Kalinya, Pantai Timur AS Kembali Dihantui Badai Nor’easter

 Selain Jakarta, 5 Kota Besar di Dunia Ini Juga Dibayangi Ancaman Gempa

Namun, tak hanya manusia saja yang terkena dampak topan bom tersebut. Sejumlah hewan
yang berada di kawasan ikut merasakan temperatur dingin ekstrem yang dipicu oleh siklon
musim dingin tahunan itu.

Seperti dikutip dari News.com.au (5/1/2017), beberapa ekor hiu ditemukan terdampar dalam
kondisi membeku sepenuhnya di daratan timur Amerika Serikat.

The Atlantic White Shark Conservancy (AWSC) mengatakan bahwa mereka menemukan tiga
Hiu Rubah (Thresher Shark) yang tersapu dari Laut Atlantik dan terdampar di sebuah pantai di
Negara Bagian Massachusetts dalam tiga hari terakhir.

Dua yang pertama mati akibat 'serangan dingin (cold shock)'. Sedangkan yang terakhir
ditemukan dalam kondisi yang benar-benar beku. Bahkan AWSC menyebut predator laut yang
beku itu sebagai 'es hiu'.

Ketiganya kemudian diangkut keluar dari pantai untuk dicairkan, agar ilmuwan dari Dinas
Perikanan, National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat (NOAA) mampu
melakukan bedah otopsi terhadap bangkai hewan tersebut.
1 dari 3 halaman

Iguana di Florida Membeku


Iguana yang membeku di Florida selatan (Twitter/@MaxineBentzel)
Bukan hanya hiu yang terdampak pada temperatur dingin ekstrem yang tengah melanda pesisir
pantai timur Amerika Serikat. Namun juga sejumlah hewan reptil, khususnya yang berada di
Negara Bagian Florida.

Sejumlah pengguna media sosial mengunggah beberapa foto yang menunjukkan beberapa ekor
Iguana hijau terlihat kaku membeku kedinginan di Florida selatan.

Iguana hijau, yang umum ditemukan di pinggiran kota Miami, Florida selatan, terlihat terbaring
kaku di lantai. Menurut sejumlah unggahan foto warganet.

Reptil berdarah dingin itu terlihat lesu, jatuh dari tempat bertenggernya dan terbujur kaku ketika
suhu di kawasan mencapai sekitar minus 10 derajat Celcius.

Dinas pengendali hewan setempat mengimbau agar warga tak menyentuh atau memindahkan
Iguana yang sejatinya masih hidup tersebut. Karena, mereka mungkin merasa terancam dan
bisa menggigit. Gigitan reptil tersebut diketahui mampu melukai manusia.

Hewan yang membeku bukanlah satu-satunya fenomena alam yang aneh yang muncul
akibat topan bom yang tengah melanda kawasan.

Cuaca ekstrem tersebut telah memicu fenomena aneh yang dijuluki sebagai 'Ombak Lautan
Slurpee', di mana air laut mengalami perubahan konsistensi serupa es serut yang menggulung-
gulung ke pantai.

Ombak unik itu dilaporkan oleh Jonathan Nimerfroh, penduduk asal Nantucket, AS, saat ia dan
teman-temannya menerjang laut dingin untuk berselancar di Pantai Nobadeer.
2 dari 3 halaman

Salju Turun di Florida

Petugas membersihkan salju di Brooklyn, New York City, AS (9/2). Badai Salju ini diperkirakan
akan melanda bagian timur laut AS. (Scott Eisen / Getty Images / AFP)
Dari Maine hingga Florida, setiap negara bagian yang berada di pesisir Pantai Timur
mengeluarkan peringatan atas dampak badai musim dingin.

Di Tallahassee, Florida, seorang warga bernama Ernst Beliard mengatakan bahwa ia tidak
pernah melihat salju selama 21 tahun berada di sana. Hal tersebut dibenarkan oleh ahli
meteorologi Michael Guy, yang mengatakan bahwa tak ada hujan salju terukur sejak 1989.

