Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS NOVEL “DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH” KARYA HAMKA

MELALUI PENDEKATAN EKSPRESIF

DISUSUN OLEH :

JERI ARIYANTO

J1B017050

SASTRA INDONESIA

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU BUDAYA

SASTRA INDONESIA

TAHUN 2019
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Karya sastra merupakan hasil dari daya cipta, karsa manusia yang dimana
mengandung nilai seni yang tinggi. Dalam penciptaan karya sastra, seorang
seniman/ penyair tidak menciptakannya hanya dengan asal-asalan. Melainkan
membutuhkan usaha yang keras agar bisa menghasilkan sebuah karya yang
bermutu.

Dari segi ekspresif karya sastra dipandang sebagai suatu ungkapan batin
pengarang yang secara realiatas tidak dapat disampaikan secara langsung
dalam kehidupan nyata, melainkan hanya mampu dituangkan ke dalam sebuah
karya sastra atau dunia fiksi pengarang. Maka dari itu karya sastra dianggap
tidak akan pernah lepas dari pengarangannya.

Novel yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Prof. DR. Haji
Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan Hamka,
merupakan Novel roman klasik yang diterbitkan pada tahun 1938 oleh Balai
Pustaka, penerbit nasional Hindia Belanda. Novel tersebut merupakan novel
yang sangat baik dan menarik karena memadukan kisah cinta dengan norma-
norma adat minangkabau, nilai-nilai moral serta nilai-nilai religiulitas yang
sangat tinggi. Bahkan sempat pula novel tersebut diangkat menjadi film layar
lebar pada tahun 2011.

Untuk mengetahui lebih jauh mengenai latar belakang penciptaan ataupun


maksud dari penciptaan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” oleh Hamka,
maka diperlukan sebuah pendekatan yang bertumpu pada Pengarangnya, yaitu
pendekatan Ekspresif dengan harapan dapat mengungkap perasaan jiwa atau
jati diri pengarang dalam novel ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Landasan Teori dan Metode Pendekatan Ekspresif?
2. Bagaimana Sionopsis Novel Di Bawah Lindungan Kab’ah?
3. Seperti Apa Biografi Pengarang?
4. Apa Saja Unsur-Unsur Dalam Novel Di Bawah Lidungan Ka’bah?
5. Bagaimana hubungan antara Unsur-Unsur Novel dengan Pengarang?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Landasan Teori dan Metode Pendekatan Ekspresif.
2. Mengetahui Sionopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah.
3. Mengetahui Biografi Pengarang.
4. Mengetahui Unsur-Unsur Dalam Novel Di Bawah Lidungan Ka’bah.
5. Mengetahui hubungan antara Unsur-Unsur dalam Novel dengan
ekspresi atau kejiwaan Pengarang.
II. PEMBAHASAN

A. Landasan Teori dan Metode pendekatan Ekpresif


Teori ekspresif sastra (The expressive theory of literature) adalah
sebuah teori yang memandang karya sastra terutama sebagai pernyataan
atau ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra dipandang sebagai
sarana pengungkap ide, angan-angan, cita-cita, cita rasa, pikiran dan
pengalaman pengarang. Dalam ungkapan yang lain, sastra adalah proses
imajinatif yang mengatur dan menyintesiskan imajinasi-imajinasi,
pemikiran-pemikiran, dan perasaan-perasaan pengarang (Abrams,
1987:20). Studi sastra dalam model ini berupaya mengungkapkan latar
belakang kepribadian dan kehidupan (biografi) pengarang yang dipandang
dapat membantu memberikan penjelasan tentang penciptaan karya sastra.
Oleh karena itu, teori ini seringkali disebut pendekatan biografi.
Adapun pendapat Pradopo (1997:193) mengenai kritik ekspresif
yang mendefinisikan karya sastra sebagai ekspresi, curahan, ucapan
perasaan, atau sebagai produk imajinasi penyair yang beroperasi/bekerja
dengan pikiran-pikiran dan perasaan; kritik itu cenderung menimbang
karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokan vision pribadi
penyair atau keadaan pikiran; dan sering kritik ini mencari dalam karya
sastra fakta-fakta tentang watak khusus dan pengalaman-pengalaman
penulis, yang secara sadar ataupun tidak, telah membukakan dirinya dalam
karyanya tersebut. Dan pendapat lain menyatakan, pendekatan ekspresif
merupakan pendekatan yang mengkaji ekspresi perasaan atau temperamen
penulis (Abrams, 1981:189). Menurut Semi (1984), pendekatan ekspresif
adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada upaya
pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya
sastra.

Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang mangaitkan


sebuah karya sastra dengan pengarangnya. Maka, terdapat beberapa
metodenya yang bisa diterapkan, diantaranya:
a. Langkah pertama dalam menerapkan pendekatan ekspresif, seorang
kritikus harus mengenal biografi pengarang karya sastra yang akan
dikaji.
b. Langkah kedua, melakukan penafsiran pemahaman terhadap unsur-
unsur yang terdapat dalam karya sastra, seperti tema, gaya bahasa/
diksi, citraan, dan sebagainya. Seorang kritikus bebas melakukan
penafsiran pemahaman terhadap unsur-unsur yang membangun sebuah
karya sastra.
c. Langkah ketiga, mengaitkan hasil penafsiran dengan berdasarkan
tinjauan psikologis/kejiwaan pengarang, Asumsi dasar penelitian
psikologi sastra antara lain dipengaruhi oleh anggapan bahwa karya
sastra merupakan produk dari suatu kejiwaan dan pemikiran pengarang
yang berada pada situasi setengah sadar (subconcius) setelah jelas baru
dituangkan ke dalam bentuk secara sadar (conscius). Dan kekuatan
karya sastra dapat dilihat dari seberapa jauh pengarang mampu
mengungkapkan ekspresi kejiwaan yang tak sadar itu ke dalam sebuah
cipta sastra.

