Anda di halaman 1dari 56

TUKAK ATAU ULKUS LAMBUNG

 Sekitar 55% tukak lambung terjadi pada laki-laki. Secara khas, tukak lambung dalam dan
meluas sampai di sebelah atas mukosa lambung.
 Hampir semua tukak lambung jinak terletak di antrum, pada suatu zona tepat di sebelah distal
dari sambungan mukosa antrum dengan mukosa korpus ventrikuli yang mensekresi asam. Lokasi
sambungan ini bermacam-macam, terutama pada kurvatura minor lambung.
 Tukak lambung jarang terjadi pada kurvatura mayor lambung. Tukak lambung hampir selalu
disertai gastritis dan berbagai atrofi mukosa yang mengenai antrum.
Etiologi dan patogenesis

 Asam-pepsin tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis tukak lambung.


Sekitar 10% sampai 20% penderita tukak lambung juga menderita tukak duodenum. Penderita
dengan kedua jenis tukak tersebut mempunyai pola sekresi asam seperti penderita tukak duodenum.
 Patogenesis tukak lambung dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian besar peneilitian
menunjukkan bahwa resistensi mukosa lambung dan/atau trauma mukosa lambung merupakan faktor
yang paling renting. Kadar gastrin serum meningkat pada beberapa penderita tukak lambung, namun
peningkatan ini terbatas pada penderita hiposekresi asam lambung. Juga dijumpai keterlambatan
pengosongan lambung. Diperkirakan bahwa regurgitasi isi duodenum, terutama yang mengandung
empedu, dapat mencetuskan trauma mukosa lambung dan kemudian berlanjut dengan ulserasi
lambung.
Gambaran klinis

 Seperti pada tukak duodenum, gejala yang paling sering dijumpai pada tukak lambung adalah
nyeri di daerah epigastrium.
 Rasa nyeri ini dapat menyerupai tukak duodenum, namun beberapa penderita tukak lambung
mengalami rasa nyeri yang tidak menghilang dengan pemberian makanan dan bahkan dapat
dicetuskan atau diperberat dengan pemberian makanan.
 Tukak yang letaknya di kurvatura minor lambung bagian atas dapat menimbulkan rasa nyeri
dada depan. Kadang-kadang rasa nyeri ulkus peptikum hanya dirasakan di punggung setinggi ruas
tulang punggung VIII – X, terutama pada tukak yang mengalami penetrasi ke pankreas.
 Nausea dan muntah yang timbul pada tukak duodenum hampir selalu menunjukkan adanya
obstruksi saluran keluar dari lambung (gastric outlet), sedangkan pada tukak lambung gejala ini dapat
terjadi tanpa adanya obstruksi mekanik.
Diagnosis

 Riwayat penyakit dapat bermanfaat untuk memperkirakan adanya tukak lambung, namun
tidak begitu khas seperti tukak duodenum.
 Dua cara utama untuk menegakkan ulkus lambung adalah pemeriksaan barium meal dan
endoskopi. Secara radiologis pada tukak lambung ditemukan suatu kawah dari ulkus yang disebut
niche. Bila ditemukan gambaran tersebutperlu dibedakan antara jinak dan ganas. Bentuk tukak yang
jinak umumnya bulat atau oval dengan dinding yang teratur; sedangkan bentuk yang ganas
mempunyai tepi yang ireguler, dasar yang kasar ireguler, mukosa di sekitar tukak tidak licin dengan
lipatan mukosa yang seperti terpotong di jalan dan berbentuk seperti tabuh genderang.
 Untuk memastikan diagnosis serta untuk membedakan antara bentuk jinak dengan ganas,
perlu dilakukan biopsi secara endoskopi. Pada tukak yang jinak, secara mikroskopis di bawah tukak
akan tampak lapisan eksudat inflamasi akut, sebelah dalamnya terdapat lapisan nekrosis fibrinoid,
jaringan granulasi dan jaringan parut. Tepi tukak tampak edema yang berisi sel eritrosit dari sel
inflamasi. Muskularis mukosa di sekitar kawah ulkus biasanya menebal.
Pengobatan

 Antasida efektif untuk pengobatan tukak lambung; karena hipersekresi asam lambung tidak
khas pada tukak lambung, maka diperlukan dosis antasida yang lebih kecil dibanding pada tukak
duodenum.
 Antagonis reseptor H2 dan sukralfat kira-kira sama efektifnya dengan antasida untuk
pengobatan tukak lambung. Dosis yang dianjurkan sama pada penderita tukak duodenum.
 Beberapa ahli menganjurkan penggunaan obat antikolinergik untuk pengobatan tukak
lambung, tetapi obat tersebut mempunyai banyak efek samping, cenderung menurunkan kecepatan
pengosongan lambung yang telah terganggu; dan kenyataannya penderita ulkus lambung yang
mendapatkan pengobatan ini, proses kesembuhannya lebih lama. Oleh karena itu obat tersebut
tampaknya tidak dianjurkan untuk pengobatan tukak lambung.
 Karena salisilat berkaitan dengan timbulnya tukak lambung, maka penderita dilarang untuk
minum salisilat. Alkohol juga sebaiknya dicegah, karena memberikan efek trauma terhadap mukosa
lambung. Diet susu dan krim tidak memperlihatkan manfaat yang bermakna dalam pengobatan tukak
lambung.
 Natrium karbenoksolon banyak digunakan untuk pengobatan tukak lambung di berbagai
negara. Obat ini dapat menurunkan gejala-gejala dan mempercepat penyembuhan tukak lambung.
Karbenoksolon tidak menurunkan sekresi asam lambung namun meningkatkan sekresi dan viskositas
mukus lambung serta meningkatkan daya hidup sel epitel mukosa lambung: Sayangnya obat ini
mempunyai efek seperti aldosteron, sehingga dapatmenyebabkan retensi natrium dan air dan
pengeluaran kalium.
http://sikkahoder.blogspot.co.id/2012/09/ulkus-duodenum-dan-tukak-lambung-ulkus.html

2.2 Faktor Resiko

Dua bentuk dari kanker gaster dapat dibedakan dari faktor resiko
dan histologinya. Kanker gaster tipe difuse dihubungkan dengan
faktor herediter dan lokasi kanker proksimal dan tidak muncul dari
lesi prekanker (intestinal metaplasia atau dysplasia). Kanker gaster
tipe intestinal berlokasi lebih ke distal, muncul pada usia muda,
lebih sering bersifat endemik, berhubungan dengan perubahan
inflamasi dan infeksi Helicobacter pylori.6

1. Diet. Kanker gaster telah dihubungkan dengan daging merah,


cabai, merica, ikan, makanan yang diasamkan, diasinkan,
diasapkan, diet tinggi karbohidrat, rendahnya konsumsi lemak,
protein dan vitamin A, C, dan E. Makanan yang diasamkan,
diasinkan, diasapkan merupakan faktor resiko “probable” kanker
gaster menurut panel ahli WHO/FAO,3,4,6,7 efek karsinogenik dari
makanan yang diasamkan, diasinkan, diasapkan dikarenakan
tingginya kandungan garam dan nitrat. Pada penelitian dengan
menggunakan hewan, terlihat adanya efek karsinogenik dari N-
nitroso compounds (N=-nitro-N-nitrosoguanidine), Nitrat dirubah
mejadi carcinogenic nitrite compounds pada gaster.4 Sedangkan
diet selenium, zinc, cooper, besi, dan mangan dihubungkan dengan
rendahnya resiko kanker gaster.3,6,7 Gastric bacteria (lebih sering
terdapat pada gaster yang achlorhydric pada pasien
dengan atrophic gastritis) merubah nitrate menjadi nitrite, yaitu
sebuah karsinogen.3,7 Menurunnya konsumsi dari makanan tinggi
nitrat terlihat sebagai penyebab menurunnya kanker gaster pada
utara US dan Eropa barat.4,7

2. Infeksi. pada tahun 1982, Marshall dan Warren mengisolasi


H.pylori untuk pertama kali dari biopsi epitel gaster. Peranan
H.pylori dalam menginisiasi cedera mukosa dan terjadinya gastritis
atropik kronis telah diketahui dengan baik. Pada pasien yang
menjalani reseksi karena kanker gaster tipe intestinal, teridentifikasi
H.pylori pada jaringan nonkanker pada hampir 90% pasien, bila
dibandingkan dengan 32% kanker gaster tipe difuse.3,6 Beberapa
penelitian juga melaporkan hubungan yang signifikan antara infeksi
H.pylori dan kanker gaster, terutama kanker gaster distal.
Pembentukan kanker gaster berhubungan dengan meningkatnya
level antibody immunoglobulin G dan paling tinggi ketika interval
antara infeksi H.pylori dan diagnosis kanker gaster lebih dari 10
tahun. Peneliti lainnya juga menemukan tingginya infeksi H.pylori
pada pasien dengan kanker gaster tipe intestinal namun tidak pada
kanker gaster tipe difuse. Meskipun H.pylori di perhitungkan
oleh World Health Organization (WHO) sebagai carcinogen kelas
1,3,5

Gambar 2. Infeksi H.pylori biasanya didapat saat usia muda. Infeksi akut akan menyebabkan hipochlorhydri
sementara dan jarang terdiagnosa. Gastritis kronik akan terbentuk pada seseorang dengan koloni persisten, te
80-90% asimptomatik. Perjalanan klinis lebih jauh bergantung pada faktor host dan bakteri. Pasien dengan o
asam lambung yang tinggi akan mempunyai gastritis predominan antral, yang merupakan predisposisi ulkus
duodenum. Pasien dengan output asam lambung yang rendah akan memiliki gastritis dari body gaster, yang
merupakan predisposisi dari ulkus gaster dan memulai inisiasi kanker gaster. Infeksi H.Pylori juga menyebab
pembentukan mucosa associated lymphoid tissue (MALT) pada mukosa gaster. Lymphoma malignant yang
dari jaringan MALT merupakan komplikasi lainnya dari H.pylori yang jarang terjadi.
Pada penelitian insiden dari infeksi H.pylori berkisar 61% dan 76%,
mengindikasikan bahwa kebanyakan infeksi tidak membentuk
kanker gaster dan faktor lainnya penting sebagai
pathogenesis.3 Resiko pasien dengan infeksi
kronik H.pylori meningkat sebesar tiga kali,7 tetapi sejak H. pylori
terdapat pada 80% pasien di Negara berkembang, adanya bakteri
ini mempunyai nilai yang kurang bermakna ketika terdeteksi dan
mayoritas pasien yang memiliki infeksi H. pylori memiliki gastritis
kronik. 5Seperti yang telah diketahui bahwa H.pylori merupakan
mikroorganisme penting dalam pembentukan ulkus peptikum. Yang
menarik adalah pada pasien dengan riwayat ulkus peptikum lebih
sering terjadi kanker gaster bila dibandingkan pada pasien tanpa
infeksi H.pylori, dan pasien dengan riwayat ulkus duodenum
mempunyai resiko yang rendah untuk terjadinya kanker gaster. Hal
ini mungkin dikarenakan pada beberapa pasien membentuk antral-
predominant disease (predisposisi untuk ulkus duodenum dan
bersifat proteksi terhadap kanker gaster), sementara pada pasien
yang dengan gastritis corpus-predominant,
mengakibatkan hypochlorhydria dan merupakan predisposisi dari
ulkus peptikum dan kanker gaster. Yang menarik juga bahwa
pasien dengan infeksi H.pylori mempunyai resiko yang rendah
untuk terbentuknya adenocarcinoma dari esophagus distal dan
regio cardia. Mungkin karena corporeal gastritis menurunkan
sekresi asam lambung, sehingga mengurangi sekresi asam
lambung, dan mengurangi kemungkinan reflux dan resiko Barrett’s
esophagus, yang merupakan lesi precursor dari kanker gaster.
Meskipunn infeksi H.pylori telah secara jelas merupakan faktor
resiko untuk terjadinya kanker gaster, namun harus diketahui
bahwa pembentukan kanker gaster merupakan multifaktor. Tidak
semua pasien dengan kanker gaster mempunyai infeksi H. pylori,
dan pada beberapa daerah terdapat prevalensi tinggi dengan
infeksi kronik H. pylori dan rendahnya prevalensi dari kanker
gaster (the "African enigma").7 Virus Epstein-Barr telah diidentifikasi
pada kanker gaster dengan fitur lymphoepithelioid, dan
berhubungan dengan kanker pada usia muda dan berlokasi pada
kardia.3,6

Gambar 3. Photomicrograph dari Epatein-Barr Virus (EBV) pada kanker gaster. Epstein-Barr Virus (EBV)-e
RNA I (EBER I) pada in situ hybridization memperlihatkan transcripts EBER I (berwarna gelap) pada nukle
tumor.

