Disusun oleh :
Asih Nur Pambudi
1810505006
Disusun Oleh :
Nama : Asih Nur Pambudi
NIM : 1810505006
DAFTAR ISI
Cover
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II ISI
A. Apendisitis
1. Definisi
2. Anatomi Apendiks
3. Fisiologi Apendiks
B. Klasifikasi Apendisitis
1. Apendisitis Kronik
2. Apendisitis Akut
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
2. Pemeriksaan Radiologi
D. Penanggulangan
1. Penanggulangan Konservatif
2. Penanggulangan Operatif
E. Diet Cukup Serat
1. Definisi
2. Jenis dan Sumber Serat Pangan
3. Hubungan Serat Terhadap Kejadian Apendisisitis
BAB III KESIMPULAN
Daftar Pustaka
BAB I
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apendisitis merupakan penyakit yang biasa dikenal oleh
masyarakat awam sebagai penyakit usus buntu. Apendisitis akut
merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada
anak-anak dan remaja (Anonim, 2011). Apendisitis akut merupakan
masalah pembedahan yang paling sering dan apendektomi merupakan
salah satu operasi darurat yang sering dilakukan diseluruh dunia (Paudel et
al., 2010).
Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan
dengan risiko menderita apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%.
Insiden tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30 tahun. Kasus
perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak
kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan (Sjamsuhidajat,
R. (2010).
Apendisitis merupakan penyebab paling umum sakit perut akut
yang memerlukan intervensi bedah. Penyebab apendisitis tidak jelas dan
mekanisme patogenesis terus diperdebatkan, dikarenakan apendisitis
merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi pada masyarakat
secara umum, yang tata laksananya dengan cara apendiktomi, sehingga
penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah apendisitis
memerlukan perhatian khusus, karena masih tingginya kemungkinan
timbul infeksi paska bedah, yaitu 5-15% (Departemen/SMF ilmu bedah,
2009).
Faktor potensial dari apendisitis adalah diet rendah serat dan
konsumsi gula yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi (Mazziotti et al.,
2008). Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan
dengan wanita (Craig, 2010).
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui
bahwa apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta
jiwa darinya adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan
mencapai total 118 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara. Apendisitis
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan penyakit apendisitis?
2. Bagaimanakah klasifikasi pembagian jenis penyakit apendisitis?
3. Bagaimana pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita
apendisitis?
4. Bagaimana solusi untuk menangani penyakit apendisitis?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa itu penyakit apendisitis lebih jelas dan lengkap.
2. Mengetahui apa saja pembagian jenis penyakit apendisitis.
BAB II
ISI
A. Apendisitis
1. Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini
dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi
lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010).
2. Anatomi Apendiks
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah
ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens 6
apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010). Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
3. Fisiologi Apendiks
Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir
tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks
tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue
(GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks
adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini
sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan
di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam
adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum.
Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di
saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan
defek fungsi sistem imun yang jelas.
B. Klasifikasi Apendisitis
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.
1. Apendisitis Kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding 11
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.
Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-
kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan
eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan
jaringan ikat (Rukmono, 2011).
2. Apendisitis Akut
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana Proses peradangan baru terjadi di
mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa
menumpuk dalam lumen 9 appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise
dan demam ringan (Rukmono, 2011).
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan
dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan
edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di
dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).
c. Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus
bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi
infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
RADIOGRAF
Tidak Terpenuhi
Identitas dari pasien tidak tercantum pada hasil
radiograf berupa nama pasien, umur, jenis
ID Requirements
kelamin, nomor film , tanggal pembuatan, nama
rumah sakit/instansi, serta asal ruangan pasien,
baik pasien rawat jalan maupun pasien poli.
Terpenuhi
Terdapat marker “R” terbaca terletak dibagian
MARKER
kiri bawah dan tidak memotong objek pada
radiograf.
Terpenuhi
Colon transversum terisi barium pada proyeksi
PA dan terisi udara pada proyeksi AP dengan
ANATOMI
teknik double contrast, tampak colon ascenden ,
colon descenden, left colic flexure dan right
colic flexure.
Terpenuhi
Seluruh bagian anatomi yang dibutuhkan tidak
ANATOMI YANG
terpotong, bagian apendic terlihat pada bagian
TAMPAK
kiri bawah namun tidak terlihat dengan jelas
karena menggunakan teknik single contrast.
Tidak Terpenuhi
PROTEKSI RADIASI
Proteksi tidak menghalangi gambaran objek
GARIS TEPI LUAR Tidak Terpenuhi
KORTEK TULANG, Garis tepi luar kortek tulang dan trabekula pada
PATREN TRABEKULA bagiian tulang pelvis tidak terlihat, soft tissue
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
Tidak Terpenuhi
KECUKUPAN Kontras yang ditampakkan sudah cukup, dapat
KONTRAS membedakkan bagian colon yang terisi dengan
kontras dan bagian tulang yang terlihat opact.
Terpenuhi
Upaya pencegahan artefak dengan
UPAYA PENCEGAHAN menginstruksikan kepada pasien untuk
TERHADAP melepas celana agar tidak terdapat artefak dari
ARTEFAK resleting, serta menginstruksikan kepada
pasien untuk melepas benda logam pada
bagian yang akan diperiksa.
Terpenuhi
OUTCOME Hasil keluaran sinar sudah memperlihatkan nilai
diagnostik dari regio organ anatomi yang
dibutuhkan.
DITERIMA/
ACCEPTED Ditolak/Rejected
DITOLAK/REJECTED
D. Penanggulangan
1. Penanggulangan Konservatif
PROGRAM STUDI D3 RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
gram serat sehingga asupan konsumsi serat sebanyak 33,5 gram serat
dalam satu hari.
2. Jenis dan Sumber Serat Pangan
Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung dari komposisi
dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen-
komponen dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa,
pektin, lignin, mucilage yang kesemuanya termasuk dalam serat
pangan. Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu serat
pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut
(insoluble dietary fiber).
Yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin dan gum
yang merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak
terdapat pada buah dan sayur. Serat tidak larut (insoluble dietary fiber)
adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, serat ini banyak ditemukan
pada seralia, kacang-kacangan dan sayuran. Secara skematis
komponen serat pangan dalam berbagai bahan pangan.
Sayuran dan buah-buahan adalah merupakan sumber serat pangan
yang paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber
serat sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah
diproses melalui perebusan. Sumber serat pangan selain dari sayuran
dan buahbuahan, penelitian Robert E. Kowalski dalam Anik
Herminingsih (2010), juga dapat berasal dari dedak padi yang telah
distabilisasi ditemukan mengandung serat pangan 33,0 – 40,0%.
BAB III
KESIMPULAN
Daftar Pustaka
Omari, A., Khammash, M., Qasaimeh, G., Shammari, A.,Yaseen, M., Hammori, S.
(2014). Acute Appendicitis In The Elderly: Risk Factors for Perforation. World
Journal of Emergency Surgery. DOI:10.1186/1749-7922-9-6. pp 1-6.
Pusat Data Dan Informasi Kesehatan, 2012, Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan Penyakit Tidak Menular,JakartaKementerian Kesehatan RI.
Richard, N., Kruger, D., Luvhengo, T. (2014). Clinical Presentation of Acute
Appendicitis In Adults at The Chris Hani Baragwanath Academic Hospital.
International Journal of Emergency Medicine. DOI: 10.1186/1865-1380-7-12. pp
1-4.
Sjamsuhidajat, R. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.