Anda di halaman 1dari 23

Kegawatdaruratan pada Fibrilasi Ventrikel

Brian. E. F. Pattiasina
102015049
brianpattiasina.bp@gmail.com
Fakultas Kedokteran Kristen Krida Wacana
Kampus II Ukrida Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510

Pendahuluan

Henti jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung berhenti bekerja


sehingga mengakibatkan terjadinya kegagalan pompa jantung dan sikulasi darah ke seluruh
tubuh. Henti jantung merupakan suatu kegawatdaruratan yang membutuhkan penanganan
segera agar tidak berlanjut menjadi kematian biologis.1
Henti jantung dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya karena kelainan pada
jantung itu sendiri seperti penyakit jantung koroner, ventrikel fibrilasi, kelainan vascular,
trauma dada dan penyebab lainnya. Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah
henti nafas, umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan
pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai 30 menit.1,2
Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di
rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru
(RJP) atau cardiopulmonary resuscitation untuk dapat memberikan pertolongan hidup
dasar.1
Menurut American Heart Association bahwa rantai kehidupan mempunyai
hubungan erat dengan tindakan resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang
terkena serangan jantung, dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai
kesempatan yang amat besar untuk dapat hidup kembali. 2 Namun pada beberapa keadaan
tindakan resusitasi tidak efektif antara lain pada keadaan henti jantung yang telah
berlangsung lebih dari 5 menit karena telah terjadi kerusakan otak yang permanen.
Oleh karena itu penanganan awal yang cepat dan tepat akan memberikan pertolongan
yang berarti bagi pasien.1

Pembahasan

1
Observasi Sepintas

Saat pasien datang, sebaiknya perlu melakukan pengkajian primer, yaitu :2

1. Airway
 Apakah ada peningkatan sekret ?
 Adakah suara nafas : krekels ?
2. Breathing
 Adakah distress pernafasan ?
 Adakah hipoksemia berat ?
 Adakah retraksi otot interkosta, dispnea, sesak nafas ?
 Apakah ada bunyi whezing ?
3. Circulation
 Bagaimanakan perubahan tingkat kesadaran ?
 Apakah ada takikardi ?
 Apakah ada takipnoe ?
 Apakah keluaran urin menurun ?
 Apakah terjadi penurunan TD ?
 Bagaimana capillary refill ?
 Apakah ada sianosis ?
Penanganan Kegawatdaruratan

Kasus henti jantung (cardiac arrest) dapat terjadi pada siapapun, kapanpun, dan
dimanapun. Dari beberapa laporan, kasus henti jantung masih merupakan penyebab kematian
terbanyak didunia. Berdasarkan hal tersebut, sebaiknya kompetensi pelayan kesehatan
(dokter, paramedis, serta team bantuan medis lainnya) harus lebih ditingkatkan terutama
dalam pertolongan kasus henti jantung.2,3

Berdasarkan American Heart Association (AHA) pada Advanced Cardio-vascular


Life Support (ACLS) 2010 tentang Adult Cardiac Arrest, dikemukakan bahwa kunci bertahan
hidup pada cardiac arrest adalah Basic Live Support (BLS) dan sistem ACLS yang
terintegrasi dengan baik. Dasar berhasilnya ACLS adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang
berkualitas, dan untuk VF/ pulseless VT diperlukan defibrilasi yang cepat dan tepat. 3

1. CPR (Cardiopulmonal Resuscitation) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP)


2
Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru (RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) adalah
suatu tindakan darurat sebagai suatu usaha untuk mengembalikan keadaan henti nafas atau
henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Kematian klinis ditandai dengan hilangnya nadi arteri carotis dan arteri femoralis, terhentinya
denyut jantung dan pembuluh darah atau pernafasan dan terjadinya penurunan atau
kehilangan kesadaran. Kematian biologis dimana kerusakan otak tak dapat diperbaiki lagi,
dapat terjadi dalam 4 menit setelah kematian klinis. Oleh Karena itu, berhasil atau tidaknya
tindakan RJP tergantung cepatnya dilakukan tindakan dan tepatnya teknik yang dilakukan.4
a. Indikasi
1) Henti Nafas
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lainnya
Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa
menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan
teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti
jantung.
2) Henti Jantung
Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah
jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya
secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang tepat
atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung terminal
akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti jantung
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau
takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol
(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti
jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan
pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas
jantung menghilang.