Kondisi luar biasa dingin yang menerjang Florida membuat Florida State University dan Flordia
A&M University ditutup pada 3 Januari 2018.

Taman air Orlando juga terpaksa ditutup dan mendorong pihak berwenang untuk membuka
belasan tempat penampungan darurat.
Hutan Mangrove di Aceh Tamiang
Rusak, Begini Kondisinya
oleh Junaidi Hanafiah [Aceh] di 14 March 2018

Aceh Tamiang merupakan kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki hutan


mangrove luas. Namun, hutan di pesisir timur Aceh tersebut rusak, akibat
berbagai kegiatan ilegal.
Dalam SK Menteri Kehutanan Nomor SK.103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April
2015 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.865/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 mengenai Kawasan Hutan
dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh disebutkan, luas hutan pesisir mangrove
di Kabupaten Aceh Tamiang adalah 24.013,5 hektar.
“Dari luasan tersebut, 18.904,26 hektar berupa hutan produksi, sementara
5.109,24 hektar berstatus hutan lindung,” jelas Direktur Eksekutif Walhi Aceh,
Muhammad Nur, Senin (12/3/2018).
Muhammad Nur menambahkan, hutan mangrove yang keseluruhan tersebar di
Kecamatan Seuruway, Bendahara, Banda Mulia, serta Manyak Payed itu, sekitar
85 persen dalam kondisi rusak akibat dirambah. Kayunya dijadikan bahan baku
arang. Meski begitu ada juga yang menebang mangrove untuk dijadikan tambak
atau kebun sawit.
“Perambahan yang dilakukan masyarakat, sebagian besar dibiayai pemilik dapur
arang, yang jumlahnya lebih 200 unit. Secara umum, dapur tersebut
diindikasikan tidak memiliki izin,” terangnya.
Baca: Penting Bagi Kehidupan, Harusnya Mangrove Tidak Dirusak
Hutan mangrove di Aceh Tamiang ini terus dirambah untuk berbagai kepentingan. Mulai dari
dijadikan tambak hingga bahan baku dapur arang. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay
Indonesia

Rusaknya mangrove, selain menimbulkan abrasi pantai dan sungai, juga akan
mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir. Walhi Aceh berharap, Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh segera melakukan penertiban dan
merehabilitasi kawasan yang rusak.
Pemerintah Aceh Tamiang dan Pemerintah Provinsi Aceh juga harus
memfasilitasi ekonomi alternatif kepada masyarakat, yang selama ini bergantung
hidup pada kegiatan ilegal tersebut. “Salah satu yang bisa dilakukan adalah
dengan memfasilitasi pembentukan perhutanan sosial,” ungkapnya.
Nelayan lokal di Aceh Tamiang yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan dan
udang. Mereka resah dengan kondisi mangrove yang terus dirusak. Foto: Rahmadi
Rahmad/Mongabay Indonesia

Masyarakat Aceh Tamiang, Khairul Azmi mengatakan, sejak hutan mangrove di


Aceh Tamiang rusak, tangkapan ikan nelayan tradisional juga menurun. “Begitu
juga dengan kepiting bakau yang mulai sulit didapat padahal harganya lumayan
mahal. Hal yang sama juga dengan udang yang perlahan menghilang.”
Khairul Azmi mengatakan, jika hal ini terus terjadi, banyak masyarakat yang akan
kehilangan mata pencaharian dan menambah angka kemiskinan di Aceh
Tamiang.
“Pengrusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang hanya menguntungkan segelintir
orang. Baiknya, hutan ini dijaga sehingga masyarakat dapat terus menikmati
hasil tangkapan ikan, udang dan kepiting,” ujarnya.