3. Herediter dan Ras. African, Asian, dan Hispanic Americans


mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita kanker gaster bila
dibandingkan dengan orang kulit putih. Pola histologi difuse terlihat
predominan pada keluarga dengan beberapa anggota keluarga
yang terkena kanker.6 munculnya kanker gaster yang tersebar pada
kerabat terdekat memperlihatkan bahwa terdapat kemungkinan
genetik untuk terjadinya kanker gaster, dengan insiden berkisar
1%-15% dari semua kanker gaster. Contohnya adalah pada
keluarga Bonaparte, napoleon, ayahnya dan kakeknya meninggal
dikarenakan kanker gaster. Kanker gaster juga muncul pada
anggota keluarga yang terdiagnosa dengan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) dan Li-Fraumeni
syndrome.3 Berbagai varian dari abnormalitas genetik telah
dideskripsikan, dimana kebanyakan kanker gaster bersifat
aneuploid. Abnormalitas genetik yang paling sering terlibat pada
kanker gaster adalah pada gen p53 dan COX-2. Lebih dari dua
pertiga kanker gaster mempunyai deletion atau suppression dari
tumor supresor gen p53. Dan dengan proporsi yang sama pada
overexpression gen COX-2. Pada kolon, tumor
dengan upregulation gen COX-2 mempunyai apoptosis yang
tersupresi, lebih angiogenesis dan potensial metastase yang tinggi.
Kanker gaster yang overexpress terhadap gen COX-2 terlihat lebih
agresif.7 Familial gastric cancer telah diidentifikasikan dan
berhubungan dengan mutasi gen E-cadherin, seperti yang terlihat
pada keluarga Bonapartes. Adanya mutasi gen e-
cadherin menyebabkan resiko untuk menderita kanker gaster
sebesar 60–90%.5

Tabel 4. Kelainan Genetik pada kanker gaster

4. Anemia pernisiosa. Anemia pernisiosa membawa resiko relatif


yang meningkat sebesar 3 sampai 18 kali untuk menderita kanker
gaster pada populasi secara umum pada penelitian retrospektif.
Meskipun terdapat beberapa kontroversi pada penemuan ini,
namun follow-up dengan menggunakan endoscopy telah secara
umum disarankan pada pasien yang memiliki penyakit anemia
pernisiosa.3,6

5. Reseksi gaster sebelumnya. Gastric stump adenocarcinomas,


yang muncul dengan periode latensi 15-20 tahun, seringkali muncul
pada pasien setelah pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum,
terutama mereka yang memiliki hypochlorhydria dan reflux dari
alkaline bile. Kanker ini berhubungan dengan dysplasia mukosa
gaster, meningkatnya level gastrin, dan memiliki prognosis yang
buruk.6 pada tahun 1922 Balfour mengamati hubungan antara
pembentukan kanker gaster pada benign disease yang sebelumnya
dilakukan gastrectomy partial. Kanker gaster stump muncul pada
kurang dari 5 tahun setelah gastrectomy partial untuk membedakan
kanker gaster stump de novo dari tumor yang rekuren secara lokal
yang tak diketahui pada saat pembedahan pertama kali. Dua
metaanalisis juga membenarkan adanya peningkatan resiko kanker
gaster stump pada pasien yang telah menjalani partial gastrectomy.
Peningkatan resiko ini terlihat hanya setelah setidaknya periode
latensi 15 tahun, dan sedikit lebih tinggi insidennya pada wanita.
Tipe dari rekonstruksi pembedahan tidak terlihat sebagai resiko
relatif untuk pembentukan kanker gaster stump. Baas et al
membandingkan 26 kanker stump dengan 24 kanker konvensional
dimana virus Epstein-Barr positif pada 9 kanker stump dan positif
pada 2 kanker yang belum pernah menjalani pembedahan
sebelumnya, hal ini memperlihatkan perbedaan etiologi pada
kanker stump dan gaster yang intak sebelumnya.3

6. Dysplasia mukosa gaster grade I sampai III, dimana grade III


menunjukkan diferensiasi sel yang luas dan meningkatnya mitosis.
Penemuan dari dysplasia high-grade oleh patologis yang
berpengalaman pada dua biopsy yang berbeda telah
dipertimbangkan sebagai marker untuk terjadinya kanker gaster.
Intestinal metaplasia, yaitu penggantian epitel glandular gaster
dengan mukosa intestinal telah dihubungkan dengan kanker gaster
tipe intestinal. Resiko munculnya kanker terlihat sebanding dengan
luasnya metaplasia mukosa.3,6 kanker gaster seringkali muncul
pada area intestinal metaplasia. Lebih jauh lagi, resiko kanker
gaster sebanding dengan luasnya intestinal metaplasia dari mukosa
gaster.7

Gambar 4. Complete intestinal metaplasia of stomach. Noted the intestinal-type crypts lined with goblet cell
intestinal absorptive cells

7. Polip gaster. Setidaknya setengah dari polip adenomatous


menunjukkan perubahan carcinomatous pada beberapa penelitian.
Pasien dengan familial adenomatous polyposis (FAP) memiliki
insiden yang tinggi dari kanker gaster sekitar 50%, dan sepuluh kali
lebih sering untuk membenttuk adenocarcinoma.7 Pasien dengan
polip adenomatous atau FAP hasrus menjalani endoscopi
surveillance.6 Terdapat lima tipe dari polip epithelial
gaster: inflammatory, hamartomatous, heterotopic,
hyperplastic, dan adenoma. Tiga jenis pertama mempunyai
kemungkinan kecil untuk terjadinya malignansi. Adenomas dapat
membentuk karsinoma, dan harus diangkat ketika terdiagnosa.
Secara kebetulan, hyperplastic polyps (> 75% dari semua polip
gaster) tidak terlihat potensial malignansi,6 namun dapat manjadi
karsinoma dengan insiden <2%.7

8. Gastritis kronik. Chronic atrophic gastritis merupakan precursor


paling sering untuk kanker gaster, terutama pada tipe intestinal.
Pada penelitian di Jepang, 95% pasien dengan kanker gaster dini
mempunyai atrophic gastritis, dan pada penelitian lainnya resiko
untuk membentuk kanker gaster sebesar 20% ketika gastritis berat
melibatkan antrum, dan 5% ketika gastritis melibatkan body gaster.
Prevalensi atrophic gastritis tinggi pada usia lanjut, tetapi pada
daerah dengan insiden yang tinggi dari kanker gaster, kondisi ini
juga ditemui pada usia muda. Correa mendeskripsikan tiga
pola chronic atrophic gastritis, yaitu autoimmune (melibatkan gaster
bagian proksimal), hypersecretory (melibatkan distal gaster),
dan environmental (melibatkan area multiple
pada junction dari oxyntic dan antral mukosa).6,7 Pada Ménétrier’s
disease (hipertropik gastritis) juga telah diobservasi adanya
peningkatan insiden dari kanker gaster.6

Gambar 5. Chronic atrophic gastritis

9. Faktor resiko lainnya. Kanker gaster juga sering terjadi orang


dengan golongan darah A, dan juga dengan sosioekonomi
rendah.6 Pemakaian tembakau terlihat meningkatkan resiko kanker
gaster,7 Pada tahun 1997, Tredaniel et al menelaah berbagai
penelitian cohort dan case-control, dan menemukan adanya
hubungan antara kanker gaster dengan merokok, 11% dari semua
kanker gaster berhubungan dengan merokok. Gammon et al juga
memperlihatkan adanya resiko adenokarsinoma gaster pada
perokok.4 dan penggunaan alkohol tidak mempunyai efek resiko
terhadap kanker gaster,7 pada penelitian case-control oleh
Gammon et al tidak menunjukkan adanya hubungan antara
konsumsi alkohol dengan kanker gaster.4

2.3 Manifestasi Klinik

2.3.1 Histopatologi
Sekitar 95% dari semua neoplasma malignant gaster merupakan
adenocarcinoma, dan secara umum, terminologi kanker gaster
ditujukan untuk adenocarcinoma dari gaster. Tumor malignant
lainnya sangat jarang terjadi, termasuk squamous cell carcinoma,
adenoacanthoma, carcinoid tumors, dan leiomyosarcoma.
Meskipun tidak terdapat jaringan lymphoid pada mukosa gaster,
namun gaster merupakan lokasi tersering lymphoma dari traktus
gastrointestinal. Peningkatan kewaspadaan hubungan
antara mucosa-associated lymphoid tissue lymphomas dan H.pylori
dapat dijelaskan, terlebih lagi adanya peningkatan dari insiden.
Diferensiasi dari adenocarcinoma dan lymphoma seringkali sulit
dilakukan, namun hal ini penting dikarenakan stadium, penanganan
dan prognosisnya sangat berbeda.4

Gambar 6. Model karsinogenesis kanker gaster.

Terdapat empat bentuk makroskopik dari kanker gaster, yaitu


polypoid, fungating, ulcerative, dan scirrhous. Pada dua bentuk
pertama, massa berada pada intraluminal. Polypoid tidak
berulserasi; tumor fungating berelevasi intraluminal tetapi juga
berulserasi. Pada dua tipe terakhir, massa tumor berada pada
dinding gaster. scirrhous tumor menginfiltrasi seluruh ketebalan
dinding gaster dan menutupi area yang luas. Tumor scirrhous (linitis
plastica) mempunyai prognosis yang buruk, dan biasanya
melibatkan seluruh gaster. Meskipun dapat di reseksi dengan total
gastrectomy, seringkali pada batas esophageal dan duodenal
menunjukkan adanya infiltrasi tumor pada pemeriksaan
mikroskopik. Kematian biasanya dikarenakan rekurensi pada saat
enam bulan.7

Beberapa sistem staging telah diajukan berdasarkan karakteristik


dari tumor gaster. Pada tahun 1926, Borrmann memisahkan kanker
gaster menjadi 5 tipe berdasarkan gambaran makroskopiknya. Tipe
I memperlihatkan kanker polypoid atau fungating, tipe II
memperlihatkan lesi ulserasi yang dikelilingi oleh batas yang
meninggi, tipe III memperlihatkan lesi ulserasi yang menginfiltrasi
dinding gaster, tipe IV merupakan tumor yang menginfiltrasi secara
difuse, dan tipe V merupakan kanker yang tidak dapat
diklasifikasikan.3,4 Gambaran makroskopik dan diferensiasi histologi
bukan merupakan variabel independen faktor prognostik. Ming
telah mengajukan sistem staging histomorphologic yang
membedakan kanker gaster menjadi tipe ekspansif dengan
prognosis baik dan tipe infiltratif dengan prognosis yang
buruk.3,4 Berdasarkan analisis dari 171 kanker gaster, tumor tipe
ekspansif mempunyai gambaran makroskopik polypoid atau
superficial, dimana tumor infiltratif selalu berpenampakan difuse.
Klasifikasi kanker gaster oleh Broder’s mengklasifikasikan tumor
secara histologi dari 1 (well differentiated) sampai 4 (anaplastic).
Bearzi dan Ranaldi telah mengkorelasikan derajat diferensiasi
histologi dengan gambaran makroskopik pada 41 kanker gaster
primer yang terlihat pada endoscopy. Sembilan puluh persen
kanker yang protruding atau superficial mempunyai gambaran
mikroskopik well differentiated (Broder’s grade 1), dimana sekitar
setengah dari lesi yang berulserasi mempunyai gambaran poorly
differentiated atau diffusely infiltrating (Broder’s grades 3 dan
4).3 WHO membagi klasifikasi histology kanker gaster menjadi 9
tipe: papillary adenocarcinoma, tubular adenocarcinoma, mucinous
adenocarcinoma, signet-ring cell carcinoma, squamous cell
carcinoma, adenocanthoma, undifferentiated carcinoma,
unclassified carcionoma, dan carcinoid tumor.4
Tabel 5. Klasifikasi histologi kanker gaster menurut WHO

Pada tahun 1965 Laurén mengajukan system klasifikasi yang


sederhana dan dapat diterima secara luas, yang mengklasifikasikan
kanker gaster menjadi bentuk intestinal (53%), diffuse (33%), dan
unclassified (14%).3,4,7 Pada penelitian terbaru di Negara Barat,
sekitar 70% pasien memiliki tumor diffuse; dan 30% memiliki tumor
tipe intestinal.4 Klasifikasi ini berdasarkan histologi tumor secara
efektif mengkarakteristikan dua variasi dari adenocarcinoma gaster
yang bermanifestasi secara berbeda pada patologi, epidemiologi,
dan etiologi.3 Perbedaan diantara kanker gaster tipe diffuse
(glandular) dan tipe intestinal-type mengasumsikan kepentingan
dalam hal perubahan epidemiologi dan perdebatan mengenai
pathogenesis dari kanker gaster. 4

Gambar 7. Karsinogenesis kanker gaster tipe intestinal.


Tahara menggambarkan alur berbeda pada karsinogenetik kedua
tipe kanker gaster tersebut. Kanker gaster tipe intestinal
memperlihatkan progresi klasik karsinogenesis yang mirip dengan
kanker kolon. Paparan dari lingkungan (contohnya diet tinggi
garam, diet rendah vitamin C/E, infeksi H. Pylori) mengakibatkan
terjadinya gastritis superfisial kronik, yang kemudian akan
berprogresi dari atrophic gastritis ke intestinal metaplasia,
dysplasia, dan akhirnya kanker. Tumor tipe intestinal lebih sering
terjadi pada usia lanjut dan pada jenis kelamin laki-laki, alterasi
genetik termasuk mutasi gen berikut: microsatellite
instability, DCC (deleted in colorectal
cancer), dan APC (adenomatous polyposis coli). Lesi prekanker,
seperti atrophic gastritis dan intestinal metaplasia, merupakan
target utama dalam mencegah kanker gaster tipe intestinal.4

Gambar 8. Karsinogenesis kanker gaster tipe diffuse.