B. Sionopsis Novel Di Bawah Lindungan Kabah

Seorang anak yatim yang miskin bernama Hamid diangkat anak oleh
keluarga Haji Jafar . Haji Jafar adalah orang yang kaya raya. Haji Jafar dan
istrinya ( Asiah ), menganggap Hamid seperti anaknya sendiri. Hamid anak
yang rajin, sopan dan berbudi sehingga diperlakukan sama dengan anak
kandung mereka, Zaenab.
Zaenab juga menganggap Hamid seperti kakak kandungnya. Ia banyak
bersama-sama dengan Hamid. Karena bersekolah di tempat yang sama,
keduanya pergi dan bermain bersama. Ketika mereka beranjak remaja, dalam
hati mereka mulai tumbuh perasaan lain, suatu perasaan yang selama ini
belum mereka rasakan sebelumnya. Hamid merasa bahwa rasa sayangnya
terhadap Zaenab bukan lagi perasaan sayang kepada adiknya. Demikian pula
halnya dengan Zaenab.
Setelah tamat dari sekolah rendah, Hamid melanjutkan sekolah ke Padang
Panjang, sedangkan Zaenab tidak melanjutkan sekolahnya. Pada masa itu,
wanita yang tamat sekolah rendah tidak dibolehkan meneruskan sekolahnya.
Mereka dipingit untuk kemudian dinikahkan dengan pilihan orang tuanya.
Dengan berat hati, Hamid meninggalkan gadis itu.
Selama di Padang Panjang, Hamid semakin menyadari perasaan cintanya
terhadap Zaenab. perasaan rindu hendak bertemu dengan gadis itu semakin
hari semakin menyiksa. Ia ingin selalu berada di dekatnya. Namun, ia tidak
berani mengutarakan perasaan hatinya. Dia sadar adanya jurang pemisah yang
sangat dalam antara mereka. Zaenab berasal dari keluarga terpandang,
sedangkan Hamid berasal dari keluarga miskin. Itulah sebabnya, rasa cinta
yang bergelora terhadap Zaenab hanya dipendamnya saja. Hamid benar –
benar harus menguburkan rasa cintanya kepada Zaenab.
Suatu ketika Haji Jafar, ayah Zaenab yang sekaligus ayah angkatnya,
meninggal dunia. Tidak lama kemudian, ibu kandungnya pun meninggal.
Betapa pilu hatinya ditinggal oleh dua orang yang sangat dia cintai. Kini dia
merasa hidup sebatang kara. Dia merasa tidak lebih sebagai pemuda yatim
piatu yang miskin. Sejak kematian ayah angkatnya, Hamid tidak dapat
menemui Zaenab lagi karena gadis itu telah dipingit ketat oleh mamaknya.
Hati Hamid semakin hancur ketika mengetahui bahwa Zaenab akan
dijodohkan dengan pemuda yang memiliki kekerabatan dengan ayah
angkatnya. Bahkan, Mak Asiah meminta Hamid untuk membujuk Zaenab
supaya mau dijodohkan. Betapa hancur hati Hamid menerima kenyataan
tersebut. Cinta kasihnya kepada Zaenab tidak akan pernah tercapai.
Dengan berat hati, Hamid menuruti kehendak Mak Asiah. Dia menemui
Zaenab dan membujuk gadis itu agar mau menerima pemuda pilihan
mamaknya. Menerima kenyataan tersebut, hati Zaenab menjadi sangat sedih.
Dalam hatinya, dia ingin menolak kehendak mamaknya, namun dia tidak
mampu melakukannya.
Setelah kejadian itu, Hamid memutuskan untuk pergi meninggalkan
kampung halamannya. Dia tidak sanggup menanggung beban berat. Dia
meninggalkan Zaenab dan pergi ke Medan, dia menulis surat kepada Zaenab.
Dalam suratnya, dia mencurahkan isi hatinya kepada gadis itu. Dari Medan
Hamid melanjutkan perjalanan menuju Singapura, kemudian dia pergi ke
tanah suci Mekkah.
Betapa sedih dan hancur hati Zaenab ketika dia menerima surat dari
Hamid. Gadis itu tersiksa karena dia pun mencintai Hamid. Dia sangat
merindukannya. Namun, dia harus melupakan cintanya karena mamaknya
telah menjodohkan dirinya dengan pemuda lain. Karena selalu dirundung
kesedihan, Zaenab sering sakit-sakitan dan kehilangan semangat hidup.
Hamid selalu gelisah karena menahan rindu pada Zaenab. Untuk
mengahapuskan kerinduannya, dia bekerja pada sebuah penginapan milik
seorang Syekh. Sambil bekerja, dia terus memperdalam agama islam dengan
tekun.
Setelah setahun berada di Mekkah, Hamid bertemu dengan Saleh, seorang
teman dari kampungnya yang sedang melakukan ibadah haji. Ketika itu Saleh
menjadi tamu di penginapan tempat Hamid bekerja. Dari Saleh, Hamid dapat
mendengar kabar tentang Zaenab. Sejak kepergiannya, Zaenab sering sakit-
akitan. Dia sangat menderita karena menanggung rindu kepadanya. Dia juga
mengetahui kalau Zaenab tidak jadi menikah dengan pemuda pilihan ibunya.
Mendengar penurturan Saleh, Hamid merasa sedih sekaligus gembira. Dia
sedih sebab Zaenab dalam keadaan menderita batin. Di lain pihak, dia gembira
sebab Zaenab ternyata mencintainya. Setelah mengetahui kenyataan yang
menggembirakan itu, Hamid memutuskan untuk kembali pulang ke kampung
halamannya setelah ia menunaikan ibadah haji.
Sementara itu , Saleh mengirim surat kepada istrinya mengabarkan
pertemuannya dengan Hamid. Dia menceritakan bahwa hamid masih
menantikan Zaenab dan dia pun memberitahukan bahwa Hamid akan pulang
ke kampung halamannya bila mereka telah selesai menunaikan ibadah Haji.
Rosna memberikan surat dari Saleh kepada Zaenab. Ketika dia membaca
surat itu, betapa gembiranya hati Zaenab. Dia tidak pernah menyangka akan
bertemu lagi dengan kekasih hatinya. Dia merasa tidak sabar lagi menanti
kedatangan Hamid. Segala kenangan indah bersama Hamid kembali menari-
nari dalam pikirannya. Semua itu dia ungkapkan melalui suratnya kepada
Hamid.
Hamid menerima surat Zaenab dengan sukacita. Semangatnya untuk
segera kembali pulang ke kampung semakin mengebu-gebu. Dia sangat
merindukan kekasih hatinya. Itulah sebabnya, dia memaksakan diri untuk
tetap menunaikan ibadah haji sekalipun dalam keadaan sakit. Dia menjalankan
setiap tahap yang wajib dilaksanakan untuk kesucian dan kemurnian ibadah
haji dengan penuh semangat. Dalam keadaan sakit parah, dia melakukan
wukuf. Namun, sepulang melakukan wukuf di Padang Arafah, tubuhnya
semakin melemah. Pada saat yang sama, Saleh mendapat kabar dari istrinya
bahwa Zaenab telah meninggal dunia. Dia tidak ingin memberi tahu kabar itu
kepada Hamid. Namun, Hamid mendesaknya untuk menceritakan isi surat
tersebut.
Mengetahui isi surat itu, Hamid sangat terpukul. Namun, karena
keimanannya kuat, dia mampu menerima kenyataan pahit itu. Dia
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Keesokan harinya, dia tetap
memaksakan diri untuk berangkat ke Mina. Namun, dalam perjalannya, dia
terjatuh, sehingga Saleh mengupah orang Badui untuk memapahnya.
Usai acara di Mina, mereka berdua berangkat ke Masjidil Haram. Ketika
mereka selesai mengelilingi Ka’bah, Hamid minta berhenti di Kiswah. Sambil
memegang Kiswah itu, dia mengucapkan “ Ya Rabbi, ya Tuhanku Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, “ beberapa kali. Suaranya semakin melemah dan
akhirnya berhenti untuk selama-lamanya. Hamid meninggal dunia di depan
Ka’bah.
C. Biografi Pengarang
1. Latar Belakang Keluarga Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka,
lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari
Sungai Batang, di tepian danau Maninjau,Luhak Agam, Sumatera Barat.
Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama
ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh
Muhammad Amrullah.

Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih


dikenal dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau
mengganti namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar
Tuanku.Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul
Karim bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam
(tajdid) di Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari
1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau,
Minangkabau,Luhak Agam, Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang
ulama berpengaruh di Nagari Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal
sebagai wilayah Nagari Danau (Maninjau) bernama Syeikh Muahammad
Amrullah.

2. Masa Kecil Hamka


Sejak kecil, Hamka menerima dasar-dasar agama dan membaca Al-Qur’an
langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun tepatnya pada tahun 1914, beliau
dibawa ayahnya ke Padang panjang. Pada usia 7 tahun,beliau kemudian
dimasukkan ke sekolah desa yang hanya dienyamnya selama 3 tahun, karena
kenakalannya beliau dikeluarkan dari sekolah. Pengetahuan agama, banyak
beliau peroleh dengan belajar sendiri (autodidak). Tidak hanya ilmu agama,
Hamka juga seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,beliau dapat menyelidiki
karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji
Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui
bahasa Arab juga,beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman
seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean
Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti.

Ketika usia Hamka mencapai 10 tahun, ayahnya mendirikan dan


mengembangkan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ditempat itulah
Hamka mempelajari ilmu agama dan mendalami ilmu bahasa arab. Sumatera
Thawalib adalah sebuah sekolah dan perguruan tinggi yang mengusahakan
dan memajukan macam-macam pengetahuan berkaitan dengan Islam yang
membawa kebaikan dan kemajuan di dunia dan akhirat. Awalnya Sumatera
Thawalib adalah sebuah organisasi atau perkumpulan murid-murid atau
pelajar mengaji di Surau Jembatan Besi Padang Panjang dan surau Parabek
Bukittinggi, Sumatera Barat. Namun dalam perkembangannya, Sumatera
Thawalib langsung bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan
sekolah dan perguruan yang mengubah pengajian surau menjadi sekolah
berkelas.

Hamka kecil sangat gemar menonton film.beliau tergolong anak yang


tingkat kenakalannya cukup memusingkan kepala.beliau suka keluyuran ke
mana-mana, sering berbelok niat dari pergi ke surau menjadi ke gedung
bioskop untuk mengintip film bisu yang sedang diputar. Selain kenakalan
tersebut,beliau juga sering memanjat jambu milik orang lain, mengambil ikan
di kolam orang, kalau kehendaknya tidak dituruti oleh kawannya, maka
kawannya itu akan terus diganggunya. Pendeknya, hampir seluruh penduduk
kampong sekeliling Padang Panjang tidak ada yang tidak kenal akan
kenakalan Hamka. Tatkala usianya 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai.
Perceraian itu terjadi karena perbedaan pandangan dalam persoalan ajaran
agama. Di pihak ayahnya adalah seorang pemimpin agama yang radikal,
sedangkan di pihak ibunya adalah pemegang adat yang sangat kental

Waktu kecilnya, Hamka lebih dekat dengan andung (nenek) dan engkunya
(kakek), di desa kelahirannya. Sebab, ayahnya, DR. Haji Abdul Karim
Amrullah, adalah ulama modernis yang banyak diperlukan masyarakat pada
waktu itu sehingga hidupnya harus keluar dari desa kelahiran Hamka, seperti
ke kota padang. Menurut penuturan Hamka sendiri, dia merasa bahwa
terhadap kakek dan neneknya merasa lebih sayang dari pada terhadap ayah
dan ibunya. Terhadap ayahnya, Hamka lebih banyak merasa takut dari pada
sayang. Ayahnya dirasakannya sebagai orang yang kurang mau mengerti jiwa
dan kebiasaan anak-anak. Ayahnya dinilainya terlampau kaku dan bahkan
secara diametral dinilainya bertentangan dengan kecenderungan masa kanak-
kanak yang cenderung ingin “bebas” mengekspresikan diri, atau “nakal” sebab
kenakalan anak-anak, betapapun nakalnya, asal masih dalam batas-batas
kewajaran adalah masih lumrah bahkan demikian menurut Hamka.

