Pembimbing Klinik
Ditetapkan di : Kupang
1
2
REFERAT
Demam Berdarah Dengue (DBD) Pada Anak
Christantio B. R. Legoh, S.Ked
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
dr. Irene K. L. A. Davidz, Sp.A; dr. Samuel Nalley, Sp.A
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) dan Sindrom Syok Dengue (SSD) telah
menjadi perhatian Internasional dalam tiga dekade terakhir karena peningkatan
frekuensi kejadian yang dramatis secara global dan dapat menimbulkan kematian
sekitar kurang dari 1%. (1)
Pada tahun 2015 jumlah penderita DBD yang dilaporkan sebanyak 129.650
kasus dengan jumlah kematian sebanyak 1.071 orang (IR/Angka kesakitan = 50,75
per 100.000 penduduk dan CFR/angka kematian = 0,83%) di Indonesia.
Dibandingkan tahun 2014 dengan kasus sebanyak 100.347 serta IR 39,80 terjadi
peningkatan kasus pada tahun 2015. Target Renstra Kementerian Kesehatan untuk
angka kesakitan DBD tahun 2015 sebesar <49 per 100.000 penduduk, dengan
demikian Indonesia belum mencapai target Renstra 2015.(3)
3
Kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR >1%. Dengan demikian
pada tahun 2015 terdapat 5 provinsi yang memiliki CFR tinggi yaitu Maluku
(7,69%), Gorontalo (6,06%), Papua Barat (4,55%), Sulawesi Utara (2,33%), dan
Bengkulu (1,99%). (3)
Penyakit DBD disebabkan oleh virus famili Flaviviridae, genus Flavivirus
yang mempunyai 4 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus ini
ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Perjalanan penyakit dengue sulit diramalkan,
manifestasi klinis bervariasi mulai dari asimtomatik, simtomatik (demam dengue,
DBD), DBD dapat tanpa syok atau disertai syok (SSD). Pasien yang pada waktu
masuk rumah sakit dalam keadaan baik sewaktu-waktu dapat jatuh ke dalam keadaan
syok (SSD), oleh karena itu kecepatan menentukan diagnosis, monitor, dan
pengawasan yang ketat menjadi kunci keberhasilan penanganan DBD. (4)
PATOGENESIS
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda.
Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan
yang menetap untuk serotipe bersangkutan (antibodi homotipik). Pada saat yang
bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang (cross immunty) akan dibentuk
antibodi untuk serotipe lain (antibodi heterotipik). Bila kemudian terjadi infeksi oleh
serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau
subneutralisasi berikatan dengan virus yang baru membentuk kompleks imun.
Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor Fcγ yang banyak terdapat di monosit
dan makrofag sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di
dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. (5)
Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi
dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi
yang telah ada jadi meningkat. Antibody terhadap virus dengue dapat ditemukan
4
didalam darah sekitar demam hari ke 5, meningkat pada minggu pertama sampai
dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari.(5)
Kinetic kadar IgG berbeda dengan kinetic kadar antibodi IgM, oleh karena itu
kinetic antibody IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada
infeksi primer antibody IgG menigkat sekitar demam hari ke 14 sedang pada infeksi
sekunder antibody IgG menigkat pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini
infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antobodi IgM setelah hari
sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
pengingkatan antibody IgG dan IgM yang cepat. (5)
Aktivasi komplemen antigen antibody ini akan mengakibatkan(6) :
1. mengaktivasi komplemen C3a dan C5a yang menyebabkan permeabilitas
kapiler sehingga terjadi kebocoran plasma.
2. Trombosit kehilangan fungsi agregasi dan mengalmai metamorphosis,
sehingga dimusnahkan oleh RES sehingga terjadi trombositopenia hebat dan
perdarahan.
