Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS I

Mata Kanan Mata Kiri Glaukoma Sudut Terbuka Primer (H40.11)

dan Katarak Senilis Imatur (H25.043)

Disusun oleh :
dr. Tegar Chandra B.R.

Pembimbing :
Dr. dr. Fifin Luthfia Rahmi, Sp.M(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
LAPORAN KASUS I

Seorang laki-laki usia 55 tahun dengan Mata Kanan dan Kiri Glaukoma
Sudut Terbuka Primer dan Katarak Senilis Imatur

Dibacakan Oleh : dr. Tegar Chandra B.R.


Pembimbing : Dr. dr. Fifin Luthfia Rahmi, Sp.M(K)

I. PENDAHULUAN
Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan adanya neuropati optik
glaukomatosa dan hilangnya lapang pandang yang khas, dimana peningkatan tekanan
intraokular merupakan salah satu faktor risiko utama.1 Pada glaukoma akan terdapat
melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapangan pandang dan kerusakan
anatomi berupa ekskavasi serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir
dengan kebutaan.1

Glaukoma berdasarkan susunan anatomis sudut iridokornealis diklasifikasikan


menjadi glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka dengan mekanisme yang dapat
terjadi secara primer maupun sekunder.1,2

Diperkirakan 3 juta penduduk Amerika Serikat terkena glaukoma, dan di antara


kasus-kasus tersebut, sekitar 50% tidak terdiagnosis. Sekitar 6 juta orang mengalami
kebutaan akibat glaucoma, termasuk 100.000 penduduk Amerika, menjadikan penyakit ini
sebagai penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah di Amerika Serikat.3

Laporan kasus ini menyajikan kasus seorang laki-laki dengan Primary Open-
Angle Glaucoma. Data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang menjadi dasar penegakan diagnosis serta penatalaksanaan yang
tepat. Perjalanan klinis penderita dan rencana penatalaksanaan yang akan dilakukan
menjadi bahan diskusi utama pada kasus ini.

2
II. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. SN
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kedungwatu, Pati
Pekerjaan : Guru
No. CM : C733261

III. ANAMNESIS ( 15 JANUARI 2019)


Keluhan Utama: Penurunan penglihatan pada kedua mata

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan pandangan kabur disertai mata merah. Pasien tidak
mengeluhkan cekot-cekot hanya kemeng pada kedua mata. Pasien saat ini tidak
mengeluhkan adanya melihat pelangi di sekitar lampu. Pandangan pasien seperti melihat di
dalam terowongan (+), menabrak kursi atau meja saat berjalan(+).
Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien mengeluh penglihatan mata kanan dan kiri
terasa kabur. Kabur dirasakan perlahan-lahan, seperti melihat kabut(+), cekot-cekot
dirasakan hilang timbul pada kedua mata, keluhan mata merah (-) , keluhan melihat
pelangi di sekitar lampu (-), seperti melihat di dalam terowongan (+), mual (-), muntah (-).
Lalu pasien berobat ke dokter umum untuk mengatasi keluhan tersebut. Dikarenakan
belum ada perubahan akhirnya pasien mendapat rujukan ke Dokter Spesialis Mata di
RSUD Pati. Selama pengobatan di Dokter Spesialis Mata, pasien mendapatkan Timol eye
drop, C.lyteers eye drop dan Glaukon-KCL tablet. Karena pengobatan selama hampir 1
tahun belum ada perubahan, kemudian oleh Dokter Spesialis Mata di RSUD Pati pasien
dirujuk ke Poliklinik Mata RSDK.

Riwayat Penyakit Dahulu :


a. Riwayat trauma pada mata disangkal
b. Riwayat pemakaian kacamata disangkal.
c. Riwayat operasi pada mata disangkal.
d. Riwayat sering sakit kepala yang semakin lama semakin berat disangkal.
e. Riwayat sakit batu ginjal disangkal.
f. Riwayat kencing manis disangkal.
g. Riwayat asma (+) sejak usia 30 tahun
3
h. Riwayat darah tinggi (+) sejak ± 3 tahun ini dengan pengobatan yang tidak terkontrol.
i. Riwayat sakit jantung disangkal.
j. Riwayat alergi obat disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi :
Pasien saat ini bekerja sebagai Guru. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS.
Kesan sosial ekonomi cukup.

4
IV. PEMERIKSAAN FISIK ( 15 JANUARI 2019 )
A. Status Umum
Keadaan umum : baik, kesadaran compos mentis
Tanda vital : Tekanan darah : 160/80 mmHg
Frekuensi denyut nadi : 88 x per menit
Frekuensi pernafasan : 20 x per menit
Suhu : 36, 6o C

B. Status Oftalmologi

Foto diambil tanggal 17 Januari 2019

Mata Kanan Mata Kiri

lensa keruh tak rata (+)

Pupil bulat, sentral, reguler, Ø 3 mm, refleks pupil (+) normal

5
Mata Kanan Mata Kiri
Visus 6/7,5 6/6
Koreksi 6/7,5 Pin Hole (-) NC 6/6 E

Hirschberg Test Ortofori, Hirschberg test 0º


Bola Mata Gerak bola mata bebas ke segala Gerak bola mata bebas ke segala
arah arah
Supersilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Palpebra Edema (-), spasme (-) Edema (-), spasme (-)

