Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan di bidang teknologi dan proses produksi berdampak dramatis
terhadap lingkungan manufaktur. Perubahan terhadap lingkungan bisnis
tersebut tujuan kesuluruhannya adalah untuk meningkatkan kualitas,
kepuasan, relevansi, dan penetapan waktu informasi biaya. Untuk mencapai
itu juga dilakukan beberapa riset yaitu seperti Sistem Just-in Time (JIT) dan
Sistem Activity Based Costing (ABC).
Dewasa ini pembebanan biaya secara konvensional sudah mulai
ditinggalkan dan beralih ke pembenahan biaya berdasarkan aktivitas/activity
based costing system (ABC-system), sebab system ABC menawarkan lebih
dari sekedar informasi biaya produk yang akurat. System ABC juga
menyediakan informasi tentang biaya dan kinerja dari aktivitas dan sumber
daya serta dapat menelusuri biaya-biaya secara akurat ke objek biaya selain
produk, misalnya pelanggan dan saluran distribusi.
Dalam system ABC, keakuratan kalkulasi biaya produk ditingkatkan
dengan menciptakan kelompok biaya dan mengidentifikasikan penggerak
aktivitas yang dapat digunakan untuk membedakan biaya ke setiap kelompok.
Karena sejumlah besar aktivitas overhead diskonsumsi secara bersama oleh
produk, upaya dan beban dari system ABC dapat dipertimbangkan. Selain
system ABC yang dapat memberikan suatu perubahan pada fungsi biaya suatu
perusahaan ada System Just-in Time (JIT) yang dipandang sebagai langkah
pertama dalam penyederhanaan dan pengurangan atas produk buangan dalam
proses produksi, system JIT juga dapat diharapkan untuk memperpendek
waktu produksi yang diperlukan dengan mengurangi waktu penanganan dan
penyimpanan barang dalam proses.
Dengan mengurangi penanganan bahan, pergudangan, dan inspeksi,
system JIT akan menurunkan biaya overhead. System JIT juga membantu

1
menelusuri secara langsung beberapa biaya yang biasanya diklasifikasikan
sebagai biaya tidak langsung.

1.2 Rumusan Masalah


Perumusan masalah merupakan salah satu tahap diantara sejumlah tahap
penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan.
Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan
bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa. Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan berapa masalah
antara lain :
1. Apa itu system persediaan JIT ?
2. Apa saja elemen-elemen kunci system JIT ?
3. Bagaimana cara penentuan harga pokok produk metode konvensional 1 ?
4. Yang dimaksud definisi ABC adalah ?
5. Apa itu system ABC ?
6. Apa yang dimaksud dengan Activity Based Management ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah akuntansi manajemen. Adapun tujuan lain dari pembuatan
makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami, yaitu :

1. Mengetahui apa itu system persediaan JIT


2. Mengetahui apa saja elemen-elemen kunci system JIT
3. Mengetahui bagaimana cara penentuan harga pokok produk metode
konvensional 1
4. Dapat memahami definisi ABC
5. Mengetahui apa itu system ABC
6. Dapat memahami Activity Based Management.

2
1.4 Manpaat Penulisan

Di sini penyusun sangat berharap agar penelitian dan makalah ini


bermanfaat bagi semua orang. Dengan mengetahui system just-in time dan
system activity based costring itu sendiri kita dapat mengetahui gambaran
mengenai model JIT yang digunakan dalam perusahaan sehingga dapat
membantu untuk menambah wawasan mengenai model JIT yang berguna
dalam implementasi perusahaan nasional maupun perusahaan swasta,
kegunaan lain dari penulisan makalah ini adalah untuk memperluas ilmu
pengetahuan, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan ilmu,
untuk mendukung ilmu akuntansi kususnya pengaruh activity based costing
system (abc system) terhadap kinerja perusahaan dan dampaknya pada
keunggulan bersaing. Selain itu, penulis mengharapkan kiranya penelitian ini
dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi mahasiswa lainnya
khususnya mahasiswa Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi
Universitas Pamulang.

3
BAB II

PEMBAHASAAN

2.1 Sistem Persediaan Just-In Time (JIT)

Dalam pengendalian persediaan terdapat beberapa teknik yang sering


digunakan oleh perusahaa, antara lain adalah Economical Order Quantity
(EOQ), Reorder Point (ROP), Safety Stock (Persediaan Pengaman) dan
Just In Time (JIT). Dari keempat teknik pengendaliaan persediaan tersebut
just in time merupakan teknik yang menarik untuk dipelajari, karena
pendekatan yang digunakan berbeda dengan teknik yang lain yaitu
pendekatan pengolahaan aktivitas (activity management). Sedangkan
ketiga teknik yang lain mnggunakan pendekatan pengelolaan biaya (cost
management).

A. Pengertian Just In Time (JIT)

Just In Time (JIT) merupakan filosofi pemanufakturan maju


yang dalam proses produksinya ditarik ke dalam tindakan agar
menghasilkan out put yang sesuai dengan jenis, jumlah, waktu, dan
spesifikasi yang diinginkan pelanggan, sehingga biaya operasional
dapat dieliminasi seminimal mungkin dan menuju persediaan
mendekati nol (zero inventory), karena Just In Time (JIT)
menganggap bahwa persediaan merupakan sumber pemborosan.

Just In Time (JIT) adalah sebuah filosofi pemecahan masalah


secara berkelanjutan dan memaksa yang mendukung produksi yang
ramping (lean). Produksi yang ramping (lean production) memasok
pelanggan persis sesuai dengan keinginan pelanggan ketika
pelanggan menginginkanya, tanpa pemborosan, melalui perbaikan
berkelanjutan. Produksi lean dikendalikan oleh “tarikan” yang

4
berupa pesanan pelanggan. JIT adalah sebuah ramuan utama dari
produksi lean. Ketika diterapkan sebagai sebagai strategi
manufaktur yang menyeluruh, JIT dan produksi lean menopang
keunggulan bersaing dan menghasilkan keuntungan keseluruhan
yang lebih besar.