Menurut Hamka sendiri, kenakalannya itu semakin menjadi-jadi setelah


dia menghadapi dua hal yang sama sekali belum dapat dipahaminya. Pertama,
dia tidak mengerti mengapa ayahnya memarahi apa yang dilakukannya
sedangkan menurut pertimbangan akalnya justru apa yang dilakukan itu telah
sesuai dengan anjuran ayahnya sendiri. Hal kedua, yakni hal yang antara lain
menybabkan kenakalan Hamka kecil menjadi-jadi, adalah peristiwa perceraian
antara ayahnya, DR.Haji Abdul Karim Amrullah, dengan ibunya tercinta
shafiyah. Kejadian ini sangat memukul batin Hamka kecil.

Kehidupan Hamka kecil yang cukup memprihatinkan di atas hampir


berjalan selama setahun, yaitu dari usia 12 tahun sampai dengan usia 13 tahun,
atau sampai sekitar tahun 1921. Sisi positif dari perilaku Hamka kecil mulai
dari usia 12 tahun (1920) sampai dengan usia 15 tahun (1923) adalah sebagai
berikut :
a) Sudah mulai gemar membaca buku-buku, baik itu cerita sejarah
kepahlawaan atau artikel-artikel di surat kabar yang memuat kisah perjalanan
dan sebagainya.
b) Suka kemampuan daya khayal (fiction) dengan cara banyak mendengar dan
merekam dongeng,cerita sehari-hari yang sedang merebak (cerita tentang
hantu misalnya).

3. Kisah Romansa Hamka


Dari data yang saya temukan Hamka tidak banyak menjalin hubungan
spesial dengan lawan jenisnya ketika remaja, terlebih Hamka adalah sosok
yang sangat teguh akan keagamaan, ia menikah muda dan kisahnya bermula
pada tanggal 5 April 1929. Kala itu, Siti Raham berusia 15 tahun. Sedangkan
Sedangkan Buya Hamka berumur 21 tahun. Sejak itu, mereka sah menjadi
pasangan suami istri. Ya, di usia dimana para muda-mudi saat ini lebih sibuk
memakan rayuan dan menenggak kemaksiatan.
Perjuangan Buya Hamka meminang Siti Raham patutlah ditiru. Tidaklah
salah Allah menganugerahi manusia dengan kekuatan akal pikirannya. Buya
Hamka kemudian menulis roman berbahasa Minang berjudul “Si Sabariyah”.
Buku itu dicetak tiga kali. Dari honor buku itulah Buya membiayai
pernikahannya.
4. Pendidikan dan Karir Hamka
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923,beliau belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School
di Padangpanjang, serta sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek.
Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapibeliau tidak mempunyai
ijazah. Guru-gurunya waktu itu antara lain: syekh Ibrahim Musa Parabek,
Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syekh Zainuddin
Labay El-Yunusiy.

Pelaksanaan pendidikan pada waktu itu masih bersifat tradisional dengan


menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru
diperkenalkan di Sumatera Thawalib jembatan besi. Hanya saja, pada saat ini
sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku, meja, kapur dan
papan tulis. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-kitab
klasik, sperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan yang sejenisnya.
Diantara metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode pendidikan
yang digunakan Engku Zainuddin Labay Al-Yunusy menarik hatinya.
Pendekatan yang dilakukan Engku Zainuddin, bukan hanya mengajar
(Transfer Of Knowledge), akan tetapi juga melakukan proses “mendidik”
(Transformation Of Value). Melalui Diniyah School (suatu sekolah yang
mengkaji ilmu-ilmu agama islam, yang didirikan oleh syekh zainuddin labay).
Di usia yang sangat muda HAMKA sudah melanglangbuana. Tatkala usianya
masih 16 tahun (pada tahun 1924),beliau sudah meninggalkan Minangkabau,
menuju Jawa.
Akhir tahun 1924 Hamka muda berangkat ke Yogyakarta dengan
menumpang seorang saudagar yang akan pergi ke kota itu. Di Yogyakarta
Hamka muda menumpang hidup di rumah orang sekampungnya satu-satunya
yang berada di kota itu, Marah Intan. Tepatnya, di kampung Ngampilan, kira-
kira satu kilometer dari kampung kauman kearah barat, sebuah kampung
tempat kelahiran dan sekaligus wilayah awal tempat gerakan persyarikatan
Muhamadiyah. Di kota ini Hamka kecil bertemu dengan Adik ayahnya, Ja’far
Amrullah, yang kebetulan juga sedang “belajar agama”. Hamka muda merasa
heran, mengapa pamannya harus “belajar agama” lagi di Yogyakarta, apabila
hanya dalam tempo dua bulan saja? Bukankah semula pamannya telah cukup
“belajar agama” diSumatera? Lebih heran lagi, pamannya itu belajar agama
pada pagi, petang dan malam hari.