Konjungtiva Injeksi (-), sekret (-) Injeksi (-), sekret (-)

Kornea Jernih (+) Jernih (+)


COA Van Herick grade III, Van Herick grade III,
cell/flare (-) cell/flare (-)
Iris Kripte (+), atrofi (-), koloboma (-) Kripte (+), atrofi (-), koloboma (-)
Pupil Bulat, sentral, reguler, Ø 3 mm, Bulat, sentral, reguler, Ø 3 mm,
refleks pupil (+) normal refleks pupil (+) normal
Lensa Keruh tak rata, intumesensi (-), Keruh tak rata, intumesensi (-),
glaukomaflecken (-), pigmen iris glaukomaflecken (-), pigmen iris
(-) (-)
R. Fundus (+) Kurang Cemerlang (+) Kurang Cemerlang
TIO 40,7 mmHg 33,7 mmHg

Funduskopi
Mata kanan
Papil N II : Bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,8, excavasio
glaukoma (+), ISNT rule break, notching (+), peripapil atrofi (-),
perdarahan peripapil (-)
Vasa : AVR 2/3, spasme (-),mikroaneurisme (-), AV nicking (-), venous
beading (-)
Retina : Eksudat (-), perdarahan (-), ablasio (-)
Makula : Refleks Fovea (+) cemerlang, perdarahan (-), eksudat (-)
Mata kiri
Papil N II : Bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,9, excavasio
glaukoma (+), ISNT rule break, notching (+), peripapil atrofi (-),
perdarahan peripapil (-)
Vasa : AVR 2/3, spasme (-), mikroaneurisme (-), AV nicking (-), venous
beading (-)
Retina : Eksudat (-), perdarahan (-), ablasio (-)
Makula : Refleks Fovea (+) cemerlang, perdarahan (-), eksudat (-)

6
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Gonioskopi
Mata Kanan : Mata Kiri :

SS SS

SS IP SS SS

IP SS

Hasil Pemeriksaan : MKa MKi sudut iridokornea terbuka

2. HVFA

Mata Kanan Mata Kiri

Hasil Pembacaan : HVFA SITA 10.2

MKa : Reliabel untuk dibaca, dengan defek > 3 titik < 0,5 % dikuadran Superonasal

Hasil : defek arkuata Superonasal

MKi : Reliabel untuk dibaca, dengan defek > 3 titik < 0,5 % dikuadran Nasal

Hasil : defek arkuata Nasal

7
3. OCT Papil N II dan RNFL

Hasil Pembacaan :
Papil N II CDR : MKa 0.912 MKi 0,978

RNFL Avg. Thickness : MKa 57,12 MKi 49,22

Hasil : Lapisan serat saraf retina tipis

8
VI. RESUME
Seorang laki-laki 55 tahun datang ke Poli RSDK dengan keluhan pandangan
kabur disertai hiperemis pada mata. Pasien mengeluhkan kemeng (+) pada kedua
mata dan adanya Tunnel Vision (+) sehingga tanpa disadari menabrak kursi atau
meja saat berjalan. Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien mengeluh penglihatan
mata kanan dan kiri terasa kabur. Kabur dirasakan perlahan-lahan, seperti melihat
kabut (+), cekot-cekot dirasakan hilang timbul pada kedua mata, Tunnel Vision(+).
Lalu pasien berobat ke dokter Spesialis Mata dan pasien mendapatkan obat Timol
eye drop, C.lyteers eye drop, dan Glaukon-KCL tablet. Karena pengobatan selama
hampir 1 tahun belum ada perubahan, kemudian pasien dirujuk ke Poliklinik Mata
RSDK untuk penanganan lebih lanjut. Pasien mempunyai Riwayat Hipertensi sejak 3
tahun ini dengan pengobatan yang tidak terkontrol serta Riwayat Asma dari usia 30
tahun.
Pemeriksaan Fisik :
Status Umum : Composmentis, TD: 160/80 mmhg, RR: 20x/m, HR: 88x/m, T: 36,6
Status Oftalmologi :

Mata Kanan Mata Kiri


Visus 6/7,5 6/6
Koreksi 6/7,5 Pin Hole (-) NC 6/6 E
Palpebra Edema (-), spasme (-) Edema (-), spasme (-)

Konjungtiva Injeksi (-), sekret (-) Injeksi (-), sekret (-)

Kornea Jernih (+) Jernih (+)


COA Van Herick grade III, Van Herick grade III,
cell/flare (-) cell/flare (-)
Iris Kripte (+), atrofi (-), koloboma (-) Kripte (+), atrofi (-), koloboma (-)
Pupil Bulat, sentral, reguler, Ø 3 mm, Bulat, sentral, reguler, Ø 3 mm,
refleks pupil (+) normal refleks pupil (+) normal
Lensa Keruh tak rata, intumesensi (-), Keruh tak rata, intumesensi (-),
glaukomaflecken (-), pigmen iris (-) glaukomaflecken (-), pigmen iris (-)

R. Fundus (+) Kurang Cemerlang (+) Kurang Cemerlang


Funduskopi CDR 0,8, excavasio glaukoma (+), CDR 0,9, excavasio glaukoma (+),
ISNT rule break, notching (+) ISNT rule break, notching (+)
TIO 40,7 mmHg 33,7 mmHg