3
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis
femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi terhadap
rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.
Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar
hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi
melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak
menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali
b. Fase RJP
Resusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya:
1) Fase 1
Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur
pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti
jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.
Terdiri dari :
C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.
A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.
B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.
2) Fase 2
Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan
hidup dasar ditambah dengan :
D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.
E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai
PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal
ventricular complexes.
F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.
3) Fase 3
Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support).
G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara
terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.
H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf
dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat
dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.

4
H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan
saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C.
H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah
manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya
berdasarkan perikemanusiaan.
I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi :
trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung,
pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi,
mengendalikan kejang (Alkatiri, 2007)
c. Pembaharuan pada BLS Guidelines 2015
Terdapat beberapa pembaharuan pada BLS 2015, berbanding dengan 2010.
Beberapa perubahan yang telah dilakukan adalah seperti berikut (Hazinski et al,
2015)
1) Mengenali sudden cardiac arrest (SCA) dari menganalisa respon dan
pernafasan.
2) “Look,listen and feel” tidak digunakan dalam algortima BLS
3) Hands-only chest compression CPR digalakkan pada sesiapa yang tidak
terlatih
4) Urutan ABC diubah ke urutan CAB, chest compression sebelum breathing.
5) Health care providers memberi chest compression yang efektif sehingga
terdapat sirkulasi spontan.
6) Lebih terfokus kepada kualiti CPR.
7) Kurangkan penekanan untuk memeriksa nadi untuk health care providers.
8) Algoritma BLS yang lebih mudah diperkenalkan.
9) Rekomendasi untuk mempunyai pasukan yang serentak mengandali chest
compression, airway management,rescue breathing, rhythm detection dan
shock.

Untuk mengenali terjadinya SCA (sudden cardiac arrest) adalah hal


yang tidak mudah. Jika terjadi kekeliruan dan keterlambatan untuk bertindak dan
memulakan CPR, ini akan mengurangi survival rate korban tersebut. Chest
compression merupakan antara tindakan yang sangat penting dalam CPR
karenana perfusi tergantung kepada kompresi. Oleh kerana itu, chest compression

5
merupakan tindakan yang terpenting jika terdapat korban yang mempunyai SCA.
Prinsip utama dalam resusitasi adalah memperkuat rantai kelangsungan hidup
(chain of survival). Keberhasilan resusitasi membutuhkan integrasi koordinasi
rantai kelangsungan hidup. Urutan rantai kelangsungan hidup pada pasien dengan
henti jantung (cardiac arrest) dapat berubah tergantung lokasi kejadian: apakah
cardiac arrest terjadi di dalam lingkungan rumah sakit (HCA) atau di luar
lingkungan rumah sakit (OHCA). Gambar 4 menunjukkan “chain of survival”
pada kondisi HCA maupun OHCA

Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup HCA dam OHCA

2. Terapi Listrik (Defibrilasi)

Defibrilasi adalah pengobatan yang menggunakan aliran listrik dalam waktu yang
singkat secara asinkron.4

Indikasi

 VF

 VT tanpa nadi

 VT polymorphyc yang tidak stabil

6
Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan:

 Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel fibrilasi
(VF).

 Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.

 Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.

 Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu beberapa
menit.

Alat yang dipergunakan

1. Defibrilator
Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat
menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak teratur,
sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung yang
terkoordinir. Energi dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle.
Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu monophasic
dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe defibrilator yang pertama kali
diperkenalkan, defibrilator biphasic adalah defibrilator yang digunakan pada
defibrilator manual yang banyak dipasarkan saat ini. 4

2. Jeli
Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan
aliran listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle. 4

3. Energi
Untuk Ventrikel Fibrilasi (VF) dan Ventrikel Takikardi (VT) tanpa nadi, energi
awal 360 joule dengan menggunakan monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2
menit dengan energi yang sama, jika menggunakan biphasic deflbrilator energi yang
diperlukan berkisar antara 120 - 200 joule. 4

3. AED (Automated External Defibrilator)

AED adalah sebuah defibrilator yang bekerja secara komputer yang dapat: 4

 Menganalisa irama jantung seorang korban yang mengalami henti jantung.


7
 Mengenal irama yang dapat dilakukan tindakan defibrilasi (shock)

 Memberikan petunjuk pada operator ( dengan memperdengarkan suara atau dengan


indikator cahaya)

AED digunakan jika korban mengalami henti jantung:

1. Tidak berespon

2. Tidak bernafas

3. Nadi tidak teraba atau tanda - tanda sirkulasi lain

Elektroda adhesif ditempatkan pada dada korban dan disambungkan ke mesin


AED, paddle elektroda mempunyai 2 fungsi yaitu : 4

 Menangkap sinyal listrik jantung dan mengirimkan sinyal tersebut ke komputer.

 Memberikan shock melalui elektroda jika terdapat indikasi.

8
Gambar 2. Algoritma Resusitasi Jantung Paru Pada Pasien Dewasa

Mekanisme Terjadinya Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Sebelum mengetahui patofisiologi dari henti jantung, diperlukan pemahaman mengenai
ritme normal dari denyut jantung. Syarat dikatakan ritme jantung normal apabila ritme yang

9
dihasilkan regular dengan frekuensi denyutan rata-rata adalah 60 kali permenit/1 denyut
setiap detik. Adapun penampakan dalam rekam jantung yaitu sebagai berikut:

Gambar 3. EKG ritme sinus normal

Terdapat tiga fase perubahan selama terjadi proses henti jantung yaitu:

1. Fase elektrik (0-5 menit) --> fase 5 menit awal saat mulai terjadi impuls elektrik tidak
normal dan menyebabkan aritmia dari kontraksi otot jantung.
2. Fase sirkulasi (5-10 menit) --> fase dimana mulai terlihat akibat dari ketidakcukupan
jantung dalam memenuhi kebutuhan darah seluruh tubuh. Dengan kata lain terjadi
hipoksia jaringan.

3. Fase metabolic (> 10 menit) --> ini merupakan fase yang kurang difahami. Namun
pada fase ini mulai diproduksinya toksin akibat sel-sel yang mengalami hipoksia dan
toksis tersebut beredar mengikuti aliran darah.

Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Beberapa sebab
dapat menyebabkan ritme denyut jantung menjadi tidak normal, dan keadaan ini sering
disebut aritmia. Selama aritmia, jantung dapat berdenyut terlalu cepat atau terlalu lambat atau
berhenti berdenyut. Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest
yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT), Pulseless Electrical
Activity (PEA) dan asistol (American Heart Association (AHA), 2005).

Kematian akibat henti jantung paling banyak disebabkan oleh ventricular fibrilasi dimana
terjadi pola eksitasi quasi periodik pada ventrikel dan menyebabkan jantung kehilangan

10
kemampuan untuk memompa darah secara adekuat. Volume sekuncup jantung (cardiac
output) akan mengalami penurunan sehingga tidak bisa mencukupi kebutuhan sistemik tubuh,
otak dan organ vital lain termasuk miokardium jantung.4,5

Gambar 4. EKG ventricular fibrilasi

Ventrikular takikardia (VT) adalah takidisritmia yang disebabkan oleh kontraksi ventrikel
dimana jantung berdenyut > 120 denyut/menit dengan QRS kompleks yang memanjang. VT
dapat monomorfik (ditemukan QRS kompleks tunggal) atau polimorfik (ritme irregular
dengan QRS yang bervariasi baik amplitudo dan bentuknya).5

11
Gambar 5. EKG ventricular tachycardia

Adapun asistol dapat juga menyebabkan SCA. Asistol adalah keadaan dimana tidak
terdapatnya depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output. Asistol
dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk
mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika sistem elektrik jantung gagal untuk
mendepolarisasi seluruh bagian jantung). Asistol primer dapat disebabkan iskemia atau
degenerasi (sklerosis) dari nodus sinoatrial (Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular
(AV system).6

12
Gambar 6. EKG asystole

Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan SCA adalah Pulseless Electrical Activity
(PEA). Kondisi jantung yang mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut
nadi yang terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat, dimana pada kondisi tersebut
dapat ditemukan kompleks yang meluas atau menyempit, dengan atau tanpa nadi juga
dikatakan sebagai asistol.6

Walaupun patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya.


Namun pada umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari
henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat
tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hipoksia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak,
menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak

13
mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi
kematian dalam 10 menit.5

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan dengan perhatian khusus pada denyut
nadi, tanda-tanda vital (tekan darah, denyut nadi, frekuensi napas, suhu) termasuk
pengukuran postural, adanya murmur jantung, dan setiap tanda neurologis.2
Pada awalnya dilakukan inspeksi pada lokasi umum. Dalam arti kata dilihat seluruh
tubuh pasien dan dinilai. Pada inspeksi dilihat seluruh struktur abdomen, jantung, dan paru.
Setelah itu dilakukan palpasi. Pada kasus ini palpasi dilakukan seiringan dengan kondisi
pasien yaitu pasien datang dengan gangguan jantung. Setelah itu dilakukan perkusi dan
auskultasi sesuai dengan keadaan dan keluhan pasien
Pemeriksaan Penunjang 7

1. Elektrokardiografi (EKG) untuk membantu mengidentifikasi kondisi iskemik atau


proaritmia.7

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang ditandai oleh
kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan dan sulit dikenali.VF
merupakan penyebab utama kematian mendadak.7

14
Gambar 8. Hasil EKG Fibrilasi Ventrikel.7

Kadar elektrolit serum, termasuk kalsium dan magnesium.


Enzim jantung untuk mengidentifikasi cedera miokard
Hitung darah lengkap (CBC) untuk mendeteksi kontribusi anemia
Gas darah arteri (GDA) untuk menilai derajat asidosis atau hipoksemia.
Screening toksikologi dan tingkat sebagai indikasi klinis
Radiografi dada dapat mengidentifikasi aspirasi pneumonia, edema paru, kardiomegali, dan
cedera (misalnya, sekunder resusitasi cardiopulmonary [CPR])
Diagnosis Kerja

Diagnosis kerja untuk kasus ini adalah fibrilasi ventrikel. Fibrilasi ventrikel adalah
keadaan irama jantung yang sangat kacau, yang biasanya berakhir dengan kematian dalam
waktu beberapa menit, kecuali jika tindakan penanganan tepat segera dilakukan. Fibrilasi
ventrikel adalah denyutan ventrikel yang cepat dan tidak efektif. Pada disritmia ini denyut
jantung tidak terdengar dan tidak teraba dan tidak ada respirasi. Ventrikel vibrilasi merupakan
kejadian preterminal. Vibrilasi ini hampir selalu tampak pada jantung yang sekarat. Fibrilasi
ini adalah aritmia yang paling sering ditemukan pada orang dewasa yang mengalami
kematian mendadak.1

Epidemiologi
Jumlah sudden cardiac death adalah sekitar 300.000 kematian per tahun di Amerika
serikat, dimana 75-80% disebabkan oleh fibrilasi ventrikel. Jumlah kematian yang
disebabkan oleh fibrilasi ventrikel lebih banyak dibandingkan yang disebabkan oleh kanker
paru-paru, kanker payudara, ataupun AIDS. Fibrilasi ventrikel umumnya merupakan tanda
dari penyakit jantung koroner (PJK) dan bertanggung jawab dari sekitar 50% kematian akibat
PJK. Frekuensi fibrilasi ventrikel di seluruh dunia kurang lebih sama dengan frekuensinya di
Amerika Serikat.8

Insiden fibrilasi ventrikel pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita (3 : 1).
Rasio ini merupakan refleksi dari tingginya insiden PJK pada pria dari pada pada wanita.
Insiden fibrilasi ventrikel sebanding dengan insiden PJK, dengan puncak terjadi pada usia 45-
75 tahun. 8

Etiologi
Fibrilasi ventrikel dapat terjadi pada kondisi, yaitu iskemia dan infark miokard,

15
manipulasi kateter pada ventrikel, gangguan karena kontak dengan listrik, pemanjangan
interval QT, atau sebagai irama akhir pada pasien dengan kegagalan sirkulasi, atau pada
kejadian takikardi ventrikel yang memburuk. Penyebab yang paling umum dari fibrilasi
ventrikel adalah heart attack, akan tetapi fibrilasi ventrikel dapat terjadi ketika jantung tidak
8
memperoleh oksigen yang cukup, atau orang tersebut memiliki penyakit jantung yang lain.
Fibrilasi ventrikel dapat disebabkan antara lain gangguan jantung struktural (iskemik
atau infark miokard akibat penyakit jantung koroner, dan kardiomiopati), gangguan jantung
nonstruktural (mekanik (commotio cordis), luka atau sengatan listrik, pre-eksitasi (termasuk
Wolf-Parkinson-White syndrome), heart block, QT syndrome, brugada syndrome),
noncardiac respiratory (bronchospasm, aspirasi, hipertensi pulmonal primer, emboli
pulmonal, tension pneumotoraks, metabolik atau toksik), gangguan elektrolit dan asidosis
(obat-obatan, keracunan, sepsis), dan neurologik (kejang, perdarahan intrakranial atau stroke
iskemik, dan tenggelam). 8

Patofisiologi
Aktivitas listrik pada fibrilasi ventrikel ditandai oleh depolarisasi sel yang tidak
beraturan melalui otot jantung ventrikel. Berkurangnya depolarisasi yang terkoordinasi
mencegah terjadinya kontraksi yang efektif dari otot jantung dan pengeluaran darah dari
jantung. Pada pemeriksaan EKG tidak ditemukan kompleks QRS walaupun jarak amplitudo
yang melebar pada aktivitas listrik ditemukan, dari gelombang sinus di ventrikel
8
menyebabkan terjadinya fibrilasi ventrikel yang mungin sulit dibedakan dengan asistol.
Aritmia ini dipertahankan oleh adanya jalur masuk yang berulang-ulang karena
bagian dari otot jantung mengalami depolarisasi secara konstan. Fibrilasi ventrikel dimulai
ketika daerah pada miokard memiliki bagian refraksi dan bagian konduksi pada jalur masuk.
Adanya kombinasi ini menghasilkan irama sendiri. 8

Fibrilasi ventrikel terjadi pada situasi klinis yang bervariasi, namun lebih sering
dihubungkan dengan penyakit jantung koroner (PJK) dan sebagai kondisi terminal. Fibrilasi
ventrikel dapat disebabkan oleh infark miokard akut atau iskemik, atau dapat pula disebabkan
oleh skar infark yang kronik. Akumulasi kalsium intraseluler, aktivitas radikal bebas,
gangguan metabolik, dan modulasi autonom memiliki pengaruh yang besar pada
perkembangan fibrilasi ventrikel pada iskemik. 8