Kepiting bakau, biasa masyarakat menyebut, merupakan andalan nelayan lokal Aceh
Tamiang. Kepiting berkurang seiring rusaknya mangrove. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay
Indonesia

Perhatian serius
Husaini dari YayasanSheep Indonesia (YSI) Wilayah Aceh menyebutkan hal yang
sama. Menurut dia, kerusakan ini harus ada perhatian serius dari pemerintah.
“Dampak buruk dari rusaknya hutan mangrove adalah hilangnya biota mangrove
seperti kepiting dan udang serta ikan yang merupakan tangkapan nelayan
tradisional. Meningkatnya intrusi air laut ke daratan bakal membuat air sumur
masyarakat menjadi payau, tidak bisa digunakan sebagai air minum.”
Padahal, jika mangrove tidak dirusak, atau hutan dipertahankan, kondisi tersebut
akan menguntungkan masyarakat. Juga, mendatangkan pendapatan untuk
daerah. “Misalnya hutan mangrove ini dijadikan sebagai tempat wisata. Ini,
sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Kota Langsa, mengembangkan
ekowisata hutan mangrove, yang bertetangga dengan Kabupaten Aceh
Tamiang,” terangnya.
Ini momentum yang tepat bagi Pemerintah Aceh Tamiang untuk memasukkan
rencana pengelolaan hutan mangrove sebagai prioritas pembangunan.
Pemerintah Aceh Tamiang, saat ini tengah menyusun revisi qanun atau perda
tentang RPJM Daerah dan Qanun RTRW Daerah. “Kajian lingkungan hidup
strategis kedua qanun tersebut juga dalam penyusunan, jadi ini kondisi ideal,”
jelasnya.
Udang juga menjadi andalan mata pencaharian nelayan Aceh Tamiang, selain kepiting dan
ikan. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh, Saminuddin B


Tau mengakui, saat ini tutupan hutan mangrove di Aceh Tamiang terus berkurang
akibat kegiatan ilegal. “Hutan mangrove di Aceh Tamiang tersisa sekitar 40
persen. Meskipun tutupan hutannya menurun, namun statusnya sebagai
kawasan hutan tidak berubah.”
Saminuddin menyebutkan, selain berubah fungsi menjadi kebun kelapa sawit
dan areal tambak, hutan mangrove di Aceh Tamiang juga berkurang akibat
penebangan liar untuk bahan baku arang.
“Dapur arang ini sulit dihentikan karena melibatkan banyak pihak termasuk dari
luar Aceh. Ada oknum aparat dari Medan, Sumatera Utara, yang sudah sangat
dikenal oleh petugas kehutanan sebagai backing kegiatan pengiriman arang dari
Aceh Tamiang ke Sumatera Utara. Saat ini sedang dicarikan solusi
menghentikannya,” tuturnya.

Mangrove yang berperan penting bagi kehidupan manusia harus dijaga dan dikelola dengan
bijak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

Saminuddin menambahkan, untuk memperbaiki hutan mangrove di Aceh Tamian


yang rusak, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh sedang bekerja sama
dengan lembaga non-pemerintah menyusun rencana perbaikan guna
mengembalikan kembali fungsinya.
“Kita akan merehabilitasi hutan yang rusak dan sedang mencari solusi terbaik
agar perambahan dan kegiatan ilegal tidak lagi terjadi,” tandasnya.
Ada Temuan Jahe Jenis Baru dari
Sulawesi
oleh Eko Rusdianto, Makassar di 24 December 2017