Pemeriksaan Gonioskop : MKa MKi sudut iridokornea terbuka


Pemeriksaan HVFA : Defek arkuata Superonasal pada Mata Kanan dan Defek arkuata Nasal
pada Mata Kiri
Pemeriksaan OCT Papil N II dan RNFL : Mka Mki Lapisan serat saraf retina tipis

9
VII. DIAGNOSIS BANDING
MKa, MKi Primary Open-Angle Glaucoma
MKa, MKi Primary Angle-Closure Glaucoma

VIII. DIAGNOSIS KERJA


MKa, MKi Primary Open-Angle Glaucoma

IX. DIAGNOSIS TAMBAHAN


MKa, MKi Katarak Senilis Imatur

X. PENATALAKSANAAN
- Pro MKa MKi Trabekulektomi
pasien menolak tindakan operatif, maka digantikan tindakan Mka Mki Laser Surgery
(SLT)
- Travatan ED/24 jam Mka Mki
- Glaukon 250 mg tab/24 jam p.o
- KCL 250 mg tab/24 jam p.o

XI. PROGNOSIS
PROGNOSIS OD OS
QUO AD VISAM Dubia Dubia
QUO AD SANAM Dubia Dubia
QUO AD Ad bonam
COSMETICAM
QUO AD VITAM Ad bonam

XII. EDUKASI

1. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya bahwa pasien


menderita suatu penyakit yang menyebabkan kerusakan saraf penglihatan pada
kedua matanya yang disebut dengan glaukoma.
2. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa kondisi tekanan bola mata
yang tinggi tersebut memang tidak memiliki gejala yang spesifik, namun
dapat berkembang menjadi parah dalam kurun waktu lama, dan menyebabkan
kerusakan saraf mata yang mana lapangan pandang pasien semakin lama akan
semakin menyempit dan apabila sudah dalam tahap lanjut dapat menyebabkan
kedua mata tidak bisa melihat.

10
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa untuk kedua mata pasien perlu
dilakukan tindakan operatif Trabekulektomi dikarenakan obat obatan yang
diminum tidak memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Tindakan
tersebut berguna untuk menurunkan tekanan bola mata yang tinggi. Tetapi
dikarenakan pasien menolak dilakukan tindakan operatif maka digantikan
tindakan Laser Surgery (SLT).
4. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa, pasien akan tetap diberikan
obat tetes mata yang bertujuan menurunkan tekanan bola mata. Obat tersebut
harus dipakai sesuai dengan aturan atau cara pakainya.
5. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan tetap dilakukan evaluasi
terhadap tekanan bola mata dan kondisi saraf mata secara rutin setidaknya
sebulan sekali.
6. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa penting untuk memeriksakan
anggota keluarga yang lain ke dokter mata untuk mendeteksi ada atau tidaknya
penyakit glaukoma.

11
XIII. FOLLOW UP (Kontrol di Poli Merpati)
Tanggal 22 Februari 2019
Keluhan: Tidak ada keluhan.

Status Oftalmologis:
Mata Kanan Mata Kiri

Mata Kanan Mata Kiri Terapi


Visus 6/7,5 6/6
6/7,5 Pin Hole (-)NC 6/6 E  Timolol Maleat
Koreksi 0,5% ED/12 jam
Hirschberg Ortofori, Hirschberg test 0º MKa Mki
Test  Glaukon tab 250
Bola Mata Gerak bola mata bebas ke Gerak bola mata bebas ke mg /8jam p.o
segala arah segala arah  KCL tab 250 mg
Supersilia Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan /8jam p.o
 Na Diclofenac tab
Palpebra Edema (-), spasme (-) Edema (-), spasme (-) 50 mg/12 jam p.o
 Pro Mki
Konjungtiva Injeksi (+), sekret (-) Injeksi (+), sekret (-) Trabekulektomi/LA
(pasien masih pikir-
Kornea Jernih (+) Jernih (+)
pikir)
COA Van Herick grade Van Herick grade
III, cell/flare (-) III, cell/flare (-)
Iris Kripte (+) Kripte (+)
Pupil Bulat, sentral, reguler, Ø Bulat, sentral, reguler, Ø
3 mm, refleks pupil (+) 3 mm, refleks pupil (+)
normal normal
Lensa Keruh tak rata Keruh tak rata
R. Fundus (+) Kurang Cemerlang (+) Kurang Cemerlang
TIO (Schiotz) 42,3 mmHg 40,2 mmHg

12
XIV. DISKUSI

Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan adanya neuropati optik
glaukomatosa dan hilangnya lapang pandang yang khas, dimana peningkatan tekanan
intraokular merupakan salah satu faktor risiko utama.1 Meskipun peningkatan tekanan
intraokuler merupakan salah satu faktor risiko utama, keadaan ada atau
tidaknya peningkatan tekanan intraokuler tersebut tidak mempengaruhi definisi
penyakit ini.1,2

