Assalamualaikum Wr.Wb, Selamat Pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, Pertama-tama, mari kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan YME. Karena telah memberikan kita anugerah yang luar biasa, berupa kesehatan dan kesempatan untuk berkumpul di sini. Kepada Ibu Leni yang saya hormati serta teman- teman sekalian yang saya cintai, izinkan saya memberikan sebuah pertanyaan, perihal “Apakah kita sering merasa mampu? Apakah kita sering merasa bisa?” manusia akan selalu merasa mampu, karena rupanya merasa mampu adalah sifat paling mendasar yang ada pada manusia, hingga jika saya kaitkan dengan sebuah janji, maka Anda dan Saya sebagai manusia akan senang hati berjanji dan membuatnya jadi kebiasaan yang kemudian dimudahkan, bahkan berucap sumpah seolah yakin dan mampu untuk menjalankan, sebab pikir kita dengan janji semua akan mudah terselesaikan, padahal jika kita pandai, maka kita akan spontan mempertanyakan “Mampukah kita Menepatinya?”, tapi kali ini saya akan tekankan bahwasannya kita adalah manusia, MH ciptaan Tuhan yang terkenal akan sifat meningginya, merasa besar padahal selalu masih ada yang diatasnya, merasa sanggup menepati seolah hidupnya selalu pasti, maka sekarang pertanyaannya adalah “Mengapa Kita Harus Membuat Janji?”, pada dasarnya manusia membuat janji karena berada pada posisi terancam, atau karena tak lagi punya jalan keluar sehingga memohon pada seseorang agar memberikan kepercayaan, maka jika dipandang dengan sederhana, janji seolah menjadi suatu tindakan yang hadir karena terpaksa, bahkan suatu tindakan yang tidak beriringan dengan ketulusan, oleh karena itu kesempatan yang diberikan pada saya untuk berdiri disini membawa saya untuk mengangkat sebuah tema yang sering kali kita temukan bahwasannya “Janji Adalah Malapetaka” Sebelumnya ada yang tau apa itu Malapetaka?, malapetaka adalah kata yang terdefinisikan sebagai sebuah musibah bahkan dapat diartikan pula sebagai bentuk kesengsaraan, maka ‘janji adalah malapetaka’ dapat diartikan bahwa janji membawa seseorang pada kesengsaraan, tapi tenang malapetaka hanya hadir kepada siapapun yang telah merasa dewasa, malapetaka akan hadir bagi siapapun, yang mengucap janji untuk pelarian sementara, malapetaka akan hadir bagi manusia yang merasa berbicara manis akan menyelamatkan dirinya, padahal jika kita tela’ah lebih baik, “Bagaimana orang lain yang menerima sumpah, yang mempercayai janji?, tapi begitu saja dikhianati.” kecewa adalah jawaban paling benar untuk terucap, lalu sekarang “sudah berapa kali kita menggumbar janji? menjerumuskan seseorang pada rasa kecewa? Dan tak merasa bersalah karena kita lupa tengah bersumpah?” padahal gerbang dari malapetaka adalah rasa kecewa, sebab kecewa mampu membuat kita tidak lagi punya siapa-siapa, kehilangan segalanya, dilupakan begitu saja. Lalu bisa apa kita Saat hal itu kelak menghampiri kita? Berteriak mengucapkan janji kembalikah? Menangis agar mereka mempercayaikah? Jika kita memilih melakukan hal tersebut maka hidup tanpa harga diri di dalam Jiwa akan menelan kita sedemikian rupa, menghancurkan batin, membuat hidup tak lagi berarti, dan saat itu semua orang akan bangga mengucapkan Selamat pada kita karena menuai hasil dari Janji yang mengiring kita pada sebuah Malapetaka. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengajak Anda untuk cobalah menjadi dewasa, bukan merasa dewasa, cobalah menjadi sosok yang mencari jalan keluar tanpa putus asa, berhenti menghasut seseorang agar percaya melalui ucapan manis yang meleset begitu melodis, tapi mulailah jadi seseorang yang malu berucap manis karena tau bahwa dirinya masih makhluk tanpa daya, mulailah jadi seseorang yang enggan mengecewakan orang lain, mulailah jadi seseorang yang menghindari mencelakakan dirinya sendiri, karena satu satunya orang yang peduli adalah diri Anda sendiri maka percayalah Anda bisa, hingga Janji adalah Malapetaka enggan untuk menghampiri Anda.