Anda di halaman 1dari 17

Pemeriksaan Radiografi Pada Abdomen Dan Pelvis

Pada Kasus Emergency Abdomen


(Apendisitis)

Disusun oleh :
Asih Nur Pambudi
1810505006

Disusun Oleh :
Nama : Asih Nur Pambudi
NIM : 1810505006

PRODI DIII RADIOLOGI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2018
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

DAFTAR ISI

Cover
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II ISI

A. Apendisitis
1. Definisi
2. Anatomi Apendiks
3. Fisiologi Apendiks

B. Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis Kronik
2. Apendisitis Akut
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Pemeriksaan Radiologi
D. Penanggulangan
1. Penanggulangan Konservatif
2. Penanggulangan Operatif
E. Diet Cukup Serat
1. Definisi
2. Jenis dan Sumber Serat Pangan
3. Hubungan Serat Terhadap Kejadian Apendisisitis
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka

BAB I
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh
masyarakat awam sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja (Anonim, 2011). Apendisitis akut merupakan
masalah pembedahan yang paling sering dan apendektomi merupakan
salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia (Paudel et
al., 2010).
Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan
dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%.
Insiden tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Kasus
perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak
kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan (Sjamsuhidajat,
R. (2010).
Apendisitis merupakan penyebab paling umum sakit perut akut
yang memerlukan intervensi bedah. Penyebab apendisitis tidak jelas dan
mekanisme patogenesis terus diperdebatkan, dikarenakan apendisitis
merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat
secara umum, yang tata laksananya dengan cara apendiktomi, sehingga
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis
memerlukan perhatian khusus, karena masih tingginya kemungkinan
timbul infeksi paska bedah, yaitu 5-15% (Departemen/SMF ilmu bedah,
2009).
Faktor potensial dari apendisitis adalah diet rendah serat dan
konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al.,
2008). Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan
dengan wanita (Craig, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui
bahwa apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta
jiwa darinya adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan
mencapai total 118 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Apendisitis
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

merupakan peradangan pada usus buntu sehingga penyakit ini dapat


menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain seperti mual, muntah,
konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit perut sehingga
mengganggu aktivitas sehari-hari.
Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis
merupakan penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun
2006. Jumlah pasien rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut
mencapai 28.949 pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia,
duodenitis, dan penyakit cerna lainnya. Pada rawat jalan, kasus penyakit
apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan), setelah
penyakit sistem pencernaan lain, dispepsia, gastritis dan duodenitis.
Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009,
apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat
inap di rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian
30,703 kasus dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit apendisitis?
2. Bagaimanakah klasifikasi pembagian jenis penyakit apendisitis?
3. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita
apendisitis?
4. Bagaimana solusi untuk menangani penyakit apendisitis?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu penyakit apendisitis lebih jelas dan lengkap.
2. Mengetahui apa saja pembagian jenis penyakit apendisitis.

3. Mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan oleh penderita


apendisitis.
4. Memberikan solusi yang tepat dalam penanganan penyakit apendisitis.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

BAB II
ISI

A. Apendisitis
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi
lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010).
2. Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens 6
apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010). Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong,


2004). Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya
karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren
(Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis


dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf
simpatis berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan
serabut parasimpatis berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf
aferen dari apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen
medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Posisi apendiks terbanyak
adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%), patileal (5%), paracaecal
(2%), anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz dan R.Pabst, 2006).
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang
memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung
pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya,
apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang
kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak
apendiks (Schwartz, 2000). Anatomi apendiks dapat dilihat pada
gambar 2.1

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks (Indonesia Children, 2009)


PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

3. Fisiologi Apendiks
Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks
adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini
sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan
di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum.
Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di
saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan
defek fungsi sistem imun yang jelas.
B. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
1. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding 11
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-
kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan
jaringan ikat (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis Akut
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana Proses peradangan baru terjadi di
mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa
menumpuk dalam lumen 9 appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise
dan demam ringan (Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan
dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan
edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di
dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus
bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi
infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding


apendiks berwarna ungu, hijau 10 keabuan atau merah kehitaman.
Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).
d. Apendisitis Infiltrat Apendisitis infiltrat adalah proses radang
apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus
halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya (Rukmono, 2011).
e. Apendisitis Abses Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang
terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral
dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).
f. Apendisitis Perforasi Apendisitis perforasi adalah pecahnya
apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke
dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan
nekrotik (Rukmono, 2011).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang
menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat
sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap
mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi
akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin)
nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan
apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat
infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

