Disusun oleh :
dr. Tegar Chandra B.R.
Pembimbing :
Dr. dr. Fifin Luthfia Rahmi, Sp.M(K)
Seorang laki-laki usia 55 tahun dengan Mata Kanan dan Kiri Glaukoma
Sudut Terbuka Primer dan Katarak Senilis Imatur
I. PENDAHULUAN
Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan adanya neuropati optik
glaukomatosa dan hilangnya lapang pandang yang khas, dimana peningkatan tekanan
intraokular merupakan salah satu faktor risiko utama.1 Pada glaukoma akan terdapat
melemahnya fungsi mata dengan terjadinya cacat lapangan pandang dan kerusakan
anatomi berupa ekskavasi serta degenerasi papil saraf optik, yang dapat berakhir
dengan kebutaan.1
Laporan kasus ini menyajikan kasus seorang laki-laki dengan Primary Open-
Angle Glaucoma. Data yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan penunjang menjadi dasar penegakan diagnosis serta penatalaksanaan yang
tepat. Perjalanan klinis penderita dan rencana penatalaksanaan yang akan dilakukan
menjadi bahan diskusi utama pada kasus ini.
2
II. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SN
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Kedungwatu, Pati
Pekerjaan : Guru
No. CM : C733261
4
IV. PEMERIKSAAN FISIK ( 15 JANUARI 2019 )
A. Status Umum
Keadaan umum : baik, kesadaran compos mentis
Tanda vital : Tekanan darah : 160/80 mmHg
Frekuensi denyut nadi : 88 x per menit
Frekuensi pernafasan : 20 x per menit
Suhu : 36, 6o C
B. Status Oftalmologi
5
Mata Kanan Mata Kiri
Visus 6/7,5 6/6
Koreksi 6/7,5 Pin Hole (-) NC 6/6 E
Funduskopi
Mata kanan
Papil N II : Bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,8, excavasio
glaukoma (+), ISNT rule break, notching (+), peripapil atrofi (-),
perdarahan peripapil (-)
Vasa : AVR 2/3, spasme (-),mikroaneurisme (-), AV nicking (-), venous
beading (-)
Retina : Eksudat (-), perdarahan (-), ablasio (-)
Makula : Refleks Fovea (+) cemerlang, perdarahan (-), eksudat (-)
Mata kiri
Papil N II : Bulat, batas tegas, warna kuning kemerahan, CDR 0,9, excavasio
glaukoma (+), ISNT rule break, notching (+), peripapil atrofi (-),
perdarahan peripapil (-)
Vasa : AVR 2/3, spasme (-), mikroaneurisme (-), AV nicking (-), venous
beading (-)
Retina : Eksudat (-), perdarahan (-), ablasio (-)
Makula : Refleks Fovea (+) cemerlang, perdarahan (-), eksudat (-)
6
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Gonioskopi
Mata Kanan : Mata Kiri :
SS SS
SS IP SS SS
IP SS
2. HVFA
MKa : Reliabel untuk dibaca, dengan defek > 3 titik < 0,5 % dikuadran Superonasal
MKi : Reliabel untuk dibaca, dengan defek > 3 titik < 0,5 % dikuadran Nasal
7
3. OCT Papil N II dan RNFL
Hasil Pembacaan :
Papil N II CDR : MKa 0.912 MKi 0,978
8
VI. RESUME
Seorang laki-laki 55 tahun datang ke Poli RSDK dengan keluhan pandangan
kabur disertai hiperemis pada mata. Pasien mengeluhkan kemeng (+) pada kedua
mata dan adanya Tunnel Vision (+) sehingga tanpa disadari menabrak kursi atau
meja saat berjalan. Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien mengeluh penglihatan
mata kanan dan kiri terasa kabur. Kabur dirasakan perlahan-lahan, seperti melihat
kabut (+), cekot-cekot dirasakan hilang timbul pada kedua mata, Tunnel Vision(+).
Lalu pasien berobat ke dokter Spesialis Mata dan pasien mendapatkan obat Timol
eye drop, C.lyteers eye drop, dan Glaukon-KCL tablet. Karena pengobatan selama
hampir 1 tahun belum ada perubahan, kemudian pasien dirujuk ke Poliklinik Mata
RSDK untuk penanganan lebih lanjut. Pasien mempunyai Riwayat Hipertensi sejak 3
tahun ini dengan pengobatan yang tidak terkontrol serta Riwayat Asma dari usia 30
tahun.
Pemeriksaan Fisik :
Status Umum : Composmentis, TD: 160/80 mmhg, RR: 20x/m, HR: 88x/m, T: 36,6
Status Oftalmologi :
9
VII. DIAGNOSIS BANDING
MKa, MKi Primary Open-Angle Glaucoma
MKa, MKi Primary Angle-Closure Glaucoma
X. PENATALAKSANAAN
- Pro MKa MKi Trabekulektomi
pasien menolak tindakan operatif, maka digantikan tindakan Mka Mki Laser Surgery
(SLT)
- Travatan ED/24 jam Mka Mki
- Glaukon 250 mg tab/24 jam p.o
- KCL 250 mg tab/24 jam p.o
XI. PROGNOSIS
PROGNOSIS OD OS
QUO AD VISAM Dubia Dubia
QUO AD SANAM Dubia Dubia
QUO AD Ad bonam
COSMETICAM
QUO AD VITAM Ad bonam
XII. EDUKASI
10
3. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa untuk kedua mata pasien perlu
dilakukan tindakan operatif Trabekulektomi dikarenakan obat obatan yang
diminum tidak memberikan hasil pengobatan yang maksimal. Tindakan
tersebut berguna untuk menurunkan tekanan bola mata yang tinggi. Tetapi
dikarenakan pasien menolak dilakukan tindakan operatif maka digantikan
tindakan Laser Surgery (SLT).
4. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa, pasien akan tetap diberikan
obat tetes mata yang bertujuan menurunkan tekanan bola mata. Obat tersebut
harus dipakai sesuai dengan aturan atau cara pakainya.
5. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa akan tetap dilakukan evaluasi
terhadap tekanan bola mata dan kondisi saraf mata secara rutin setidaknya
sebulan sekali.
6. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa penting untuk memeriksakan
anggota keluarga yang lain ke dokter mata untuk mendeteksi ada atau tidaknya
penyakit glaukoma.
11
XIII. FOLLOW UP (Kontrol di Poli Merpati)
Tanggal 22 Februari 2019
Keluhan: Tidak ada keluhan.
Status Oftalmologis:
Mata Kanan Mata Kiri
12
XIV. DISKUSI
Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan adanya neuropati optik
glaukomatosa dan hilangnya lapang pandang yang khas, dimana peningkatan tekanan
intraokular merupakan salah satu faktor risiko utama.1 Meskipun peningkatan tekanan
intraokuler merupakan salah satu faktor risiko utama, keadaan ada atau
tidaknya peningkatan tekanan intraokuler tersebut tidak mempengaruhi definisi
penyakit ini.1,2
Glaukoma sudut terbuka primer (POAG) merupakan neuropati optik kronis yang
progresif dan lambat dengan pola khas kerusakan saraf optik dan kehilangan lapang
pandang. Sejumlah faktor klinis mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap POAG,
yang merupakan proses penyakit multifaktorial. Ini termasuk peningkatan tekanan
intraokular (IOP), usia lanjut, ras, kornea sentral tipis, dan adanya riwayat keluarga.1
13
PATOGENESIS
Patogenesis glaukoma sudut terbuka primer belum diketahui secara pasti. Beberapa
faktor yang telah diketahui dapat menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah sebagai
berikut :
c. Ras; lebih sering dan lebih berat pada ras kulit hitam dibandingkan dengan ras
kulit putih.
d. Miopia; lebih sering terjadi pada orang miopia daripada orang normal.
e. Memiliki penyakit sistemik lainnya, seperti diabetes melitus, hipertensi,
penyakit kardiovaskuler, merokok, oklusi vena retina, dan penderita
tirotoksikosis.
Gambaran patologik utama pada sudut terbuka primer adalah proses degeneratif di
jaringan trabekular berupa penebalan lamella trabekula yang mengurangi ukuran pori
dan berkurangnya jumlah sel trabekula pembatas. Termasuk juga bila adanya
pengendapan bahan ekstrasel di dalam jalinan dan di bawah lapisan endotel kanalis
Schlemm. Hal ini berbeda dengan proses penuaan normal. Akibatnya adalah
14
penurunan drainase humor aquos yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular. Tekanan intraokular yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik
yang merupakan tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian
tepi papil saraf optik relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi
cekungan pada papil saraf optik.2, 7
Glaukoma sudut terbuka primer sering asimtomatik sampai pada stadium lanjut.