Setelah beberapa bulan Hamka muda ikut “belajar agama” bersama-sama


dengan pamannya di atas, maka menjadi sadarlah dia, bahwa dia dalam belajar
agama ini: (1) lebih banyak bersikap “membaca dan menghafal dari pada
“menelah dan memahami” pelajaran agama; (2) lebih hanya sekedar
“menambah khazanah ilmu agama secara pasif” dari pada “menangkap
hakikat dan semangat ilmu agama secara dinamik”; (3) lebih banyak
memusatkan perhatian pada masalah mikro agama dari pada mengembangkan
masalah pesan makro agama.
Pada pertengahan tahun 1925 (juni 1925) hamka muda pulang kembali ke
maninjau, kampung halamannya, dengan dada orang muda yang telah
dipenuhi pandangan-pandangan baru, semangat ”Revolusioner” dan
keberanian berpidato di dalam pertemuan-pertemuan ramai, termasuk pidato-
pidato politik.
Sebagai ulama besar, Hamka tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari
berbagai pihak, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarakat. Hamka
pernah diberi kepercayaan untuk menjadi pejabat tinggi dan penasehat
Departemen Agama. Kedudukan ini pada gilirannya membuka peluang
baginya untuk mengikuti berbagai pertemuan dan konferensi di berbagai
negara mewakili Indonesia, seperti memenuhi undangan pemerintahan
Amerika (1952), sebagai anggota misi kebudayaan ke Muangthai (1953),
menghadiri peringatan mengkatnya Budha ke-2500 di Burma (1954),
menghadiri konferensi Islam di Lahore (1958), Imam Masjid al-Azhar
(Kebayoran Baru), menghadiri konferensi Negara-negara Islam di Rabat
(1968), muktamar masjid di Makkah (1976), menghadiri seminar tentang
islam dan peradaban di Kualalumpur, upacara seratus tahun Muhammad Iqbal
di Labore dan Konferensi Ulama di Kairo (1977). Di samping itu, pada 27 Juli
1975 pada saat diadakan musyawaroh alim ulama seluruh Indonesia, dimana
disepakati dibentuknya Majlis Ulama Indonesia, Hamka dipilih dan dilantik
sebagai ketua.
Hamka adalah ketua Umum yang pertama. Kebulatan tekad ini ditandai
dengan ikrar bersama yang dituangkan dalam suatu piagam, yang
ditandatangani oleh 26 orang ketua Majelis Ulama Tk. I, 10 orang ulama
unsur organisasi islam tingkat pusat, 4 orang ulama Dinas Rohani Islam dari
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut serta Kepolisian, dan 3
orang ulama yang diundang secara perorangan.
Besarnya prestasi dan peranan Hamka dalam melaksanakan dakwah
Islamiyah di Indonesia, menarik akademisi untuk memberikan penghargaan
kepada Hamka. Pada tahun 1959 Majlis Tinggi Universitas al-Azhar Kairo
memberikan penghargaan gelar Ustadziyah Fakhriyah (Doktor Honoris
Causa) kepada Hamka, karena jasanya dalam menyiarkan agama Islam dengan
menggunakan bahasa Indonesia yang indah. Dan pada tahun 1974, Hamka
juga mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang sastra dari
Universitas di Malasyia.

5. Karya Karya Buya Hamka


Sebagai seseorang yang berpikiran maju, tidak hanya beliau lakukan di
mimbar melalui berbagai macam ceramah agama.beliau juga merefleksikan
kemerdekaan berpikirnya melalui berbagai macam karyanya dalam bentuk
tulisan. Untuk itu dibawah ini akan dideskripsikan beberapa karyanya yang
dibagi dalam beberapa bidang antara lain:

 Karya-karya Hamka dalam bidang Sastra


a) Si Sabariah. (1928)
b) Di bawah lindungan ka’bah (1938).
c) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1938).
d) Merantau Ke Delhi (1939).
e) Di dalam lembah kehidupan.

 Karya-karya Hamka dalam bidang keagamaan islam.


a) Pedoman Muballig Islam (1937).
b) Agama dan Perempuan (1939)
c) Kedudukan Perempuan dalam Islam. Buku ini pertama sekali diterbitkan
pada tahun 1973.
d) Tafsir al-Azhar Juz I-XXX.
e) Studi Islam (1982).
f) Sejarah Umat Islam Jilid I-IV (1951).
g) Tasawuf Modern.
h) Falsafah Hidup (1940).
i) Ayahku (1950).
j) Filsafat Ketuhanan.
k) Kenang-kenangan Hidup jilid I-IV(1951).

 Karya-karya Hamka dalam bidang pendidikan


a) Lembaga budi (1939).
b) Lembaga Hidup (1941).
c) Pendidikan Agama Islam (1956).
d) Akhlaqul Karimah (1989).

6. Akhir Hayat Buya Hamka


Jumat 17 Juli 1981, Buya Hamka menderita gangguan jantung. Enam
bulan lalu, Dr. Karnen yang selama puluhan tahun menjadi dokter pribadi
keluarga memberitahukan bahwa sudah ada kelainan di jantungnya. Buya
Hamka juga pernah mengidap penyakit diabetes selama 20 tahun lebih,
berkali-kali diabetes itu mengganggu kesehatannya. Sekitar tahun 1964 dan
1965 Buya Hamka dirawat hampir 2 tahun di Rumah Sakit Persahabatan
Rawamangun. Tiga tahun yang lalu untuk mengobati penyakit diabetes itu,
Buya Hamka juga dirawat di Rumah Sakit Pertamina untuk beberapa minggu.
Gangguan jantung yang dirasakan Buya Hamka merupakan komplikasi
penyakit diabetes itu.
Gangguan jantung sebagai akibat dari komplikasi diabetessudah dirasakan
sekitar 6 bulan lalu.Jum’at malam, serangan jantung kembali dirasakannya.
Buya Hamka kembali dibawa ke Rumah Sakit Pertamina untuk mendapatkan
perawatan yang optimal. Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa Buya
Hamka mendapat serangan jantung yang berat. Penyakit itu sudah dirasakan
sejak Februari lalu, tetapi serangan yang baru dialaminya mengenai bagian
lain dari jantungnya.
Sore harinya, Buya Hamka sudah ditempatkan di ruangan ICU (Intensive
Care Unit). Pernafasannya dibantu oleh oxygen dan di dadanya sudah
terpasang alat pemeriksaan jantung. Sabtu, 18 Juli 1981 semua anak dan
sebagian cucunya datang untuk menjenguk keadaan Buya Hamka yang belum
juga membaik.Minggu 18 Juli 1981 keadaannya semakin memburuk, Dr.
Amal Sutopo yang menangani beliau memberi keterangan bahwa kadar
gulanya sangat tinggi, bagian jantung yang terkena serangan jantung sudah
semakin meluas dan sulit untuk diatasi. Banyak keluarga dan kerabat dekat
Buya Hamka yang datang untuk menjenguknya, diantaranya Mohammad
Natsir, Yunan Nasution, Abdullah Salim dan Syafruddin Prawiranegara.
Kamis 23 Juli 1981 keadaan Buya Hamka memburuk lagi. Dokter Savitri
Siregar yang juga menangani Buya Hamka menceritakan bahwa salah satu
saluran darah ke otak Hamka telah lumpuh, dan keadaan Hamka saat itu sudah
koma. Siang itu tamu-tamu datang untuk melihat keadaan Hamka diantaranya
Pimpinan Majlis Ulama K.H. Syukri Ghazali, Letjen Sudirman, Projokusumo,
dan Bapak K.H. Hasan Basri yang sangat terkejut melihat keadaan Hamka
saat itu.
Dokter Savitri memberitahukan bahwa pernafasan Hamka sudah dibantu
dengan pompa. Keluarga terus membaca ayat suci Al-Quran disamping
pembaringan orang yang sangat dicintainya itu. Sampai jum’at pagi keadaan
Hamka terus memburuk, tensi darahnya lama kelamaan semakin menurun
hingga mencapai 50. Menhankam M. Yusuf, Mohammad Natsir, Bukhari
Tamam serta Menteri Transmigrasi Prof. Dr. Harun Zain datang menjenguk
Hamka.
Sekitar pukul 10.15, dokter Savitri mengatakan bahwa dia akan membuka
semua pipa dan selang serta alat bantu yang dipasang di kerongkongan dan
hidung Hamka. Dr. Savitri menangis sambil meminta maaf karena tidak
berhasil membantu Hamka melewati masa kritisnya. Satu persatu selang dan
pipa-pipa itu di buka, semua yang berada dalam kamar membaca “
Lailahailallah “. Nafasnya pelan-pelan berhenti, grafik jantung berjalan lurus
tanpa ada denyut. Buya Hamka meninggal pada hari jum’at tanggal 24 Juli
1981 di usianya yang ke 73 tahun dengan tenang dan disaksikan oleh anak
cucu serta kerabat karibnya.

D. Unsur-Unsur Dalam Novel Di Bawah Lidungan Kabah

1.Tema

Tema pada novel Dibawah Lindungan Ka’Bah adalah tentang cinta yang
tak sampai karena perbedaan status sosial yang menghalangi untuk Zaenab
dan Hamid bisa bersama. Hamid adalah seorang pemuda miskin yang
tinggal bersama ibunya karena ayahnya telah meninggal semasa Hamid
kecil. Berbeda dengan Zaenab anak dari seorang saudagar kaya, orang
tuanya tentu memilihkan pasangan hidup bagi Zaenab karena agar harta
kekayaannya tetap terjaga tentu dari kalangan orang kaya pula.

