Perakitan Mobil
Pendahuluan
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan masalah penting dalam setiap
proses operasional industri. Penurunan ketajaman pendengaran akibat kebisingan terjadi
secara perlahan, dalam waktu hitungan bulan sampai tahun. Hal ini sering tidak disadari oleh
penderitanya, sehingga pada saat penderita mulai mengeluh kurang pendengaran, biasanya
sudah dalam stadium yang tidak dapat disembuhkan (irreversible).
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpapar bising antara
lain intensitas bising yang lebih tinggi, berfrekwensi tinggi, lebih lama terpapar bising,
kepekaan individu dan faktor lain yang dapat menimbulkan ketulian. Bising industri sudah
lama merupakan masalah yang sampai sekarang belum bisa ditanggulangi secara baik
sehingga dapat menjadi ancaman serius bagi pendengaran para pekerja, karena dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran yang sifatnya permanen. Sedangkan bagi pihak
industri, bising dapat menyebabkan kerugian ekonomi karena biaya ganti rugi. Oleh karena
itu untuk mencegahnya diperlukan pengawasan terhadap pabrik dan pemeriksaan terhadap
pendengaran para pekerja secara berkala.1,2
Pembahasan
A. DEFINISI PENYAKIT AKIBAT KERJA:
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian Penyakit Akibat
Kerja merupakan penyakit yang artifisial atau man made disease.
Secara umum, bising adalah bunyi yang tak diinginkan. Secara audiologik,
bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekuensi. Pajanan bising
yang intensitasnya 85 desibel (dB) atau lebih secara terus menerus dapat
mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran, yakni sel-sel rambut organ
Corti di koklea (telinga dalam). Yang sering mengalami kerusakan adalah organ Corti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hz sampai dengan 6000 Hz, dan yang
terberat kerusakan organ Corti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000 Hz.7
Banyak hal yang mempermudah seseorang menjadi tuli akibat terpajan bising,
antara lain intensitas bising yang lebih tinggi, lebih lama terpapar bising, serta
mendapat pengobatan yang bersifat ototoksin seperti streptomisin, kanamisin,
garamisin (golongan aminoglikosida), kina, dan lain-lain.4
Tanyakan kepada pasien apa ia memiliki penyakit saat ini, jika tidak
merasa ada berarti ia hanya tahu mengenai masalah keluhan sakitnya, misalnya
merasakan kedua telinganya berdenging setelah habis bekerja, atau adanya
penuruan fungsi pendengaran. Perlu pula menanyakan riwayat sakit terdahulunya
untuk tahu apakah ia ada riwayat keluhan yang sama atau mengakibatkan
penyakitnya yang saat ini.
- Riwayat pekerjaan :
b. Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Umum : keadaan umum, tanda-tanda vital, dan pemeriksaan fisik
menyeluruh
Audiometri dilakukan berkala (tiap tahun atau tiap dua tahun sekali) untuk
memonitor adanya pendengaran yang berkurang di antara pekerja yang bekerja di
tempat tersebut dan untuk mengkaji jumlah pekerja yang telah kehilangan
pendengaran (bila ada) yang terjadi selama ia bekerja sebagai pegawai di tempat
tersebut. Pegawai harus terhindar pajanan bising yang tinggi setidaknya 16 jam
sebelum pemeriksaan audiometri berkala. Audiometer yang dipakai untuk PTA
harus sesuai dengan standar nasional atau internasional. Petunjuk kalibrasi harus
diikuti secara ketat. Bising pada latar belakang harus kecil dan memenuhi standar
yang ditentukan. Tes audiometri dilakukan oleh petugas yang telah terlatih dan
diawasi dokter. 2,9
Guna dari pemeriksaan ke tempat kerja ini untuk menemukan pajanan apa
saj yang bisa dialami oleh pasien. Terdapat beberapa faktor pajanan yang bisa
menyebabkan penyakit akibat kerja, yakni pajanan fisik, kimia, biologis,
ergonomi, dan psikososial. Faktor ini menjadi penyebab pokok dan menentukan
terjadinya penyakit. Pasien di skenario ini bekerja di bagian perakitan mobil yang
bisa menimbulkan kebisingan yang jika diukur hasilnya 100dBA. 2
Pajanan yang dialami pasien adalah bising di lingkungan kerja sebesar 100
dB, dimana NAB adalah 85 dB dalam 8 jam kerja. Pasien sudah bekerja 8 tahun
bekerja di pabrik mobil di bagian perakitan.
3. Hubungan pajanan dengan penyakit
Mekanisme yang mendasari NIHL diduga berupa adanya proses mekanis dan
metabolik pada organ sensorik auditorik bersamaan dengan kerusakan sel sensorik
atau bahkan kerusakan total organ Corti di dalam koklea. Kehilangan sel sensorik
pada daerah yang sesuai oleh karena frekuensi yang terlibat dari pajanan merupakan
penyebab NIHL yang paling penting. Kepekaan terhadap stress pada sel rambut luar
berada dalam kisaran 0-50 dB, sedangkan untuk sel rambut dalam di atas 50 dB.
Biasanya bila ada terjadinya TTS (Temporary Threshold Shift atau tuli sementara)
sebelum NIHL, itu berarti sudah ada kerusakan bermakna pada sel rambut luar
telinganya. Frekuensi yang sangat tinggi lebih dari 8 kHz mempengaruhi dasar
koklea.1,2
- Proses mekanis
Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat menyebabkan robeknya
membran Reissner sehingga cairan endolimfe dan perilimfe bercampur
mengakibatkan kerusakan sel rambut.
