Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Preeklampsia dan eklampsia merupakan salah satu komplikasi kehamilan

yang disebabkan langsung oleh kehamilan itu sendiri. Preeklampsia adalah timbulnya

hipertensi disertai proteinuria akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu

atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi

penyakit trofoblastik (Ammiruddin dkk, 2017). Preeklampsia terjadi karena adanya

mekanisme imunolog yang kompleks, aliran darah ke plasenta berkurang, akibatnya

suplai zat makanan yang dibutuhkan janin berkurang. Penyebabnya karena

penyempitan pembuluh darah yang unik, yang tidak terjadi pada setiap orang selama

kehamilan (Indiarti, 2009 & Cuningham, 2010). Perdarahan, infeksi, dan eklampsia,

merupakan komplikasi yang tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya dan mungkin

saja terjadi pada ibu hamil yang telah diidentifikasikan normal (Senewe &

Sulistiawati, 2016).

Di seluruh dunia, insiden atau kejadian preeklampsia berkisar antara 2% dan

10% dari kehamilan. Insiden dari preeklampsia awal bervariasi di seluruh dunia.

WHO (World Health Organization) mengestimasi insiden preeklampsia hingga tujuh

kali lebih tinggi di negara-negara berkembang (2,8% dari kelahiran hidup)

dibandingkan dengan negara maju (0,4%) (Osungbade dan Ige, 2011).


Menurut WHO preeklampsia memengaruhi tujuh sampai sepuluh persen dari

seluruh kehamilan di Amerika Serikat (WHO, 2009). Di Inggris kurang dari 10

wanita meninggal akibat preeklampsia setiap tahunnya, dan mempengaruhi maternal

yang mengakibatkan kematian, di negara yang kurang berkembang terdapat 50.000

kematian maternal yang disebabkan oleh preeklampsia dan eklampsia (Champman,

2006). Pada sisi lain insiden dari eklampsia pada negara berkembang sekitar 1 kasus

per 100 kehamilan sampai 1 kasus per 1700 kehamilan. Pada negara Afrika seperti

Afrika Selatan, Mesir, Tanzania dam Etiopia bervariasi sekitar 1,8% sampai dengan

7,1%. Di Nigeria prevalensinya sekitar 2% sampai dengan 16,7% (Osungbade dan

Ige, 2011).

Angka Kematian Ibu (AKI) di Sub Sahara Afrika 270/100.000 kelahiran

hidup, Asia Selatan 188/100.000 kelahiran hidup dan di negara-negara ASEAN

seperti Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup,

Thailand 110/100.000 kelahiran hidup, Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup,

Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup.

Angka kematian ibu di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN

lainnya. Kematian ibu akibat komplikasi dari kehamilan dan persalinan tersebut

terjadi pada wanita usia 15-49 tahun diseluruh dunia (Widyawati, 2010). Indonesia

merupakan negara yang mempunyai AKI tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2010,

AKI menjadi 228 per-100.000 (Depkes RI, 2010).

Berdasarkan distribusi persentase penyebab kematian ibu melahirkan sebesar

28% perdarahan, 24% eklampsia, 11% Infeksi, 5% abortus, 5% persalinan lama, 3%


emboli obat, 8% komplikasi masa puerperium, 11 % lain – lain (Widyawati, 2010).

Kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh multifaktor, baik faktor secara langsung

maupun faktor tidak langsung, 90% kematian ibu disebabkan oleh faktor langsung

yaitu terjadlnya komplikasi pada saat kehamilan dan segera setelah bersalin dengan

rincian 28% akibat pendarahan, 24% akibat eklampsia dan 11% akibat infeksi.

Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain ibu hamil yang kurang asupan energi

atau kekurangan energi protein sebesar 37%, dan adanya kejadian anemia sebesar

40% (Depkes RI, 2001). Salah satu penyebab kematian terbanyak adalah

preeklampsia dan eklampsia yang bersama infeksi dan pendarahan, diperkirakan

mencakup 75-80 % dari keseluruhan kematian maternal. Kejadian preeklampsia-

eklampsia dikatakan sebagai masalah kesehatan masyarakat apabila CFR PE-E

mencapai 1,4%-1,8% (Ammiruddin dkk, 2007).

Angka kejadian preeklampsia/eklampsia lebih banyak terjadi di negara

berkembang dibanding pada negara maju. Hal ini disebabkan oleh karena di negara

maju perawatan prenatalnya lebih baik. Kejadian preeklampsia dipengaruhi oleh

paritas, ras, faktor genetik dan lingkungan. Kehamilan dengan preeklampsia lebih

umum terjadi pada primigravida, sedangkan pada multigravida berhubungan dengan

penyakit hipertensi kronis, diabetes melitus dan penyakit ginjal (Baktiyani, 2005).

Di negara maju angka kejadian preeklampsia berkisar 6-7% dan eklampsia

0,1-0,7%, sedangkan angka kematian ibu yang diakibatkan preeklampsia dan

eklampsia di negara berkembang masih tinggi. Preeklampsia salah satu sindrom yang
dijumpai pada ibu hamil di atas 20 minggu terdiri dari hipertensi dan proteinuria

dengan atau tanpa edema (Amelda, 2009).

Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2010 menunjukkan

jumlah kematian ibu masih sangat tinggi yaitu 228 kematian pada setiap 100.000

kasus dimana penyebab kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh beberapa hal,

seperti pendarahan yang mencapai 28%, eklampsia atau keracunan saat kehamilan

(24%), infeksi (11%) (Sri, 2011).

Berkat kemajuan dalam bidang anestesi, teknik operasi, pemberian cairan

infus dan transfusi dan peranan antibiotik yang semakin meningkat, maka penyebab

kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat diturunkan dengan nyata. Namun

penderita preeklampsia dapat berkembang menjadi preeklampsia berat karena

ketidaktahuan dan sering terlambat mencari pertolongan. Sehingga angka kematian

ibu karena preeklampsia belum dapat diturunkan (Haryono, 2006).

Frekuensi terjadinya preeklampsia dan eklampsia bertambah seiring dengan

tuanya kehamilan, umumnya pada Primigravida Triwulan III, umur diatas 35 tahun,

bisa dijadikan penyebab pada kejadian preeklampsia dan eklampsia (Mochtar, 2006).

Ibu hamil haruslah mempunyai keberdayaan atau kemandirian untuk mengambil

sikap melakukan pemeriksaan antenatal care, sehingga dapat diketahui terjadinya

masalah preeklampsia dalam kehamilannya dan dapat dengan segera dilakukan

pencegahan pada kondisi yang lebih berat (preeklampsia berat) (Rejeki dan Hayati,

2005).
Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 dilaporkan bahwa pemeriksaan

kehamilan oleh tenaga kesehatan sudah lebih baik, yaitu 84%. Akan tetapi masih ada

2,8% tidak melakukan pemeriksaan kehamilan, dan 3,2% masih memeriksakan

kehamilan ke dukun. Selain itu diketahui akses (K1) adalah 92,8% ibu hamil

mengikuti pelayanan antenatal, akan tetapi hanya 61,3% selama kehamilan

memeriksakan kehamilan minimal 4 kali (K4) (Suparyanto, 2011).

Ibu hamil perlu mewaspadai Preeklampsia dan Eklampsia (PE-E) karena di

Indonesia menjadi penyebab 30-40 % kematian perinatal. Di beberapa rumah sakit di

Indonesia, Preeklampsia-Eklampsia menjadi penyebab utama kematian maternal,

menggeser Perdarahan dan Infeksi. Fakta ini terungkap dalam Simposium Pelantikan

Dokter Periode 163 Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta (Kompas, 2008).

Asuhan antenatal penting untuk menjamin agar proses alamiah tetap berjalan

normal selama kehamilan. WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari seluruh

wanita yang hamil akan berkembang menjadi komplikasi yang berkaitan dengan

kehamilan serta dapat mengancam jiwanya. Tujuan utama dari asuhan antenatal

adalah untuk mempersiapkan ibu dan bayinya dalam keadaan sehat dengan cara

membangun hubungan saling percaya dengan ibu, mendeteksi tanda bahaya yang

mengancam jiwa, mempersiapkan kelahiran dan memberikan pendidikan kepada ibu

(Depkes RI, 2002).