2.Plot (alur)
Alur cerita yang digunakan dalam novel Dibawah Lindungan Ka’Bah
adalah alur campuran yaitu maju dan mundur. Kerena dalam novel ini
menceritakan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi
dan berlanjut kembali ke masa depan.
3.Latar Cerita
1) Latar Waktu
 Tahun 1927 di Mekkah. Di buktikan dalam kutipan berikut. Menceritakan
awal mula tokoh saya yang pada saat itu pergi Haji
“Konon kabarnya, belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927
itu, baik sebelum itu ataupun sesudahnya.” (HAMKA, 2010:5)
“…. Dua hari kemudian saya pun sampai di Mekkah, Tanah Suci kaum
muslim sedunia.” (HAMKA, 2010:5)
2) Latar Tempat
 kota Padang, Sumatra Barat, tempat Hamid dan Zaenab tinggal dari
semasa kecil hingga dewasa.
 Padang Panjang tempat Hamid melanjutkan pendidikannya di Thawalib.
 Medan sebagai kota pertama Hamid singgah setelah memutuskan pergi
dari kampungnya dan bertujuan untuk ke Mekkah.
 Mekkah tempat Hamid menunaikan ibadah Haji.
3) Latar Suasana
 Suasana Bahagia
Terdapat beberapa latar suasan gembira pada novel dan film Di Bawah
Lindungan Ka’bah. Seperti pada kutipan berikut;
“Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat
gembiranya melihat kedatangan saya.” (HAMKA, 2010:33).
Suasana bahagia saat Hamid berkunjung ke rumah Zainab.
 Suasana Sedih
“Tidak mak, cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak
mendukakan hatiku, itulah sebabnya saya kurang keluar dari rumah.”
(HAMKA, 2010:33).
Suasana sedih ketika Hamid melunakan hati Zainab supaya menuruti
permintaan ibunya untuk mau ditunangankan dengan orang yang sudah
dipilih untuk menjadi suaminya.
Ketika Hamid mendengar kabar Zainab meninggal dan lalu disambung
dengan meninggalnya hamid di depan ka’bah.
4.Penokohan
1) Saya: Tokoh Utama yang akhirnya bertemu dan berteman dengan Hamid.
2) Hamid: Berbudi pekerti luhur, sopan, pintar, rendah hati dan sederhana,
dan sangat tuguh pada agama.
3) Ibu Hamid: Wanita yang gigih berjuang membesarkan anaknya walau
hanya sendirian. Baik hati dan penuh kasih sayang.
4) Zainab: Anak perempuan Haji Ja’far dan Mak Asiah. Berteman dengan
Hamid sejak kecil. Selalu bersama-sama hingga tamat sekolah. Zainab
baik hatinya, sopan, ramah dan sangat patuh kepada orang tuanya.
5) Haji Ja’far: Saudagar kaya yang membantu kehidupan Hamid dan ibunya,
yang menyekolahkan Hamid. Haji Ja’far sangat dermawan dan baik hati.
6) Mak Asiah: Mak Asiah adalah wanita penuh kasih sayang. Baik hatinya
kepada siapa saja.
7) Rosna: Istri Saleh dan juga sahabat baik Zainab, dia selalu bersedia
mendengarkan keluh kesah Zaenab dan menemani Zaenab di saat Zaenab
merasa sedih karena kepergian Hamid.
8) Saleh: Teman semasih sekolah hamid yang ingin melanjutkan
penddidikannya di Mesir. Suami Rosnah.
5. Sudut Pandang
Dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah menggunakan sudut pandang
orang pertama pelaku sampingan. Karena dalam cerita tokoh utamanya yaitu
‘saya’ yang bertemu dengan Hamid di Mekkah lalu menjadi teman,
menceritakan kisah Hamid dengan sudut pandang orang pertama pelaku
utama yaitu Hamid sendiri. Sedangkan dalam film menggunakan sudut
pandang orang pertama pelaku utama yaitu Hamid.
7. Amanat
Amanat dari tema ini adalah ketika kita hanya di pandang sebelah mata
oleh orang lain, ingatlah bahwa Allah selalu memandang semua hambanya
sama, tidak terhalang dengan miskin dan kaya dan terpandang atau
tidaknya seseorang, hanya keimanan dari diri sendiri lah yang membuat
kita berbeda di hadapan Allah. Ketika segala apa yang ada di dunia ini
menghalangi keinginanmu percayalah bahwa Allah mempunyai caranya
sendiri untuk kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Mencintai
seseorang tidak semata hanya memandang fisik dan kekayaan saja tetapi
juga hatinya.

8. Nilai-Nilai Yang Terkandung


A. Nilai sastra

Sastra bisa juga bertema tentang agama, tidak harus bersifat rasis. Karena

novel ini merupakan novel sastra mengenai agama yang pertama di

Indonesia. Namun nilai agama dapat dimasukan tanpa mengurangi nilai


esensi novel sastra sebagai karya seni tentunya yang dapat dinikmati oleh

siapapun.

B. Nilai agama

Dalam kehidupan ini manusia dituntut untuk tidak terpaut dengan hal-hal

duniawi semata. Seperti cinta buta yang membabi buta kepada lawan jenis

tanpa ada batasanya. Dalam novel ini mengisahkan cinta tulus juga ada di

dalam islam, namun penyalurannya tidak berlebihan dan ada batasanya,

yang tidak akan merugikan siapapun. Dekatkan diri kepada Tuhan itu

lebih baik daripada terhanyut dalam cinta yang membutakan.

C. Nilai moral

Janganlah kita melihat seseorang berdasarkan hartanya semata. Apabila

budipekerti dan tingkah lakunya tidaklah baik untuk apa kita

mendekatinya hanya karena harta semata. Karena harta tidaklah kekal.


E. Menafsirkan Hubungan antara Unsur-Unsur di Novel dengan Pengarang
a. Jika dilihat dari judul pada novel ini yaitu “Di Bawah Lindungan
Ka’bah” semua orang pasti setuju jika unsur islami disini sangat kuat
dan menonjol sekali, seperti yang kita tahu bahwa Hamka adalah
seorang ulama yang sedari kecil hingga beranjak dewasa hidup di
lingkungan yang sangat teguh memegang adat dan ajaran-ajaran agama
islam, terlebih beliau juga anak dari seprang pemuka agama. Disini sisi
agamis sorang Hamka dapat kita lihat sejak dari pemberian judul pada
novel ini.
b. Membicarakan tema yang diangkat pada novel ini adalah sebuah kisah
roman tentang cinta yang tak terbalaskan antara Hamid dan Zaenab.
Disini saya berasumsi jika kisah cinta yang tragis semacam ini dapat
sangat menggugah pembacanya. Lalu kenapa kisah cinta tragis yang
diambil oleh Hamka? Sejak masa kecilnya Hamka sangatlah nakal dan
kenakalannya semakin menjadi ketika orang tuanya bercerai, walaupun
Hamka kecil belum mengerti tentang persoalan seperti itu, yang jelas
Hamka bisa merasa terpukul oleh peristiwa yang berlatar kisah roman
kedua orangtuaya. Pada pandangan lain Hamka adalah orang yang
cerdas jika dalam hal pengambilan tema ini justru ia ingin memberikan
ajaran-ajaran moral dan agama dalam keputus asaan karena cinta, dan
pada hakikatnya kecintaan tertinggi manusia bukanlah kepada manusia
melainkan kepada sang penciptanya. Disini Hamka ingin memberi
sebuah motivasi tentang cinta namun dalam pandangan islam pada
anak-anak muda yang sering kali menuhankan cintanya kepada
manusia dan dunia.
c. Dalam segi jalan cerita pada novel yang bertema cinta tak terbalaskan
ini, Hamka ingin mengungkapkan dalam adat minangkabau maupun
indonesia pada umumnya perbedaan sosial tetaplah menjadi faktor
yang sangat kejam karena bisa membatasi hak seseorang dan lalu
menjadi sebuah dogma pada masyarakat. Perbedaan sosial antara
Hamid dan Zaenab inilah yang menjadikan sebuah kisah cinta yang
tragis, dimana Hamid hanyalah berasal dari keluarga yang ekonominya
kurang, sedangkan Zaenab berasal dari keluarga yang serba ada,
Hamid tak mungkin sebegitu mudah mengungkapkan peasaannya pada
Zaenab, terlebih orang tua Zaenablah yang membiayai Hamid sekolah.
d. Dilihat dari inti ataupun benang merahnya, cerita pada novel ini
hampir sama dengan novel roman yang diterbitkan dalam tahun yang
sama oleh Hamka yaitu “tenggelamnya kapal van der wijk” diamana
bercerita tentang perbedaan sosial antara kedua tokoh utamanya,
namun yang lebih ditekankan adalah adat-adat minangnya, sedangkan
pada novel “di bawah lindungan ka’bah” Hamka tidak begitu banyak
membahas adat minangkabau melainkan lebih ke persoalan moral dan
ajaran agamanya.
e. Pemilihan latar tempat dalam novel ini adalah kota Padang dan juga
Mekah, sudah jelas Hamka adalah seseorang yang lahir di ranah
Minangkabau, dia pasti lebih mengetahui situasi adat dan juga
kebudayaan yang ada disana, sedangkan Mekah merupakan suatu
tempat tujuan umat islam untuk menunaikan rukun islam yang
terakhir. Lagi-lagi disini sisi ulama Hamka sangat ditunjukan.
f. Pada unsur penokohannya dalam novel ini, Hamka bisa saja dibilang
menuangkan sisi karakternya kepada tokoh utamanya Hamid, dimana
dalam cerita Hamid adalah seorang yang berbudi pekerti luhur, sopan,
pintar, rendah hati, sederhana, dan sangat tuguh pada agama. Sudah
begitu mirip bukan dengan sosok Hamka?
g. Pada penamaan tokoh Haji Ja’far dalam novel juga memiliki kesamaan
dengan nama pamannya Hamka, namun mengenai kesamaan
karakternya tidak begitu saya ketahui, yang ada pada data yang saya
temukan paman Hamka adalah sosok yang sangat baik pula, sempat
bertemu di Yogjakarta dengan Hamka dan ia sedang belajar agama.
h. Destinasi dan perjalanan ke Mekah dalam novel sebagai tempat
perenungan bagi Hamid karena dirinya merasa kacau ketika ternyata
Zaenab telah dijodohkan dan hendak menikah dengan pria pilihan
almarhum Haji Ja’far. Cinta kepada tuhan adalah hakikat cinta yang
tertinggi dan seberapa pun terpuruknya kita, cara paling baik untuk
bangkit adalah dengan mendekatkan diri pada sang pencipta. Mungkin
demikian merupakan hal-hal yang ingin Hamka sampaikan kepada
pembaca.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penerapannya, penggunaan pendekatan ekspresif terhadap
karya sastra khusunya novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka
ini membukakan pandangan kita secara lebih luas, tak hanya soal unsur-
unsur intrinsik novel secara sruktural saja tetapi terhadap latar daripada
penciptaan sebuah karya oleh pengarang juga. Yang unik dari pendekatan
ini adalah kita dapat mengetahui seberapa jauh ketelibatan diri pribadi
pengarang dalam karyanya, baik itu pengalaman hidup ataupun karakter
diri. Kita juga bisa sedikit menelaah maksud daripada cerita yang ditulis
oleh pengarang dengan membandingkannya pada biografi pengarang
tersebut. Kekurangan pendekatan ini adalah minimnya informasi mengenai
pengarang, terutama pada karya sastra yang pengarangnya telah tiada.
Pada novel ini Hamka mencoba memotivasi kaula muda perihal
percintaan, moral dan juga paham-paham agama, dimana ia
menyampaikan ajaran-ajaran agama melalui cerita cinta yang menggugah.
Dan karakteristik seorang Hamka pada kenyataanya yang cerdas, seorang
alim ulama, berbudi pekerti baik, serta hidup dengan sederhana mungkin
bisa jadi tertuang dalam tokoh utama pada novel ini yaitu Hamid. Dan
dalam novel ini Hamka mencoba membawa pemikiran kita terhadap
sebuah persoalan sosial mengenai perbedaan kelas sosial antara Hamid
dan Zaenab dimana atas dasar itu Hamid menjadi sosok yang tersakiti.

B. Saran

Bagi kalian yang ingin membaca sebuah novel roman yang tidak
lebay dan kaya akan nilai-nilai kehidupan di dalamnya, mengkin novel “Di
Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka ini dapat menjadi refernsi anda.
DAFTAR PUSTAKA

HAMKA. 2010. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Bulan Bintang.

Hasan, Eva. 2017. Cinta adalah Kehormatan, Kisah Perjuangan Istri Buya
Hamka. https://www.islampos.com/cinta-adalah-kehormatan-kisah-perjuangan-
istri-buya-hamka-20939/ Diakses 28 Desember 2018.

Hives. 2017. Biografi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya Hamka)
http://www.ulamaku.com/2017/06/biografi-abdul-malik-karim-amrullah-buya-
hamka.html Diakses 28 Desember 2018.

Santoso, Sukrisno. 2015. Metode, Metodologi, Teknik, dan Pendekatan (Teori,


Metode, dan Teknik Penelitian Sastra
http://sastra33.blogspot.com/2015/07/metode-metodologi-teknik-dan-
pendekatan.html Diakses 28 Desember 2018.

Wikipedia. Abdul Malik Karim Amrullah


https://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Malik_Karim_Amrullah Diakses 28
Desember 2018.

Anda mungkin juga menyukai