16
Tata laksana

Algoritma untuk fibrilasi ventrikel dari American Heart Association5

1. Aktifkan emergency response system (kode biru)


2. Mulai lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan berikan oksigen apabila tersedia
3. Pastikan pasien benar-benar mengalami fibrilasi ventrikel sesegera mungkin (bisa
dengan menggunakan Automated external defibrillator)
4. Lakukan defibrilasi sekali
a. Dewasa: 200 J untuk gelombang bifasik dan 360 J untuk gelombang
monofasik
b. Anak: 2 J/kgBB
5. Lanjutkan lagi RJP segera tanpa memeriksa nadi, lakukan selama 5 siklus
a. Satu siklus RJP adalah 30 kompresi dan 2 pernapasan
b. Lima siklus RJP setidaknya hanya memakan waktu 2 menit (dengan kompresi
100 kali per menit)
c. Jangan memeriksa ritme/nadi dulu sebelum 5 siklus RJP terselesaikan
6. Saat melakukan RJP, minimalisasi interupsi saat melakukan hal-hal di bawah ini:
a. Mencari akses intravena
b. Melakukan intubasi endotrakeal
c. Setelah diintubasi, lanjutkan RJP dengan 100 kompresi per menit tanpa henti
serta lakukan respirasi buatan sebanyak 8-10 kali napas per menit.
7. Periksa ritme setelah 2 menit RJP
8. Ulangi lagi defibrilasi satu kali apabila masih terdapat ventrikel fibrilasi atau belum
dirasakan denyut nadi. Gunakan tegangan yang sama seperti pada defibrilasi pertama
pada dewasa. Sedangkan pada anak gunakan tegangan sebesar 4 J/kgBB.
9. Segera lanjutkan kembali dengan RJP selama 2 menit, setelah defibrilasi
10. Terus ulangi siklus berikut ini:
a. Pemeriksaan ritme
b. Defibrilasi
c. RJP 2 menit
11. Vasopressor
a. Beri vasopressor saat RJP sebelum atau sesudah syok, setelah akses intravena
atau intraosseous didapatkan,
b. Berikan epinefrin 1 mg setiap 3-5 menit
c. Pertimbangkan juga pemberian vasopressin 40 unit sebagai pengganti dosis
epinefrin pertama atau kedua.
12. Antidisritmia
a. Berikan obat antidisritmia saat RJP, sebelum atau sesudah syok
b. Berikan amiodarone 300 mg IV/IO satu kali, lalu pertimbangkan lagi
pemberian tambahan 150 mg satu kali
c. Sebagai pengganti atau tambahan untuk amiodarone, dapat diberikan lidokain
1-1.5 mg/kgBB dosis pertama, dan dosis tambahan 0.5 mg/kgBB. Dosis
maksimum yang dapat diberikan adalah 3 mg/kgBB
17
13. Lidokain dan epinefrin dapat diberikan lewat endotrakeal tube apabila akses IV/IO
gagal. Gunakan dosis 2.5 kali dari dosis IV.4,5

18
Gambar 9. Penanganan Fibrilasi Ventrikel menurut ACLS.3

19
Ventricular Fibrillation/Pulseless Ventricular Tachycardia

Ketika monitor menampilkan irama VF/Pulseless VT maka sebaiknya langsung


charge defibrillator, kemudian amankan sekitar supaya tidak terkena shock dengan
mengucapkan “clear”, segera berikan sebuah shock, semua ini dilakukan secepat mungkin.
RJP kemudian kembali dilanjutkan selama 2 menit setelah dilakukan shock, sebelum
memeriksaan irama jantung dan nadi berikutnya.10

Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan RJP
ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP dihentikan dan shock
kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung dilanjutkan kembali selama 2 menit, dan nilai
irama dan nadi kembali. Penolong yang memberikan kompresi jantung luar sebaiknya
digantikan setiap 2 menit untuk mengurangi kelelahan. Kualitas RJP sebaiknya dimonitor
berdasarkan parameter mekanis dan fisiologi.10

Medikamentosa pada VF/VT mengunakan amiodarone. Amiodarone merupakan agen


antiaritmia lapis pertama (first-line antiarrhythmic) pada cardiac arrest, karena secara kinis
telah terbukti meningkatkan tercapainya Return of Spontaneous Circulation (ROSC) pasien
VF dan Pulseless VT. Amiodarone harus dipertimbangkan ketika VF/VT yang tidak
memberikan respon pada RJP, defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika tidak terdapat
amiodarone, lidocaine dapat dipertimbangkan sebagai pengganti, tetapi dari beberapa study
klinis, efek lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat
hanya dapat diberikan pada Torsades de pointes dengan interval QT yang memanjang.10

Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab reversibel dan
dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada irama sinus. Pada VF/VT
refrakter, ACS atau infark miokardium harus dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi
seperti coronary angiography dan PCI selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass
dapat dilakukan pada kasus ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-
cardiac arrest dapat segera dimulai.10

Pulseless Electrical Activity (PEA)/Asistole

20
Ketika monitor menunjukkan nonshockable rhythm, RJP harus segera dilakukan,
dimulai dengan kompresi jantung, dilakukan selama 2 menit sebelum kembali menilai irama
jantung. Jika setelah penilaian irama jantung didapatkan an organized rhythm, penilaian nadi
harus dilakukan. Jika nadi teraba, perawatan post-cardiac arrest harus segera dilakukan. Jika
irama tetap asistole atau nadi tidak teraba (PEA), RJP harus kembali dilajutkan, kompresi
jantung selama 2 menit, dan setelah itu nilai kembali irama jantung.10

Vasopressor dapat diberikan secepat mungkin dengan maksud untuk meningkatkan


aliran darah miokardium dan cerebral (myocardial and cerebral blood flow) selama RJP dan
pencapaian ROSC. Berdasarkan evidence yang ada, atropine selama PEA atau asistole, tidak
memberikan efek terapeutik untuk ROSC. Karena alasan inilah, atropine tidak dipakai lagi
pada algoritma cardiac arrest.10

PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat di koreksi jika dapat
teridentifikasi penyebabnya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari RJP sebaiknya
penolong melakukan penilain terhadap 5H dan 5T untuk menyelidiki kemungkinan
penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat dipasang segera advanced airway untuk mencapai
oksigensi atau ventilasi yang adekuat. PEA yang disebabkan oleh severe volume loss atau
sepsis dapat dikoreksi dengan kristaloid IV. PEA oleh kehilangan banyak darah, dapat
dilakukan transfusi darah. Jika emboli paru dicurigai sebagai penyebab cardiac arrest, terapi
fibrinolitik emperis dapat dilakukan. PEA oleh tension pneumothorax, needle decompression
dapat dilakukan untuk terapi awal.10

Jika mungkin dapat dilakukan echocardiografi untuk mengetahui intravascular


volume status, cardiac temponade, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas ventrikel
kiri, dan pergerakan regional wall. Asistole biasanya merupakan end-stage rhythm yang
terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang buruk. Pada pasien yang telah
menunjukkan ROSC, perawatan post-cardiac arrest dapat segera dimulai.10

Prognosis

Cardiac arrest dengan penatalaksanaan awal yang baik, dilakukan oleh penolong
berpengalaman dan terampil, angka survival dapat meningkat dari 7,5% menjadi 22,4%. Pada
cardiac arrest arrhythmia, insiden berulangnya mencapai 36,0%, dengan angka survival yang
tentunya akan menurun jika dibandingkan dengan serangan pertama (23,1%).9

21
Kesimpulan

Fibrilasi ventrikel adalah aritmia yang paling sering ditemukan dan sering mengalami
kematian mendadak. Gejala yang sering dialami yaitu denyut nadi cepat, bisa lemah, atau
tidak teraba. Oleh karena itu diperlukan penangan khusus untuk mengatasi keadaan darurat
tersebut. Fibrilasi ventrikel memerlukan alat defibrilator supaya bisa pulih dengan cepat.
Selain itu CPR atau RJP, serta obat-obatan juga diperlukan.

22
Daftar Pustaka

1. Corwin J. Buku saku patofisiolgi. Ed 3. Jakarta: EGC; 2009. Hal 447-54.


2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga Medical
Series; 2005.h.29.
3. ACLS Algorithms 2010. VF/Pulseless VT. Diunduh dari https://acls-
algorithms.com/vfpulseless-vt , 20 November 2014.
4. Boswick JA. Perawatan gawat darurat. Jakarta: EGC; 2006.h.65-70.
5. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5.
Jakarta: EGC; 2008. h.3.
6. Hudak CM, Gallo BM. Keperawatan kritis : pendekatan holistik. Jakarta : EGC.2004.
h. 40.
7. Goyal SK. Ventricular Fibrillation .Update : 29 April 2014. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/, 20 November 2014.
8. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:
Erlangga Mecical Series; 2009.h. 421-3.
9. Bakta IM, Suastika IK. Gawat darurat di bidang penyakit dalam. Jakarta : EGC;
2003.h. 8-20.
10. Neumar RW, Otto CW, Link MS et al. Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life
Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation: Journal of the
American Heart Association. 2010; 122: S729-67.

23

Anda mungkin juga menyukai