Anda di halaman 1dari 21

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS UNSUR-UNSUR OBJEK PAJAK

WITHHOLDING TAX (SELAIN PPH PASAL 21)

I. PENDAHULUAN
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang terutang atas penghasilan, antara
lain penghasilan dari gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan berupa hadiah, dan
penghasilan berupa bunga. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang diterimanya
dalam 1 (satu) tahun pajak. PPh yang terutang dalam 1 (satu) tahun pajak harus dilunasi
pembayarannya oleh Wajib Pajak dan Undang-Undang Pajak Penghasilan telah mengatur
cara pelunasan PPh yang terutang oleh Wajib Pajak, yaitu dengan cara membayar sendiri
dan melalui pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak lain. Apapun cara
pelunasannya, baik membayar sendiri maupun melalui pemotongan/pemungutan oleh pihak
lain, Wajib Pajak diharapkan dapat memahami dengan tepat cara menghitung PPh yang
terutang, bagaimana pembayarannya, dan mekanisme pelaporan PPh yang telah dibayar
tersebut sebagai salah satu cara perencanaan pajak.

II. PEMBAHASAN
2.1 Identifikasi Objek-Objek Withholding Tax
PPh yang dipotong dan/atau dipungut melalui pihak lain lebih dikenal dengan istilah
PPh Potput. Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang PPh, PPh Potput terdiri atas PPh
Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26.
Objek PPh Potput terdiri atas berbagai macam penghasilan, antara lain penghasilan dari
pekerjaan, pemberian jasa, sewa bangunan, dan dividen.
a. PPh Pasal 4 ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) merupakan salah satu cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan
melalui pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran sendiri pajak yang bersifat final atas
penghasilan tertentu yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Objek PPh Pasal 4 ayat (2)
yang telah diatur antara lain adalah:

Manajemen Perpajakan 1
1) Bunga deposito dan tabungan lainnya
Objek PPh yang bersifat final adalah bunga deposito, bunga tabungan lainnya, dan
diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besarnya PPh yang bersifat final yang
dipotong adalah 20% dari jumlah bruto, sebagaimana ditunjukkan dalam bagan di
bawah ini:

Pengecualian diberikan apabila jumlahnya tidak melebihi Rp 7.500.000,00 dan


bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecahkan.

2) Bunga obligasi dan surat utang Negara


Objek PPh yang bersifat final adalah Bunga Obligasi, berupa imbalan yang diterima
pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto. Obligasi adalah surat
utang dan surat utang negara, yang berjangka waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Diskonto negatif atau rugi pada saat penjualan Obligasi dapat diperhitungkan
dengan penghasilan bunga berjalan.
Tidak dilakukan pemotongan PPh bersifat final atas bunga obligasi yang diterima
oleh:

 Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, dan
 Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia.

Skema tarif pemotongan PPh yang bersifat final dan dasar pengenaan pajak atas
penghasilan berupa Bunga Obligasi adalah sebagai berikut:

Manajemen Perpajakan 2
3) Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi kepada anggota koperasi orang
pribadi
Objek PPh yang bersifat final adalah bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi.
Besarnya tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah:
 0%: untuk bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000,00 per bulan
 10%: untuk bunga simpanan lebih dari Rp 240.000,00 per bulan

Manajemen Perpajakan 3
4) Hadiah undian
Objek PPh yang bersifat final adalah hadiah undian, dengan nama dan dalam bentuk
apa pun. Tarif pemotongan PPh yang bersifat final adalah 25% dari jumlah bruto
hadiah undian dan dipotong oleh penyelenggara undian.

5) Transaksi saham
Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari penjualan saham di bursa,
skema tarifnya adalah sebagai berikut:

6) Pengalihan hak atas tanah


Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari pengalihan hak atas tanah
dan/atau bangunan meliputi penjualan, tukarmenukar, perjanjian pemindahan hak,
pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati.

Manajemen Perpajakan 4
7) Jasa konstruksi
Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari usaha jasa konstruksi.
 Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan
perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup
pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-
masing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk
fisik lain.
 Perencanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi
yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan
bangunan fisik lain.
 Pelaksanaan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pelaksanaan jasa konstruksi
yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil
perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di
dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan
dalam model penggabungan perencanaan, pengadaan, dan pembangunan
(engineering, procurement and construction) serta model penggabungan
perencanaan dan pembangunan (design and build).
 Pengawasan Konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau badan
yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi,
yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan
pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.

Skema tarif dan dasar pengenaan PPh yang bersifat final untuk Jasa Konstruksi
adalah sebagai berikut:

Manajemen Perpajakan 5
8) Persewaan tanah dan/atau bangunan
Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari sewa tanah dan/atau
bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung
perkantoran, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan industri. Tarif PPh yang
bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto nilai persewaan, baik yang menyewakan
Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan.

9) Dividen yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri
Objek PPh yang bersifat final adalah dividen, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. Tarif
PPh yang bersifat final adalah 10% dari jumlah bruto dividen yang diterima.

Manajemen Perpajakan 6
10) Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang
memilki peredaran bruto tertentu
Objek PPh yang bersifat final adalah penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, tidak termasuk
penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas. Subjek PPh yang bersifat
final adalah Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto
tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1
(satu) Tahun Pajak.
Penentuan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) adalah berdasarkan peredaran bruto dari usaha
seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
 jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
 penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
 usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri;
dan
 penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

Tidak termasuk:
 Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan
dan/atau jasa yang dalam usahanya: menggunakan sarana atau prasarana yang
dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang
tidak diperuntukan bagi tempat usaha atau berjualan
 Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau Wajib Pajak
badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah).

Manajemen Perpajakan 7
Tarif PPh yang bersifat final atas penghasilan Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu adalah 1% (satu persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak
berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.

Contoh Kasus: Dividen yang Dibagikan oleh Perusahaan yang Go Public kepadaWajib
Pajak Orang Pribadi

PT Tiara Indonesia Tbk. adalah perusahaan go public. Pada tanggal 10 Agustus


2013 mengadakan RUPS yang memutuskan diantaranyabahwa perusahaan membagikan
dividen bagi pemegang saham.Tanggal penentuan kepemilikan pemegang saham yang
berhakatas dividen (recording date) adalah pada tanggal 26 Agustus2013, dan tanggal
pembayaran adalah tanggal 16 September2013. Pemegang saham yang berhak atas
dividen tersebut salahsatunya adalah Agus Budiyanto, yang memperoleh dividen
sebesarRp50.000.000,00.Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh
ataspembayaran dividen tersebut?

Jawab:
Atas penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperolehWajib Pajak orang
pribadi dalam negeri dipotong PPh Pasal 4 ayat(2) oleh PT Tiara Indonesia Tbk sebagai
pihak yang membayarkansebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto dan bersifat
final.
PPh Pasal 4 ayat (2) yang wajib dipotong adalah:10% x Rp50.000.000,00 =
Rp5.000.000,00.

Kewajiban PT Tiara Indonesia Tbk. sebagai pemotong PPh Pasal 4ayat (2) adalah:
a) melakukan pemotongan PPh pasal 4 ayat (2) sebesar Rp5.000.000,00 pada tanggal
26 Agustus 2013 (saat recording date) dan memberikan bukti pemotongan PPh
Pasal 4 ayat (2) kepada Agus Budiyanto;
b) melakukan penyetoran PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut paling lambat tanggal 10
September 2013;
c) melaporkan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4
ayat (2) Masa Pajak Agustus 2013 paling lambat tanggal 20 September 2013.

Manajemen Perpajakan 8
Contoh Kasus: Penyetoran Kekurangan Pembayaran PPh yang Bersifat Final atas
Usaha Jasa Konstruksi

PT Tanjungsari Konstruksi sebagai Konsultan Pengawas pekerjaanpembangunan


unit kesehatan ibu dan anak Rumah Sakit SitiKhodijah yang dimiliki oleh CV Lukulo,
dengan nilai kontrakRp500.000.000,00.
PT Tanjungsari Konstruksi merupakan perusahaan yangmempunyai Sertifikat
Badan Usaha Jasa Pengawasan Konstruksiyang diterbitkan oleh Lembaga
Pengembangan Jasa Konstruksi(LPJK) sebagai Badan Usaha Jasa Pengawasan
Konstruksi Layanan Jasa Inspeksi Teknis Sub-layanan Jasa Enjiniring Fase
Konstruksidan Instalasi Bangunan dengan kualifikasi besar gred 4.
Atas pembayaran nilai kontrak sebesar Rp500.000.000,00 yangdilakukan pada
tanggal 16 September 2013, CV Lukulo hanyamemotong PPh yang bersifat final atas
penghasilan dari usahajasa konstruksi sebesar Rp19.000.000,00 yang seharusnya
sebesarRp20.000.000,00.
Atas kekurangan pemotongan PPh yang bersifat final ataspenghasilan dari usaha
jasa konstruksi sebesar Rp1.000.000,00siapakah yang wajib melunasinya?

Jawab:
Penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang diterima dari penggunajasa sebagai
pemotong pajak dipotong PPh yang bersifat final olehpengguna jasa dengan tarif sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.Dalam hal terdapat selisih kekurangan PPh atas
penghasilanyang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi denganPPh yang
telah dipotong berdasarkan pembayaran yang telahdipotong, selisih kekurangan tersebut
disetor sendiri oleh PenyediaJasa. Dengan demikian kekurangan PPh yang bersifat final
ataspenghasilan dari jasa kontruksi sebesar Rp1.000.000,00 harusdilunasi oleh PT
Tanjungsari Konstruksi.
Tarif PPh atas penghasilan dari jasa pengawasan konstruksi (memiliki kualifikasi
usaha) adalah sebesar 4%. Sehingga PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa
konstruksi (4% x Rp500.000.000,00) = Rp20.000.000,00

Manajemen Perpajakan 9
PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa konstruksi yan dipotong
=Rp19.000.000,00.

Kekurangan PPh atas penghasilan dari jasa konstruksi = Rp 20 juta – 19 juta = Rp 1 juta

Kewajiban PT Tanjungsari Konstruksi sebagai penyedia jasakonstruksi adalah:


a) melakukan penyetoran kekurangan PPh yang bersifat final atas penghasilan dari jasa
konstruksi sebesar Rp1.000.000,00 dengan SSP atas nama PT Tanjungsari
Konstruksi paling lambat tanggal 16 Oktober 2013;
b) melaporkan penyetoran PPh yang bersifat final atas penghasilan dari usaha jasa
konstruksi tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) Masa Pajak September
2013 paling lambat tanggal 21 Oktober 2013.

b. PPh Pasal 15
PPh Pasal 15 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahunberjalan melalui
pemotongan dan/atau penyetoran sendiri PPh ataspenghasilan Wajib Pajak yang antara lain
bergerak dalam usaha jasapelayaran dan usaha jasa penerbangan.
1) Jasa pelayaran dalam negeri
Objek PPh adalah penghasilan yang diterima Wajib Pajak perusahaan pelayaran
dalam negeri dari pengangkutan orang dan/atau barang, termasuk penyewaan kapal,
dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di
Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan sebaliknya serta pelabuhan di luar Indonesia
ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebesar 1,2% dari peredaran bruto dan bersifat
final.

2) Jasa penerbangan dalam negeri


Objek PPh adalah penghasilan yang diterima berdasarkan perjanjian carter dari
pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lain di Indonesia dan/ atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.

Manajemen Perpajakan 10
Besarnya PPh yang dipotong adalah sebesar 1,8% dari peredaran bruto atas dan
tidak bersifat final.

3) Jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri


Objek PPh adalah penghasilan dari pengangkutan orang dan/atau barang yang
diterima oleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri
yang melakukan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang berkedudukan di
Indonesia.
Besarnya PPh yang terutang adalah sebesar 2,64% dari peredaran bruto dan bersifat
final.

Contoh Kasus: Carter Pesawat oleh Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri

PT Bumi Nusantara menyewa pesawat dari PT Vidi Airlines yangmerupakan


perusahaan penerbangan dalam negeri, yang akandigunakan dalam penerbangan
Jakarta-Papua. Dalam perjanjiansewa/carter tersebut, telah disepakati harga dan cara
pembayaran.Pada tanggal 5 Maret 2013 PT Bumi Nusantara telah membayarbiaya
carter sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Bagaimana kewajiban
pemotongan atau pemungutan PPh atastransaksi tersebut?

Jawab:
Atas penghasilan yang diperoleh PT Vidi Airlines yaitu carterpesawat yang akan
digunakan untuk penerbangan Jakarta-Papuamerupakan penghasilan berdasarkan
perjanjian carter terutangPPh sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) dari peredaran
brutodan dipotong oleh PT Bumi Nusantara.Perhitungan PPh-nya menjadi sebagai
berikut:1,8% x Rp500.000.000,00 = Rp9.000.000,00.

Manajemen Perpajakan 11
PPh yang dipotong oleh PT Bumi Nusantara merupakan kreditpajak bagi PT Vidi
Airlines yang dapat dikreditkan terhadap PPhyang terhutang dalam SPT Tahunan PPh
untuk tahun pajak yangbersangkutan.

Kewajiban PT Bumi Nusantara sebagai pemotong PPh Pasal 15 atassewa pesawat


tersebut adalah:
a) melakukan pemotongan PPh Pasal 15 atas pembayaran jasa penyewaan pesawat
sebesar Rp9.000.000,00 dan memberikan bukti pemotongan kepada PT Vidi
Airlines;
b) menyetorkan PPh Pasal 15 yang telah dipotong ke Kas Negara melalui Kantor Pos
atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan paling lama tanggal 10 April 2013.
c) menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 15 Masa Pajak Maret 2013 paling lama
tanggal 22 April 2013.

c. PPh Pasal 22
PPh Pasal 22 merupakan cara pelunasan pembayaran pajak dalam tahun berjalan oleh
Wajib Pajak atas penghasilan antara lain sehubungan dengan impor barang/jasa,
pembelian barang dengan menggunakan dana APBN/APBD dan non APBN/APBD,
dan penjualan barang sangat mewah.
Berikut tabel daftar pemungut dan objek PPh Pasal 22:

Manajemen Perpajakan 12
Manajemen Perpajakan 13
Contoh Kasus:Impor

PT Aviasi Tetuko yang merupakan Perusahaan Angkutan UdaraNiaga Nasional


pada bulan Juni 2013 melakukan impor peralatansimulasi penerbangan pesawat
terbarunya untuk keperluan parapilotnya. Nilai impor (termasuk Bea Masuk dan
pungutan pabeanlainnya) peralatan simulasi tersebut sebesar Rp1.200.000.000,00.
PTAviasi Tetuko telah memiliki Angka Pengenal Impor (API).Bagaimana kewajiban
pemotongan atau pemungutan PPh terkaittransaksi tersebut?

Jawab:
Setiap impor dikenai pemungutan PPh Pasal 22, namun terdapat19 kelompok
barang yang atas impornya dikecualikan daripemungutan PPh Pasal 22 karena
dibebaskan atas pengenaanBea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai.

Manajemen Perpajakan 14
Pengecualianpemungutan PPh Pasal 22 untuk 19 kelompok barang tersebuttidak
memerlukan Surat Keterangan Bebas dari Direktorat JenderalPajak.
Peralatan simulasi penerbangan yang diimpor oleh PT Aviasi Tetukotidak termasuk
dalam 19 kelompok barang yang atas impornyadibebaskan dari pungutan PPh Pasal 22
impor sehingga PT AviasiTetuko dikenai pemungutan PPh Pasal 22 impor. PPh Pasal
22impor disetor sendiri oleh PT Aviasi Tetuko sebesar 2,5% dari nilaiimpor yaitu nilai
berupa uang yang menjadi dasar penghitunganBea Masuk ditambah Bea Masuk dan
pungutan pabean lainnya.

Dengan demikian, PPh Pasal 22 yang wajib disetor oleh PT AviasiTetuko adalah:2,5%
x Rp1.200.000.000,00 = Rp30.000.000,00.

Kewajiban PT Aviasi Tetuko:


a) menyetor PPh Pasal 22 sebesar Rp30.000.000,00 bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk;
b) SSP/SSPCP penyetoran PPh Pasal 22 impor tersebut berfungsi sebagai bukti
pemungutan PPh Pasal 22 impor bagi PT Aviasi Tetuko.

d. PPh Pasal 23
PPh Pasal 23 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak antara lain atas penghasilan berupa dividen,royalti, jasa manajemen, jasa
teknik, dan jasa-jasa lainnya.
 Objek PPh Pasal 23 adalah penghasilan dari dividen, bunga, royalti, hadiah, sewa dan
penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, jasa teknik, jasa manajemen,
jasa konsultan dan jenis jasa lainnya.
 Pemotongan PPh Pasal 23 dikenakan dari jumlah bruto, dengan tariff sebagai berikut:

Manajemen Perpajakan 15
Manajemen Perpajakan 16
e. PPh Pasal 26
PPh Pasal 26 merupakan cara pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui
pemotongan pajak atas penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia berupa:
a. dividen;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
d. imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
e. hadiah dan penghargaan;
f. pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau
h. keuntungan karena pembebasan utang, yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri
selain bentuk usaha tetap;
i. penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia;
j. premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri;
k. penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham.

Tarif pemotongan dan dasar pengenaan PPh Pasal 26 adalah:

Manajemen Perpajakan 17
Contoh Kasus:Jasa Perantara/Keagenan

PT Yesoa Indonesia menerima order dari PT Ang Lion Internationaluntuk


mencarikan perusahan pengangkutan laut dalam rangkapengiriman bahan baku obat
dari Jakarta dengan tujuan Surabaya.Pada tanggal 9 September 2013 PT Yesoa
Indonesia menerbitkantagihan kepada PT Ang Lion International dengan nilai
sebesarRp22.000.000,00 atas jasa tersebut dan dibayar pada tanggal 12September
2013.Bagaimana kewajiban pemotongan atau pemungutan PPh terkaittransaksi
tersebut?

Jawab:
Mengingat penghasilan yang diterima PT Yesoa Indonesiadalam transaksi
tersebut berkenaan dengan kegiatan PT YesoaIndonesia untuk mencarikan perusahaan
pengangkutan laut makapenghasilan tersebut termasuk penghasilan dari jasa
perantara/keagenan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 23 oleh PT AngLion
International sebagai pihak yang membayarkan penghasilan.Besarnya pemotongan PPh
Pasal 23 adalah sebesar:2% x Rp22.000.000,00 = Rp440.000,00.

Kewajiban PT Ang Lion International sebagai Pemotong PPh Pasal23 adalah:


a. melakukan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar Rp440.000,00 dan memberikan Bukti
Pemotongan PPh Pasal 23 kepada PT Yesoa Indonesia;
b. melakukan penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 23 tersebut paling lambat
tanggal 10 Oktober 2013;
c. melaporkan pemotongan PPh Pasal 23 atas transaksi tersebut dalam SPT Masa PPh
Pasal 23 masa pajak September 2013 paling lambat tanggal 21 Oktober 2013.

Manajemen Perpajakan 18
2.2 Rekonsiliasi SPT Masing-Masing Withholding Tax dengan Biaya-Biaya yang
Terkait dengan Objek Withholding Tax
Perusahaan perlu melakukan rekonsiliasi secara periodik antara elemen yang
terdapat di SPT badan dan lapora keuangan (fiskal) perusahaan dengan elemen- elemen
yang terdapat pada SPT. Jika ditemukan adanya perbedaan maka perbedaan tersebut harus
ditelusuri dan segera dikoreksi. Bila perlu segera dibuatkan pembetulan SPT nya.

a. Rekonsiliasi SPT Badan dengan SPT PPN


Rekonsiliasi dilakukan atas transaksi pembelian dan penjualan serta PPN yang
mengikutinya, yakti PPN masukan dari transaksi pembelian dan PPN keluaran dari omzet
penjualan, apakah kedua SPT tersebut telah menunjukan angka yang sama atau belum.
Bagi perusahaan yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan equalisasi antara buku/
ledger pemblian dan buku/ ledger penjualan dengan SPT Masa PPN, apakah kedua ledger
tersebut dan SPT masa PPN telah menunjukan angka yang sama atau belum.

Omzet penjualan yang tercantum dalam SPT PPh badan dengan SPT PPN bisa berbeda,
disebabkanan beberapa hal berikut:
1) Omzet penjualan di SPT PPh badan bisa lebih besar dari omzet penjuakan di SPT PPN
karena penjualan di SPT PPh Bdan menganut krual basis sehingga atas penjuaan kredit,
jika barangnya telah diserahkan, penjuaan sudah dilaporkan, sedangkan pada SPT
PPNpenjualan kredit bisa dibuatkan faktur pajaknya pada akhir bulan setelah buln
penyerahan barang..
2) Omzet penjualan di SPT PPh Badan lebih kecil daripada penjualan di SPT PPN, karena
penerimaan uang atas penjualan sudah harus dibuatkan aktur pajaknya meskipun
baranagnya belum diserahkn sementara penjualan tersebut baru dilaporkanan setelah
penjualan brang.

b. Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh Pasal 21


Rekonsiliasi SPT PPh Badan denagn SPT PPh pasal 21 adalah prosedur pengecekan
yan dilakukan terhadap jumlah biaya gaji dan tunjangan serta biaya lainnya yang
dibayarkan kepada pihak perorangan lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, yang

Manajemen Perpajakan 19
tercantum dalam PPh Badan dengan jumlah dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang tercantum
dalam SPT PPh pasal 21. Dasar pengenaan pajak ini terdiri dari gaji dan tunjunagan yang
dibayarkan kepada karyawan dan penghasilanan lainnya yang dibayarkan kepada
perorangan lainnya yng menjadi objek PPH pasal 21.

c. Rekonsiliasi SPT PPh Bdan dengan SPT PPh pasal 23


Rekonsiliasi SPT PPh Badan dengan SPT PPh pasal 23 berkaitan dengan prosedur
pengecekan yang dilakukan oleh KPP terhadap jumlah biaya sewa, bunga, dividen, royalti
dan jasa lainnya yang harus dipotong PPh pasal 23 pada SPT PPh Badan dengan jumlah
Dasar Pengenan Pajak SPT PPh pasal 23, apakah jumlahnya telah sama. Jika terdapat
material yang bukan objek PPh pasal 2, perlu dilakukan pemisahan antara nilai jasa dan
meterialnya.

III. PENUTUP

Dalam praktek bisnis banyak kasus pemungutan atau pemotongan pajak dari pihak
ketiga, dimana yang membuat kontrak bisnis kurang memahami atau mengabaikan aspek
perpajakan secara detail dan sesuai dengan ketentuan perpajakan, sehingga saat
pemeriksaan oleh fiskus perusahaan dikenai kewajiban untuk membayar withholding tax
ditambah denda keterlambatan penyetoran sebesar 2% sebulan dari pokok pajak. Untuk itu
perlu dilakukan optimalisai pembayaran pajak sebagai suatu langkah pengamanan yang
harus dilakukan oleh wajib pajak terkait transaksi dengan pihak ketiga dan penjagaan
cashflow perusahaan yang tujuannya untuk penghemata pajak.

Manajemen Perpajakan 20
DAFTAR REFERENSI

Imam Santoso dan Ning Rahayu (2013). Corporate Tax Management. Ortax
Pohan, Chairil Anwar (2013). Manajemen Perpajakan. Edisi Revisi: Gramedia. Jakarta.
Direktorat Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak (2013). Oasis Pemotongan/
Pemunguntan PPh Edisi Revisi. Cetakan I. Jakarta
http://www.pajak.go.id/content/kenali-para-pemotong-dan-pemungut-pajak-di-indonesia

http://taxationindonesia.blogspot.com/2011/11/pph-potput-withholding-tax-di-
indonesia.html

Manajemen Perpajakan 21

Anda mungkin juga menyukai