Kanker gaster tipe diffuse merupakan penyakit yang sering terjadi
pada usia muda dan seringkali pada jenis kelamin wanita. Bentuk
familial telah dikenali, begitu pula hubungannya dengan golongan
darah tipe A. tumor tipe diffuse merupakan poorly
differentiated dengan signet-ring cells. Penyebaran seringkali
melalui transmural dan lymphatic.4 Metastase seringkali muncul
lebih dini dikarenakan daya kohesinya kecil dan prognosisnya lebih
buruk.3,4 Overexpression dari c-met, sebuah protooncogene, sangat
besar pada tumor tipe diffuse, terutama pada tumor stadium lanjut.
Penurunan fungsi dan ekspresi dari E-cadherin (CDH1), sebuah
transmembran protein yang terlibat adhesi sel, sangat unik pada
kanker gaster tipe diffuse. Berkebalikan dengan tipe intestinal,
gastritis sangat jarang terjadi pada kanker gaster tipe diffuse. 4

2.3.2 Lokasi kanker

Lokasi dari tumor primer penting untuk perencanaan operasi.


Beberapa dekade yang lalu, mayoritas kanker gaster berada pada
distal gaster, tetapi akhir-akhir ini terdapat migrasi pada tumor
kearah proksimal, dan diperkirakan distribusi kanker gaster 40%
distal, 30% tengah, and 30% proximal.7 Pada penelitian Ying liu dari
data the Gastric Cancer Registry of Japan yang meneliti hubungan
kanker gaster dan lokasi kanker di Jepang yang melibatkan 171721
kasus kanker gaster dari tahun 1975-1989 didapatkan bahwa
insiden tumor pada sepertiga atas gaster pada usia muda
meningkat dengan perlahan, dan terdapat peningkatan insiden
yang signifikan pada pria usia ≥ 50 tahun dan wanita ≥ 70 tahun.
Insiden dari tumor sepertiga distal menurun secara signifikan pada
pria dan wanita tetapi tumor yang berada pada sepertiga tengah
hanya menunjukkan perubahan yang kecil. Jenis kelamin pria juga
menunjukkan fluktuasi insiden dibandingkan wanita. 8

Gambar 9. Insiden kanker gaster berdasarkan lokasi di jepang pada tahun 1975-1989.

Hal serupa juga diungkapkan oleh penelitian Afshin Abdi-Rad yang


menelaah data dari Tehran Cancer Institute mengenai kanker
gaster dari tahun 1969-2004 yang mendapatkan peningkatan
insiden dari kanker gaster sepertiga atas, menurunnnya insiden
kanker gaster sepertiga distal dikarenakan eradikasi dari H. pylori
yang mengakibatkan peningkatan kanker gaster sepertiga
proksimal.9

Gambar 10. Insiden kanker gaster berdasarkan lokasi di Iran pada tahun 1969-2003.
Gambar 11. Lokasi tersering kanker gaster.

2.3.3 Gejala

Kanker gaster biasanya tidak menjadi simptomatik sampai


penyakitnya menyebar dengan luas dikarenakan gejalanya tidak
spesifik sehingga kebanyakan pasien dengan kanker gaster
terdiagnosa pada stadium lanjut.3,4 Pasien dapat mempunyai
kombinasi gejala dan tanda seperti penurunan berat badan,
anorexia, fatigue, atau nyeri epigastrium namun karena tidak terlalu
berat seringkali diacuhkan. Penemuan penurunan berat badan
secara klinis tidak dapat diremehkan. Dewys et al menunjukkan
bahwa pada 179 pasien kanker gaster stadium lanjut, lebih dari
80% pasien memiliki penurunan berat badan lebih dari 10%. Pasien
yang memiliki gejala penurunan berat badan memiliki tingkat
survival yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pasien yang
tidak memiliki penurunan berat badan.3 Gejala lainnya yaitu mual,
muntah, Perdarahan gastrointestinal jarang terjadi (5%), namun
kehilangan darah kronik (chronic occult blood loss) sering terjadi
dan bermanifestasi sebagai anemia defisiensi besi. Paraneoplastic
syndromes seperti Trousseau’s
syndrome (thrombophlebitis), acanthosis nigricans (hiperpigmentasi
dari axilla dan groin), atau peripheral neuropathy jarang terjadi. 7

Gambar 12. Ulcerated Gastric Cancer.

Gambar 13. A, adenocarcinoma protrusi le kumen gaster dan menginvasi dinding gaster pada adenocarcinom
intestinal; B, adenocarcinoma tipe diffuse dengan poorly differentiated areas yang mengandung sel berisikan
dan sitoplasma yang jernih.

Lokasi atau tipe tumor dapat mempengaruhi gejala yang ada.


Dysphagia berhubungan dengan massa tumor yang berada pada
kardia gaster dengan penyebaran pada gastroesophageal junction,
sedangkan tumor di daerah distal bermanifestasi sebagai obstruksi
gaster. Pasien dengan lesi scirrhous-type (linitis plastica) akan
mengeluh cepat kenyang dikarenakan hilangnya distensibilitas
gaster. Gejala yang biasanya ada pada pasien dengan tumor linitus
plastica termasuk nausea dan vomiting (61%), weight
loss (58%), dysphagia (46%), dan abdominal
pain (38%).3,4 Vomiting yang terjadi terus menerus konsisten
dengan karsinoma antral yang mengobstruksi pylorus. Perdarahan
gastrointestinal yang signifikan jarang terjadi pada kanker gaster,
tetapi bagaimanapun juga hematemesis dapat muncul pada sekitar
10%-15% pasien.3 Pada penelitian di Inggris, hanya 27 dari 1105
pasien dengan acute upper gastrointestinal bleeding memiliki
kanker gaster. Lebih dari 70% pasien ini memiliki kanke gaster
stadium IV dengan rata-rata survival 9 bulan. Pada penelitian ini
tidak ada pasien yang membutuhkan reseksi darurat untuk
mengontrol perdarahan, dan pada 8 pasien yang ditangani secara
konservatif tidak mengalami perdarahan akut setelahnya. 4

Perforasi gaster merupakan hal yang jarang terjadi, hanya muncul


sekitar 1% sampai 4% kasus. Meskipun seringkali terjadi pada
pasien kanker gaster stadium T3 dan T4, perforasi dapat muncul
pada kanker gaster dini, hal ini menekankan pentingnya
analisa biopsy dan frozen section selama pembedahan darurat
untuk perforasi ulkus gaster. Reseksi gsater paliatif harus
dipertimbangkan pada saat dilakukannya laparotomi explorasi
darurat.4

Sindrom paraneoplastik sangat jarang berhubungan dengan kanker


gaster. Manifestasi sistemik kutaneus termasuk diffuse seborrheic
keratoses (sign of Leser-Trelat) dan acanthosis nigricans (velvety,
dark pigmented lesions) yang melibatkan lipatan kulit dan axilla.
Kelainan hematologi termasuk Trouseau’s syndrome dan anemis
hemolitik mikroangiopatik.4

Pemeriksaan fisik biasanya normal sampai terjadinya kanker gaster


stadium lanjut. penemuan klasik yang menunjukkan adanya lesi
metastase pada pasien stadium IV, diantaranya Virchow’s
supraclavicular node, Sister Mary Joseph’s periumbilical node,
Pemeriksaan rectal dapat menunjukkan nodul yang keras pada
extraluminal dan anterior, yang menandakan adanya "drop
metastases", atau rectal shelf of Blumer pada cavum douglas,
dan Krukenberg’s tumor yang merupakan metastase limfatik
dan/atau peritoneal yang incurable. Dapat pula terjadi,
atau aspiration pneumonitis pada pasien dengan gejala muntah dan
atau obstruksi. Jika teraba massa abdomen, menandakan tumor
primer yang sangat besar (biasanya T4). Tanda fisik stadium lanjut
termasuk metastatic pleural effusion, hepatosplenomegaly,
jaundice, ascites, hematemesis, melena, dan cachexia. Komplikasi
lanjut termasuk perforasi, perdarahan, gastrocolic fistulae, dan
obstruksi.3,4,7

2.3.4 Metastase

Kanker gaster dapat menyebar secara lokal dan metastase pada


jaringan limfe, metastase peritoneal dan distant metastases.
Penyebaran ini dapat secara local, lymphatic atau hematogenous.
Tumor berkembang dengan penetrasi ke dinding gaster, ekstensi
ke dinding gaster, dan menyebar ke seluruh gaster. Dua bentuk
ekstensi lokal yang memiliki dampak terapi adalah penetrasi tumor
ke serosa gaster, dimana resiko invasi tumor meningkat pada
struktur sekitarnya atau penyebaran ke peritoneal, dan keterlibatan
dari kelenjar limfatik. Zinninger telah mengevaluasi penyebaran
kanker pada dinding gaster dan menemukan variasi yang luas pada
pola penyebarannya. Tumor seringkali menyebar melalui kelenjar
limfatik atau pada lapisan subserosa. Ekstensi lokal dapat juga
muncul pada esophagus atau duodenum. Penyebaran pada
duodenum terjadi melalui infiltrasi langsung melalui lapusan
muskular dan melalui kelenjar limfe serosal, tetapi secara umum
tidak tersebar secara luas. Ekstensi pada esophagus muncul
secara primer melalui kelenjar limfatik submukosal. 3

Gambar 14. Pasien dengan advanced gastric adenocarcinoma. Pada CT-scan potongan transversal, terlihat a
ascites dan metastase hepar.
Ekstensi lokal tidak hanya muncul dengan cara radial intramural
tetapi juga invasi melalui dinding gaster untuk melibatkan struktur di
sekitarnya. Ekstensi dapat muncul melalui serosa gaster dan
melibatkan omentum, spleen, adrenal gland, diafragma, liver,
pancreas, atau kolon. Data dari beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa 60-90% pasien mempunyai tumor primer
yang penetrasi ke serosa atau menginvasi struktur disekitarnya dan
setidaknya 50% memiliki metasase limfatik. Insiden tertinggi dari
metastase pada kelenjar limfatik pada tumor yang secara diffuse
melibatkan seluruh gaster. 3

Kanker gaster dapat muncul kembali pada tempat yang multipel,


secara regional dan sistemik. Dua penelitian pada autopsi
memperlihatkan bahwa tingkat kegagalan lokal setelah
pembedahan kuratif berkisar 40% sampai 80%.3 Gunderson dan
sosin menganalisa penelitian pada operasi yang dilakukan oleh
Wangensteen pada University of Minnesota, dimana pasien
menjalani laparotomy untuk yang kedua kalinya setelah reseksi dari
tumor primer. Analisis semacam ini berguna karena dapat
memperlihatkan bagaimana modes of failure dibandingkan dengan
melihat secara sederhana metastase difuse penyakit saat autopsi.
Enam puluh sembilan persen mempunyai bukti adanya rekurensi
secara lokal dan 42% pasien mempunyai penyebaran
pada peritoneal seeding. Kebanyakan dari kegagalan lokal berada
pada gastric bed (81%), meskipun rekurensi juga muncul pada
anastomosis atau stump (39%) atau pada kelenjar limfe regional
(63%). Penelitian oleh the British Stomach Cancer
Group menemukan bahwa insiden dari kegagalan lokal pada
pasien yang hanya ditangani dengan pembedahan sebesar 54%.
Pada penelitian yang mengevaluasi pola kegagalan lokal oleh
Landry et al menunjukkan bahwa tingkat kegagalan lokal sebesar
38%, dengan kebanyakan rekurensi lokal berada pada gastric bed,
dan anastomosis atau gastric stump. Insiden dari kegagalan lokal
meningkat ketika tumor telah menyebar melalui dinding gaster atau
ketika terlihat adanya keterlibatan kelenjar limfe pada saat
pembedahan. Metastase pada hepar juga dapat muncul pada 30%
pasien dan penyebaran pada peritoneal sebesar 23%. Rekurensi
extraabdominal relatif jarang dan hanya muncul pada 13%
pasien.3Beberapa penelitian terbaru memperlihatkan insiden yang
tinggi dari penyebaran pada peritonealsebagai modes of failure.
Pada sebuah penelitian cohort, penyebaran pada peritoneal terjadi
sebesar 47%.3

2.4 Pemeriksaan Penunjang

2.4.1 Tumor marker

Level serum Carcinoembryonic antigen (CEA) dan CA 19-9


seringkali meningkat pada pasien dengan kanker gaster stadium
lanjut. Tetapi hanya sekitar sepertiga dari pasien yang memiliki nilai
abnormal dari CEA dan/atau CA19-9.4 Manggabungkan CEA
dengan marker lainnya, seperti sialylated Lewis antigens CA19-9
atau CA50, dapat meningkatkan sensitifitas CEA. 3 Sensitifitas dari
CEA rendah dan ketika nilainya meningkat, levelnya tidak
berhubungan dengan stadium yang ada, dikarenakan rendahnya
sensitifitas dan spesifitas, marker ini tidak mempunyai peranan
sebagai screening test pada pasien resiko tinggi.3,4 Tumor-
associated glycoprotein antigen, TAG-72 (CA 72-4 assay), dapat
berguna sebagai tumor marker post reseksi, pada sebuah
penelitian CA 72-4 memperlihatkan spesifitas 40% – 50% dan
sensitifitas 100%. Gen E-cadherin, yang didapatkan pada bentuk
familial dari kanker gaster, mungkin sangat berguna sebagai
marker genetik pada penyakit yang rekuren, dengan sensitifitas
59% dan spesifitas 75%. Vascular endothelial growth factor (VEGF)
juga telah diajukan sebagai marker post operatif. Nilai serum VEGF
yang lebih besar dari 533 pg/mL ditemukan sebagai faktor
independen untuk cancer-specific survival. Tidak terdapat tes
laboratorium tunggal yang dapat mendeteksi adanya kanker gaster
rekuren. Tehnik terbaru sedang diteliti untuk mendeteksi individu
dengan resiko tinggi kanker gaster berdasarkan komposisi genetik.
Tehnologi ini termasuk cDNA microarray, serial analysis of gene
expression (SAGE), differential display, dan subtractive
hydridization.4

2.4.2 Upper Gastrointestinal Barium Examination (UGI)

The upper gastrointestinal barium examination (UGI) merupakan


modalitas primer untuk mendeteksi kanker gaster.
Meskipun endoscopy memiliki kelebihan dibandingkan UGI, namun
UGI tetap menjadi pemeriksaan diagnostik yang sering digunakan
karena kurang invasif, tidak membutuhkan sedasi, dan biaya yang
rendah. Sebagai tambahan neoplasma gaster kadangkala
merupakan temuan yang tak disengaja ketika dilakukan
pemeriksaan UGI untuk gejala yang tidak spesifik atau untuk
evaluasi dari esophagus atau usus halus. 4

Gambar 16. Gambaran patologis kanker gaster dini.

Gambar 15. UGI double-contrast menunjukkan adenocarcinoma berbentuk polypoid pada cardia dan fundus
Tabel 6. Deskripsi tipe patologis kanker gaster dini.

Pemeriksaan double-contrast merupakan tehnik radiologis tunggal


yang paling baik untuk mendiagnosa kanker gaster dini (gambar
15). Pada penelitian 80 pasien dengan kanker gaster,
pemeriksaan double-contrast dapat mendeteksi 99% pasien
dengan kanker gaster. Pemeriksaan tunggal single-contrast hanya
mempunyai nilai sensitifitas sebesar 75% dalam mendiagnosa
kanker gaster. Tipe morfologi yang dideskripsikan oleh the Japan
Research Society of Gastric Cancer, kanker gaster dini dapat
terdeteksi pada UGI sebagai polip kecil (type I), lesi superficial
dengan elevasi minimal (type IIa), atau flat (type IIb), depresi ringan
(type IIc), atau shallow ulcers (type III) (gambar 16).

Kanker gaster tingkat lanjut dapat berbentuk massa polypoid,


ulserasi, atau proses infiltratif (linitis plastica pattern) (gambar 17).
Ulserasi merupakan penemuan yang sering terdapat pada
pemeriksaan UGI. Bagaimanapun juga hanya 3% sampai 5% dari
kanker gaster yang berupa kondisi malignant. Terdapat beberapa
keterbatasan dari UGI, yaitu interpretasi dari UGI bergantung pada
kemampuan operator, keakuratan diagnostik untuk deteksi dini dari
kanker lebih besar pada Negara yang mempunyai
program screening berskala besar seperti Jepang, bila
dibandingkan dengan Amerika Serikat. Sensitifitas juga tampaknya
menurun jika digunakan pada pasien postgastrectomy dikarenakan
gangguan anatomis akibat rekonstruksi pembedahan. 4

Gambar 17. UGI-double contrast menunjukkan hilangnya distensibilitas dan kontour yang abnormal dari gas
dikarenakan adenocarcinoma infiltratif (linitis plastica).

2.4.3 Computed Tomography

Computed tomography scanning (CT-scan) menyediakan informasi


yang penting dalam rencana pelaksanaan pasien dengan kanker
gaster. CT-scan dapat memberikan informasi mengenai tumor
primer, mendeteksi lymphadenopathy, dan memprediksi invasi dari
organ di sekitarnya, dengan beberapa keterbatasan. CT-scan
merupakan pemeriksaan tunggal non invasif yang dapat
mendeteksi adanya metastase. Evaluasi keterlibatan tumor
intramural dan ekstensi pada dinding gaster sangat penting untuk
perencanaan terapi. Tehnik CT standar sangat lemah dalam
mengevaluasi gaster. Ketebalan dinding gaster sulit untuk dinilai
tanpa adanya distensi dari gaster dan bagian dari dinding gaster
yang coplanar dengan sudut axial scan (terutama regio cardiac
gaster) dapat terlihat menipis. Penampakan pseudomass
dari gastroesophageal (GE) junction pada CT-scan standar berkisar
23% dari 100 pasien dengan GE junctions yang normal. Pada
penelitian yang membandingkan antara EUS dan CT-scan
didapatkan keakuratan penetrasi tumor berkisar 92% untuk EUS
bila dibandingkan 42% untuk CT-scan. Berbagai tehnik telah
berkembang dalam 15 tahun terakhir dan perbedaan tersebut
menjadi menipis. Pada penelitian yang terbaru, keakuratan CT-
scan sebesar 76% bila dibandingkan dengan EUS sebesar 86%.
Distensi gaster dapat dicapai dengan memasukkan air (300 sampai
800 mL) sangat penting untuk penilaian yang akurat dari ketebalan
dinding gaster.4

Gambar 18. A, CT dilakukan dengan distensi gaster oleh air yang memperlihatkan gaster regio cardia; B, ter
kanker gaster T4 dari body proksimal dengan ekstensi ke kelenjar perigastric dan keterlibatan arteri splenic.

CT scan dari thorax, abdomen, dan pelvis berguna untuk


menentukan penyebaran lateral dari tumor dan adanya metastase
secara sistemik. Bagaimanapun juga, lebih dari 50% pasien
menunjukkan penyebaran tumor yang lebih luas dari yang
diperlihatkan oleh CT pada saat laparotomy. Dengan menggunakan
metode terbaru triphasic spiral CT scanning, dapat memprediksi
lebih tepat tumor dengan ukuran yang kecil dan memprediksikan
stadium T. Takao et al melaporkan keakuratan dari spiral CT
sebesar 82% untuk menentukan stadium T pada kanker gaster
tingkat lanjut dan 15% pada kanker gaster dini. Beberapa pusat
kesehatan di eropa telah menggunakan metode ini, dan tanpa
metode ini, keakuratan dari stadium T secara umum sangat
rendah.3

Keakuratan CT-scan untuk menilai keterlibatan kanker gaster


mempunyai nilai yang terbatas. Keterbatasan ini dikarenakan
ukuran kelenjar limfe tetap menjadi kriteria diagnostik primer untuk
menentukan keterlibatan tumor. Nilai batas normal kelenjar limfe
adalah 8 sampai 10 mm, tetapi meastase dapat ditemukan pada
kelenjar limfe yang berukuran lebih kecil dari 8 mm. pada penelitian
pada 58 pasien kanker gaster dan 1082 sampel kelenjar limfe,
kanker ditemukan pada 82.6% kelenjar limfe yang berukuran lebih
dari 14 mm, 23.0% berukuran 10 sampai 14 mm, 21.7% berukuran
5 sampai 9 mm, dan 5.1% berukuran kurang dari 5 mm. Pada
penelitian oleh Dux et al juga didapatkan bahwa mayoritas kelenjar
limfe metastase berukuran antara 2 dan 10 mm. Halvorsen et al
melaporkan sensitivitas sebesar 67% dan spesifitas sebesar 61%
pada penelitian kelenjar limfe metastase pada 75 pasien dengan
kanker gaster. Metastase secara hematogenous paling sering
terjadi pada hepar, paru-paru, dan kelenjar adrenal, dapat juga
pada tulang, ginjal dan otak. CT-scan tetap menjadi modalitas
untuk mendeteksi penyakit metastase. 4
Gambar 19. A, CT memperlihatkan metastase liver dari kanker gaster; B, terlihat adanya massa pelvis yang
yaitu drop metastse pada ovarium bilateral (krukenberg’s tumor)

2.4.4 Positron Emission Tomography

Penggunaan Positron Emission Tomography (PET) pada pasien


kanker gaster adalah dalam menentukan stadium, mendetteksi
rekurensi, menentukan prognosis, dan menentukan respon terapi.
Kelebihan PET dibandingkan CT adalah mengenai resolusi kontras
yang lebih besar. Contohnya PET dapat mendeteksi metastase
kelenjar limfe sebelum adanya pembesaran kelenjar limfe pada CT-
scan. Keterbatasan dari PET adalah rendahnya sensitivitas untuk
lesi yang berukuran kecil dan hasil false-positive dari proses infeksi
dan inflamasi. Sebagai tambahan, PET relatif lebih mahal bila
dibandingkan pemeriksaan lainnya. PET telah dilaporkan memiliki
sensitivitas yang rendah dalam mendeteksi tumor signet-ring
cell dan mucinous. Meskipun PET tidak mempunyai peranan dalam
mendeteksi kanker gaster primer. Mayoritas (60% sampai 96%)
neoplasma gaster primer. PET mempunyai nilai potensial dalam
menentukan stadium dari kanker gaster. Yoshioka et al melaporkan
sensitivitas sebesar 71% dan spesifitas sebesar 74% pada 42
pasien dengan kanker gaster stadium lanjut, dan sensitivitas untuk
mendeteksi metastase kelenjar limfe bervariasi dari 23 sampai
73%. Nilai utama PET dalam mendeteksi metastase kelenjar limfe
terutama karena spesifitasnya yang tinggi, sebesar 78% sampai
96%. 4

Gambar 20. Axonal positron emission tomography (PET) dari kanker gaster. Panah pendek memperlihatkan
gaster, panah panjang memperlihatkan metastase kelenjar limfe.
Keakuratan dari PET dan CT untuk mendeteksi kelenjar limfe lokal
dan distant tidak berbeda jauh. Meskipun CT lebih sensitif daripada
PET untuk mendeteksi metastase kelenjar limfe pada N1 dan N2,
PET lebih bersifat spesifik. PET lebih sensitif dalam mendeteksi
metastase pada organ seperti hepar dan paru-paru, tetapi tidak
untuk metastase tulang, peritoneal dan pleural. De Potter et al
mengevaluasi 33 pasien untuk rekurensi setelah terapi
pembedahan kuratif, PET mempunyai sensitivitas sebesar 70% dan
spesifitas sebesar 69%. PET scan yang bernilai negatif
berhubungan dengan survival yang lebih panjang secara signifikan
bila dibandingkan dengan PET scan positif. PET juga memiliki nilai
dalam memprediksi respon dari kemoterapi preoperatif pada kanker
gaster. Ott et al melakukan penelitian prospektif pada 44 pasien
dengan kanker gaster stadium lanjut, didapatkan respon dari PET
setelah 14 hari terapi memprediksikan respon histopatologi 3 bulan
setelah terapi dan berhubungan dengan tingkat survival. 4

Fluorodeoxyglucose (FDG) positron emission tomography (PET)


seluruh tubuh, penggunaannya telah meningkat dalam
evaluasi gastrointestinal malignancies. The positron-emitting 18F-
labeled analogue dari 2-deoxyglucose, 2-[18F]-fluoro-2-
deoxyglucose dimasukkan kedalam sel dengan menggunakan
perantara hexose tipe I atau II. Ketika didalam sel, analog tersebut
di fosforilasi menjadi FDG-6-phosphate, dimana kebanyakan
jaringan tumor tidak memetabolisasi lebih jauh. 3Uptake yang besar
dari FDG berhubungan dengan dalamnya invasi, ukuran tumor, dan
metastase kelenjar limfe. Tingkat survival pasien dengan uptake
FDG yang tinggi secara signifikan lebih rendah dari pasien dengan
uptake FDG yang rendah. Bagaimanapun juga derajat uptake
tumor primer berhubungan dengan histologi tumor dan tumor
dengan prognosis yang buruk dapat mempunyai uptake FDG yang
rendah. Secara umum, signet-ring cell dan mucinous
carcinomas mempunyai uptake FDG yang rendah. 4 Beberapa
penelitian telah mendokumentasikan lokasi tumor kolorektal dan
hepatic yang rekuren, dengan sensitivitas bervariasi dari 92-100%
dan akurasi sebesar 90-96%. Penelitian pada kanker esophageal
memperlihatkan bahwa PET dapat mendeteksi 20% dari metastase
yang tidak dapat terlihat oleh CT. Penelitian pada kanker gaster
dengan menggunakan FDG-PET, terlihat memiliki sensitifitas 60%,
spesifitas 100%, dan keakuratan sebesar 94% dalam
mengidentifikasi kanker gaster. 3

2.4.5 Laparoscopy

Pengenalan dari fiberoptic, video-assisted laparoscopy pada awal


1980 memberikan makna untuk penilaian secara langsung
dari abdominal cavity tanpa morbiditas dari laparotomy. Studi
komparatif yang membandingkan CT dan laparoscopy telah secara
konsisten menunjukkan bahwa laparoscopy memberikan informasi
tambahan yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan CT-scan.
Pada sebuah penelitian mengenai kanker gaster, laparoscopy
memiliki keakuratan sebesar 94% ketika dibandingkan terhadap
penemuan pada saat laparotomy. Kebanyakan yang tidak
terdeteksi dengan menggunakan CT-scan adalah metastase pada
peritoneal. Tingkat keakuratan metode ini untuk mendiagnosa
stadium M1 berkisar 13% sampai 37%.3 Laparoscopy memegang
peranan penting sebagai panduan terapi pasien yang tepat untuk
dapat dilakukan reseksi. pada tahun 1995 Shandall dan Johnson
melaporkan bahwa penggunaan rutin laparoskopi menghasilkan
deteksi dari metastase pada hepar atau peritoneum dan
menghindari dilakukannya laparotomi pada 29% pasien. Penelitian
lainnya juga mengkonfirmasi hal ini, dimana 12% sampai 52%
pasien dirasakan tepat untuk dilakukan reseksi gaster terhindar dari
laparotomi dikarenakan ditemukannya metastase pada saat
laparoskopi. Burke et al menyebutkan bahwa laparoskopi memiliki
sensitivitas sebesar 100% sensitivity dan 84% spesifitas. Dengan
adanya tehnik terbaru laparoscopic ultrasound, stadium N dapat
ditentukan dengan laparoskopi, namun sayangnya dibutuhkan
operator yang ahli. Finch et al mengindikasikan laparoscopic
ultrasound mempunyai keakuratan sebesar 84%dalam menentukan
stadum kanker esophageal. Dikarenakan pentingnya dari
laparoskopi dalam menentukan stadium, the National
Comprehensive Cancer Network (NCCN) merekomendasikan
pasien dengan kanker gaster dengan locoregional disease (M0)
menjalani laparoskopi untuk manajemen lebih jauh. Laparoskopi
tidak hanya terbatas pada pasien yang resectable. Penentuan
stadium yang akurat pada pasien yang unresectable dapat
membantu menentukan keuntungan dari terapi chemoradiation,
dikarenakan radiasi mungkin tidak tepat pada pasien yang memiliki
metastase. Laparoskopi tidak diperlukan pada lesi T1 atau T2
dimana insiden metastsenya rendah. Lebih jauh lagi, laparoskopi
tidak diindikasikan sebagai evaluasi preoperatif pada pasien
dengan gastric remnant cancers, dikarenakan cenderung tidak
terjadi metastase peritoneal.4

2.4.6 Endoscopy

Endoscopy saluran cerna bagian atas telah digunakan secara rutin


untuk mendiagnosa dan menentukan stadium dari kanker gaster.
Beberapa laporan telah menunjukkan keakuratan diagnostik lebih
dari 95%. Evaluasi termasuk ukuran, lokasi, dan morfologi dari
tumor, termasuk penyebaran proksimal dan distal, sebagaimana
juga abnormalitas mukosa. Penurunan distensibilitas dari gaster,
aktifitas peristaltik yang abnormal, dan fungsi pylorus yang
abnormal dapat mengindikasikan adanya infiltrasi submukosal yang
luas atau penyebaran extramural dari tumor. Kemungkinan
mendapatkan hasil yang positif pada biopsi lebih besar dari 95%
ketika sampel jaringan diambil sebanyak enam sampai sepuluh
buah. Mengidentifikasi iregularitas dari mukosa biasanya
berhubungan dengan gastritis-like carcinomas dini yang bisa
diperjelas dengan menggunakan cairan vital dyes, seperti 0.1%
indigocalmin. Tehnik ini telah digunakan secara luas di jepang
dengan tingkat keberhasilan yang baik. 3
Gambar 21. Kanker gaster tipe Iic yang terbatas pada mukosa. A, gambaran saat endoscopy. B, dengan peng
indigo carmine dye.

EUS telah digunakan secara ekstensif untuk menentukan stadium


dari dalamnya invasi dan penyebaran pada kelenjar limfe regional
untuk kanker gaster yang potensial operable. EUS menggunakan
frekuensi tinggi (7.5 atau 12 MHz) transducer pada ujung endoskopi
dan dapat dengan akurat menentukan sejauh mana invasi tumor
primer (T stage) dan lebih akurat dibandingkan computed
tomographic (CT) scan untuk menentukan stadium T dan N.
meskipun terlihat lebih berguna dibandingkan CT scan untuk
mendeteksi metastase kelenjar limfe perigastric, secara
keseluruhan akurasi dari EUS untuk menilai keseluruhan kelenjar
limfe regional kurang memuaskan. Karena CT scan dapat
mengidentifikasi metastase distant pada kelenjar limfe dan organ
seperti liver, ovaries, dan peritoneum; CT dan EUS berguna untuk
digunakan sebagai tes komplementer. EUS telah menjadi alat yang
sangat berguna untuk menilai kanker gaster dini yang merupakan
kandidat untuk reseksi endomucosal. 3

Gambar 22. Kasus kanker gaster dini tipe IIa+IIc yang terbatas pada mukosa. A, gambaran endoscopy
memperlihatkan adanya massa kemerahan pada greater curvature. B, gambaran yang diperbesar. C, pengeca
dengan Dye memperlihatkan gambaran lesi yang lebih jelas. D, gambaran EUS memperlihatkan lesi protrud
Era dari EUS, atau endosonography, dimulai pada awal tahun 1980
ketika the Mayo Clinic menambahkan ultrasound transducer pada
ujung dari endoskopi. Transabdominal ultrasound mengeluarkan
sinyal berfrekuensi rendah, yang dapat mencapat jarak yang jauh
namun mempunyai resolusi yang rendah. Dikarenakan target organ
pada EUS seringkali dekat dengan transducer, sinyal dengan
frekuensi tinggi dapat digunaka untuk menghasilkan resolusi yang
tinggi. Tumor cenderung lebih dense dibandingkan jaringan lainnya
dan dapat terdeteksi sebagai struktur gelap yang mengganggu
hubungan jaringan antar lapisan. Stadium T EUS berdasarkan atas
jumlah lapisan dinding visceral yang terdisrupsi. Stadium N
berdasarkan adanya kelenjar limfe perivisceral yang memenuhi
beberapa kriteria yaitu diameter >10 mm, berbentuk bulat, struktur
uniform hipoekoik, dan berbatas tegas. Dikarenakan terbatasnya
kedalaman penetrasi, EUS kurang berguna untuk menentukan
stadium M. Akurasi EUS dalam menentukan stadium T pada kanker
gaster berkisar 82%, dengan sensitivitas 70-100% dan spesifitas
87-100%. Sayangnya, meskipun pada seseorang yang
berpengalaman, membedakan kanker gaster T2 dan T3 bisa
sangat sulit. Desmoplastic reaction yang berhubungan dengan
tumor yang tidak mencapai lapisan serosa dapat menyerupai invasi
T3 pada EUS dikarenakan edema yang ada mendistorsi hubungan
antara gaster dan jaringan disekitarnya. Akurasi stadium N sekitar
70%, dengan sensitivitas 69.9% sampai 100% dan spesifitas 87.5%
sampai 100%. Penambahan FNA pada jaringan kelenjar limfe yang
mencurigakan menambahkan spesifitas mencapai 100%. EUS-
guided FNA (Tru-Cut®) biopsi dari submukosa dapat
memungkinkan diagnosa jaringan ketika terdapat linitis plastica,
dimana tumor menyebar sepanjang lapisan submukosa sementara
lapisan mukosa tetap intak.

Gambar 23. A, Gambaran endocopy dari linitis plastica dari regio body gaster, meskipun terlihat penipisan d
gastric folds, mukosa tetap normal. B, Gambaran EUS dari linitis plastica. Thin single headed arrow
memperlihatkan muskularis propia hipertropik dengan infiltrasi tumor melebihi dinding gaster mencapat per
fat.

EUS juga dapat menunjukkan adanya metastae hepar dan ascitas


dini yang berhubungan dengan kanker gaster stadium 4, sampel
dapat diambil dengan aman melalui dinding gaster atau dinding
duodenum. EUS juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kanker gaster dini yang terbatas pada mukosa (intramucosal
carcinoma) dan juga dilakukannya endoscopic resection daripada
gastrectomy. Meskipun jarang digunakan di luar
Jepang, endoscopic resection telah menjadi standar terapi pada
pusat-pusat kesehatan di Jepang. Kemampuan EUS untuk
memperlihatkan gambaran jaringan dengan cara yang kurang
invasif akan menjadikan EUS sebagai alat utama pada
pendiagnosaan kanker gaster. 4
Gambar 24. A, kanker gaster dini pada incicura; B, EUS dari kanker gaster T1, panah hitam tipis memperlih
tumor yang menginvasi lapisan putih (hipoekoik) dari submukosa hiperekoik (panah putih) tetapi tidak
mengganggu lapisan hitam (hipoekoik) dari muskularis propia (panah hitam tipis)

2.5 Stadium

Seperti neoplasma lainnya, keakuratan dan keseragaman stadium


dari kanker gaster merupakan hal yang penting dalam
memprediksikan prognosis dan menilai respon dari terapi.
Klasifikasi R digunakan untuk menilai residual disease setelah
reseksi tumor; R1 menandakan adanya residual disease secara
mikroskopik, dan R2 menandakan adanya gross residual disease. 3

The International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint


Committee on Cancer (AJCC) TNM classification untuk kanker
gaster terlihat pada gambar diatas. Dalamnya invasi tumor
menentukan stadium T. terdapat hubungan antara stadium T dan
tingkat survival. Peraturan utama untuk Gastric Cancer Study in
Surgery and Pathology telah dipublikaskan di Inggris pada tahun
1995 oleh the Japanese Research Society for Gastric Cancer.
Definisi dari stadium tumor primer berdasarkan dalamnya invasi
dan sejauh mana invasi serosa. Stadium T dibedakan
menjadi mucosa (m), submucosa (sm), dan muscularis
propria (pm). Subserosa (ss) dan S1 tumor telah diklasifikasikan
lebih jauh berdasarkan derajat dan tipr dari invasi serosal. INFa
adalah tumor subserosal dengan pertumbuhan yang ekspansif,
INFb adalah tumor subserosal dengan pertumbuhan
tipe intermediate, dan INFg adalah tumor subserosal dengan
pertumbuhan infiltrasi. S2 dan S3 sekarang didefinisikan sebagai se
(sel kanker terdapat pada kavum peritoneal), si (sel kanker infiltrasi
pada jaringan di sekitarnya), atau sei (adanya se dengan si). 3

The AJCC/UICC stadium N telah dirubah pada tahun 1997 untuk


merefleksikan jumlah dari kelenjar limfe yang terlibat. Tumor
dengan satu sampai enam kelenjar limfe yang terlibat
diklasifikasikan sebagai pN1; 7 sampai 15 kelenjar limfe yang
terlibat diklasifikasikan pN2, dan lebih dari 15 kelenjar limfe yng
terlibat diklasifikasikan sebagai N3. Tingkat survival menurun
secara dramatis ketika semakin banyaknya terdapat metastase
kelenjar limfe. 3

Dengan sistem stadium yang baru, adanya metastase kelenjar limfe


perigastric lebih dari 15 diklasifikasikan sebagai N3, dimana
stadium M1. 3 Pada penelitian cohort sejak tahun 1982 sampai
1987 dari of 18365 pasien di US, didapatkan 18% pasien dengan
stadium I, 16% stadium II, 36% stadium III, dan 30% stadium
IV. 3 Meskipun bukan komponen dari stadium, tipe dan grading
histopatologis, dan status sitologi peritoneal lavage harus dicatat
ketika memungkinkan. Adanya sel kanker pada cairan peritoneal
dipertimbangkan oleh beberapa peneliti setara dengan stadium M1.
Burke et al menemukan bahwa pada pasien kanker gaster stadium
III, dengan positif peritoneal lavage setelah 18 bulan tidak ada yang
selamat. 3

Gambar 25. INF-α, INF-β, dan INF-γ.

Tabel 7. Klasifikasi dan stadium TNM dari kanker gaster


Note:

1. T2: tumor mungkin penetrasi pada muscularis propria tanpa


ekstensi pada ligamen gastrocolic atau ligamen gastrohepatic, atau
pada omentum, tanpa perforasi pada visceral peritoneum. Pada
kasus seperti ini, tumor dilasifikasikan sebagai T2. Jika ada
perforasi dari visceral peritoneum yang menutupi ligamen gaster
atau omentum, tumor diklasifikasikan sebagai T3.

2. T3,T4: struktur disekitar gaster termasuk spleen, transverse


colon, liver, diaphragm, pancreas, abdominal wall, adrenal gland,
kidney, small intestine, dan retroperitoneum.

3. T3,T4: ekstensi intramural pada duodenum atau esophagus


diklasifikasikan dengan dalamnya invasi, termasuk gaster.
4. N0: pN0 harus digunakan ketika semua kelenjar limfe yang
diperiksa negatif, tidak tergantung jumlah kelenjar limfe yang
diangkat dan diperiksa.