Diperkirakan 3 juta penduduk Amerika Serikat terkena glaukoma, dan di


antara kasus-kasus tersebut, sekitar 50% tidak terdiagnosis. Sekitar 6 juta orang
mengalami kebutaan akibat glaukoma, termasuk 100.000 penduduk Amerika,
menjadikan penyakit ini sebagai penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah di
Amerika Serikat. Ras kulit hitam memiliki risiko yang lebih besar mengalami onset
dini, keterlambatan diagnosis, dan penurunan penglihatan yang berat dibadingkan ras
kulit putih.3

Glaukoma berdasarkan susunan anatomis sudut iridokornealis diklasifikasikan


menjadi glaukoma sudut tertutup dan glaukoma sudut terbuka dengan mekanisme yang
dapat terjadi secara primer maupun sekunder. Glaukoma primer adalah apabila
tidak ditemukan penyakit atau keadaan lain yang mendasari terjadinya hambatan
aliran humor aquos dan peningkatan tekanan intraokuler,. Apabila ditemukan
penyakit atau keadaan lain yang menyebabkan hambatan aliran humor aquos dan
peningkatan intraokuler maka disebut sebagai Glaukoma sekunder.2

Glaukoma sudut terbuka primer (POAG) merupakan neuropati optik kronis yang
progresif dan lambat dengan pola khas kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang
pandang. Sejumlah faktor klinis mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap POAG,
yang merupakan proses penyakit multifaktorial. Ini termasuk peningkatan tekanan
intraokular (IOP), usia lanjut, ras, kornea sentral tipis, dan adanya riwayat keluarga.1

13
PATOGENESIS

Patogenesis glaukoma sudut terbuka primer belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor yang telah diketahui dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah sebagai
berikut :

a. Faktor risiko dan predisposisi :


a. Herediter; terjadi peningkatan risiko sekitar 10% mengidap glaukoma sudut
terbuka primer pada orang yang bersaudara.

b. Usia; risiko mengidap penyakit ini meningkat seiring bertambahnya usia,


penyakit ini lebih sering terjadi pada dekade ke-5 dan ke-7.

c. Ras; lebih sering dan lebih berat pada ras kulit hitam dibandingkan dengan ras
kulit putih.
d. Miopia; lebih sering terjadi pada orang miopia daripada orang normal.
e. Memiliki penyakit sistemik lainnya, seperti diabetes melitus, hipertensi,
penyakit kardiovaskuler, merokok, oklusi vena retina, dan penderita
tirotoksikosis.

b. Patogenesis peningkatan tekanan intraokular. Ada dua teori utama mengenai


mekanisme kerusakan serabut saraf oleh peningkatan tekanan intraokular, yaitu
teori mekanik dan teori vaskular :

1. Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan kerusakan mekanik pada akson


saraf optik dan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian dalam retina, iris dan
korpus siliar juga menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenrasi
hialin sehingga terjadi penurunan penglihatan.2, 7

2. Peningkatan tekanan intraokular menyebabkan iskemia akson saraf akibat


berkurangnya aliran darah pada papil saraf optik. Diskus optikus menjadi atrofi
disertai pembesaran cekungan optikus.2, 7

Gambaran patologik utama pada sudut terbuka primer adalah proses degeneratif di
jaringan trabekular berupa penebalan lamella trabekula yang mengurangi ukuran pori
dan berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas. Termasuk juga bila adanya
pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis
Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses penuaan normal. Akibatnya adalah

14
penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian
tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi
cekungan pada papil saraf optik.2, 7

GEJALA DAN TANDA

Glaukoma sudut terbuka primer sering asimtomatik sampai pada stadium lanjut.
Hasil pemeriksaan yang didapat antara lain :
a. Tekanan intraokuler cenderung meningkat dan fluktuatif (normal antara 10-21 mmHg),
pada beberapa pasien mempunyai tekanan intraokuler kurang dari 21 mmHg.
b. Pemeriksaan segmen anterior tidak menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi pada
mata, tidak ada edema kornea mikrokistik
c. Pemeriksaan gonioskopi menunjukkan adanya penampilan normal, sudut kamera okuli
anterior yang terbuka, tidak didapatkan adanya sinekia anterior perifer.
d. Pemeriksaan papil nervus optikus menunjukkan notching, ISNT rule break, regional
pallor, perdarahan seperti: splinter haemorrhage (Drance haemorrhage), defek lapisan
serabut saraf retina, asimetrisitas cup/disk >0,2 dengan tidak adanya penyebab lain,
bayoneting (angulasi pembuluh darah saat keluar dari nervus), pelebaran C/D ratio
(>0,6), pelebaran cup yang progresif, skor tinggi pada Disc Damage Likelihood Scale
(DDLS).
e. Defek lapang pandang yang khas pada glaukoma di antaranya nasal step, skotoma
parasentral, skotoma arkuata, defek altitudinal, atau depresi generalisata.2-4

DIAGNOSIS

Diagnosis glaukoma sudut terbuka primer ditegakkan apabila ditemukan kelainan-


kelainan glaukomatosa pada diskus optikus dan lapang pandang disertai peningkatan TIO,
sudut kamera anterior terbuka dan tampak normal, dan tidak terdapat faktor penyebab yang
dapat meningkatkan tekanan intraokuler.7 Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan
cara.8

15
1. Mengukur peningkatan TIO dengan menggunakan tonometri Schiotz, Applanasi
Goldman,dan NCT.

2 . Gonioskopi. Sudut pada kamera anterior terbuka seperti pada orang yang tidak
menderita glaukoma.

16
Tabel 1. Sistem Shaffer untuk grading dari glaucoma

Gambar 8. A. Tampilan hasil Gonioskopi B. konfigurasi sudut pada bilik mata depan6

3. Funduskopi. Pemeriksaan untuk melihat papil nervus optikus, untuk melihat adanya
cupping dan atropi papil glaukomatosa.

17
4. Perimetri. Untuk melihat adanya defek lapangan pandang.

Gambar 10. Early glaucoma. Mata panah menunjukkan adanya defek lapangan pandang.8

DIAGNOSIS BANDING

a. Hipertensi okuler: didapatkan tekanan intraokuler yang meningkat, tetapi tidak


didapatkan abnormalitas nervus optikus dan lapang pandang.
b. Physiologic optic nerve cupping : tekanan intraokuler dalam batas normal,
ukuran nervus optikus > 2mm, pelebaran C/D ratio yang statis, tidak didapatkan
rim notching atau defek lapang pandang.
c. Glaukoma sudut terbuka sekunder : dapat ditentukan penyebab terjadinya
glaukoma seperti : lens induced, inflamasi, eksfoliasi, pigmentary, steroid
induced, angle recession, trauma dan yang berkaitan dengan peningkatan
tekanan vena episklera (sindroma Sturge–Weber, fistula kavernosa-karotis),
tumor intraokuler, ghost cell glaucoma, sindroma Schwartz–Matsuo.
d. Low-pressure glaucoma: seperti glaukoma sudut terbuka primer tetapi tekanan
intraokuler dalam batas normal.
e. Riwayat defek glaukomatosa sebelumnya yang berasal dari steroid, uveitis,
krisis glaukomatosiklitis, trauma di mana agen penyebabnya sudahdihilangkan
dan keadaan nervus optikus dalam keadaan statis.
f. Atrofi optik : gambaran nervus optikus pada atrofi optik lebih difokuskan pada
warna papil nervus optikus yang pucat dibandingkan dengan cupping. Tekanan
intraokuler seringnya dalam batas normal. Penglihatan warna dan sentral sering
menurun. Defek lapang pandang yang terjadi menyinggung garis vertikal,
sering didapatkan pada lesi intracranial atau posterior chiasma.
18
g. Defek kongenital nervus optikus (tilted disc, koloboma, optic nerve pit): Defek
lapang pandang yang terjadi mungkin ada tetapi statis.
h. Optic nerve drusen: Nervus optikus tidak mengalami cupping, drusen pada
nervus sering terlihat. Defek lapang pandang bisa stabil atau mengalami
progresi tidak berkaitan dengan tekanan intraokuler, di mana gambaran defek
lapang pandang umumnya berbentuk arkuata atau pelebaran bintik buta.1,3

PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS

Fungsi penglihatan pada pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer


umumnya masih dapat dipertahankan. Risiko kebutaan menjadi lebih besar jika
pada saat terdiagnosis glaukoma, pasien sudah mengeluhkan adanya gangguan
lapang pandang. Risiko terjadinya kebutaan unilateral sebesar 7,4% dan kebutaan
bilateral sebesar 3,4% dalam kurun waktu 10 tahun terdiagnosis. Penggunaan obat-
obatan topikal, tindakan laser, maupun tindakan bedah filtasi untuk penurunan
tekanan intraokuler dilaporkan menunjukkan hasil signifikan terhadap penurunan
risiko terjadinya progresi glaukoma.1
Beberapa pertimbangan penatalaksanaan glaukoma sudut terbuka primer :
a. Proses glaukomatosa yang progresif dan aktif, dengan DDLS >5, adanya defek
lapang pandang, acquired pit atau notched rim, tekanan intraokuler lebih dari 34
mmHg, asimetrisitas tekanan intraokuler lebih dari 10 mmHg, atau jika ukuran disc
< 1,5 mm dengan rasio C/D > 0,3 dan adanya perdarahan pada diskus optikus.
b. Pertimbangan usia pasien, aktivitas fisik dan sosial pasien.
c. Tujuan terapi untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dari nervus optikus dengan
cara menurunkan tekanan intraokuler setidaknya sebesar 30%.3,4

Penatalaksanaan pada kasus glaukoma sudut terbuka primer diawali


dengan pemberian monoterapi. Terapi dengan argon laser trabeculoplasty (ALT)
dan selective laser trabeculoplasty (SLT) dapat dilakukan sebagai terapi inisial,
terutama pada pasien dengan kepatuhan yang buruk, adanya efek samping
pemberian obat, dan pasien dengan pigmentasi trabecular meshwork posterior.
Terapi bedah diperlukan jika kerusakan nervus optikus yang terjadi sudah tahap
lanjut dengan adanya progresivitas glaukoma yang cepat.1,3,5
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan antara lain:
1. Prostaglandin analog (latanoprost 0.005%, bimatoprost 0.03%, travoprost
0.004%) yang diberikan sekali sehari saat malam hari. Efek samping dari