Gerakan membran basilar yang kuat dapat menyebabkan gangguan organ
Corti dengan pencampuran endolimfe dan kortilimfe yang mengakibatkan
kerusakan sel rambut.
Aliran cairan yang kuat pada sekat koklea dapat langsung merusak sel rambut
dengan melepaskan organ Corti atau merobek membran basilar.
- Proses metabolik
Proses metabolik yang dapat merusak sel rambut akibat pajanan bising
meliputi : 2,9
Daerah organ Corti sekitar 8-10 mm dari ujung basal (sesuai dengan
daerah 4 kHz pada audiogram) dianggap sebagai daerah yang secara khas rentan
terhadap kebisingan. Walaupun penjelasan mengenai cekungan 4 kHz yang paling
mungkin adalah adanya ciri resonansi saluran telinga, penyebab lain juga telah
dikemukakan.
Hal ini meliputi bahwa daerah 4 kHz mungkin lebih rentan karena
insufisiensi vaskular akibat bentuk anatomisnya yang tidak biasa di daerah ini dan
amplitudo pemindahan di dalam saluran koklea mulai terbentuk di daerah 4 kHz
ini saat kecepatan perambatan gelombang yang berjalan masih cukuip tinggi dan
struktur anatomi koklea menyebabkan pergeseran cairan pada daerah 4 kHz. 2,9
b. Kuantitatif
c. Kualitatif
e. Pemakaian APD
2,8
Jenis-jenis alat pelindung telinga yang digunakan :
5. Faktor individu
a. Status kesehatan pasien :
Perlu diketahui riwayat sakit pasien seperti riwayat infeksi, riwayat dalam
keluarga, kebiasaan olahraga, apakah pernah mengalami trauma kepala atau
sekitar daerah telinga. Perlu ditanyakan juga apakah dulu ada riwayat gangguan
pendengaran juga yang sama seperti saat ini atau dalam keluarga juga ada yang
mengalami hal yang sama.
c. Higiene perorangan :
Ini berguna untuk mengetahui apakah ada riwayat infeksi yang bisa
menjadi faktor penyebab sakit pasien. Misalnya infeksi telinga yang sampai-
sampai menyumbat saluran telinga (otitis media) atau bahkan merusak membran
timpani (penyakit meniere). 1
a. Obat-obat ototoksik
7. Diagnosis okupasi
D. PENATALAKSANAAN
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap
(irreversible), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan
berkomunikasi dengan volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu
dengar (ABD). Apabila pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan
memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat, perlu dilakukan
psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya.
E. PENCEGAHAN
1. Pengukuran pendengaran
Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang
sifatnya menetap, dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan,
maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan
terjadinya ketulian.1
1. Bising dengan frekwensi dan intensitas tertentu dapat menyebabkan ketulian yang
berupa tuli saraf dan sifatnya permanen.
2. Pemeriksaan fisik dan pengujian audiometrik mutlak dibutuhkan untuk setiap pekerja
yang dilakukan sebelum mulai bekerja dan secara berkala selama bekerja dengan
tujuan untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran akibat bising terutama
bising industri.
3. Oleh karena jenis ketulian akibat terpapar bising adalah tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa ataupun pembedahan, maka
yang terpenting dilakukan adalah pencegahan terjadinya ketulian.
Daftar Pustaka
1. J Jeyaratnam, K David. Buku ajar praktik kedokteran kerja. Jakarta : EGC; 2010.
2. Roestam AW. Cermin Dunia Kedokteran No 144 : Gangguan pendengaran akibat
bising. Juli 2004.
3. Sulistomo A. Penyakit akibat kerja dan penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan
(Bab 6). In: Aditama TY, Hastuti T, editors. Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
Jakarta: UI-Press; 2002. p. 64-71.
4. Agrawal SK, Schindler DN, Jackler RK, Robinson S. Occupational hearing loss
(Chap. 58). In: Lalwani AK, editor. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology
Head and Neck Surgery. 2nd ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 732-43.
5. Suma’mur. Aneka pendekatan keselamatan lain (Bab 19). In: Suma’mur. Keselamatan
Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. Jakarta: Haji Masagung; 1999. p. 296-301.
6. Bashiruddin J, Soetirto I. Gangguan pendengaran akibat bising (Bab 2). In: Soepardi
EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. 6th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2007. p.
49-52.
7. Sherwood L. The peripheral nervous system: afferent division; special senses (Chap.
6). In: Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. 5th ed. Belmont:
Thomson Learning; 2004. p. 221.
8. Boyle PJ, Barahona M, Shanahan F. Current occupational and environmental
medicine. Edisi 4. USA : McGraw Hill Company; 2004.
9. Ridley J. Ikhtisar kesehatan dan keselamatan kerja. Edisi 3. Jakarta : Erlangga; 2004.
10. Siegel E. Noise induced hearing loss. June 2009. Diunduh dari :
http://www.osh.dol.govt.nz/publications/booklets/health-tools-09/pg4.shtml; 24 Oktober
2016.
11. Oedono RMT. Penatalaksanaan penyakit akibat lingkungan kerja dibidang THT.
Disampaikan pada PIT Perhati, Batu-Malang, 27-29 Oktober, 1996.