2.6 Penatalaksanaan

2.6.1 Operatif

2.6.1.1 Endoskopik Mucosal Resection

Telah terlihat bahwa kanker gaster dini dapat menjalani reseksi R0


tanpa lymphadenectomy atau gastrectomy. Jepang telah
mempopulerkan endoscopic mucosal resection dari kanker gaster
yang memenuhi kriteria spesifik. 3 Idealnya endoscopic mucosal
resection harus dibatasi pada pasien dengan ukuran tumor kurang
dari 2 cm, kelenjar limfe yang negatif, dan hanya terbatas pada
mukosa pada pemeriksaan EUS, dan tidak adanya lesi gaster
lainnya.7 Pendekatan ini dilakukan dengan injeksi cairan pada
submukosal untuk elevasi dari lesi sehingga dapat dilakukan
reseksi mukosal. Tehnik ini dapat juga dilakukan untuk lesi yang
potensial metastasisnya rendah. Termasuk well-differentiated, lesi
superfisial tipe IIa atau IIc yang secara umum diameternya kurang
dari 3 cm dan berlokasi pada daerah yang mudah
dijangkau.3 Peneliti di Jepang telah memperlihatkan bahwa kanker
gaster dini dapat dengan adekuat ditangani dengan endoscopic
mucosal resection. 7 Takekoshi et al melaporkan penelitian
mengenai 308 endoscopic resections untuk kanker gaster dini,
Empat puluh empat pasien mengalami residual atau lesi rekuren
setelah endoscopic mucosal resection. Semua rekurensi direseksi
dan tidak ada pasien yang meninggal dikarenakan kanker gaster.
Pada seseorang yang berpengalaman, endoscopic mucosal
resection cocok sebagai alternatif gastrectomy untuk kanker gaster
dini.3

Gambar 26. Endoscopic mucosal resection dari kanker gaster tipe IIc pada regio antrum, pemeriksaan EUS
memperlihatkan lesi terbatas pada mukosa. A, gambaran endoscopic. B, dengan pengecatan Indigo carmine.
reseksi dengan menggunakan. D, Mucosectomy ulcer.
Faktor resiko yang menentukan metastasis kelenjar limfe terutama
berdasarkan sejauh mana invasi tumor primer.5 Jika specimen yang
di reseksi tidak menunjukkan adanya ulserasi, invasi kelenjar limfe
dan ukurannya kurang dari 3 cm, maka kemungkinan dari
metastase kelenjar limfe hanya berkisar kurang dari 1%. 7 Tumor
yang menyebar pada submukosa mempunyai resiko tinggi untuk
metastase pada kelenjar limfe, dengan kisaran 3% dan tidak tepat
jika dilakukan Endoscopic Submucosal
Resection (ESMR). 3 5Pasien dengan kanker submukosal, dimana
resiko untuk metastase kelenjar limfe dapat mencapai 20%, dapat
dipertimbangkan untuk reseksi laparoskopik yang terbatas atau
operasi terbuka yang terbatas. Metastase kelenjar limfe pada
situasi ini berhubungan dengan ukuran tumor yang besar, tipe
histology undifferentiated, dan adanya invasi ke kelenjar limfe atau
pembuluh darah secara histology. Sebagai panduan, metastase
kelenjar limfe sangat jarang terjadi ketika ukuran tumor kurang dari
2 cm dan tipe histology well differentiated, meskipun terdapat invasi
mukosal. Minimally invasive procedures ini telihat lebih sering
digunakan oleh gastroenterologists dibandingkan ahli bedah. 5

2.6.1.2 Laparoscopic Resection

Laparoscopic resection telah banyak digunakan untuk kanker


stadium dini. Hal ini dilakukan dengan
pendekatan extragastric setelah dilakukan penandaan lesi dengan
menggunakan endoskopi untuk meyakinkan kemampuan untuk
mengenali lesi dan untuk reseksi yang adekuat. Prosedur yang
lebih sulit seperti distal gastrectomy juga telah dilakukan dengan
menggunakan minilaparotomy. Keuntungan relatif dari hal ini masih
dipertanyakan, dengan sedikit penurunan dari lamanya rawat inap
namun waktu operasinya yang lama. Dikarenakan tingginya insiden
dari kanker gaster stadium dini di jepang dan negara lainnya,
prosedur laparoscopic dan endoscopic procedures dapat dipastikan
akan meningkat. Visualisasi secara akurat dan extended lymph
node dissection dapat dilakukan seperti pada pembedahan terbuka
dengan dengan insisi minimal untuk mengangkat spesimen
dan extracorporeal anastomosis. Di Eropa dan Amerika Utara,
pendekatan laparoskopi lebih disukai pada
lesi benign seperti benign leiomyomas atau tumor stromal
gastrointestinal stadium dini. 5

2.6.1.3 Pembedahan

Pembedahan merupakan satu-satunya penanganan kuratif untuk


kanker gaster.3,7 Pembedahan juga dapat menentukan dengan
dengan tepat stadium dari tumor. Oleh karena itu kebanyakan
pasien dengan adenocarcinoma gaster harus menjalani reseksi
gaster. Terkecuali pada pasien yang menolak untuk dilakukan
operasi dan pasien dengan metastase yang luas. Secara umum,
paliatif juga sangat buruk jika tanpa pembedahan.7 Tujuan utama
dari pembedahan adalah reseksi dari semua tumor (reseksi R0).
Dengan margin proximal, distal, dan radial bebas dari tumor dan
dilakukan lymphadenectomy yang adekuat. Secara umum, ahli
bedah mengambil batas bebas tumor sebesar 5 cm dikarenakan
beberapa kanker gaster sangat infiltratif dan sel tumor dapat
menyebar melebihi massa tumor. Oleh karena itu frozen
section untuk konfirmasi adanya batas bebas tumor sangat penting
dilakukan pada saat operasi untuk tujuan kuratif, namun kurang
penting untuk pembedahan paliatif. Perlu dipahami bahwa
kebanyakan pasien dengan kelenjar limfe yang positif dapat
disembuhkan dengan pembedahan yang adekuat. Dan juga
seringkali kelenjar limfe berubah menjadi benign atau menjadi
reaktif pada pemeriksaan patologi, sehingga pada pasien dengan
resiko rendah harus dilakukan tindakan agresif untuk reseksi
semua tumor. Tumor primer dapat direseksi secara en bloc dengan
organ lainnya yang terlibat (contohnya distal pancreas, transverse
colon, atau spleen) selama dilakukannya pembedahan kuratif.7

Gambar 27. Billroth II Gastro-jejunostomy.

Prinsip panduan manajemen operatif adalah


berdasarkan Halstedian dimana diyakini perkembangan kanker
gaster berasal dari mukosa ke submukosa dimana kemudian
menginvasi kelenjar limfe. Setelah terjadi ketelibatan kelenjar limfe
maka tumor mencapai sirkulasi sistemik. Hal ini dikarenakan
adanya hubungan yang kuat antara depth of invasion dan luasnya
metastase pada kelenjar limfe. Secara umum, keberhasilan reseksi
R0 bergantung pada stadium yang ditentukan oleh TNM. Telah
diterima secara luas bahwa pembedahan memiliki tingkat
kesembuhan yang tinggi untuk kanker stadium IA dan IB, dan
tingkat kesembuhan yang kurang baik pada stadium IIIA dan IIIB.
Terdapat perbedaan pendapat pada ahli bedah pada sejauh mana
luasnya reseksi, dikarenakan outcome tidak berhubungan dengan
pembedahan yang lebih radikal. Area diskusi termasuk keuntungan
dari extended lymphadenectomy, penggunaan rutin total versus
subtotal gastrectomy untuk tumor dari antrum, dan prophylactic
splenectomy. 3

Gambar 28. Roux-en-Y Gastrojejunostomy


Standar operasi dari kanker gaster adalah radical subtotal
gastrectomy. Dengan tehnik ini biasanya dilakukan ligasi arteri
gaster kanan, kiri dan gastroepiploic, dan juga dilakukan
pengangkatan en bloc 75% distal gaster, termasuk pylorus dan 2
cm duodenum, omentum mayor dan minor, dan semua kelenjar
limfe. Rekonstruksi biasanya dengan Billroth II gastrojejunostomy,
tetapi jika tersisa sedikit bagian gaster (<20%), dipertimbangkan
penggunaan rekonstruksi Roux-en-Y. mortalitas operatif sekitar
5%. Radical subtotal gastrectomy secara umum dipertimbangkan
sebagai tehnik operasi kanker yang adekuat di Negara-negara
barat, yang dapat secara utuh mengangkat seluruh tumor dan
dengan batas bebas tumor yang adekuat. Spleen dan pancreas
tidak dilakukan reseksi jika tidak terdapat keterlibatan tumor. 7

Total gastrectomy tidak dilakukan kecuali diperlukan untuk


mencapai batas bebas tumor yang adekuat. Terdapat banyak
penelitian besar yang membandingkan subtotal
gastrectomy dengan total gastrectomy untuk kanker gaster, dan
tingkat survival untuk kedua kelompok tidak berbeda.
Bagaimanapun juga, komplikasi dari total gastrectomy lebih
tinggi. Total gastrectomy dengan jejunal pouch/ esophageal
anastomosis merupakan operasi terbaik pada pasien dengan
adenocarcinoma gaster proximal, atau sebagai alternatif
dilakukan proximal subtotal gastric resection, yang
membutuhkan esophagogastrostomy pada gaster distal yang telah
di lakukan vagotomi. Pyloroplasty pada keadaan ini dapat
mencegah bile esophagitis, dan jika pylorus dibiarkan intact, maka
pengosongan gaster dapat menjadi masalah. Dan harus
dipertimbangkan isoperistaltic jejunal interposition (Henley loop)
antara esophagus dan antrum.7
Gambar 29. Oesophagogastrectomy with 1/3 stomach retained.

2.6.1.3.1 Total versus Subtotal Gastrectomy

Idealnya luasnya reseksi gaster harus dapat dilakukan dengan


prosedur optimal yang memiliki tingkat mortalitas yang rendah.
Penggunaan rutin total gastrectomy kemungkinan didasarkan
laporan penelitian bahwa mungkin terdapat ekstensi dari tumor
secara intramural dan terdapatnya kanker gaster multipel yang
simultan. Meskipun penelitian data retrospektif tidak menunjukkan
adanya perbaikan survival pada total gastrectomy bila dibandingkan
dengan subtotal gastrectomy, namun data-data yang ada tidak
mendukung penemuan ini. Tiga penelitian prospective randomized
trials telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai
penanganan kanker gaster distal. Secara keseluruhan tingkat
komplikasi dan mortalitas postoperatif sebesar 32% dan 1.3%
untuk total gastrectomy dan 34% dan 3.2% untuk subtotal
gastrectomy. Tidak ada perbedaan dalam 5-year survival diantara
group. Penelitian lainnya juga mengemukakan tidak adanya
keuntungan survival ketika dilakukan reseksi yang lebih ekstensif.
Bozzetti et al dalam penelitiannya juga menemukan bahwa
tingkat 5-year survival sebesar 65.3% setelah subtotal
gastrectomy dan 62.4% setelah total gastrectomy untuk kanker
gaster. Data tersebut mendukung penggunaan subtotal
gastrectomy untuk penanganan tumor distal stadium lanjut ketika
dapat dicapai negative margin 5 cm. 3

Pada penelitian lainnya melaporkan mortalitas setelah total


gastrectomy, bervariasi dari 4% sampai 18%, dan kebocoran dari
anastomosis bertanggung jawab terhadap lebih dari 50% kematian.
Dan yang lainnya juga memperdebatkan mengenai status
fungsional setelah dilakukan total gastrectomy yang mungkin sedikit
lebih buruk bila dibandingkan dengan subtotal gastrectomy.
Terlebih lagi, kemampuan untuk diseksi kelenjar limfe paracardial
tidak tergantung dari ekstensi reseksi gaster. Oleh karena itu,
meskipun banyak digunakan sebagai tindakan rutin, total
gastrectomy seharusnya tidak digunakan sebagai pilihan pertama
ketika reseksi subtotal dapat dicapai batas proksimal 5 cm. 3

Karsinoma yang muncul dari sepertiga proksimal gaster


mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan lesi
bagian distal. Total gastrectomy secara tradisional merupakan
prosedur pilihan untuk tumor yang berada pada proksimal gaster.
Penelitian prospektif mengenai kanker gaster proksimal, didapatkan
bahwa lamanya rawat inap pada pasien yang menjalani proximal
gastrectomy (16.5 hari) dan total gastrectomy (18 hari). Mortalitas
postoperatif untuk proximal gastrectomy (6.0%) dan total
gastrectomy (3.0%) tidak terlalu berbeda secara signifikan.
tingkat 5-year survival untuk proximal gastrectomy sebesar 43%
dan sebesar 41% untuk total gastrectomy. Total dan proximal
gastrectomy mempunyai waktu dan pola rekurensi yang sama. 3

Gejala sisa fungsional dan mortalitas postoperatif untuk proximal


gastric resection dipertimbangkan lebih buruk dibandingkan
dengan total gastrectomy. Penelitian oleh Buhl et al menemukan
bahwa pada pasien yang ditangani dengan proximal gastric
resection mempunyai insiden yang tinggi
menderita dumping, heartburn, dan menurunnya nafsu makan,
menurunnya kualitas hidup dan kemampuan untuk
bekerja. Norwegian Stomach Cancer Trial menemukan bahwa
tingkat mortalitas postoperatif sebesar 8.3% dan tertinggi pada
pasien yang menjalani proximal resection (16%) bila dibandingkan
dengan total gastrectomy (8%), subtotal gastrectomy (10%),
atau distal resection (7%). Faktor yang secara signifikan
berhubungan dengan komplikasi postoperatif termasuk usia, jenis
kelamin laki-laki, tidak memakai antibiotik profilaksis
dan splenectomy. Tingkat komplikasi tertinggi pada proximal
resections (52%), diikuti oleh total gastrectomy (38%), subtotal
resection (28%), dan distal resection (19%). Oleh karena itu, pada
lesi yang berada pada proksimal, terlihat bahwa total
gastrectomy dengan menggunakan berbagai macam variasi pilihan
rekonstruksi dapat mengakibatkan hasil fungsional yang lebih baik,
namun observasi ini belum dilakukan pada penelitian prospective.
Terlihat bahwa komplikasi dan tingkat mortalitas lebih rendah
setelah total gastrectomy untuk kanker gaster proksimal. 3

2.6.1.3.2 Extended Lymphadenectomy

The Japanese Research Society untuk kanker gaster mengajukan


standarisasi reseksi D2 untuk pasien yang
menjalani gastrectomy kuratif. Kebanyakan penelitian restropektif
dari Jepang, Negara-negara Asia, dan pusat kesehatan di barat
menyarankan D2 lymphadenectomy pad pasien dengan kanker
gaster yang resectable. Bagaimanapun juga reseksi radikal D2
tidak terlihat meningkatkan survival pada pasien dengan penyakit
extranodal, seperti metastase peritoneal, metastase kelenjar limfe
distant (N3–4), atau karsinoma yang menginfiltrasi secara diffuse
(linitis plastica). Takeda et al juga melaporkan 5-year survival telah
meningkat dari 21% menjadi 46% pada 166 pasien yang
menjalani total gastrectomy kuratif pada tumor dengan invasi
serosa yang positif ketika dilakukan D2 lymphadenectomy. Kodama
et al membandingkan 254 pasien yang menjalani reseksi
sederhana dengan 454 pasien yang menjalani extensive regional
lymph node dissection (ELD) untuk kanker gaster. Efek terapeutik
ELD terlihat baik pada pasien dengan serosal invasion (T3) atau
dengan metastase kelenjar limfe; sedangkan pasien dengan T1,
T2, T4, atau N0 tidak terlihat mendapat keuntungan dari ELD.
Penelitian pada 486 pasien yang menjalani reseksi (D2), Sowa et al
memperlihatkan bahwa ukuran dan dalamnya penetrasi tumor
berhubungan langsung dengan insiden metastase kelenjar getah
limfe dan tingkat dari skip metastases kurang dari 1%. Pada
penelitian ini, sebagaimana penelitian lainnya, lesi T1–2 memiliki
metastase terbatas pada kelenjar limfe perigastric pada 15-40%
pasien, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kasus
kanker yang belum stadium lanjut, systematic
lymphadenectomy mungkin diperlukan untuk membersihkan semua
metastase pada kelenjar limfe. 3 Penelitian yang berasal dari US
dan Europe yang kebanyakan secara retrospektif menyarankan
D2 lymphadenectomy untuk kanker gaster. Keller et al melaporkan
bahwa the German Stomach Cancer TNM Study Group,
menyarankan dilakukannya systematic
lymphadenectomy untuk resectable kanker gaster karena
metastase kelenjar limfe terjadi 2-3 kali lebih sering pada pasien
yang tidak menjalani systematic lymphadenectomy.3

Dikarenakan sulitnya tehnik dari extended lymphadenectomy,


beberapa peneliti menyarankan menggunakan selective lymph
node dissection pada kelenjar limfe yang secara makroskopik
mencurigakan. Pada penelitian lainnya, rata-rata ukuran kelenjar
limfe metastase sebesar 7 mm, sedangkan peneliti lainnya juga
mengemukakan bahwa ahli bedah hanya dapat mendiagnosa
adanya metastase secara makroskopik pada saat operasi pada
20% pasien. Noguchi et al mengemukakan bahwa meskipun
terdapat korelasi antara ukuran kelenjar limfe dan metastase,
namun 30% metastase pada kelenjar limfe hanya mempunyai
ukuran kurang dari 3 mm. oleh karena itu penggunaan selective
lymphadenectomy berdasarkan gambaran makroskopik kelenjar
limfe dirasakan kurang tepat.3

Sejauh mana digunakan lymphadenectomy pada pasien dengan


kanker gaster dini, yang didefinisikan kanker gaster yang terbatas
hanya pada mukosa dan submukosa masih kontroversial. Tumor
yang berada pada intramukosal merupakan faktor resiko terjadinya
metastase kelenjar limfe pada kanker gaster dini. Beberapa peneliti
menyarankan penggunaan selective lymphadenectomy, terutama
jika ukuran tumor kecil (kurang dari 1.5 cm), tumor
tipe protruded (Borrmann type I), dan tumor yang terbatas pada
mukosa. Hochwald et al menganalisa 165 kanker gaster dini secara
klinis dan patologis, dimana terdapat beberapa faktor yang
berhubungan dengan rendahnya metastase kelenjar limfe. Ukuran
tumor, depth of invasion, dan adanya invasi vena merupakan faktor
resiko yang berhubungan secara independen dengan kelenjar limfe
metastase. Bagaimanapun juga 47 tumor yang berukuran kurang
dari 4.5 cm dan terbatas hanya pada mukosa mempunyai
metastase kelenjar limfe sebesar 4%. Kurihara et al menemukan
bahwa karsinoma submukosal diklasifikasikan menjadi tiga kategori
berdasarkan dalamnya invasi dengan membagi lapisan submucosal
(sm) menjadi tiga bagian, yaitu sm1, sm2, dan sm3, dan insiden
dari metastase kelenjar limfe meningkat dari 2% ke 12% dan 20%.3
Untuk kanker stadium lanjut perdebatan terus berlanjut pada
pertimbangan menggunakan reseksi en bloc yang luas dari kelenjar
limfe second-echelon (D2 resection) yang lebih superior
dibandingkan lymphadenectomy dari kelenjar limfe perigastric (D1
resection). Dent et al meneliti D1 versus D2 gastrectomy, dan
mendapatkan tidak ada perbedaan pada 5-year survival rates.
Pasien yang menjalani D2 resection memiliki waktu operasi yang
lebih lama, membutuhkan transfusi lebih banyak dan waktu rawat
inap yang lebih lama. Pada penelitian lainnya yang
membandingkan D1 subtotal gastrectomy dengan D3 total
gastrectomy (omentectomy, splenectomy, distal pancreatectomy,
lymphadenectomy dari celiac axis, dan porta hepatis) pada 55
pasien dengan kanker gaster pada antral, waktu rawat inap dan
morbisitas menjadi lebih panjang pada pasien yang menjalani D3
total gastrectomy. Di jepang dan pusat kesehatan di Negara barat,
dimana extended D2 resection dilakukan secara rutin, mortalitas
operatif minimal dan tidak terlihat berhubungan dengan
luasnya lymphadenectomy.3

Pada tahun 1989, dua penelitian randomized trials dilakukan untuk


memastikan kontroversi dari D2 resection. Peneliti menimpulkan
bahwa D2 lymphadenectomy tidak memberikan kelebihan dalam
tingkat survival bila dibandingkan D1.3

Kesimpulannya, tehnik operasi D2 menggunakan pendekatan


pengangkatan kelenjar limfe perigastric yang beresiko tinggi.
Kebanyakan penelitian retrospektif menyarankan penggunaan
rutin extended lymphadenectomy untuk kanker gaster yang
potensial curable. Empat penelitian prospective randomized
trials tidak menunjukkan keuntungan dari segi survival untuk D2
lymph node dissection dan tidak mendukung penggunaan
rutin extended D2 gastrectomy. Operasi D2 yang telah dimodifikasi
tanpa pancreaticosplenectomy akan memberikan informasi
mengenai stadium yang lebih baik. Stadium lanjut dari penyakit
pada saat pembedahan pada kebanyakan pasien tetap merupakan
kunci penentu tingkat survival. Jika terdapat keuntungan tingkat
survival dari D2 lymphadenectomy, hanya terbatas pada beberapa
kelenjar limfe metastase.3
Peneliti di Jepang telah mengidentifikasi kelenjar limfe yang
potensial mendapat aliran dari gaster. Secara umum kelenjar limfe
ini terbagi menjadi N1 (contoh stations 3 sampai 6), level N2
(stations 1, 2, 7, 8, dan 11), dan level N3 (contoh stations 9, 10, dan
12). Station dari kelenjar limfe berdasarkan level N1, N2, dan N3
tergantung dari lokasi tumor. Secara umum, N1 nodes berada
diantara 3 cm dari tumor, N2 nodes berada sepanjang arteri hepatic
dan splenic, dan N3 nodes berada paling jauh. Operasi radical
subtotal gastrectomy, disebut juga D1 resection karena
mengangkat tumor serta kelenjar limfe N1 nodes. Standar operasi
untuk kanker gaster di Asia adalah D2 gastrectomy, dimana
melibatkan lymphadenectomy yang lebih extensif (pengangkatan
N1 dan N2 nodes). Sebagai tambahan jaringan yang diangkat
pada D1 resection, D2 gastrectomy mengangkat lapisan peritoneal
yang berada diatas pancreas dan anterior mesocolon, kelenjar limfe
sepanjang arteri hepatic dan splenic, dan
crural. Splenectomy dan distal pancreatectomy tidak rutin
dilakukan, dikarenakan hal ini telah terlihat meningkatkan
morbiditas operasi. Penelitian yang membandingkan antara operasi
D1 dan D2 didapatkan bahwa pada tehnik D2 didapatkan mortalitas
dan mortalitas yang lebih tinggi, hal ini dikarenakan adanya bagian
pembedahan splenectomy dan distal pancreatectomy pada tehnik
D2, dimana sekarang tidak lagi digunakan rutin sebagai bagian dari
tehnik D2. Beberapa peneliti berargumen bahwa operasi D2
merupakan prosedur yang dapat memperlihatkan tingkat stadium
yang lebih baik. Terdapat pergeseran stadium pada pasien di US
yang ditangani dengan operasi D1 gastrectomy yang mempunyai
metastase kelenjar limfe pada level D2 yang tidak tereseksi dan
terdeteksi. Oleh karena itu di US pasien kanker gaster stadium I,
jika menjalani D2 gastrectomy akan diklasifikasikan menjadi
stadium II, dan mereka yang memiliki stadium II, akan
diklasifikasikan menjadi stadium III jika menjalani operasi D2.
Survival stadium I di US secara actual akan lebih mendekati
survival stadium II pada pasien di jepang, dikarenakan pada
kelompok ini termasuk pasien stadium II tetapi kelenjar limfe tidak
ditemukan pada D1 resection. Para ahli berpendapat bahwa untuk
menghindari understaging dari kanker gaster, minimal 15 kelenjar
limfe harus direseksi pada saat gastrectomy.7

Tabel 8. Penelitian randomized trial membandingkan D1 dan D2 gastrectomy

2.6.1.3.3 Splenectomy Profilaksis

Beberapa peneliti telah secara kritis mengevaluasi nilai


dari splenectomy rutin selama reseksi gaster untuk tumor yang
tidak menginvasi spleen. Pada penelitian analisis multivariat pada
pasien yang menjalani total gastrectomy terlihat bahwa tidak terlihat
hubungan antara splenectomy dan survival. The Norwegian
Stomach Cancer Trial juga telah memperlihatkan tingkat komplikasi
yang tinggi pada pasien yang menjalani splenectomy. Pada
penelitian mengenai faktor resiko potensial pada pasien yang
menjalani D1 versus D2 lymphadenectomy, ditemukan
bahwa splenectomy merupakan faktor resiko yang penting untuk
terjadinya komplikasi. Terdapat pula consensus dari literatur yang
menyebutkan bahwa prophylactic splenectomy meningkatkan
morbiditas dan mortalitas tanpa terlihat keuntungan dari segi
survival.3

2.6.2 Kemoterapi dan Radiasi


Karena hasil outcome yang tidak begitu baik dari pembedahan
kanker gaster, maka penekanan dilakukan untuk memperbaiki
terapi adjuvant, yang ketika digunakan akan memperbaiki
tingkat survival. chemotherapy telah berhasil untuk menangani
kanker gastrointestinal lainnya, namun keuntungan survival dari
penggunaan chemotherapy pada adenocarcinoma gaster tidak
terlalu signifikan. Meskipun demikian terdapat beberapa strategi
sehingga chemotherapy dapat memberikan keuntungan.10

Terapi tunggal memperlihatkan respon yang terbatas, oleh karena


itu strategi untuk meningkatkan respon terapi dan overall survival
pada pasien dengan cancer gaster adalah dengan kombinasi
chemotherapy. Kombinasi yang pertama kali digunakan adalah
FAM (5-FU, doxorubicin, and mitomycin-C) pada tahun 1980.
Regimen ini menjadi pilihan utama terapi di Amerika Serikat pada
tahun 1980 sampai 1990. Pada yahun 1982, Cocconi et al
melaporkan tidak adanya perbedaan antara 5-FU dan FAM pada
tingkat overall survival. Pada tahun 1985, the North Central Cancer
Treatment Group membandingkan 5-FU dengan FAM pada 100
pasien. Meskipun respon terbesar terlihat pada terapi kombinasi
(27% vs. 17%), overall survival tidak berbeda pada kedua kelompok
(7 bulan). Adanya dua penelitian ini menjadikan adanya keraguan
pada terapi kombinasi untuk kanker gaster stadium lanjut. 4

Chemotherapy untuk kanker gaster stadium lanjut telah


berkembang menjadi dua arah yang berbeda. Yang pertama adalah
untuk mencoba memperbaiki regimen FAM dengan menambah
obat tambahan, yang kedua adalah dengan menggunakan
cisplatin.4

Tabel 9. Agen chemotherapeutic dari kanker gaster


Salah satunya adalah FAMTX, yang mengganti methotrexate dosis
tinggi dengan mitomycin-C. FAMTX dibandingkan dengan FAM
oleh the European Organization for the Research and Treatment of
Cancer (EORTC). Tingkat respon lebih tinggi pada FAMTX versus
FAM (41% vs. 9%) dengan median survival (42 minggu vs. 29
minggu) dan satu sampai dua tahun survival rates (41% dan 9% vs.
22% dan 0%). FAMTX kemudian menjadi standar terapi untuk
kanker gaster stadium lanjut pada awal 1990.4

Dimulai dengan kombinasi cisplatin/etoposide (EP), kemudian


berkembang menjadi berbagai variasi kombinasi, salah satunya
adalah EAP (etoposide, adriamycin, dan cisplatin). Regimen EAP
memiliki respon yangn tinggi, dengan overall survival 8 sampai 10
bulan. Dikarenakan tingginya toksisitas EAP pada pasien usia lebih
dari 65 tahun, Wilke et al menciptakan regimen ELF (etoposide,
leucovorin dan 5-FU), regimen yang dikhususkan untuk pasien usia
lebih dari 65 tahun. Yang memiliki overal survival 9,5 bulan. Karena
efek sinergistik dari 5-FU pada penelitian in vitro, cisplatin juga
dikombinasikan dengan 5-FU pada pasien dengan kanker gaster
stadium lanjut. The EORTC membandingkan regimen CF
(cisplatin+5-FU) dengan regimen FAMTX dan ELF, pada penelitian
ini yang melibatkan 274 pasien, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dalam toksisitas, tingkat respon maupun median survival.
Sehingga regimen terbaik untuk kanker gaster stadium lanjut tidak
dapat dipastikan. Cisplatin juga dicoba untuk menggantikan
mitomycin-C (karena tingginya efek myelosuppression dari
mitomycin-C ) pada regimen FAM yang menghasilkan regimen
FAP. Regimen ini menghasilkan tingkat respon sebesar 34%,
dengan respon lengkap sebesar 5%. Cunningham et al mencoba
menggunakan epirubicin, sebuah analog anthracycline dari
doxorubicin yang menghasilkan regimen ECF. Didapatkan tingkat
respon sebesar 37% dan respon lengkap sebesar 17%. Setelah
dilakukan randomized clinical trial untuk memastikan pentingnya
regimen ECF, dan terbukti bahwa ECF superior dibandingkan
FAMTX, maka ECF menjadi standar terapi dari kanker gaster
stadium lanjut saat abad ke 20. Sejak tahun 2000, banyak
penelitian yang menekankan penggunaan
agen chemotherapeutic terbaru yang telah terbukti untuk kanker
gaster stadium lanjut. Pada saat ini Docetaxel merupakan
agen chemotherapeutic yang paling sering digunakan. Moiseyenko
et al melakukan phase III trial yang membandingkan DCF
(docetaxel, cisplatin, dan 5-FU) dengan CF. DCF menghasilkan
respon yang superior pada tingkat respon, time to
progression dan 2-year survival rate. Namun peranan DCF kurang
jelas pada pasien yang berusia lebih dari 65 tahun. Rata-rata
toksisitas dari regimen DCF berkisar 75% dan 80%.4

Saat ini regimen DCF dan ECF memiliki tingkat respon yang
tertinggi, tetapi juga paling toksik. Kesimpulannya belum terdapat
terapi tunggal terbaik untuk kanker gaster stadium lanjut, dan
pemilihan terapi bersifat individual. Benchmark statistics untuk
regimen chemotherapy pada kanker gaster stadiumlanjut adalah
tingkat respon sebesar 30%-40%, tingkat respon lengkap sebesar
10%-20%, waktu untuk progresi tumor 5 sampai 6 bulan,
tingkat overall survival time sebesar 8 – 10 bulan, tingkat 1-year
overall survival 40%-50%, dan tingkat 2-year overall
survival berkisar 15%-20%. Toksisitas terapi tetap menjadi
pembicaraan hangat. Penelitian meta-analysis terbaru
menyimpulkan bahwa: (1) chemotherapy secara signifikan
meningkatkan tingkat survival, (2)
kombinasi chemotherapy meningkatkan
tingkat survival dibandingkan agen tunggal 5-FU, meskipun efeknya
tidak terlalu besar, dan (3) hasil terbaik didapatkan regimen yang
mengandung 5-FU, anthracyclines, dan cisplatin (contohnya ECF).4

Tabel 10. Regimen chemotherapeutic pada kanker gaster

Cunningham et al meneliti mengenai perioperative


chemotherapy dengan regimen ECF (epirubicin, cisplatin, dan
fluorouracil) pada kanker gaster yang resectable. Penelitian ini
melibatkan 503 pasien; 250 mendapat perioperative
chemotherapy dan 253 ditangani hanya dengan pembedahan.
Tingkat 5-year survival sebesar 36% pada kelompok yang
mendapat perioperative-chemotherapy, bila dibandingkan kelompok
yang hanya mendapat terapi pembedahan dengan tingkat survival
sebesar 23%. Sehingga dapat disimpulkan perioperative-
chemotherapy dapat memperbaiki tingkat survival.10

Peneliti di Eropa mengevaluasi


peranan preoperative dan postoperative
chemotherapy tanpa radiation therapy. Pada penelitian randomized
trial phase III (MRC-ST02), pasien mendapat tiga siklus ECF
(epirubicin, cisplatin, dan continuous infusion 5-FU) sebelum dan
sesudah pembedahan atau hanya mendapat terapi tunggal
pembedahan. Bila dibandingkan dengan pasien yang hanya
mendapat terapi tunggal , pasien yang mendapat perioperative
chemotherapy memiliki 5-year overall survival sebesar 36.3% bila
dibandingkan dengan kelompok dengan terapi tunggal
pembedahan sebesar 23%.11

Sebuah penelitian trial berskala besar phase 3


mengenai postoperative therapy memperlihatkan adanya
keuntungan dari chemoradiation therapy setelah gastrectomy.
Penelitian ini, Intergroup Study 0116 (INT 0116), melibatkan lebih
dari 550 pasien yang dimasukkan ke dalam 2 kelompok, kelompok
1 dengan terapi tunggal pembedahan dan kelompok 2 mendapat
pembedahan diikuti dengan chemoradiation (fluorouracil dan
leucovorin plus external-beam radiation). Pasien secara klinis
mempunyai resiko relapse setelah reseksi gaster, 85% memiliki
metastase kelenjar limfe dan 65% memiliki tumor stadium T3atau
T4. Median survival pada kelompok 1 dan 2 adalah 27 dan 36
bulan, dan disease-free survival 19 dan 30 bulan. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa postoperative chemoradiation dapat
diterima sebagai standar penanganan pasien dengan resected
gastric adenocarcinoma.10,11

Penelitian dimasa yang akan datang berkembang menjadi


beberapa bagian. Bagian pertama meneliti
peranan chemotherapeutics terbaru (terutama oxaliplatin,
irinotecan, dan oral 5-FU “prodrugs” seperti capecitabine dan S-1),
yang telah terbukti untuk keganasan gastrointestinal lainnya.
Bagian kedua meneliti peranan targeted therapies, obat yang
didesain untuk menghambat fungsi dari target molekul yang penting
untuk pertumbuhan sel kanker. Contohnya cetuximab, inhibitor
faktor pertumbuhan epidermal, dan bevacizumab, inhibitor faktor
pertumbuhan vaskular epidermal, keduanya diberikan bersama-
sama chemotherapy. 4

2.7 Prognosis

5-year survival untuk adenocarcinoma gaster telah meningkat dari


15 sampai 22% di Amerika Serikat pada 25 tahun terakhir. Survival
bergantung pada stadium pathologis (stadium TNM) dan derajat
dari diferensiasi tumor. 7 Indikator prognostik yang paling penting
pada kanker gaster secara histologis, yaitu keterlibatan kelenjar
limfe dan dalamnya invasi tumor. Grading tumor, yaitu well,
moderately, atau poorly differentiated juga merupakan faktor
prognostik yang penting. 7

Tabel 11. 5-year survival dan mortalitas operatif kanker gaster di Amerika Serikat dan Jepang.

Sangat penting untuk menekankan bahwa terdapat hubungan


antara kedalaman invasi tumor (stadium T) dengan keterlibatan
kelenjar limfe (stadium N). Stadium T tingkat lanjut memprediksikan
meningkatnya stadium N. pada penelitian di Jepang menganalisis
bahwa hanya 7% dari pasien yang menderita obesitas. Obesitas
terlihat berhubungan dengan tingginya infeksi, meningkatnya
kehilangan darah, dan lamanya rawat inap di rumah sakit, tetapi
tidak ada perbedaan dalam tingkat long-term survival. Faktor
lainnya yang berhubungan dengan survival termasuk usia, dimana
pasien yang berusia dibawah 65 tahun memiliki mortalitas 3.5%
dan 5-year survival berkisar 62% dan pasien yang berusia lebih dari
80 tahun memiliki mortalitas sebesar 15.2% dan tingkat 5-year
survival sebesar 22%. Data penelitian Zinner MJ5 didapatkan bahwa
tingkat mortalitas pasien yang berusia kurang dari 65 tahun sebesar
5%; usia 65–75 tahun sebesar 2%; dan usia lebih dari 75 tahun
sebesar 8%.5

Tabel 12. 5-years survival rates pada pasien gastrectomy. Jumlah pasien pada masing-masing stadium group
stadium 0 (322), stadium IA (2905), stadium IB (4658), stadium II (6541), stadium IIIA (7481), stadium IIIB
(2330), stadium IV (8617). Dari Hundahl et al. The National Cancer Data Base report on Survival of US gas
carcinoma patients treated with gastrectomy. Cancer 88:921-932, 2000.
KESIMPULAN

Kanker gaster menempati urutan keempat diantara kanker yang


paling sering terjadi dan menempati urutan kedua sebagai
penyebab kematian karena kanker. Insiden tertinggi dari kanker
gaster ditemukan di jepang, amerika selatan, eropa barat dan timur
tengah. Meskipun insiden dari kanker gaster distal telah menurun,
tetapi insiden dari kanker gaster kardia dan proksimal terutama
pada gastroesophageal (GE) junction dan distal esophagus tetap
meningkat. Faktor resiko kanker gaster yaitu diet, infeksi, herediter,
anemia pernisiosa, reseksi gaster sebelumnya, displasia mukosa
gaster, polip gaster, gastritis kronik.

Kanker gaster biasanya tidak menjadi simptomatik sampai


penyakitnya menyebar dengan luas dikarenakan gejalanya tidak
spesifik sehingga kebanyakan pasien dengan kanker gaster
terdiagnosa pada stadium lanjut. Kanker gaster dapat menyebar
secara lokal dan metastase pada jaringan limfe, metastase
peritoneal dan distant metastases. Data dari beberapa penelitian
memperlihatkan bahwa 60-90% pasien mempunyai tumor primer
yang penetrasi ke serosa atau menginvasi struktur disekitarnya dan
setidaknya 50% memiliki metasase limfatik. Pemeriksaan
penunjang menggunakan tumor marker, UGI double-contrast, CT-
scan, PET, laparoscopy, endoscopy.

Satu-satunya penanganan kuratif yang telah terbukti adalah


pembedahan, pilihan pembedahan tergantung dari sejauh mana
invasi tumor pada dinding gaster dan penyebaran limfatik. namun
meskipun setelah penanganan kuratif gastrectomy, penyakit ini
dapat muncul kembali secara regional dan distant pada setidaknya
80% pasien. Karena hasil outcome yang tidak begitu baik dari
pembedahan kanker gaster, maka penekanan dilakukan untuk
memperbaiki terapi adjuvant, yang ketika digunakan akan
memperbaiki tingkat survival. chemotherapy telah berhasil untuk
menangani kanker gastrointestinal lainnya, namun keuntungan
survival dari penggunaan chemotherapy pada adenocarcinoma
gaster tidak terlalu signifikan. Meskipun demikian terdapat
beberapa strategi sehingga chemotherapy dapat memberikan
keuntungan. Penelitian dimasa yang akan datang berkembang
menjadi beberapa bagian. Bagian pertama meneliti
peranan chemotherapeutics terbaru (terutama oxaliplatin,
irinotecan, dan oral 5-FU “prodrugs” seperti capecitabine dan S-1),
dan yang meneliti peranan targeted therapies (cetuximab dan
bevacizumab). Indikator prognostik yang paling penting pada
kanker gaster secara histologis, yaitu keterlibatan kelenjar limfe dan
dalamnya invasi tumor.

https://usebrains.wordpress.com/2010/04/05/kanker-gaster/

Anda mungkin juga menyukai