19
pemberian obat ini adalah pigmentasi iris dan kulit periorbita, hipertrikosis pada
silia.
2. Beta-bloker (timolol 0.25%-0.5%). Pemberiannya sebanyak dua kali sehari.
Pemberian obat golongan ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan asma,
penyakit paru obstruktif kronik, bradiaritmia, gagal jantung, depresi, atau
miastenia gravis.
3. α2 agonis (brimonidine 0.1%, 0.15%, atau 0.2%), di mana golongan obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien yang mengonsumsi obat golongan inhibitor,
monoamine oksidase dan pasien anak di bawah usia 5 tahun (risiko depresi sistem
saraf pusat dan sistem kardiorespiratorik). Apraklonidin dapat digunakan untuk terapi
jangka pendek (3 bulan) walaupun pernah dilaporkan adanya kejadian alergi dan
penurunan efektivitas.
4. Inhibitor karbonik anhydrase topikal (dorzolamide 2% atau brinzolamide 1%
yang dapat diberikan dua atau tiga kali sehari). Pemberian obat golongan ini
perlu dihindari pada pasien dengan alergi sulfa. Efek samping yang timbul
seperti pada pemberian obat secara sistemik, meliputi asidosis metabolik,
hipokalemi, gangguan gastrointestinal, penurunan berat badan, anemia aplastik,
dan parestesi. Disfungsi endotel kornea dapat mengalami eksaserbasi pada
penggunaan secara topikal.
5. Miotikum (pilokarpin 0,5%-4% yang dapat diberikan empat kali sehari).
Penggunaan obat ini sering tidak dapat ditoleransi oleh pasien dengan usia di
atas 40 tahun karena adanya spasme akomodatif, dan perlu pertimbangan
khusus untuk penggunaan obat ini pada pasien dengan retinal hole, dan risiko
retinal detachment, seperti pada pasien miopia dan afakia.
6. Simpatomimetik (dipivefrin 0.1% atau epinefrin 0.5%-2.0% yang dapat
diberikan dua kali sehari). Obat golongan ini tidak terlalu berefek terhadap
penurunan tekanan intraokuler tetapi efek samping sistemik lebih jarang. Obat
ini sering menyebabkan mata merah dan risiko edema makula sistoid pada
pasien afakia.
7. Inhibitor karbonik anhydrase sistemik (methazolamide 25-50 mg dua-tiga kali
sehari, acetazolamide 125-250 mg dua-tiga kali sehari, atau acetazolamide 500
mg dua kali sehari). Obat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan alergi
sulfa atau gangguan ginjal. Pemeriksaan yang perlu dilakukan selama evaluasi
pemberian obat ini adalah kadar potassium. Efek samping yang dikeluhkan
antara lain fatigue, mual, confusion, dan parestesi. Kejadian anemia aplastik dan

20
sindroma Steven-Johnson pernah dilaporkan pada penggunaan obat ini.2-4
Laser trabeculoplasty merupakan salah satu modalitas terapi pada
glaukoma sudut terbuka primer, di mana energi laser yang dipancarkan diarahkan
ke trabecular meshwork sebesar 180°–360°. Tujuan dilakukan laser adalan untuk
meningkatkan fasilitasi aliran humor aquous yang selanjutnya akan menurunkan
tekanan intraokuler. Indikasi tindakan laser antara lain: glaukoma sudut terbuka
primer, exfoliation glaucoma, pigmentary glaucoma, glaukoma sudut tertutup
primer pasca laser iridotomi, mixed glaucoma, dan pada pasien yang tidak toleran
terhadap terapi medikamentosa. Pasien dengan inflammatory glaucoma,
iridocorneal endothelial syndrome, glaukoma neovaskular, synechial angle
closure, atau developmental glaucoma merupakan kontraindikasi untuk dilakukan
laser. Terapi laser Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) dan Selective Laser
Trabeculoplasty (SLT) memiliki efektivitas yang sama dalam penurunan tekanan
intraokuler, yaitu sebesar 20-25%. Studi-studi terdahulu menyebutkan bahwa ALT
termasuk dalam terapi lini pertama glaukoma sudut terbuka primer, namun angka
keberhasilannya yang semula bisa mencapai 70-80% menurun menjadi 50% dalam
2-5 tahun terakhir.1,5
Mekanisme kerja ALT adalah dengan menyebabkan injuri termal pada
trabecular meshwork yang selanjutnya terjadi penyusutan serat kolagen, pelepasan
mediator kimiawi dari sel trabekular (interleukin-1β dan tumor necrosis factor-α),
induksi matriks metalloproteinase yang akan meningkatkan fasilitasi aliran humor
aquous. Mekanisme SLT yang menggunakan Q-switched laser Nd: YAG dobel
frekuensi akan diabsorbsi secara selektif oleh sel trabekular yang berpigmen.
Peningkatan jumlah monosit dan makrofag pada trabecular meshwork
diperkirakan berperan dalam penurunan tekanan intraokuler pada SLT.1
Beberapa hal penting dalam evaluasi preoperatif adalah riwayat perjalanan
penyakit dan hasil pemeriksaan fisik yang didapat. Trabecular meshwork harus
dapat terlihat pada gonioskopi. Derajat pigmentasi pada sudut iridokornealis akan
menentukan power laser, di mana semakin berpigmen, energi yang dibutuhkan
semakin sedikit.1
Laser 50-μm dengan durasi 0.1 detik difokuskan pada batas trabecular
meshwork anterior yang tidak berpigmen dengan posterior yang berpigmen. Titrasi
perlu dilakukan dalam penentuan power (300-1000 mW) untuk mencapai endpoint
yang diinginkan, yang akan memunculkan suatu tiny bubble. Jika muncul large
bubble maka power diturunkan. Energi laser diaplikasikan sebesar 360°. Pada teknik
21
laser yang menggunakan laser diode, sinar laser 50-75 μm difokuskan melalui
goniolens dengan power 600-1000 Mw dan durasi 0.1 detik. Qswitched Nd:YAG
laser dobel frekuensi (532 nm) pada SLT ditargetkan pada melanin intraselular,
dengan spot size sebesar 400 μm untuk menyalurkan 0,4-1,5mJ energi per spot
selama 3.0 ns, dititrasi hingga muncul bubbles. Studi histologi yang pernah
dilakukan terhadap SLT melaporkan bahwa kerusakan jaringan yang terjadi lebih
minimal dibandingkan kerusakan jaringan akibat ALT.1
Komplikasi yang paling sering terjadi setelah terapi laser adalah
peningkatan tekanan intraokuler (bisa mencapai 50-60 mmHg) yang terjadi secara
transien, 1 jam pasca tindakan, dan dilaporkan pada 20% pasien. Hal ini dapat
diminimalisasi dengan menembakkan laser hanya pada 180° area saja. Terapi
medikamentosa dapat digunakan untuk menanggulangi komplikasi ini.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah low-grade anterior uveitis (dapat
ditangani dengan pemberian antiinflamasi topikal selama 4-7 hari), hifema,
inflamasi dan edema kornea, dan peningkatan tekanan intraokuler yang persisten
sehingga membutuhkan tindakan bedah.1,5,6
Evaluasi pasca tindakan laser dilakukan selama 4-6 minggu untuk dapat
ditentukan apakah perlu adanya tatalaksana tambahan. Penurunan tekanan
intraokuler pada 80% pasien yang tidak terkontrol dengan obat dapat bertahan
selama 6-12 bulan pasca tindakan laser. Data jangka panjang menunjukkan bahwa
pasien yang menunjukkan respon awal bagus dapat mempertahankan penurunan
tekanan intraokuler selama 3- 5 tahun. Tingkat keberhasilan penurunan TIO
selama 10 tahun adalah sebesar 30%. Tindakan laser ulang dapat dipertimbangkan
jika target tekanan intraokuler belum dapat dicapai, terutama jika tindakan laser
sebelumnya tidak mencakup 360°. Namun, angka keberhasilannya lebih rendah
dan risiko komplikasi menjadi lebih tinggi.1,4,6
Tindakan Bedah Filtrasi
Tindakan bedah yang dilakukan adalah trabekulektomi. Trabekulektomi
dapat sekaligus menggunakan obat antimetabolit seperti mitomisin C dan 5-
fluorourasil, yang dapat meningkatkan efektivitas terapi tetapi juga akan
meningkatkan risiko komplikasi seperti kebocoran bleb dan hipotoni.1,3,5
Evaluasi Pemantauan Terapi
1. Evaluasi 4-6 minggu pasca pemberian terapi medikamentosa atau terapi laser.
2. Evaluasi 1-3 hari diperlukan jika kerusakan nervus optikus yang ditemukan
sudah tahap lanjut atau tekanan intraokuler masih tinggi
22
3. Jika penurunan tekanan intraokuler sudah adekuat, dilakukan reevaluasi setelah
3- 6 bulan untuk pengukuran tekanan intraokuler kembali dan pemeriksaan
nervus optikus.
4. Evaluasi gonioskopi dilakukan setahun sekali dan setelah memulai
menggunakan obat kolinergik (pilokarpin).
5. Evaluasi lapang pandang dan pemeriksaan nervus optikus dengan HVFA, OCT,
atau HRT tiap 6-12 bulan. Jika tekanan intraokuler belum terkontrol,
pemeriksaan lapang pandang dilakukan lebih sering.
6. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi dilakukan setahun sekali.

7. Jika terjadi progresivitas glaukoma, evaluasi kembali patient compliance


sebelum menggunakan alternatif terapi lainnya.
8. Evaluasi efek samping obat antiglaukoma yang timbul atau dikeluhkan pasien.4,6

KOMPLIKASI
Tanpa pengobatan glaukoma sudut terbuka dapat bekembang secara perlahan
sehingga akhirnya menimbulkan kebutaan total.9

PEMBAHASAN KASUS
Laporan kasus ini membahas tentang pasien seorang laki-laki, usia 55 tahun
dengan keluhan sejak kurang lebih satu tahun sebelum berobat ke Poliklinik Mata
RSDK penglihatan mata kanan dan kiri terasa kabur. Kabur dirasakan perlahan-lahan,
seperti melihat kabut (+), cekot-cekot dirasakan hilang timbul pada kedua mata, tidak
ada keluhan mata merah, ada keluhan melihat pelangi di sekitar lampu, pasien mengeluh
seperti melihat di dalam terowongan sehingga secara tidak sadar menabrak kursi atau
meja, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Lalu pasien berobat ke dokter umum untuk mengatasi keluhan tersebut.
Dikarenakan belum ada perubahan akhirnya pasien mendapat rujukan ke Dokter
Spesialis Mata di RSUD Pati. Selanjutnya dikarenakan pengobatan selama hampir 1
tahun belum ada perubahan, kemudian oleh Dokter Spesialis Mata di RSUD Pati pasien
dirujuk ke Poliklinik Mata RSDK.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan visus mata kanan 6/20, visus mata kiri 6/6,6,
tekanan intraokuler mata kanan 40,7 mmHg dan mata kiri 37,7 mmHg. Pemeriksaan
mata kanan didapatkan injeksi konjungtiva, kedalaman COA dalam, pupil bulat diameter
3 mm, letak sentral, reflek pupil positif normal, lensa keruh tak rata, pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan fundus reflek kurang cemerlang, papil glaukomatosa, gonioskopi
23
menunjukkan sudut iridokornea terbuka di empat kuadran. Pemeriksaan mata kiri
didapatkan injeksi konjungtiva, kedalaman COA dalam, pupil bulat diameter 3 mm,
letak sentral, reflek pupil positif normal, lensa keruh tak rata, pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan fundus reflek kurang cemerlang, papil glaukomatosa, gonioskopi
menunjukkan sudut iridokornea terbuka di empat kuadran.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis
mata kanan dan mata kiri glaukoma sudut terbuka primer karena gejala yang dikeluhkan
pasien adalah pandangan kabur yang bersifat kronis progresif. Pemeriksaan fisik
menunjukkan adanya penurunan visus, tekanan intraokuler yang meningkat, keadaan
segmen anterior terdapat salah satu tanda inflamasi tetapi tidak disertai keluhan cekot-
cekot, mual dan muntah. Dengan pemeriksaan gonioskopi menunjukkan sudut yang
terbuka (iris processus dan schleral spur). Pemeriksaan papil nervus optikus kanan dan
kiri menunjukkan adanya papil glaukomatosa dengan CDR yang melebar dan
medialisasi.
Diagnosis banding Primary Angle Closure Glaucoma dapat tersingkirkan
dengan hasil pemeriksaan gonioskopi yang menunjukkan sudut yang terbuka (terlihat
iris processus dan schleral spur).
Penegakan diagnosis ini dapat didukung dengan pemeriksaan OCT (optical
coherence tomography) Papil Nervus II yang dapat menilai lebih tepat adanya excavatio
glaukomatosa. Dan pemeriksaan OCT RNFL (retinal nerve fiber layer) untuk menilai
ketebalan serabut saraf yang sudah mengalami penipisan. Serta dapat dilakukan
pemeriksaan HVFA untuk menunjukkan adanya defek lapang pandang khas glaukoma.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian terapi
medikamentosa Travatan ED/24 jam mata kanan dan kiri, Glaukon-KCL 250 mg/24 jam
per oral. Kemudian direncanakan akan dilakukan prosedur tindakan bedah berupa
Trabekulektomi untuk menurunkan TIO (tekanan intra okuler) tetapi pasien menolak.
Dikarenakan pasien menolak, maka selanjutnya dilakukan tindakan Laser Surgery (SLT)
pada mata kanan dan mata kiri.

KESIMPULAN

Glaukoma sudut terbuka primer ditandai dengan adanya neuropati optik yang
berlangsung kronik dan progresif dengan suatu pola karakteristik kerusakan nervus
optikus dan defek lapang pandang. sering asimtomatik sampai pada stadium lanjut.
Tatalaksana yang dilakukan antara lain dengan terapi medikamentosa yang diawali

24
dengan monoterapi, terapi laser, atau tindakan bedah filtrasi berupa trabekulektomi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan didukung pemeriksaan penunjang
yang sesuai diperlukan demi mendapatkan penatalaksanaan yang tepat berdasarkan
kondisi dari pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Girkin, Christopher et al. Glaucoma. In Basic and Clinical Science Course Section 10.
San Francisco: The Foundation of American Academy of Ophthalmology; 2016: p.113-
158
2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin : Pusat Data dan Informasi. Situasi dan
Analisis Glaukoma. Jakarta : Kemenkes RI. 2015.
3. Ramakrishnan R, Krishnadas SR, Khurana M, Robin AL. Diagnosis and
Management of Glaucoma. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers;
2013.
4. Bagheri, Nika and Wajda, Brynn N. The Wills Eye Manual. 7th Edition.
Philadelphia : Wolters Kluwer; 2017.
5. Japan Glaucoma Society. Guidelines for Glaucoma (2nd Edition). Japan : Japan
Glaucoma Society; 2006.
6. Fongeret et al. Care of Patients with Open Angle Glaucoma. Amerika Serikat:
American Optometrist Association; 2010.
7. Ilyas S. Glaukoma. Dalam : Ilyas S, Editor. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.
Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2008. Hal. 212-17
8. Shibal Bhartiya. Clinical Cases in Glaucoma : An Evidence-based Approach.
Jaypee Brothers Medical Publisher. 2017
9. Vaughan D, Eva PR. Glaukoma. Dalam : Suyono YJ, Editor. Oftalmologi
Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika; 2000. Hal. 220-39.

Anda mungkin juga menyukai