Seorang Direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukan tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu”. (Fuady, Munir, 2002 : 224). Doktrin Corporate Opportunity adalah doktrin yang mengharuskan direksi perseroan untuk melakukan tindakan yang berorientasi pada profit, tetapi lebih dari itu ia wajib selalu taat pada ketentuan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bersifat profesional dan memperhatikan kepentingan stakeholder dan sharehoder. Transaksi Self Dealing Pasal 92 ayat (1) Self dealing transaction adalah pembatasan kewenangan dan larangan direksi perseroan dalam hal terjadi transaksi yang menyangkut kepentingan dirinya, termasuk keluarga dan kelompoknya (adanya benturan kepentingan). Hal terpenting dari doktrin ini adalah kebijakan direksi perseroan harus jujur, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum serta tanpa keberpihakan dan atau menguntungkan diri, keluarga dan kelompoknya. Kewenangan menjalankan pengurusan, harus dilakukan semata-mata untuk “kepentingan perseroan”. Tidak boleh untuk kepentingan pribadi. Kewenangan yang dijalankan oleh anggota Direksi tidak boleh berbenturan kepentingan (conflict of interest). Seorang Direksi tidak boleh mempergunakan kekayaan, milik atau uang perseroan untuk kepentingan pribadi. Seorang Direksi juga tidak boleh mempergunakan posisi jabatan Direksi yang dipangkunya untuk memperoleh keuntungan pribadi dan tidak boleh menahan atau mengambil sebagian keuntungan perseroan untuk kepentingan pribadi, serta tindakannya harus sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sesuai dengan anggaran dasar perseroan.
Bussiness Judgement Rule
Pasal 97 ayat (5) Doktrin ini, mendudukan direksi pada proporsi manusia yang sebenarnya, dimana dalam usahanya mungkin saja mengalami kegagalan. Kegagalan yang diterima berdasarkan doktrin ini adalah kegagalan manusiawi. Bagaimanapun direksi perseroan yang menjalankan fungsi dan tugasnya, dihadapkan kepada risiko operasional, yang terkadang berada di luar kemampuan maksimal diri yang bersangkutan. Jadi sudah sepantasnya jika seorang direksi tidak digeneralisir untuk bertanggung jawab atas kesalahan dalam mengambil keputusan (mere errors of judgment), tanpa mempertimbangkan unsur manusiawinya. Oleh karena itu, guna melindungi ketidakmampuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan manusia, maka tindakan direksi perlu dilindungi oleh Doctrine Businnes Judgments Rule. Fiduciary Duties Pasal 97 ayat (1) dan (2) Pasal ini menjelaskan bahwa anggota Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan dan wajib melaksanakannya dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dalam buku “Hukum Perseroan Terbatas” yang ditulis M. Yahya Harahap (hal. 374 dan 457). Fiduciary duty ini diartikan oleh Yahya Harahap sebagai “wajib dipercaya”. Menurut Yahya “wajib dipercaya” berarti setiap anggota Direksi maupun Dewan Komisaris selamanya “dapat dipercaya” (must always bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honest) dalam menjalankan tugasnya (Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris melakukan pengawasan). Ultra Virus Pasal 92 ayat (1) Doktrin Ultra Virus menitikberatkan pada kewajiban Direksi dalam mengurus perseroan wajib sesuai maksud, usaha dan tujuan perseroan sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, misalnya perseroan tersebut berusaha dibidang perdagangan tidak boleh melakukan usaha dibidang pengeboran minyak yang tentunya hal tersebut terkait dengan perizinan yang wajib dipenuhi sebelum operasional. Apabila Direksi melanggar ketentuan doktrin tersebut, maka Direksi yang bersangkutan dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi. Piercing The Corporate Veil Pasal 3 ayat (2) Piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin yang membuat pengecualian terhadap suatu prinsip umum,di mana tanggung jawab pengurus perusahaan dibatasi kepada jumlah andil yang dapat menyimpang dengan cara melaksanakan tanggung jawab pengurus perusahaan yang tidak lagi terbatas (Reed, 2006). Prinsip ini mengajarkan bahwa sungguh pun suatu badan hukum bertanggung jawab secara hukum hanya sebatas harta badan hukum tersebut, namun dalam hal-hal tertentu batas tanggung jawab tersebut dapat ditembus.Jadi bila dulu tidak dikenal pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham tapi kini dapat dimintakan pertanggungjawabannya sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.