Antenatal Care merupakan pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalisasi

kesehatan mental dan fisik ibu hamil, sehingga mampu menghadapi persalinan, nifas,

persiapan memberikan ASI, dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar


(Rozikhan, 2016). Pemeriksaan antenatal dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

terlatih dan terdidik dalam bidang kesehatan. Ibu hamil dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan antenatal sebanyak 4 kali, yaitu pada setiap trimester dan trimester

terakhir sebanyak 2 kali (Kartika, 2010). Dengan kunjungan ANC yang teratur dan

rutin dapat diketahui tanda-tanda preeklampsia, yang sangat penting dalam usaha

pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia (Wiknjosastro, 2007).

Preeklampsia berat merupakan risiko yang membahayakan ibu di samping

membahayakan janin. Ibu hamil yang mengalami preeklampsia berisiko tinggi

mengalami gagal ginjal akut, pendarahan otak, pembekuan darah intravaskular,

pembengkakan paru-paru, kolaps pada sistem pembuluh darah dan eklampsia. Risiko

preeklampsia pada janin antara lain plasenta tidak mendapat asupan darah yang

cukup, sehingga janin bisa kekurangan oksigen dan makanan Hal ini dapat

menimbulkan rendahnya bobot tubuh bayi ketika lahir dan juga menimbulkan

masalah lain pada bayi seperti kelahiran prematur sampai dengan kematian pada saat

kelahiran (Prawirohardjo, 2008).

Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan ibu hamil berdasarkan Program

Keluarga Harapan (PKH) adalah antenatal care, gizi ibu hamil (tablet zat besi) dan

imunisasi tetanus toxoid (Prasetyawati, 2012). Menurut hasil penelitian Rozikhan

(2004) menyatakan bahwa ibu hamil mempunyai risiko 1,5 kali lebih besar untuk

mengalami preeklampsia berat karena kurang dalam melakukan antenatal care.

Menurut hasil penelitian Langelo (2012) di RSKD Ibu dan Anak Siti Fatimah

Makasar menyatakan bahwa antenatal care berhubungan dengan kejadian


preeklampsia karena berguna untuk mengawasi dan memonitor kesehatan ibu dan

bayi sehingga semuanya berjalan lancar dengan nilai OR 2,72 (95% CI). Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Rozanna (2009) menunjukkan bahwa ibu yang tidak

melakukan antenatal care merupakan faktor risiko terhadap kejadian preeklampsia

dengan nilai OR 2,66 (95% CI).

Kepatuhan seorang ibu hamil dalam memeriksakan kehamilannya sangat

diperlukan agar setiap keluhan dapat ditangani sedini mungkin dan informasi yang

penting bagi ibu hamil dapat tersampaikan sehingga angka kematian ibu dapat

ditekan menjadi seminimal mungkin. Perawatan kehamilan merupakan salah satu

faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi dan

kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan

kesehatan janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (antenatal care) adalah

penting untuk mengetahui dampak kesehatan bayi dan si ibu sendiri (Kandrawilko,

2009).

Menurut Roeshadi (2016) yang mengutip hasil penelitian Sukatendel tahun

20015 tentang kejadian preeklampsia di Rumah Sakit Pirngadi Medan dan Rumah

Sakit Haji Adam Malik tahun 2014 bahwa masalah yang sering dihadapi pada

penderita preeklampsia dan eklampsia adalah penderita tidak melakukan pemeriksaan

antenatal secara teratur dan sering datang terlambat ke rumah sakit. Sekitar 40%

serangan kejang pada penderita eklampsia biasanya terjadi sebelum penderita masuk

ke rumah sakit.
Konseling yang diberikan petugas kesehatan dapat membantu ibu untuk

memantau perkembangan dan kesehatan pada masa kehamilan. Informasi yang

diberikan petugas kesehatan kepada ibu yang memiliki risiko preeklampsia/eklampsia

dapat melakukan upaya-upaya pencegahan dengan melakukan pemeriksaan rutin,

menghindari konsumsi makanan yang dapat menimbulkan hipertensi dalam

kehamilannya. Selain itu penyebab kematian ibu dan perinatal dapat dicegah dengan

pemeriksaan kehamilan (antenatal care) yang memadai (Manuaba, 2008). Target

cakupan kesehatan ibu yang dicapai pada tahun 2009 masing-masing sebesar 94%

untuk akses pelayanan antenatal (cakupan ibu hamil K1), 84% untuk cakupan

pelayanan ibu hamil sesuai standar (K4) (Depkes RI, 2010).

Pelaksanaan antenatal care dilakukan minimal 4 kali, yaitu l kali pada

trimester I, 1 kali pada trimester II dan 2 kali pada trimester III. Namun jika terdapat

kelainan dalam kehamilannya, maka frekuensi pemeriksaan disesuaikan menurut

kebutuhan masing- masing. Ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan

dikatakan teratur jika melakukan pemeriksaan kehamilan ≥ 4 kali kunjungan, kurang

teratur jika pemeriksaan kehamilan 2-3 kali kunjungan dan tidak teratur jika ibu

hamil hanya melakukan pemeriksaan kehamilan kurang dari 2 kali kunjungan (WHO,

2006).

Penelitian yang dilakukan Soedjones pada tahun 1983 di 12 RS. Pendidikan

Indonesia, didapat kejadian preeklampsia dan eklampsia 5,30% dengan kematian

perinatal 10,83%/1000 (4,9 x lebih besar dibanding kehamilan normal). Sedangkan

penelitian Lukas dan Rambulangi tahun 1994, di 12 RS pendidikan di Makasar


insiden preeklampsia berat 2,61%, eklampsia 84% dan angka kematian akibatnya

22,2% (Ridwananiruddin, 2007). Menurut Sunidaya (2000) mendapatkan angka

kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74

kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31

Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13

kasus (0,9%) serta di RSU kabupaten tangerang terdapat kasus PEB sebanyak 982.

Pada tahun 2010 di RS DR.Pirngadi Medan juga ditemukan 43 kasus

preeklampsia berat/eklampsia per 531 (8,1%) kehamilan. Pada tahun 2011 ditemukan

73 kasus per 644 (11,3%) kehamilan. Berdasarkan data tersebut terjadi peningkatan

kasus preeklampsia dan eklampsia disebabkan karena tidak teraturnya pemeriksaan

antenatal care yang pernah dilakukan ibu hamil sehingga tidak dapat mendeteksi dini

secara dini gangguan kesehatan yang dialami selama kehamilan dan kunjungan

pemeriksaan yang dianjurkan belum dilaksanakan sehingga keterpaparan informasi

yang diberikan petugas kesehatan melalui konseling masih terbatas. Penyakit

preeklampsia harus dideteksi sedini mungkin, karena penyakit tersebut merupakan

masalah kebidanan yang belum dapat ditanggulangi dengan tuntas. Kehamilan

dengan preeklampsia dapat terjadi pada wanita yang sebelumnya mempunyai tekanan

darah yang normal. Kehamilan dengan preeklampsia dapat dicegah, jika sebelumnya

ibu patuh dalam melakukan antenatal care. Sebab tidak semua ibu hamil dapat dan

mau melaksanakan perawatan kehamilan secara teratur dan patuh terhadap nasehat

yang diberikan oleh tenaga kesehatan utuk mencegah memberatnya penyakit.


Di Rumah Sakit Ibu dan Anak Restu ibu dijumpai peningkatan kasus pre

eklampsia setiap tahun. Pada tahun 2011 terdapat 32 kasus preeklampsia dan pada

tahun 2012 terdapat peningkatan kasus preeklampsia sebanyak 37 kasus.

Preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan yang

baik pada ibu hamil. Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan

istirahat yang berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring,

dalam hal ini yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih

banyak duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat,

garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan.

Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan

diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui

pemeriksaan antenatal yang baik (Wiknjosastro, 2006).

B. RUMUSAN MASALAH
1. apa yang dimaksud PEB?
2. apa penyebab PEB ?
3. bagaimana perjalanan penyakit PEB?
4. bagaimana tanda dan gejalan yang mencul pada penderita PEB?
5. bagaimana penatalaksanan pada PEB ?
6. bagaimana konsep dasar keperawatan pada klien dengan PEB ?
C. TUJUAN PENULISAN
Memahami tentang penyakit PEB yang ditinjaudari konsep dasar medik meliputi
definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan penunjang, dan
penatalaksanaan serta konsep dasar asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa serta
implementasi dan evaluasi keperawatan pada klien dengan preeklamsi berat.

Anda mungkin juga menyukai