a. Ultrasonografi (USG) USG dapat membantu mendeteksi adanya


kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses
hati, pneumonia basal, atau efusi pleura.
b. Appendikografi adalah teknik pemeriksaan radiologi untuk
memvisualisasikan appediks dengan menggunakan kontras media
positif barium sulfat . Dapat dilakukan secara oral atau secara anal.
i. Persiapan Pasien
 48 jam sebelum pemeriksaan dianjurkan makan makanan lunak
tidak berserat. Misal : bubur kecap.
 12 jam atau 24 jam sebelum pem pasien diberikan 2/3 Dulcolac
untuk diminum.
 Pagi hari pasien deberi dulkolac supositoria melalui anus atau
dilavement .
 4 jam sebelem pemeriksaan pasien harus puasa hingga
emeriksaan berlangsung.
 Pasien dianjurkan menghindari banyak bicara dan merokok
ii. Persiapan Alat
 Pesawat sinar-X yg dilengkapi fluoroskopi & dilengkapi alat
bantu kompresi yg berfungsi untuk memperluas permukaan
organ yg ada didaerah ileosaekal / memodifikasi posisi pasien
supine mjd prone.
 Kaset + film
iii. Persiapan Bahan
 Bahan kontras barium sulfat dengan perbandingan 1 : 4 sampai
1:8

KRITISI DAN EVALUASI RADIOGRAF PEMERIKSAAN


ABDOMEN PADA PENDERITA APENDISITIS

PEMERIKSAAN ABDOMEN (APENDIKOGRAM)


PROYEKSI PA
GAMBAR
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

RADIOGRAF

Tidak Terpenuhi
Identitas dari pasien tidak tercantum pada hasil
radiograf berupa nama pasien, umur, jenis
ID Requirements
kelamin, nomor film , tanggal pembuatan, nama
rumah sakit/instansi, serta asal ruangan pasien,
baik pasien rawat jalan maupun pasien poli.
Terpenuhi
Terdapat marker “R” terbaca terletak dibagian
MARKER
kiri bawah dan tidak memotong objek pada
radiograf.
Terpenuhi
Colon transversum terisi barium pada proyeksi
PA dan terisi udara pada proyeksi AP dengan
ANATOMI
teknik double contrast, tampak colon ascenden ,
colon descenden, left colic flexure dan right
colic flexure.
Terpenuhi
Seluruh bagian anatomi yang dibutuhkan tidak
ANATOMI YANG
terpotong, bagian apendic terlihat pada bagian
TAMPAK
kiri bawah namun tidak terlihat dengan jelas
karena menggunakan teknik single contrast.
Tidak Terpenuhi
PROTEKSI RADIASI
Proteksi tidak menghalangi gambaran objek
GARIS TEPI LUAR Tidak Terpenuhi
KORTEK TULANG, Garis tepi luar kortek tulang dan trabekula pada
PATREN TRABEKULA bagiian tulang pelvis tidak terlihat, soft tissue
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

TULANG, DAN ATAU


STRUKTUR SOFT tidak terlihat tajam.
TISSUE
Tidak Terpenuhi
Pengaturan FFD ynag tepat tidak menyebabkan
DISTORSI
adanya distorsi berupa foreshortening dan
elongation.
Terpenuhi
UKURAN FILM,
Alat penerima gambar adalah IP dipasang pada
REGIO ORGAN
bucky table, IP dipasang pada posisi membujur.
ANATOMI TERLIHAT

Tidak Terpenuhi
KECUKUPAN Kontras yang ditampakkan sudah cukup, dapat
KONTRAS membedakkan bagian colon yang terisi dengan
kontras dan bagian tulang yang terlihat opact.
Terpenuhi
Upaya pencegahan artefak dengan
UPAYA PENCEGAHAN menginstruksikan kepada pasien untuk
TERHADAP melepas celana agar tidak terdapat artefak dari
ARTEFAK resleting, serta menginstruksikan kepada
pasien untuk melepas benda logam pada
bagian yang akan diperiksa.
Terpenuhi
OUTCOME Hasil keluaran sinar sudah memperlihatkan nilai
diagnostik dari regio organ anatomi yang
dibutuhkan.
DITERIMA/
ACCEPTED Ditolak/Rejected
DITOLAK/REJECTED

D. Penanggulangan
1. Penanggulangan Konservatif
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang


tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian
antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada
penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian
cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
2. Penanggulangan Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka
tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks.
Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat
mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan
drainase.

