Anda di halaman 1dari 4

RESUME MENGENAI RESILIENCE CULTURE PROVINCE DI JAWA BARAT DAN INOVASI

PENGURANGAN RISIKO BENCANA


SISTEM PENGAMATAN RISIKO BENCANA (GD 5209)

Aulia Try Atmojo


251 18 011
Faculty of Earth Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
auliatryatmojo@gmail.com

Pada tulisan saya ini, saya akan menjelaskan secara garis besar mengenai apa saja yang disampaikan
saat acara tanggal 19 Maret 2019. Acara yang diinisiasi oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Jawa Barat bermaksud untuk menyusun dokumen Blue Print atau cetak biru
mengenai West Java Resilience Culture Province. Cetak biru ini dikemas bersama Pemerintah
Provinsi beserta seluruh stake holder penanggulangan bencana yang ada. Menurutnya ada lima
komponen yang pihaknya kenal dengan Penta Helix yaitu Pemerintah, Dunia Usaha, Masyarakat,
Media Massa dan Perguruan Tinggi. Tujuannya adalah bagaimana selama kegiatan-kegiatan yang
sifatnya penanggulangan bencana lebih terarah, lebih terarah, lebih terstrkutur terkoordinasi dan
menjadi sebuah Roadmap bagaimana membentuk Jawa Barat yang masyarakatnya dapat
mempunyai budaya tangguh terhadap bencana (Resilience Culture). Resilience itu sendiri lebih ke
arah bagaimana tidak hanya sekadar tangguh, tahan tapi mempunyai kemampuan adaptif,
mempunyai kemampuan respon yang cepat. Kemudian pada saat terjadi bencana mereka
mempunyai ketahanan ketangguhan, setelah pasca bencana cepat pulih kembali ke keadaan normal.

FGD yang keempat ini menitik beratkan pada “Program Prioritas, Inovasi dan Indikator Capaian”.
Kegiatan terkait program priortas, inovasi dan indikator capaian harus sejalan dengan Indikator
Kinerja Utama (IKU) Gubernur Jawa Barat saat ini yang menetapkan 7 prioritas Ketahanan Daerah
Jawa Barat antara lain :
1) Pembuatan Kebijakan dan Kelembagaan,
2) Pengkajian Risiko dan Perencanaan Terpadu,
3) Pengembangan Sistem Informasi Diklat dan Logistik,
4) Penanganan Kawasan Tematik Rawan Bencana,
5) Peningkatan Efektivitas Pencegahan dan Mitigasi Bencana,
6) Penguatan Kesiapsiagaan dan Penanganan Darurat Bencana,
7) Pengembangan Sistem Pemulihan Bencana.
Ketahanan Daerah berhubungan erat dengan “Resiliensi” yang dibangun melalui 5 inti dasar dalam
Dokumen Cetak Biru Jabar Resilience Culture yaitu Resilience Indeks, Resilience Citizen, Resilience
Center, Resilience Knowledge dan Local Wisdom dan Resilience Financing.

Materi yang disampaikan kemarin berhubungan dengan resilience atau ketangguhan. Topik pertama
tentang Indeks Ketahanan Bencana Akibat Perubahan Iklim atau CDRI (Climate-related Disaster
Resiliance Initiative) di Kota Bandung sedangkan topik kedua mengenai Inovasi pengurangan risiko
bencana. Pada topik pertama membahas sejauh mana ketahanan bencana khususnya wilayah kecamatan-
kecamatan di Kota Bandung. Akibat perubahan iklim yang terjadi dewasa ini menyebabkan terjadinya
bencana khususnya bencana Hidro-Meteorologis antara lain :
 Banjir
 Longsor
 Kekeringan
Banjir merupakan bencana yang sering terjadi di Kota Bandung, oleh sebab itu highlight penelitian pada
topik pertama mengenai seberapa tangguh kecamatan-kecamatan di Kota Bandung khususnya dalam
menghadapi bencana banjir.

Metode yang dilakukan adalah dengan survey ke tiap wilayah kecamatan, di mana di setiap kecamatan
dikirimkan perwakilan warga dan staff/kepala camat untuk mengisi kuisioner. Isi kuisioner nya itu
berupa aspek-aspek untuk mengetahui indeks ketahanan bencana akibat perubahan iklim, antara lain :
1) Aspek Fisik
2) Aspek Sosial
3) Aspek Ekonomi
4) Aspek Kelembagaan
5) Aspek Alam/Lingkungan
Setiap aspek/variabel memiliki 5 paramater, jadi total ada 25 parameter. Di satu parameter ada 5
aksi/pengukuran, jadi total ada 125 aksi/pengukuran. Analisis pembobotan yang digunakan adalah
Weighted mean (rata-rata pembobotan). Beda metode pembobotan beda juga hasil yang didapatkan.
Alasan kenapa digunakan metode tersebut adalah karena paling mudah, sehingga pihak terkait seperti
kecamatan dapat melakukannya.
Hasil dari CDRI (Climate-related Disaster Resiliance Initiative) berupa nilai 1-5 dengan 1 itu terburuk
dan 5 itu terbaik. Hasilnya ada yang di plot peta dan berbentuk grafik. Setiap kecamatan memiliki indeks
yang berbeda pada setiap aspek. Ada kecamatan yang nilai aspek fisik dan sosial nya lebih bagus dari
kecamatan lain, tetapi aspek yang lainnya tidak lebih bagus. Sebetulnya nilai indeks ketahanan ini tidak
boleh hanya di atas kertas saja, harus ada aksi yang dilakukan. Karena banyak kejadian di lapangan nilai
indeks ketahanan di wilayah tersebut baik, tetapi ketika terjadi bencana (banjir) parameter-parameter
pada setiap aspek tidak dilakukan dengan baik. Jadi untuk mengurangi risiko bencana harus
meningkatkan ketahanan terhadap bencana, bukan hanya komunikasi tetapi juga aksi.

Topik kedua mengenai inovasi pengurangan risiko bencana, di mana pengurangan risiko bencana harus
berinovasi yaitu mengikuti perkembangan zaman. Pengurangan risiko bencana di Indonesia sedang
menuju ke arah 4.0. Untuk mencapai hal tersebut dibutuhkan teknologi yang mumpuni dengan biaya
yang tidak sedikit. Contoh kasus terkait hal tersebut yaitu ketika terjadi gempa dengan kekuatan sekian
magnitude yang akan menyebabkan tsunami sekian meter, dimana waktu terjadinya tsunami setelah
gempa adalah sekian menit. Pada saat gempa terjadi otomatis jaringan listrik, telekomunikasi terputus
sehingga kita tidak dapat mengetahui informasi apapun. Untuk mengantisipasi hal tersebut adalah
dengan membuat alat seperti wifi yang dapat menerima sinyal dari satelit. Dari alat tersebut kita dapat
mengetahui apakah gempa tersebut menimbulkan tsunami atau tidak sehingga kita bisa mengevakuasi
dirike tempat aman sekaligus dapat mengabarkan pada pihak terkait keberadaan terakhir kita berada
dimana. Negara lain seperti Jepang malah sudah berinovasi ke arah 5.0, di mana 5.0 itu mengintegrasikan
Inovasi sosial dan Inovasi Teknologi. Kekurangan inovasi pengurangan risiko bencana 4.0 di Indonesia
yang menjadi hal paling penting adalah Pusdalop pusat dari informasi (Input dan Output) yang berada
di Command Center belum ada integrasi untuk bencana (BPBD belum dilibatkan).

Lepas dari permasalahan teknologi sebetulnya di Indonesia pendidikan kebencanaan dan implementasi
di lapangan masih sangat kurang, dan butuh kerjasa sama dari semua pihak yang berwenang. Contoh
kasus di Palu tahun 2018 ketika terjadi gempa, tsunami dan likuifaksi. Pada saat setelah gempa dan akan
terjadi tsunami masyarakat di tepi pantai malah tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
sehingga banyak warga yang terekam video amatir hanyut begitu saja oleh tsunami. Hal yang lebih miris
lagi adalah ketika sebelum gempa dan tsunami diadakan pelatihan kebencanaan untuk anak-anak dan
dari 40 anak hanya 4 yang selamat. Kenapa hal tersebut bisa terjadi ? Sebetulnya proses evakuasi yang
dijalankan oleh anak-anak tersebut sudah betul dengan mencari tempat yang tinggi, dipilihlah satu
jembatan. Tetapi jembatan tersebut tidak kuat menahan goncangan dengan kekuatan tersebut dan
kemudian runtuh. Sehingga anak-anak tersebut tidak terselamatkan. Sedangkan ada warga yang memilih
menyelamatkan diri ke suatu mall di Palu dan semuanya selamat. Karena konstruksi mall tersebut kuat
untuk menahan goncangan gempa dan tsunami.

Kejadian yang lain yaitu di salah satu daerah di Aceh pada tsunami 2004. Di suatu daerah tersebut anak-
anak kecil sudah diberi pehamahan mengenai tsunami (bahasa tradisionalnya smong) yang turun
temurun diberikan dan menjadi budaya. Biasanya diceritakan pada saat pengajian maghrib maupun
sebelum tidur. Ketika mereka melihat gejala-gejala yang tidak biasa setelah gempa besar mereka
menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi sehingga banyak nyawa terselamatkan (ribuan jiwa dan
yang meninggal hanya kurang dari 10 orang). Bandingkan dengan daerah lainnya yang letaknya tidak
jauh dari pusat kota, tetapi karena kurangnya pemahaman mengenai bencana (gempa dan tsunami)
banyak nyawa yang menjadi korban (ratusan ribu jiwa). Itulah pentingnya pendidikan kebencanaan dan
implementasi nya di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai