Anda di halaman 1dari 2

nilah 4 Potensi Manusia Menurut Al-Quran: Pandangan manusia terhadap dirinya

merupakan faktor dominan yang dapat mengarahkan pendidikannya. Oleh karena itu
dalam membahas masalah pendidikan tidak lepas dari pembahasan tentang
hakekat diri manusia itu sendiri. Dalam al-Qur’an manusia adalah makhluk Allah
yang dibebani tanggung jawab, oleh karena itu ia disifati dengan kesempurnaan
sebagai kesiapan memikul tanggung jawab (taklîf), dan jika gagal akan
dikembalikan kepada derajat paling hina agar ia waspada terhadap perintah dan
larangan. Agar amanah tersebut terlaksana, manusia harus berusaha untuk
menumbuhkan amanah dalam perilaku sebagai wahana yang paling
dominan yang terformat dalam pendidikan.
Al-Qur’an sering memuji manusia sekaligus mengecam terhadap mereka yang tidak
mempedulikan kemulyaan yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya ( Baca: Al-
Isrâ’: 70). Ayat tersebut adalah pujian Allah kepada manusia sekaligus hinaan
kepadanya setelah diberi nikmat. Nikmat tersebut tidak difungsikan sesuai dengan
tujuannya, yaitu untuk bersyukur kepada-Nya.

Allah menundukkan semua yang ada di laingit dan di bumi untuk manusia sebagai
persiapan menjadi khalifah (Luqmân: 20). Wajar jika kedudukan manusia
menurut al-Qur’an sangat tinggi dan mulia, agar dapat menjalankan risalah
kehidupannya, yaitu menyebarkan kebenaran, kebaikan, kebajikan dan keindahan.
Di antara potensi yang ada pada manusia adalah:

Jasad dan Ruh


Manusia adalah salah satu makhluk yang diberikan kebebasan untuk menentukan
pilihannya. Dalam menentukan pilihan, manusia selalu dipengaruhi tabiatnya. Tabiat
manusia mengandung dua unsur, yaitu unsur materi dan non materi
atau rûh dan jasad yang saling melengkapi. Al-Qur’an melarang orang mukmin
menelantarkan hak dan kewajiban terhadap jasadnya hanya karena mementingkan
ruh saja dan sebaliknya (Al-A’râf: 31). Manusia juga dipengaruhi oleh unsur-unsur
lain seperti hati, akal dan nafs, yang bersifat maknawi. Perbedaan konotasi istilah
tersebut berangkat dari katagorisasi yang digunakan, yaitu kategori dari sisi materi,
dan sumber esensinya. Kegagalan manusia dalam mencapai kesempurnaan, karena
masing-masing komponen tidak saling melengkapi. Oleh karenanya, pendidikan
bukan hanya sekadar pembinaan jasad, tetapi jasad hanya sebatas tempat di mana
ruh (nilai) beraktualisasi untuk menuju tujuan hidup yang sesungguhnya.
Kebaikan dan Keburukan
Allah membentuk manusia dengan tabi’at monotheis (fithrah), dengan mengakui
keberadaan penciptanya. Fithrah tersebut berkembang dalam kehidupan secara
positif (Al-Rûm: 30). Dalam perkembangannya, perilaku manusia kadang-kadang
berubah menjadi negatif, karena ia menyimpang dari amanat yang telah
diembannya (Al-Ahzâb: 72). Jika manusia komit terhadap amanah, ia akan
menduduki derajat paling tinggi di atas derajat malaikat. Karena ia bukan sekadar
mampu melakukan kebaikan, melainkan juga keburukan. Tetapi keistimewaan
manusia ia mampu memenangkan kebaikan atas keburukan (Al-Isrâ’: 11).
Sebaliknya, jika manusia gagal mengembannya, ia akan turun derajatnya ke derajat
syetan, yang disebabkan karena sikap acuhnya terhadap bimbingan al-Qur’an (Al-
An’âm: 122). Fithrah yang diberikan Allah kepada manusia akan dikembangkan baik
terhadap dirinya, maupun lingkungannya. Perubahannya ditentukan oleh ikhtiyarnya
masing-masing, ia berada dalam dua posisi yang seimbang, antara baik dan buruk.
Di sinilah bimbingan dan pengarahan (tarbiyah) dibutuhkan (Al-Syams: 7-10).
Kebebasan dan Keterpaksaan
Sebagai makhluk yang bertanggung jawab (mukallaf), manusia harus memiliki
syarat untuk mengemban tanggung jawabnya yaitu kebebasan. Kebebasan harus
didasarkan pada potensi kehendak. Dengan demikian perbuatan yang
dipertanggung jawabkan oleh manusia, harus tercakup kebebasan dan
independensi dalam memilih dan menentukan perbuatan. Hal ini tentunya tidak
sekedar keinginan belaka, tetapi juga didasarkan pertimbangan fikiran dan kepastian
yang diawali dengan keinginan yang dikuatkan dengan keputusan
(‘azam). Irâdah akan berada dalam posisi netral antara keterpaksaan dan
kebebasan.
Perbuatan memang ikhtiar manusia, sedangkan ikhtiar tidak terikat dengan ikhtiar
lain. Ayat di atas menyanggah anggapan bahwa manusia itu mandiri dan bebas
segala-galanya, lepas dari kehendak dan kekuasaan Allah. Allah berkekuasaan
sempurna sementara manusia hanya berpotensi yang memungkinkan
dikembangkan untuk menuju kesempurnaan. Kekuasaan serta iradah Allah yang
sempurna, dan potensi manusia yang memungkinkan dikembangkan, hendaknya
diberi kewenangan masing-masing, dimana yang satu tidak mengganggu dan
menghalangi kehendak dan kebebasan yang lain.

Potensi Ego dan Sosial


Redaksi al-Qur’an kadang-kadang bernuansa individu (eksklusif) dan kadang-
kadang bersifat sosial (inklusif). Hal ini menunjukkan bahwa individu terserap ke
dalam kelompok, tetapi bukan sebaliknya. Untuk itu al-Qur’an sering menegaskan
bahwa setiap individu bertanggung jawab dihadapan Allah (Al-Isrâ’: 15), sehingga
al-Qur’an menghindarkan warisan tanggung jawab dari kelompok.
Masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap individu agar dapat mencapai derajat
yang mampu membedakan antara baik dan buruk. Dengan tercapainya derajat
tertsebut, individu akan ikut bertanggung jawab keberlangsungan masyarakatnya.
Tanggung jawab sesuai dengan kemampuan individunya. Antara tanggung jawab
individu dan sosial saling melengkapi, hubungan antara individu dalam kelompok,
diikat dengan ikatan rasa cinta bukan atas dasar konflik, dan standar untuk
mengukur prestasinya adalah taqwa (Al-Hujurât: 13).
Oleh Ahmad Munir

Bahan Bacaan
Abud, Abdul Ghani, Allah wa al-Insân al-Mu’âshir, Dâr al-Fikr al-Arabi, 1977
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1994

Anda mungkin juga menyukai