Hasil pemeriksaan yang didapat antara lain :
a. Tekanan intraokuler cenderung meningkat dan fluktuatif (normal antara 10-21 mmHg),
pada beberapa pasien mempunyai tekanan intraokuler kurang dari 21 mmHg.
b. Pemeriksaan segmen anterior tidak menunjukkan adanya tanda-tanda inflamasi pada
mata, tidak ada edema kornea mikrokistik
c. Pemeriksaan gonioskopi menunjukkan adanya penampilan normal, sudut kamera okuli
anterior yang terbuka, tidak didapatkan adanya sinekia anterior perifer.
d. Pemeriksaan papil nervus optikus menunjukkan notching, ISNT rule break, regional
pallor, perdarahan seperti: splinter haemorrhage (Drance haemorrhage), defek lapisan
serabut saraf retina, asimetrisitas cup/disk >0,2 dengan tidak adanya penyebab lain,
bayoneting (angulasi pembuluh darah saat keluar dari nervus), pelebaran C/D ratio
(>0,6), pelebaran cup yang progresif, skor tinggi pada Disc Damage Likelihood Scale
(DDLS).
e. Defek lapang pandang yang khas pada glaukoma di antaranya nasal step, skotoma
parasentral, skotoma arkuata, defek altitudinal, atau depresi generalisata.2-4
DIAGNOSIS
15
1. Mengukur peningkatan TIO dengan menggunakan tonometri Schiotz, Applanasi
Goldman,dan NCT.
2 . Gonioskopi. Sudut pada kamera anterior terbuka seperti pada orang yang tidak
menderita glaukoma.
16
Tabel 1. Sistem Shaffer untuk grading dari glaucoma
Gambar 8. A. Tampilan hasil Gonioskopi B. konfigurasi sudut pada bilik mata depan6
3. Funduskopi. Pemeriksaan untuk melihat papil nervus optikus, untuk melihat adanya
cupping dan atropi papil glaukomatosa.
17
4. Perimetri. Untuk melihat adanya defek lapangan pandang.
Gambar 10. Early glaucoma. Mata panah menunjukkan adanya defek lapangan pandang.8
DIAGNOSIS BANDING
19
pemberian obat ini adalah pigmentasi iris dan kulit periorbita, hipertrikosis pada
silia.
2. Beta-bloker (timolol 0.25%-0.5%). Pemberiannya sebanyak dua kali sehari.
Pemberian obat golongan ini sebaiknya dihindari pada pasien dengan asma,
penyakit paru obstruktif kronik, bradiaritmia, gagal jantung, depresi, atau
miastenia gravis.
3. α2 agonis (brimonidine 0.1%, 0.15%, atau 0.2%), di mana golongan obat ini
tidak boleh diberikan pada pasien yang mengonsumsi obat golongan inhibitor,
monoamine oksidase dan pasien anak di bawah usia 5 tahun (risiko depresi sistem
saraf pusat dan sistem kardiorespiratorik). Apraklonidin dapat digunakan untuk terapi
jangka pendek (3 bulan) walaupun pernah dilaporkan adanya kejadian alergi dan
penurunan efektivitas.
4. Inhibitor karbonik anhydrase topikal (dorzolamide 2% atau brinzolamide 1%
yang dapat diberikan dua atau tiga kali sehari). Pemberian obat golongan ini
perlu dihindari pada pasien dengan alergi sulfa. Efek samping yang timbul
seperti pada pemberian obat secara sistemik, meliputi asidosis metabolik,
hipokalemi, gangguan gastrointestinal, penurunan berat badan, anemia aplastik,
dan parestesi. Disfungsi endotel kornea dapat mengalami eksaserbasi pada
penggunaan secara topikal.
5. Miotikum (pilokarpin 0,5%-4% yang dapat diberikan empat kali sehari).
Penggunaan obat ini sering tidak dapat ditoleransi oleh pasien dengan usia di
atas 40 tahun karena adanya spasme akomodatif, dan perlu pertimbangan
khusus untuk penggunaan obat ini pada pasien dengan retinal hole, dan risiko
retinal detachment, seperti pada pasien miopia dan afakia.
6. Simpatomimetik (dipivefrin 0.1% atau epinefrin 0.5%-2.0% yang dapat
diberikan dua kali sehari). Obat golongan ini tidak terlalu berefek terhadap
penurunan tekanan intraokuler tetapi efek samping sistemik lebih jarang. Obat
ini sering menyebabkan mata merah dan risiko edema makula sistoid pada
pasien afakia.