E. Diet Cukup Serat


1. Definisi
Berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi dua yaitu
serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Didasarkan pada
fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu
(a) polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel, yaitu
selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat; (b) non-polisakarida
struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin; dan (c) polisakarida
non-struktural, yaitu gum dan agar-agar (Kusnandar, 2010). Diet cukup
serat adalah dimana kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan
Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat tecukupi. Untuk nilai serat yang
harus dipenuhi seseorang orang dewasa usia 19-29 tahun adalah 38
g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan.
Untuk wanita angka kecukupan tersebut dapat dicukupkan setara
dengan mengkonsumsi beras ladang 300 gram (dalam 3 kali makan)
yang memiliki nilai serat 17,7 gram dengan paduan lauk tempe
gembus jogja 2 potong yang setara dengan 4,2 gram serat dan
ditambah sayuran bayam 300 gram yang memiliki serat 3,6 gram serat,
untuk kudapan 21 dapat menkonsumsi ubi dengan nilai serat 4,2 gram
dan tambahan buah jeruk ukuran sedang (100 gram) dengan nilai 5,4
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

gram serat sehingga asupan konsumsi serat sebanyak 33,5 gram serat
dalam satu hari.
2. Jenis dan Sumber Serat Pangan
Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung dari komposisi
dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen-
komponen dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa,
pektin, lignin, mucilage yang kesemuanya termasuk dalam serat
pangan. Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu serat
pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut
(insoluble dietary fiber).
Yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin dan gum
yang merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak
terdapat pada buah dan sayur. Serat tidak larut (insoluble dietary fiber)
adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, serat ini banyak ditemukan
pada seralia, kacang-kacangan dan sayuran. Secara skematis
komponen serat pangan dalam berbagai bahan pangan.
Sayuran dan buah-buahan adalah merupakan sumber serat pangan
yang paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber
serat sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah
diproses melalui perebusan. Sumber serat pangan selain dari sayuran
dan buahbuahan, penelitian Robert E. Kowalski dalam Anik
Herminingsih (2010), juga dapat berasal dari dedak padi yang telah
distabilisasi ditemukan mengandung serat pangan 33,0 – 40,0%.

3. Hubungan Serat Terhadap Kejadian Apendisisitis


Kejadian apendisitis yang terjadi disebabkan kebiasaan pola makan
yang tidak cukup dalam mengkonsumsi serat yang dapat berakibat
timbulnya sumbatan fungsional pada apendiks hal ini dapat
mengakibatkan peningkatan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi
peradangan pada apendiks. Peranan kebiasaan mengonsumsi makanan
tidak cukup serat bepengaruh terhadap konstipasi, tinja yang keras
dapat menimbulkan terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikkan
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan


meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Hal ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis.
Diet berperan dalam pembentukan sifat feses, yang mana penting
dalam pembentukan fekalit. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Fitriana (2013) responden dengan kategori jenis makanan yang tidak
cukup serat lebih banyak terdiagnosis apendiditis akut. Apendisitis
lebih cenderung disebabkan oleh jenis makanan yang kurang serat.
Oleh karena itu, untuk memenuhi beberapa fungsi tersebut dan
mencegah terjadinya apendisitis dapat dilakukan dengan makan
makanan yang bergizi dan berserat tinggi. Makanan yang bergizi yaitu
makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

BAB III
KESIMPULAN

Apendisitis merupakan peradangan pada umbai cacing atau


apendisitisversiformis. Orang awam menyebutnya sebagai peradangan pada usus
buntu.Usus buntu ini merupakan penonjolan kecil berbentuk halus sebesar
jarikelingking yang berada di usus besar tepatnya di daerah perbatasan dengan
usus.Sesuai namanya, usus buntu merupakan benar-benar saluran usus yang
ujungnya buntu. Usus buntu ini memiliki beberapa fungsi pertahanan tubuh,
namun bukan merupakan organ yang penting.
Kejadian apendisitis yang terjadi disebabkan kebiasaan pola makan yang
tidak cukup dalam mengkonsumsi serat yang dapat berakibat timbulnya sumbatan
fungsional pada apendiks hal ini dapat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan
kuman, sehingga terjadi peradangan pada apendiks. Penanggulangan konservatif
terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan
bedah berupa pemberian antibiotic. Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan
apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks.
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA

Daftar Pustaka

Omari, A., Khammash, M., Qasaimeh, G., Shammari, A.,Yaseen, M., Hammori, S.
(2014). Acute Appendicitis In The Elderly: Risk Factors for Perforation. World
Journal of Emergency Surgery. DOI:10.1186/1749-7922-9-6. pp 1-6.
Pusat Data Dan Informasi Kesehatan, 2012, Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan Penyakit Tidak Menular,JakartaKementerian Kesehatan RI.
Richard, N., Kruger, D., Luvhengo, T. (2014). Clinical Presentation of Acute
Appendicitis In Adults at The Chris Hani Baragwanath Academic Hospital.
International Journal of Emergency Medicine. DOI: 10.1186/1865-1380-7-12. pp
1-4.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai