Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

FILSAFAT HUKUM

TENTANG
POSTMODERN
(Lyotard)

Ditunjukan Kepada Dosen Mata Kuliah


Filsafat Hukum

Prof. Dr. Asasriwarni, M. H.

Oleh :

BERMANA MANDA
BP. 1833.046

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS EKASAKTI
PADANG
2019
POSTMODERN DALAM PANDANGAN JEAN FRANCOIS LYOTARD

A. PENDAHULUAN
Istilah postmodernist muncul pada tahun 1930-an, yang pertama kali dikenalkan
oleh Arnold Toynbee. Postmodern merupakan reaksi dari modernism. Walaupun sampai
saat ini belum ada kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil
menarik perhatian orang banyak. Banyak versi dalam memberikan penjelasan mengenai
istilah postmodern. Foster menjelaskan, sebagian orang seperti Lyotard beranggapan
bahwa, postmodernisme merupakan lawan dari modernisme yang dianggap tidak berhasil
mengangkat martabat manusia modern. Sedang sebagian lagi seperti Jamenson
beranggapan, postmodernisme adalah pengembangan dari modernitas, seperti diungkap
Bryan S. Turner dalam Theories of modernity and Post-Modernity.
Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A report on
Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap
mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Lyotard
memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan
sisi yang berlawanan dengan modernisme. Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas yang
mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa
diantaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-
fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori spesifik, dari sesuatu yang
universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal
menuju kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut adalah mencerminkan
tantangan postmodernist kepada modernist.
Pemahaman pemikiran postmodernis menjadi penting untuk memahami berbagai
perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya yang tidak lagi memadai untuk dianalisis
hanya berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,
homogenitas, objektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan dalam
pandangan postmodernis lebih menekankan pada pluralitas, perbedaan, heterogenitas,
budaya lokal/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari.

B. POKOK PIKIRAN JEAN FRANCOIS LYOTARD


Memahami tentang postmodernisme berarti mengasumsikan pertanyaan tentang
hilangnya kepercayaan pada proyek modernitas, munculnya semangat pluralisme,

1
skeptisme, terhadap ortodoksi tradisional, serta penolakan terhadap pandangan bahwa
dunia merupakan suatu toalitas yang universal, pendekatan terhadap harapan akan solusi
akhir dan jawaban yang sempurna. Maka untuk memahaminya diperlukan kekayaan
makna dan keluasan wawasan dan bukan model berpikir hitam putih, akan tetapi
membuat tingkatan makna, mencari kombinasi dari berbagai fokus (perspektif).
1. Pengertian Postmodern
Menurut Jean Francois Lyotard, bahwa awalan post pada postmodern,
merupakan elaborasi keyakinan modern, sebagai upaya untuk memutuskan hubungan
dengan tradisi modern dengan cara memunculkan cara-cara kehidupan dan pemikiran
yang baru sama sekali. Pemutusan dengan masa lalu (jama modern) merupakan jalan
untuk melupakan dan merepresi masa lalu. Dalam pandangan modernisme, ilmu
pengetahuan berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar dari mitos-
mitos yang digunakan masyarakat primitif menjelaskan fenomena alam, dan
modernitas adalah proyek intelektual yang mencari kesatuan berdasarkan fondasi
sebagai jalan menuju kemajuan. Mitos politik ini menganggap sains modern sebagai
alat untuk kebebasan dan humanisasi. Sementara dalam pandangan Postmodernism,
sains tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu pengetahuan.
Sementara metanarasi itu berfungsi sebagai mitos baru bagi masyarakat modern.
Bagi postmodernism ide rasionalitas dan humanisme merupakan konstruksi
historis, konstruksi sosial budaya dan bukan sesuatu yang bersifat alami (kodrat) dan
universal. Sehingga kedua hal tersebut tidak dapat diseragamkan tanpa
mempertimbangkan kondisi sosial-historis serta budaya lokal. Keanekaragaman
pemikiran menurut Lyotard hanya dapat dicapai dengan melakukan penolakan
terhadap kesatuan (unity), dengan mencari disensus (ketidaksepakatan) secara radikal.
Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena
memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannya terhadap
konsep narasi agung (grand native) serta pemikirannya yang mnengemukakan konsep
perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).
2. Penolakan terhadap Grand Native (Narasi Besar, Narasi Agung, Meta Narasi)
Bagi Lyotard, penolakan posmodern terhadap narasi agung merupakan salah
satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan diri
dari Grand-Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi) . Baginya Ilmu
Pengetahuan pramodern dan modern mempunyai bentuk kesatuan (unity) yang

2
didasarkan pada ceritacerita besar (Grand-Naratives) yang menjadi kerangka untuk
menjelaskan berbagai permasalahan penelitian dalam skala mikro bahkan terpencil
sekalipun. Cerita Besar itu menjadi kerangka penelitian ilmiah dan sekaligus sebagai
justifikasi keilmiahan. Grand Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau
konstruksi dunia yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan
objektifias ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar
narasi besar dianggap sebagai narasi nonilmiah.
Penolakan terhadap metanarasi/grandnarasi berarti menolak penjelasan yang
sifatnya unifersal/global tentang realitas, tentang tingkah laku dan sebagainya.
Lyotard juga menyatakan bahwa pengetahuan tidak bersifat metafisis, universal, atau
transendental (esensialis), melainkan bersifat spesifik, terkait dengan ruang-waktu
(historis). Bagi pemikir postmodern ilmu pengetahuan memiliki sifat prespektifal,
posisional dan tidak mungkin ada satu prespektif yang dapat menjangkau karakter
dunia secara objektif-universal.
Memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi disebabkan oleh proses
delegitimasi atau krisis legitimasi, di mana fungsi legitimasi narasi-narasi besar
mendapatkan tantangan berat. Contoh delegitimasi adalah apa yang dialami oleh sains
sejak akhir abad ke-19 sebagai akibat perkembangan teknologi dan ekspansi
kapitalisme. Dalam masyarakat pascaindustri, sains mengalami delegitimasi karena
terbukti tidak bisa mempertahankan dirinya terhadap legitimasi yang diajukannya
sendiri. Legitimasi sains pada narasi spekulasi yang mengatakan bahwa pengetahuan
harus dihasilkan demi pengetahuan di masa capitalist technoscience tidak bisa lagi
dipenuhi. Pengetahuan sains tidak lagi dihasilkan demi pengetahuan melainkan demi
profit di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar/salah, melainkan kriterium
performatif: maximum output with a minimum input (menghasilkan semaksimal
mungkin dengan biaya sekecil mungkin).
Sains adalah permainan bahasa yang di dalamnya terkandung aturan-aturan
normatif (misalnya pembuat proposisi tidak boleh membuat proposisi tanpa
menyediakan bukti yang memperkuat proposisinya, pihak kedua tidak bisa
memberikan bukti melainkan hanya memberi persetujuan atau penolakannya). Sains
dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak bisa memberlakukan aturan mainnya
secara universal hingga berhak menilai mana pengetahuan absah dan mana yang

3
tidak. Lyotard yakin bahwa kita memasuki fase di mana logika tunggal yang diyakini
kaum modernis sudah mati digantikan oleh pluralitas logika atau paralogi.
Perspektivisme tentang ilmu pengetahuan yang berasal dari Nietzche digunakan
Lyotard untuk menolak pandangan ilmu pengetahuan yang universal dan total.
Menurutnya tidak ada perspektif tunggal tentang realitas objektif yang universal.
Manusia tidak memiliki akses untuk melihat dunia sebagaimana nyatanya, anggapan
dan keinginan untuk mencapai itu adalah sia-sia. Kebutuhan dan keinginan untuk
menemukan kebenaran ilmu pengetahuan, sesungguhnya hanyalah sekedar istilah
yang mengacu pada wacana (discourse) yang berhasil dan bermanfaat. Ini berlaku
bagi semua pengetahuan dan logika yang selalu bersifat profesional dan perspektif.
Pada situasi postmodern ini ilmu pengetahuan dan filsafat bertujuan bukan lagi
untuk penemuan kebenaran (apalagi kebenaran tunggal) akan tetapi lebih pada tujuan
performatif dan nilai-nilai pragmatis. Dalam pandangan Lyotard relativisme dan
kebenaran absolut sama-sama memiliki kelemahan. Kelemahan pandangan kebenaran
absolut-universal adalah karena pada kenyataannya ilmuwan memiliki keterbatasan
ketika menghadapi (meneliti) realitas. Apalagi kebenara teori juga bersifat tentatif
atau propabilitas, sehingga pandangan bahwa teori bersifat benar secara absolut-
universal tidak dapat dibenarkan. Di sisi lain perspektivisme mengarahkan kita pada
relativisme ilmiah, tetapi relativisme ilmiah ini tidak identik dengan penolokan akan
kebenaran, akan tetapi mengakui kebenaran ilmu yang relatif, yaitu kebenaran sesuai
dengan perspektif/paradigma yang digunakan. Bisa jadi perspektif tertentu dianggap
lebih memilki kesempurnaan dibanding perspektif yang lain karena lebih akurat, lebih
mendekati kebenaran dan lebih berguna
3. Language Games
Jean Francois Lyotard menolak untuk menyusun sebuah cara pandang tunggal
(paradigma tunggal) yang menyatakan tentang adanya berbagai paradigma, perspektif
dalam melihat realitas (dunia). Pandangan modern digantikan dengan postmodern,
ilmu pengetahuan digantikan oleh hermeneutika (penafsiran) tentang realitas.
Kebenaran ilmu mengacu pada spesifikalitas, historisitas, dan linguistikalitas.
Sains setelah mengalami krisis legitimasi terbukti bukan lagi pemonopoli
kebenaran tunggal, karena dihadapkan pada kenyataan sekedar satu dari sekian
banyak permainan bahasa. Permainan bahasa sains adalah permainan bahasa
denotatif. Aturan main permainan bahasa denotatif adalah sebuah pernyataan untuk

4
meyakinkan pihak kedua sebagai pihak yang wajib memberikan persetujuan atau
penolakan berdasarkan bukti yang diajukan pihak pertama.
Terjadinya pergantian paradigma ilmiah dari mono-paradigma menjadi multi-
paradigma ini dianggap sebagai terjadinya keterputusan epistimologis. Ia kemudian
membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan mengungkapkan konsep
Language games yang mengacu pada keanekaragaman penggunaan bahasa dalam
kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing bahasa menggunakan aturannya
sendiri-sendiri.
Konsep permainan bahasa merupakan pergeseran dari bahasa sebagai cermin
realitas kepada bahasa sebagai suatu permainan, yang memiliki aturan sebagai
berikut:
a. Pernyataan atau proposisi ilmiah adalah pernyataan denotatif (deskriptif);
b. Proposisi ilmiah berbeda dengan proposisi yang menekankan ikatan sosial atau
yang terkait dengan asal-usul;
c. Kompetensi hanya diperlukan pada pengirim bukan pada penerima;
d. Proposisi ilmiah adalah sekumpulan pertanyaan yang dapat diuji oleh bukti dan
argumen;
e. Berkaitan dengan 4 (empat) poin tersebut, konsep ini mengharuskan pemahaman
tentang situasi pengetahuan ilmiah yang sedang berlangsung. Untuk legitimasi
ilmiah, ilmu pengetahuan tidak memerlukan satu narasi (meta narasi) karena
aturan-aturan ilmiah bersifat imanen dalam permainannya (paradigmanya sendiri).
(Leche, 1994, sebagaimana dikutip oleh Lubis, 2006)
4. Antifondasionalisme
Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa
metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang dijadikan fundasi
dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah cacat.
Antifundasionalisme itu dapat dimengerti sebagai berikut :
a. Antifundasionalis dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan bahwa meta
narasi yang dijadikan fundasi dalam modernitas Barat dengan universalitas dan
hak-hak istimewanya adalah cacat. Maka harus ada mode pengetahuan yang lebih
sensitif terhadap perbedaan.

5
b. Pemberian hak istimewa pada hal-hal yang bersifat lokal dan vernakuler ini
diterjemahkan sebagai seorang demokrat dan populis yang mengharuskan hirarkhi
simbolik dikalangan akademik, intelektual dan seni.
c. Peralihan dari bentuk upaya diskursif ke arah bentuk budaya figural yang tampak
dalam penekanan dan imajinasi visual dan bukan kata-kata, proses primer ego dan
bukan proses skunder, apresiasi dengan cara melibatkan diri bukan mengambil
jarak dengan penonton yang tidak memihak.
d. Aspek ini ditangkap sebagai fase budaya dangkal postmodern.
Pandangan ini sejalan dengan Anderson yang mengemukakan ciri kaum
postmoernis dengan tidak adanya kemutlakan dalam ilmu pengetahuan dan budaya.
Namun justru mendukung pluralisme dengan menyatakan bahwa kita harus
berhadapan satu sama lain sebagai orang-orang dengan informasi yang berbeda, cerita
dan visi-visi yang berbeda. Postmodern percaya perbedaan dan keanekaragaman tidak
akan menimbulkan konflik dan pertentangan. (Aderson, 1980). Keanekaragaman akan
membuat kehidupan semakin indah asal saja pluralisme dan heterogenitas itu dihadapi
dengan keterbukaan, dialog, solidaritas dan bukan egoisme dan anarkisme kelompok.
Kebebasan memilih paradigma dan metode sejalan dengan anti fondasionalisme
dan postmodernisme. Dalam ilu pengetahuan refleksi tentang teori (metanarasi) dan
antifondasionalisme merupakan hal yang penting dalam ilmu pengetahuan
postmodern. Metateori itu sendiri bersifat antifondasional, karena seluruh teori yang
kuat dan lemah sama-sama berperan dalam kehidupan sosial. Maka metateori bersifat
inheren dalam postmodern.

C. KESIMPULAN
Pemikiran Lyotard sebagai postmodern secara umum sejalan dengan pemikiran para
postmodernist lainnya yaitu menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan
(diversity) dari pada persatuan (unity). Antifondasionalis dalam filsafat dan ilmu
pengetahuan sosial budaya menegaskan bahwa metanarasi yang dijadikan fondasi ilmu
pengetahuan, humanisme, sosialisme dan lain-lain, adalah cacat. Untuk itu metode
pengetahuan harus lebih sensitif terhadap berbagai perbedaan. Peran para intelektual
sebagai legislator kepercayaan digantikan dengan interpreter.

6
Konsep perbedaan, perspektif, multivokalitas, languge game dan hal-hal yang
bersifat lokal lainnya menjadi perhatian khusus dalam pemikiran postmodern menurut
Lyotard.
Budaya dangkal postmodern sebagai salah satu pengakuan terhadap keterbatasan
ilmuwan dalam menemukan esensi realitas (kebenaran objektif universal). Pandangan
esensialisme yang didukung oleh paradigma positivisme dianggap tidak realistis dan tidak
mampu menjelaskan fenomena sosial budaya yang begitu beraneka ragam (heterogen).
Sehingga pemikiran dan konsep-konsep tersebut mempunyai pengaruh yang sangat besar
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kajian sosial-budaya.

Anda mungkin juga menyukai