7. Inhibitor karbonik anhydrase sistemik (methazolamide 25-50 mg dua-tiga kali
sehari, acetazolamide 125-250 mg dua-tiga kali sehari, atau acetazolamide 500
mg dua kali sehari). Obat ini tidak boleh digunakan pada pasien dengan alergi
sulfa atau gangguan ginjal. Pemeriksaan yang perlu dilakukan selama evaluasi
pemberian obat ini adalah kadar potassium. Efek samping yang dikeluhkan
antara lain fatigue, mual, confusion, dan parestesi. Kejadian anemia aplastik dan
20
sindroma Steven-Johnson pernah dilaporkan pada penggunaan obat ini.2-4
Laser trabeculoplasty merupakan salah satu modalitas terapi pada
glaukoma sudut terbuka primer, di mana energi laser yang dipancarkan diarahkan
ke trabecular meshwork sebesar 180°–360°. Tujuan dilakukan laser adalan untuk
meningkatkan fasilitasi aliran humor aquous yang selanjutnya akan menurunkan
tekanan intraokuler. Indikasi tindakan laser antara lain: glaukoma sudut terbuka
primer, exfoliation glaucoma, pigmentary glaucoma, glaukoma sudut tertutup
primer pasca laser iridotomi, mixed glaucoma, dan pada pasien yang tidak toleran
terhadap terapi medikamentosa. Pasien dengan inflammatory glaucoma,
iridocorneal endothelial syndrome, glaukoma neovaskular, synechial angle
closure, atau developmental glaucoma merupakan kontraindikasi untuk dilakukan
laser. Terapi laser Argon Laser Trabeculoplasty (ALT) dan Selective Laser
Trabeculoplasty (SLT) memiliki efektivitas yang sama dalam penurunan tekanan
intraokuler, yaitu sebesar 20-25%. Studi-studi terdahulu menyebutkan bahwa ALT
termasuk dalam terapi lini pertama glaukoma sudut terbuka primer, namun angka
keberhasilannya yang semula bisa mencapai 70-80% menurun menjadi 50% dalam
2-5 tahun terakhir.1,5
Mekanisme kerja ALT adalah dengan menyebabkan injuri termal pada
trabecular meshwork yang selanjutnya terjadi penyusutan serat kolagen, pelepasan
mediator kimiawi dari sel trabekular (interleukin-1β dan tumor necrosis factor-α),
induksi matriks metalloproteinase yang akan meningkatkan fasilitasi aliran humor
aquous. Mekanisme SLT yang menggunakan Q-switched laser Nd: YAG dobel
frekuensi akan diabsorbsi secara selektif oleh sel trabekular yang berpigmen.
Peningkatan jumlah monosit dan makrofag pada trabecular meshwork
diperkirakan berperan dalam penurunan tekanan intraokuler pada SLT.1
Beberapa hal penting dalam evaluasi preoperatif adalah riwayat perjalanan
penyakit dan hasil pemeriksaan fisik yang didapat. Trabecular meshwork harus
dapat terlihat pada gonioskopi. Derajat pigmentasi pada sudut iridokornealis akan
menentukan power laser, di mana semakin berpigmen, energi yang dibutuhkan
semakin sedikit.1
Laser 50-μm dengan durasi 0.1 detik difokuskan pada batas trabecular
meshwork anterior yang tidak berpigmen dengan posterior yang berpigmen. Titrasi
perlu dilakukan dalam penentuan power (300-1000 mW) untuk mencapai endpoint
yang diinginkan, yang akan memunculkan suatu tiny bubble. Jika muncul large
bubble maka power diturunkan. Energi laser diaplikasikan sebesar 360°. Pada teknik
21
laser yang menggunakan laser diode, sinar laser 50-75 μm difokuskan melalui
goniolens dengan power 600-1000 Mw dan durasi 0.1 detik. Qswitched Nd:YAG
laser dobel frekuensi (532 nm) pada SLT ditargetkan pada melanin intraselular,
dengan spot size sebesar 400 μm untuk menyalurkan 0,4-1,5mJ energi per spot
selama 3.0 ns, dititrasi hingga muncul bubbles. Studi histologi yang pernah
dilakukan terhadap SLT melaporkan bahwa kerusakan jaringan yang terjadi lebih
minimal dibandingkan kerusakan jaringan akibat ALT.1
Komplikasi yang paling sering terjadi setelah terapi laser adalah
peningkatan tekanan intraokuler (bisa mencapai 50-60 mmHg) yang terjadi secara
transien, 1 jam pasca tindakan, dan dilaporkan pada 20% pasien. Hal ini dapat
diminimalisasi dengan menembakkan laser hanya pada 180° area saja. Terapi
medikamentosa dapat digunakan untuk menanggulangi komplikasi ini.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah low-grade anterior uveitis (dapat
ditangani dengan pemberian antiinflamasi topikal selama 4-7 hari), hifema,
inflamasi dan edema kornea, dan peningkatan tekanan intraokuler yang persisten
sehingga membutuhkan tindakan bedah.1,5,6
Evaluasi pasca tindakan laser dilakukan selama 4-6 minggu untuk dapat
ditentukan apakah perlu adanya tatalaksana tambahan. Penurunan tekanan
intraokuler pada 80% pasien yang tidak terkontrol dengan obat dapat bertahan
selama 6-12 bulan pasca tindakan laser. Data jangka panjang menunjukkan bahwa
pasien yang menunjukkan respon awal bagus dapat mempertahankan penurunan
tekanan intraokuler selama 3- 5 tahun. Tingkat keberhasilan penurunan TIO
selama 10 tahun adalah sebesar 30%. Tindakan laser ulang dapat dipertimbangkan
jika target tekanan intraokuler belum dapat dicapai, terutama jika tindakan laser
sebelumnya tidak mencakup 360°. Namun, angka keberhasilannya lebih rendah
dan risiko komplikasi menjadi lebih tinggi.1,4,6
Tindakan Bedah Filtrasi
Tindakan bedah yang dilakukan adalah trabekulektomi. Trabekulektomi
dapat sekaligus menggunakan obat antimetabolit seperti mitomisin C dan 5-
fluorourasil, yang dapat meningkatkan efektivitas terapi tetapi juga akan
meningkatkan risiko komplikasi seperti kebocoran bleb dan hipotoni.1,3,5
Evaluasi Pemantauan Terapi
1. Evaluasi 4-6 minggu pasca pemberian terapi medikamentosa atau terapi laser.
2. Evaluasi 1-3 hari diperlukan jika kerusakan nervus optikus yang ditemukan
sudah tahap lanjut atau tekanan intraokuler masih tinggi
22
3. Jika penurunan tekanan intraokuler sudah adekuat, dilakukan reevaluasi setelah
3- 6 bulan untuk pengukuran tekanan intraokuler kembali dan pemeriksaan
nervus optikus.
4. Evaluasi gonioskopi dilakukan setahun sekali dan setelah memulai
menggunakan obat kolinergik (pilokarpin).
5. Evaluasi lapang pandang dan pemeriksaan nervus optikus dengan HVFA, OCT,
atau HRT tiap 6-12 bulan. Jika tekanan intraokuler belum terkontrol,
pemeriksaan lapang pandang dilakukan lebih sering.
6. Pemeriksaan fundus dengan dilatasi dilakukan setahun sekali.
KOMPLIKASI
Tanpa pengobatan glaukoma sudut terbuka dapat bekembang secara perlahan
sehingga akhirnya menimbulkan kebutaan total.9
PEMBAHASAN KASUS
Laporan kasus ini membahas tentang pasien seorang laki-laki, usia 55 tahun
dengan keluhan sejak kurang lebih satu tahun sebelum berobat ke Poliklinik Mata
RSDK penglihatan mata kanan dan kiri terasa kabur. Kabur dirasakan perlahan-lahan,
seperti melihat kabut (+), cekot-cekot dirasakan hilang timbul pada kedua mata, tidak
ada keluhan mata merah, ada keluhan melihat pelangi di sekitar lampu, pasien mengeluh
seperti melihat di dalam terowongan sehingga secara tidak sadar menabrak kursi atau
meja, tidak ada keluhan mual dan muntah.
Lalu pasien berobat ke dokter umum untuk mengatasi keluhan tersebut.
Dikarenakan belum ada perubahan akhirnya pasien mendapat rujukan ke Dokter
Spesialis Mata di RSUD Pati. Selanjutnya dikarenakan pengobatan selama hampir 1
tahun belum ada perubahan, kemudian oleh Dokter Spesialis Mata di RSUD Pati pasien
dirujuk ke Poliklinik Mata RSDK.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan visus mata kanan 6/20, visus mata kiri 6/6,6,
tekanan intraokuler mata kanan 40,7 mmHg dan mata kiri 37,7 mmHg. Pemeriksaan
mata kanan didapatkan injeksi konjungtiva, kedalaman COA dalam, pupil bulat diameter
3 mm, letak sentral, reflek pupil positif normal, lensa keruh tak rata, pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan fundus reflek kurang cemerlang, papil glaukomatosa, gonioskopi
23
menunjukkan sudut iridokornea terbuka di empat kuadran. Pemeriksaan mata kiri
didapatkan injeksi konjungtiva, kedalaman COA dalam, pupil bulat diameter 3 mm,
letak sentral, reflek pupil positif normal, lensa keruh tak rata, pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan fundus reflek kurang cemerlang, papil glaukomatosa, gonioskopi
menunjukkan sudut iridokornea terbuka di empat kuadran.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis
mata kanan dan mata kiri glaukoma sudut terbuka primer karena gejala yang dikeluhkan
pasien adalah pandangan kabur yang bersifat kronis progresif. Pemeriksaan fisik
menunjukkan adanya penurunan visus, tekanan intraokuler yang meningkat, keadaan
segmen anterior terdapat salah satu tanda inflamasi tetapi tidak disertai keluhan cekot-
cekot, mual dan muntah. Dengan pemeriksaan gonioskopi menunjukkan sudut yang
terbuka (iris processus dan schleral spur). Pemeriksaan papil nervus optikus kanan dan
kiri menunjukkan adanya papil glaukomatosa dengan CDR yang melebar dan
medialisasi.
Diagnosis banding Primary Angle Closure Glaucoma dapat tersingkirkan
dengan hasil pemeriksaan gonioskopi yang menunjukkan sudut yang terbuka (terlihat
iris processus dan schleral spur).
Penegakan diagnosis ini dapat didukung dengan pemeriksaan OCT (optical
coherence tomography) Papil Nervus II yang dapat menilai lebih tepat adanya excavatio
glaukomatosa. Dan pemeriksaan OCT RNFL (retinal nerve fiber layer) untuk menilai
ketebalan serabut saraf yang sudah mengalami penipisan. Serta dapat dilakukan
pemeriksaan HVFA untuk menunjukkan adanya defek lapang pandang khas glaukoma.
Tatalaksana yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian terapi
medikamentosa Travatan ED/24 jam mata kanan dan kiri, Glaukon-KCL 250 mg/24 jam
per oral. Kemudian direncanakan akan dilakukan prosedur tindakan bedah berupa
Trabekulektomi untuk menurunkan TIO (tekanan intra okuler) tetapi pasien menolak.
Dikarenakan pasien menolak, maka selanjutnya dilakukan tindakan Laser Surgery (SLT)
pada mata kanan dan mata kiri.
KESIMPULAN
Glaukoma sudut terbuka primer ditandai dengan adanya neuropati optik yang
berlangsung kronik dan progresif dengan suatu pola karakteristik kerusakan nervus
optikus dan defek lapang pandang. sering asimtomatik sampai pada stadium lanjut.
Tatalaksana yang dilakukan antara lain dengan terapi medikamentosa yang diawali
24
dengan monoterapi, terapi laser, atau tindakan bedah filtrasi berupa trabekulektomi.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terarah dan didukung pemeriksaan penunjang
yang sesuai diperlukan demi mendapatkan penatalaksanaan yang tepat berdasarkan
kondisi dari pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Girkin, Christopher et al. Glaucoma. In Basic and Clinical Science Course Section 10.
San Francisco: The Foundation of American Academy of Ophthalmology; 2016: p.113-
158
2. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin : Pusat Data dan Informasi. Situasi dan
Analisis Glaukoma. Jakarta : Kemenkes RI. 2015.
3. Ramakrishnan R, Krishnadas SR, Khurana M, Robin AL. Diagnosis and
Management of Glaucoma. New Delhi : Jaypee Brothers Medical Publishers;
2013.
4. Bagheri, Nika and Wajda, Brynn N. The Wills Eye Manual. 7th Edition.
Philadelphia : Wolters Kluwer; 2017.
5. Japan Glaucoma Society. Guidelines for Glaucoma (2nd Edition). Japan : Japan
Glaucoma Society; 2006.
6. Fongeret et al. Care of Patients with Open Angle Glaucoma. Amerika Serikat:
American Optometrist Association; 2010.
7. Ilyas S. Glaukoma. Dalam : Ilyas S, Editor. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3.
Jakarta : Balai penerbit FKUI; 2008. Hal. 212-17
8. Shibal Bhartiya. Clinical Cases in Glaucoma : An Evidence-based Approach.
Jaypee Brothers Medical Publisher. 2017
9. Vaughan D, Eva PR. Glaukoma. Dalam : Suyono YJ, Editor. Oftalmologi
Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika; 2000. Hal. 220-39.