3. Aktivasi factor hagemen (factor XII) yang selanjutnya mengaktivasi system
koagulasi sehingga terjadi pembekuan intravascular yang luas. Selanjutnya
plasminogen akan berubah menjadi plasmin yang berperan dalam
pembentukan anafilatoksin dan penghancuran fibrin menjadi fibrin
degradation Product (FDP). Factor XII juga meningkatkan system kinin
sehingga permeabilitas kapiler meningkat.
MANIFESTASI KLINIS
Pada DBD dapat dibagi manifestasi klinis berdasarkan 3 fase penyakit yakni:
fase demam, fase kritis dan fase konvalesen(7)
i) Fase Demam
5
Fase demam ditandai dengan demam yang kontinyu selama 2-7 hari dan
diikuti gejala kemerahan pipi, mialgia, artralgia, retro-orbital pain, fotofobia, sakit
kepala, faringitis, injeksi conjungtiva, anoreksia, mual, muntah.
Manifestasi perdarahan bersifat ringan seperti petekie dan perdarahan
membran mukosa (hidung dan gusi). Saat dipalpasi hepar terasa membesar dan nyeri
saat ditekan.
ii) Fase Kritis (fase syok)
Fase kritis terjadi saat demam turun (time of fever deferscence), saat ini
terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi.
Kejadian syok hipovolemi harus diwaspadai dengan mengenal tanda dan gejala yang
mendahului syok (warning sign). Warning sign terjadi menjelang akhir fase demam
yaitu antara hari sakit 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan
petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke
keadaan syok.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok
terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh
ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan profound shock
yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi
intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit dan jumlah leukosit yang awalnya leukopenia dapat meningkat sebagai
respon stres pada pasien dengan perdarahan hebat. Pada pasien DBD baik yang
disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat,
ensefalitis, miokarditis dan atau perdarahan hebat yang dikenal sebagai expanded
dengue syndrom.
6
Gambar 1. kebocoran plasma yang terjadi saat fase kritis(7)
7
sedangkan pada DD tidak. Selanjutnya DBD diklasifikasikan dalam empat derajat
penyakit yaitu derajat I dan II untuk DBD tanpa syok dan derajat III dan IV untuk
sindrom syok dengue. pembagian derajat penyakit tersebut diperlukan sebagai
landasan pedoman pengobatan. (8)
8
4. Syok pada anak ditandai dengan
a) Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan
kaki sedangkan jari menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang
insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara reflex.
b) Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral.
c) Perubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya, nadi menjadi cepat dan
lembut sampai tidak teraba oleh karena kolaps sirkulasi.
d) Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
e) Pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di daerah mulut.
f) Tekanan darah menurun (sistolik ≤ 80 mmHg)
g) Oligouria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositopenia (trombosit
≤ 100.000 /ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan hematokrit
≥20% dibandingkan dengan hematokrit pada saat sebelum sakit dan massa
konvalesens. Penegakan diagnosisnya berdasarkan ditemukan dua atau tiga patokan
gejala klinis disertai trombositopenia atau hemokonsentrasi. (8),(9)
Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya
dengan pengelolaan dan prognosis, WHO (1975) membagi DBD dalam 4 derajat
setelah kriteria laboratorik terpenuhi, yaitu(9) :
Table 1. derajat DBD menurut WHO 1997(7)
Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif
Derajat II Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan/atau
perdarahan lain
Derajat III Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan
9
lembut, tekanan nadu menurun 20 mmHg atau kurang atau
hipotensi disertai kulit lembab dan dingin dan pasien gelisah
Derajat IV Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat
diukur
Namun, di lain pihak sejak beberapa tahun banyak laporan dari Negara-negara
dikawasan Asia Tenggara, kepulauan pasifik, India dan Amerika Latin mengenai
kesulitan dalam membuat klasifikasi infeksi dengue. kesulitan terjadi saat
menentukan klasifikasi dengue berat karena tidak tercakup dalam kriteria diagnosis
WHO 1997. Jadi, kriteria WHO yang telah dipergunakan selama 30 tahun tersebut
perlu ditinjau kembali. (8)
Dengue without warning sign disebut juga sebagai probable dengue, sesuai
dengan demam dengue dan demam berdarah dengue derajat I dan II pada klasifikasi
WHO 1997. Pada kelompok dengue without warning sign, perlu diketahui apakah
pasien tinggal atau baru kembali dari daerah endemic dengue. Diagnosis tersangka
infeksi dengue ditegakkan apabila terdapat demam ditambah minimal 2 gejala
berikut: mual disertai muntah, ruam (skin rash) nyeri pada tulang, sendi, atau retro
orbital, uji tourniket positif, leukopenia dan gejala lain yang termasuk dalam warning
sign. Pada kelompok dengue without warning sign tersebut perlu pemantauan yang
cermat untuk mendeteksi keadaan kritis. (8)(10)
Dengue with warning sign, secara klinis terdapat nyeri perut, muntah terus
menerus, perdarahan mukosa, letargi atau gelisah, pembesaran hati ≥ 2 cm, disertai
kelainan parameter laboratorium, yaitu pengingkatan kadar hematocrit yang terjadi
10
bersamaan dengan penurunan jumlah trombosit dan leukopenia. Apabila dijumpai
leukopenia, maka diagnosis lebih mengarah kepada infeksi dengue. (8)(10)
Pasien dengue tanpa warning sign dapat dipantau harian dalam rawat jalan.
Namun apabila warning sign ditemukan maka pemberian cairan intravena harus
dilakukan untuk mencegah terjadinya syok hipovolemik. (8)(10)
11
Gambar 3. Klasifikasi klinis infeksi Dengue WHO 2009(9)
Klasifikasi diagnosis dengue WHO 2011 disusun hampir sama dengan klasifikasi
diagnosis klasifikasi WHO 1997, namun kelompok infeksi dengue simtomatik dibagi
menjadi undifferential fever, DD, DBD, dan expanded dengue syndrome terdiri dari
isolated organopathy, dan ununsual manifestation. (8)
Kasus infeksi dengue dengan unusual manifestation tidak jarang terjadi pada
kasus anak. Unusual manifestation atau manifestasi yang tidak lazim pada umumnya
berhubungan dengan keterlibatan beberapa organ seperti hati, ginjal, jantung, dan
gangguan neurologi pada pasien infeksi dengue. kejadian unusual manifestation
infksi dengue tersebut dapat pula terjadi pada kasus infeksi dengue tanpa disertai
perembesan plasma. (8)
12
Rash hematocrit (5%-10%)
Manifestasi perdarahan Tidak ada tanda
Tidak ada tanda kebocoran plasma
kebocoran plasma
DHF I Demam dan manifestasi Trombositopenia <100.000
perdarahan (uji tourniket sel/mm3; HCT meningkatan
positif) dan tanda kebocoran ≥20%
plasma
DHF II Sama dengan derajat 1 Trombositopenia <100.000
ditambah perdarahan spontan sel/mm3; HCT meningkatan
≥20%
DHF III Sama dengan derajat I atau II Trombositopenia <100.000
dengan kegagalan sirkulasi ( sel/mm3; HCT meningkatan
nadi lemah,mtekanan nadi ≥20%
sempit (≤20 mmHg), hipotensi,
gelisah)
DHF IV Sama dengan grade III Tromositopenia <100.000
ditambah shock dengan sel/mm3; HCT meningkatan
tekanan darah tidak terukur ≥20%
dan nadi tidak teratur
Diagnosis infeksi dengue yakni gejala klinis ditambah trombositopenia dan
hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan deteksi antigen virus dengue (NS-1) atau dan
uji serologi anti dengue positif (IgM anti dengue atau IgM/IgG anti dengue positif).
(11)
13
gejala demam (100%), diikuti sakit kepala (27-100%), myalgia dan arthralgia (39%-
99%), dan mual, muntah (38%-54%). Klinis rash (18-24%), petekie dan perdarahan
(7%-62%) dan deficit neurologis (1,2%). Sakit perut, perdarahan gastrointestinal,
icterus, hepatomegaly dan asites membutuhkan perawatan intensif. Hepatomegaly
dan disfungsi hati lebih banyak terjadi pada DHF dari pada DF. (13)
Petekie dan uji tourniquet tidak selalu ditemukan pada pasien DBD. Uji
torniket bertujuan untuk menilai fragilitas kapiler dan tidak patognomonik untuk
diagnosis dengue. Di sisi lain, pemeriksaan darah lengkap harus selalu dilakukan
pada pasien dengue. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hampir 70%
pasien dengue mengalami leukopeni (<5000/ul) yang akan kembali normal sewaktu
memasuki fase penyembuhan pada hari sakit ke-6 atau ke-7. (8)
Jumlah trombosit mulai menurun pada hari ke-3 dan mencapai titik terendah
pada hari sakit ke-5. Trombosit akan mulai meningkat pada fase penyembuhan serta
mencapai nilai normal pada hari ke-7. Meski jarang, ada pasien yang jumlah
trombositnya mencapai normal pada hari ke-10 sampai ke-14. (8)
14
Pemeriksaan serial darah tepi yang menunjukkan perubahan hemostatik dan
kebocoran plasma merupakan petanda penting dini diagnosis DBD. Peningkatan nilai
hematokrit 20% atau lebih disertai turunnya hitung trombosit yang tampak sewaktu
demam mulai turun atau mulainya pasien masuk ke dalam fase kritis/syok
mencerminkan kebocoran plasma yang bermakna dan mengindikasikan perlunya
penggantian volume cairan tubuh. (8)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
pemeriksaan laboratorium:
penyakit
penyakit
Pada infeksi primer, viremia terjadi 1-2 hari sebelum timbul manifestasi
demam pada pasien. Periode demam terjadi dalam 4-5 hari. Deteksi NS-1
antigen virus dengue sejalan dengan viremia sejak hari 1 demam dan
15
IgM (50%) dapat dideteksi pada hari ke 3-6 dan meningkat pada hari ke 9-
dan meningkat pada hari ke 9-10. Namun 1-3 bulan setelah penyakit, IgM
kadarnya rendah, sedangkan IgG yang meningkat pada hari sakit ke 9-10
kadarnya akan menetap sampai 10 tahun. Kadar IgG yang persisten inilah
Pada infeksi sekunder, kadar IgG meningkat cepat dan kadarnya tinggi
perlahan.
Gambar:
16
2. Tipe diagnosis berhubungan dengan manifestasi klinis dengue
17
3. Karakteristik sampel yang digunakan dalam pemeriksaan laboratorium.
Virus dengue menjadi labil atau inaktif pada suhu >30 °C sehingga
transportasi sampel untuk pemeriksaan virologi disimpan pada suhu 4 °C dan harus
segera diperiksa. Bila sampel tidak segera dikirim atau diperiksa dalam 24-48 jam I,
sampel dibekukan pada suhu -70°C sedangkan untuk pemeriksaan serologi bila
sampel tidak segera diperiksa, sampel disimpan pada suhu -20°C. Penyimpanan
Parameter Hematologi
jumlah trombosit penting dan merupakan bagian dari diagnosis klinis demam
dengue(3).
- Pada fase awal demam hitung leukosit dapat normal. Pada demam dengue
leukosit <4.000/mm3.
- Trombosit
- Hematokrit
18
diagnosa klinis DBD. Nilai hematokrit dapat diakibatkan oleh pergantian
TATALAKSANA
Pengobatan kasus dengue, menurut klasifikasi WHO 2011 tidak jauh berbeda
dengan klasifikasi WHO 1997 yang selama ini dipergunakan di Indonesia. Dalam
taalaksana kasus dengue terdapat dua keadaan klinis yang diperhatikan yaitu
Sistem triase yang harus disosialisasikan kepada dokter yang bertugas di unit
gawat darurat atau puskesmas. Dalam sistem triase tersebut, dapat dipilah
pasien dengue dengan warning signs dan pasien yang dapat berobat jalan
namun memerlukan observasi lebih lanjut (Lampiran)
Tata laksana kasus sindrom syok dengue (DSS) dengan dasar pemberian
cairan yang adekuat dan monitor kadar hematokrit. Apabila syok belum
teratasi selama 2 x 30 menit, pastikan apakah telah terjadi perdarahan dan
transfusi PRC merupakan pilihan. (Lampiran)
19
NSID/Ibuprofen/asam salisilat (aspirin)/injeksi intramuskular karena akan
memperparah gastritis atau perdarahan.
- Edukasi keluarga: segera bawa ke rumah sakit: tidak ada perubahan dengan
obat, ada keluhan nyeri perut yang hebat, terus muntah, tangan dan kaki dingin
dan lembab, anak terus rewel atau tidak sadar, manifestasi perdarahan ( feses
hitam atau muntah kehitaman), tidak kencing >4-6 jam.
20
dinaikkan 5-10 ml/kg/jam selama 1-2 jam. Nilai kembali tanda-tanda vital
dan pemeriksaan ulang hematokrit(6),(11).
- Pemberian volume minimun cairan intravena yang dibutuhkan untuk
mempertahankan perfusi dan perhitungan urine output berkisar
0.5ml/kgBB/jam. Pemberian cairan intravena biasanya hanya digunakan
dalam 24-48 jam. Kurangi cairan secara bertahap bila urine output
meningkta, dapat minum, atau hematoktrit menurun(6).
- Pasien dengan tanda bahaya perlu monitor ketat tanda-tanda vital, perfusi
perifer (1-4 jam hingga melewati fase kritis), urine output (tiap 4-6 jam),
hematokrit (sebelum dan sesudah terapi cairan, berkisar 6-12 jam), glukosa
darah dan fungsi organ lain(fungsi ginjal, hepar, faktor koagulasi)(6).
Tatalaksana SSD terkompensasi
21
Setelah syok teratasi turunkan dosis cairan menjadi 10 ml/kg/jam selama 1-2
jam lalu 7 ml/kg/jam selama 2 jam; 5ml/kg/jam selama 4 jam dan 3ml/kg/jam,
dan dipertahankan selama 24-48 jam.
Jika syok tidak teratasi, maka periksa hematocrit. Jika hematocrit masih atau
terus meningkat, ganti dengan koloid 10-20ml/kg/jam. Setelah itu diturunkan
10ml/kg/jam selama 1 jam; 7ml/kg/jam.
Jika hematocrit menurun akan tetapi pasien masih dengan tanda vital yang
tidak stabil pikirkan adanya perdarahan. Cari sumber perdarahannya. Jika
tidak jelas, bolus koloid 10-20/kg/ selama 1 jam. Idak ada perbaikan makan
transfuse dianjurkan. Namun jika perdarahan jelas maka dilakukan trasnfusi
dengan PRC
Berikan bolus kristaloid atau koloid 20 ml/kg selama 15-30 menit sambil
periksa ABCS dan Ht.
Jika teratasi, lanjutkan infus koloid 10ml/kg/jam selama 1 jam. Lalu
dilanjutkan dengan kristaloid 10 ml/kg/jam selama 1 jam; 7,5ml/kg/jam
22
selama 2 jam; 5ml/kg/jam selama 4 jam dan 3ml/kg/jam di pertahankan hinga
24-48 jam.
Jika tanda vital masih tidak stabil, periksa hematocrit sebelum bolus.
Bila hematocrit rendah, adanya perdarahan berikan transfuse whole blood atau
PRC. Jika idak ada perdarahan, berikan bolus 10-20 ml/kg koloid selama 30
menit-1 jam. Evaluasi tanda vital dan hematocrit.
Jika hematocrit tinggi, berikan bolus koloid 10-20ml/kg selama 30 menit-1
jam. Setelah itu, nilai kembali pasien. Jika membaik, turunkan koloid 7-
10ml/kg/jam selama 1-2 jam, lalu ubah ke kristaloid.
Jika kondisi masih tidak stabil, ulangi pemeriksaan hematocrit setelah bolus
kedua, ulangi langkah diatas.
23
menimbulkan gangguan kesadaran,
kejang, aritmia bahkan henti jantung
sehingga akan mempersulit upaya dalam
mengatasi syok. Hipoglikemia dikoreksi
dengan larutan glukosa, dosis: 0,5-
1g/KgBB diberikan secara bolus
Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda perdarahan masif,
berikan transfusi darah segar (fresh whole blood) dengan dosis 10 ml/KgBB
atau fresh packed red cell dengan dosis 5 mL/KgBB. (15)(16)
KRITERIA PULANG
Pasien dapat pulang bila didapatkan semua kriteria di bawah ini (16):
a. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
b. Menunjukan perbaikan klinis
c. Nafsu makan membaik
d. Jumlah trombosit meningkat >50.000/ml
e. Tidak terdapat distres pernapasan
f. Hematokrit stabil tanpa cairan intravena
KOMPLIKASI
1. Kelebihan Cairan
Manifetasi pada keadaan kelebihan cairan adalah: gangguan pernapasan; susah
bernapas, napas cepat, retraksi dinding dada, wheezing, peningkatan tekanan vena
jugular (JVP meningkat) bila keadaan ini berlanjut dapat ditemukan edema
pulmoner (batuk berdarah atau sputum berbusa, krepitasi, sianosis), syok
irreversibe(. Pada kondisi ini dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yakni: foto
polos dada (gambaran cardiomegali, efusi pleura, gambaran bats wings pada
edema pulmoner), analisis gas darah, echocardiogram untuk menilai fungsi
ventrikel kiri. Tatalaksana kondisi kelebihan cairan(15)(16):
- Diberikan oksigen
24
- Tatalaksana kondisi kelebihan cairan bergantung pada fase penyakit dan
status hemodinamik pasien. Bila pasien stabil dan melewati fase kritis
cairan intravena dihentikan. Jika diperlukan dapat diberikan furosemid
secara oral maupun intavena dengan dosis 0.1-0.5 mg/kg/hari atau 2x
sehari atau dilanjutkan dengan infus furosemid 0.1mg/kg/1 jam. Monitor
kadar kalium dan koreksi bila terjadi hipokalemia.
- Bila hemodinamik pasien stabil namun masih berada fase kritis, pemberian
carian intravena dapat dikurangi atau diperlambat. Hindari pemberian
diuretik pada kondisi ini sebab dapat menyebabkan pasien mengalami syok
hipovolemi.
- Bila pasien mengalami syok dengan hematokrit rendah atau normal namun
menunjukan gejala kelebihan cairan perlu dipikirkan adanya perdarahan
sehingga dapat diberikan transfusi whole blood. Bila pasien telah melewati
syok dengan hematokrit meningkat, dapat diberikan bolus koloid.
2. Komplikasi Lain Pada Dengue
- Dapat terjadi ketidak seimbangan asam basa (berhubungan dengan diare
dan muntah atau karena menggunakan cairan hipotonis untuk koreksi
dehidrasi), gangguan elektrolit (hiponatremia dan hipokalsemia), infeksi
nosokomoial.
- Ensefalitis dengue. Keadaan ini dapat terjadi pada DBD dengan syok dan
perdarahan maupun DBD tanpa syok. Dapat dipertimbangkan apabila
pasien mengalami demam 2-7 hari disertai penurunan kesadaran atau
kejang dan bila pasien berasal dari daerah endemis dengue. Untuk evaluasi
ensefalitis dengue dilakukan saat syok sudah teratasi, kemudian dapat
dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal. Pada ensefalopati dengue dapat
ditemukan peningkatan SGOT/SGPT, PT dan APTT memanjang, gula
darah menurun, alkalosis dan hiponatremia(15)(16).
25
PROGNOSIS
Bila tidak disertai renjatan dalam 24-3 jam biasanya prognosis akan menjadi
baik namun apabila lebih dari 36 jam belum ada tanda-tanda perbaikan maka
kemungkinan sembuh kecil dan prognosis menjadi buruk. (16)
KESIMPULAN
Demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit akibat infeksi oleh
arbovirus akut yang ditularkan oleh nyamuk spesies Aedes yang bermanifestasi
klinis demam, perdarahan kulit, gejala penyerta lainnnya hingga dapat menyebabkan
syok. Kasus DBD di Indonesia mengalami penurunan tiap tahunnya meskpun belum
cemncapai target Renstra 2015 yaitu kurang dari 1%.(3)
Penatalaksaan pada pasien demam berdarah dengue bersifat terapi suportif
meliputi pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi, pemberian cairan
intravena bila anak tidak mau minum atau muntah, pemberian antipiretik untuk
demam, pemberian sedatif, pemberian oksigen dan transfusi darah. (15)(16)
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Karyanti MR, Hadinegoro SR. Perubahan Epidemiologi Demam Berdarah
Dengue di Indonesia. Sari Pediatri. 2009; 10(6): 424-427.
Available at: http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/10-6-12.pdf
2. World Health Organization (WHO). Comprehensive guidelines for prevention
and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. WHO Regional
Publication SEARO. 2011. 159-168 p.
3. Kementrian Kesehatan RI. Data dan Informasi Tahun 2016 (Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2016). 2015.p.131.
Available at: http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia tahun 2016.pdf
4. World Health Organization (WHO), Regional Office for South East Asia.
Comprehensive Guideline for Prevention and control of dengue and dengue
hemorrhagic fever, resived and expanded edition. WHO library cataloguing
and publication data; SEARO Technical publication series.2011.available at:
http://apps.searo.who.int/pds_docs/B4751.pdf
5. Rampengan. T.H. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. EGC.2006. 122-147.
6. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman Diagnosis Dan
Tatalaksana Infeksi Virus-Dengue Pada-Anak Tahun 2014. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2014. 1-2 p.
7. Hadinegoro S, Kadian M, Davaera Y. Update Management of infection
diseases and gastrintestinal disorders. Jakarta: Fakutas Kedokteran Indonesia
Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2012.
8. Mulyani A. kesesuaian derajat infeksi dengue kriteria WHO 1997 dan WHO
2009 pada pasien anak di Semarang. FK UNDIP.2011.
9. World Health Organization. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment,
Prevention and Control. World Health Organization; 2009. 46 p.
10. World Health Organization (WHO). Handbook for Clinical Management of
Dengue. 2012. 1-32 p.
11. Laksono I. dengue or not dengue: Clinical approach in children with early
febrile illness. FK UGM. 2016
12. W K Cheah. A Review of Dengue Research in Malaysia. Med J Malaysia Vol
69 Supplement A August 2014.
13. Saraswaty M, Sankan K. Incidence Of Dengue Hemorraghic fever in
children: a report from Melmaru Vathur Tamilandu India: Jounal of
Pharmaceutical and Scientific Innovation. 2013.
14. Anggraeni M. Konsensus Pedoman Tata Laksana Infeksi Dengue di
Indonesia. UKK Infeksi dan Pedoman Tropis IDAI.2016
15. Karyanti MR. Diagnosis dan Tata Laksana terkini Dengue. Divisi Infeksi dan
Pediatrik Tropik: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI.2015.
27