Pada 2009, Marlina Ardiyani, peneliti Taksonomi dan


Sistematika Zingiberaceae dari Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi,
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama beberapa rekan
melakukan perjalanan menyusuri berbagai tempat di Sulawesi–dari Sulawesi
Utara, Tengah, Tenggara dan Selatan. Mereka mengamati tumbuhan sekeliling.
Kelompok ini sedang berburu dan menginventarisasi jahe liar.
Mengapa memilih Sulawesi? Marlina Ardiyani dalam surat elektronik
mengatakan, kawasan timur garis Wallacea belum memiliki dokumentasi baik
mengenai jahe. Di kawasan barat garis imajiner itu, dokumentasi dan
inventarisasi sudah cukup banyak, seperti Sumatera, Jawa dan Borneo.
Dalam perjalanan berburu jahe ini sekitar dua bulan, bersama Axel Dalberg
Poulsen peneliti dari Royal Botanic Garden Edinburgh (RBGE) Skotlandia dan
mitra setempat dari Universitas Tadulako Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan.
Hasilnya, di karst Maros Sulawesi Selatan di sela hutan batu, tim menemukan
jahe liar jenis baru. Namanya Zingiber ultralimitale.
Pemberian nama pakai ultralimitale, mengacu pada letak batas wilayah. Sejawat
jauhnya di kawasan ini adalah jenis budidaya, seperti Zingiber officinale (jahe
verietas merah dan putih), Zingiber montanum (Bangle), Zingber odoriferum,
dan Zingiber zerumbet (lempuyangan). “Tapi ultralimitale memperlihatkan jenis
baru dari marga Zingiber– liar – di wilayah timur garis Wallace,” kata Marlina.
Ketika tim menemukan ultralimitale, mereka perlahan dan hati-hati mengangkat
karena akar bertumpu di sela bebatuan. Akar dipenuhi retakan batu kapur. Ada
10 umbi jahe dipindahkan. Beberapa ditanam di Kebun Raya Bogor,
setengahnya di Royal Botanic Garden Edinburgh.
Dalam A new species of Zingiber (Zingiberaceae) east of Wallace’s Line di jurnal
Gardens Bulletin Singapore pada 2017, M. Ardiyani, M.F. Newman & A.D
Poulsen menjelaskan, awalnya jahe ini dianggap spesies dari marga Globba L
(jahe-jahean yang lain), sebagai satu-satunya spesies yang diketahui berada di
timur garis Wallacea.
Menganggap temuan ini menarik, tim memutuskan mengambil tumbuhan steril itu
yang diharapkan akan berbunga hingga memudahkan proses identifikasi.
Di Kebun Raya Bogor, saat dorman tumbuhan diduga sudah mati, di Edinburgh,
beberapa tumbuhan berbunga dengan baik, hingga memudahkan tim
mengidentifikasi sebagai spesies dari marga Zingiber dan bukan dari
marga Globba.
Akhirnya, tumbuhan ini dibuatkan deskripsi lengkap termasuk rincian bunga,
morfologi serbuk sari, dan data barcode DNA.
Temuan ini pun menjelaskan posisi jenis baru dalam pembagian unit taksonomi
(seksi) ke dalam seksi Zingiber dengan data palinologi (polen atau serbuk sari)
menggunakan mikroskop pemindai elektron (scanning electron
microscope/SEM). Juga analisis molekuler dengan sekuens DNA (urutan basa-
basa DNA). Sekuens DNA antara satu spesies dengan spesies lain dibandingkan
dan dianalisis guna merekonstruksi kekerabatan.
Rimpang jahe Zingiber ultralimitale ini bercabang antara 5-8 mm, bagian luar
berwarna coklat, dan bagian dalam agak kekuningan. Umbi pun terasa pahit
dibandingkan Zingiber officinale (jahe budidaya umum)
Bunga jenis jahe baru, Zingiber Ultralimitale. Foto: Axel Dalberg Poulsen

Jahe dikenal masyarakat


Jahe yang dikenal umum di masyarakat ada dua, yakni, jahe merah (Zingiber
officinale varietas merah) dan jahe putih (Zingiber officinale). Jahe merah biasa
untuk obat-obatan dan jahe putih untuk rempah makanan.
Di Sulawesi Selatan, jahe putih dipakai dalam salah satu minuman khas bernama
sarabba. Jahe ini diparut halus dan direbus bersama santan dan gula merah.
Saat meneguk, badan terasa hangat. Obat jahe dalam beberapa bahasa lokal di
Luwu bernama layya, untuk sakit perut melilit.
Mengapa jahe memberi rasa pedas? Menurut Marlina, kemungkinan itu dari
zingeron tanaman. Rimpang jahe mengandung minyak atsii, mineral sineol,
fellandren, kamfer, borneol, dan vitamin A, B1, C, dan protein.
Di seluruh dunia, ada sekitar 1.500 jenis dari suku Zingiberaceae atau suku
empon-emponan atau jahe-jahean. Di Indonesia hampir 500 jenis.
“Jadi kurang lebih sepertiga (di Indonesia) dari Zingiberaceae yang ada di dunia.
Ini menunjukkan betapa kaya diversitas jahe liar di hutan-hutan nusantara dan
betapa penting Indonesia untuk mempelajari keragaman jahe liar itu,” katanya.
Penyebaran atau distribusi jenis jahe-jahean (marga Zingiber) berada di India,
IndoChina, Malesia (istilah biogeografi untuk penyebutan wilayah yang
membentang dalam zona ekologi Indomalaya hingga Australia) hingga ke Pasifik
Barat.
Akar, bunga, batang sampai daun jahe jenis baru yang ditemukan di Sulawesi. Foto: Axel
Dalberg Poulsen

Mirip Daun Peterseli, Tanaman Ini Ternyata Beracun dan


Mematikan
Sekilas, ia mirip dengan daun peterseli dan tampak tidak berbahaya.
Namun, tanaman hemlock ini sangat beracun dan bisa membunuh
seseorang dalam waktu 24 jam.

Daunnya mirip dengan peterseli (parsley) (Joshua Quick)

Tumbuhan mematikan ditemukan bertebaran di dekat pantai Cornish, Inggris,


setelah badai Emma menghantam.

Erosi tebing di pantai Porthkidney, membuat tanaman beracun hemlock jatuh ke


pantai di bawahnya. Tanaman yang terlihat seperti daun peterseli ini memiliki akar
beracun seperti lobak.

Joshua Quick, pakar makanan yang menemukan tanaman beracun tersebut,


mengatakan, ia baru pertama kali melihat akar hemlock terpapar suhu seperti itu.
“Meskipun terlihat indah, namun hemlock merupakan salah satu tanaman berbahaya
di belahan bumi utara. Akarnya sangat beracun,” tulis Quick di Facebook-nya.
(Baca juga: Daun Sirsak, Obat Alami Penyakit Kanker?)

Quick memperingatkan, siapa pun yang memakan tanaman tersebut “akan mati
esok hari dan hari terakhirnya jadi yang paling buruk”.

“Akar hemlock mirip lobak dan baunya pun serupa. Pastikan tidak ada orang yang
memakannya. Termasuk anjing peliharaan Anda,” ujarnya.

Siapa pun yang memakannya akan meninggal. Porsi kecil daun tersebut bisa
membunuh seseorang atau anjing jika termakan. Bahayanya, tanaman ini mirip
dengan daun peterseli yang sering dikonsumsi.

Namun, akarnya lah yang paling beracun. Satu akarnya mampu membunuh sapi
besar.

Akar hemlock yang mirip lobak ini memiliki racun paling banyak. (Joshua Quick)

Quick mengatakan, tanaman ini biasanya tumbuh di sekitar air dan pinggir sungai –
bukan tebing.

Hemlock water dropwort ini mengandung racun oenanthotoxin yang menyerang


sistem saraf pusat. Membuat tubuh lumpuh dan tidak berfungsi.

(Baca juga: Foto-foto Menakjubkan dari Jembatan Akar Hidup di Dunia)


Leif Bersweden, ahli botani dan mahasiswa PhD di Kew Gardens, mengatakan
bahwa orang-orang yang memakan tanaman beracun itu akan mengalami kejang
dan meninggal dalam waktu 24 jam.

“Akarnya memiliki lebih banyak racun, lalu batangnya, dan yang paling sedikit ada di
daun. Meskipun begitu, jika menyentuh daun hemlock, lalu makan roti lapis
setelahnya, kita juga bisa sakit,” papar Leif.

Menurut sebuah studi di Journal of Natural Products, racun di tanaman hemlock


berperan besar pada euthanasia pada masyarakat Sardinia kuno.

Anda mungkin juga menyukai