B. Tujuan Just In Time (JIT)

Tujuan utama JIT adalah menghilangkan pemborosan melalui


pebaikan terus menerus ( Continuous Improvement ) pada dasarnya
sistem produksi JIT mempunyai enam tujuan dasar sebagai berikut:

 Mengintegrasikan dan mengoptimumkan setiap langkah


dalam proses manufacturing
 Menghasilkan produk yang berkualitas sesuai keinginan
pelanggan
 Menurunkan ongkos manufacturing secara terus menerus
 Menghasilkan produk hanya berdasarkan keinginan
pelanggan
 Mengembangkan fleksibilitas manufacturing
 Mempertahankan komitmen tinggi untuk bekerjasama
dengan pemasok dan pelanggan.

Berdasarkan tujuan Just In Time sistem JIT berbeda dengan


sistem konvensional seperti diperlihatkan dalam tabel berikut ini:

SISTEM KONVENSIONAL SISTEM JUST IN TIME

1. Beberapa kesalahan dapat 1. Tanpa cacat dan pasti


diterima
2. Lot besar lebih efesien 2. Idealnya lot adalah Satu
3. Produksi cepat lebih efesien 3. Keseimbangan produksi
lebih efisien

5
4. Persediaan memberikan 4. Persediaan adalah
rasa aman pemborosan
5. Persediaan memperlancar 5. Persediaan tidak diinginkan
produksi
6. Persediaan adalah kekayaan 6. Persediaan adalan hutang
7. Antrian sangat penting 7. Antrian akan dihilangkan
8. Pemasok adalah lawan 8. Pemasok adalah kawan
9. Cukup memperbaiki 9. Mencegah kerusakan penting
kerusakan
10. Lead time panjang adalah 10. Lead time pendek lebih
penting penting
11. Pasti ada setup time 11. Setup time adala nol

Untuk mencapai tujuan JIT tersebut diperlukan asumsi sebagai berikut:

1. Ukuran lot kecil


2. Konsisten kualitas tinggi
3. Pekerja dapat diandalkan
4. Persediaan menjadi minimum
5. Mesin dapat diandalkan
6. Rencana produksi stabil
7. Kapasitas jadwal operasi
8. Keseragaman

C. Prinsip-prinsip manajemen persediaan Just In Time (JIT)

Menurut Gaspersz “Just In Time inventory adalah persediaan


minimum yang diperlukan untuk tetap menjalankan sistem secara
sempurna”.

6
Ada banyak kebijakan, peraturan dan prosedur
manajemen persediaan yang merupakan bagian dari JIT.
Menurut Schniederjans (Dalam Sulistyowati, 2006:16) terdapat
enam prinsip dasar yang sering digunakan dalam manajemen
persediaan yang bisa dikarakteristikan sebagai prinsip-prinsip
manajemen persediaan JIT. Prinsip-prinsip tersebut meliputi :

1. Mengurangi ukuran lot dan meningkatkan frekuensi pemesanan


Dalam operasi JIT ukuran lot yang ideal adalah satu. Dengan
mengurangi ukuran lot disamping meningkatkan frekuensi
pemesanan juga untuk menyeimbangkan kebutuhan permintaan,
mengurangi pemborosan dan meningkatkan produktifitas.
2. Mengurangi persediaan pendukung (Buffer Inventory)
Dalam operasi JIT dengan ukuran lot ideal satu dan tanpa buffer
stock, kesalahan atau kerusakan akan ditemukan dalam tahap
perakitan berikutnya. Semakin cepat masalah ditemukan
semakin cepat pula masalah tersebut bisa dipecahkan dan
mempercepat saluran atau alur persediaan selanjutnya.
3. Mengurangi biaya pembelian
Meningkatkan frekuensi pemesanan bisa meningkatkan biaya
tetap pemesanan. Ukuran lot yang lebih kecil akan mengurangi
kemungkinan mendapatkan diskon pembelian dan meningkatkan
biaya produk. Dan lagi, keseluruhan JIT dalam menggunakan
material persediaan biasanya memerlukan pengemasan khusus
yang juga meningkatkan biaya pembelian.
Bagaimana bisa sebuah operasi JIT mengurangi biaya
pembelian? Ada banyak cara untuk mengurangi untuk
mengurangi biaya pembelian dalam operasi JIT, salah satu
caranya dimulai dari pemasok. Para pemakai konsep JIT
mencoba mengurangi jumlah pemasok sampai sedikit mungkin.
Mereka mencari pemasok yang bisa mengontrol harga dan

7
pelayanan secara kuat. Kontrak jangka panjang dibiarakan agar
bisa memberikan fleksibilitas pemesanan. Sifat kontrak jangka
panjang dan kontrol oleh perusahaan dapat mengurangi faktor-
faktor biaya pembelian yang bisa meningkat selama
menggunakan JIT. Pada waktu yang sama, operasi JIT
mengurangi birokrasi dengan mengurangi jumlah pemasok.
Jumlah pemesanan yang lebih sedikit juga bisa mengurangi
dokumen-dokumen formal yang dibutuhkan dalam pengiriman
dengan jumlah lot yang besar.
4. Meningkatkan penanganan material
Item-item persediaan operasi JIT dari pemasok harus dibagi
kedalam unit atau ukuran lot yang dibutuhkan dalam operasi.
Ketidak seimbangan antara jumlah bahan baku yang datang ke
pabrik dengan kebutuhan pabrik akan menimbulkan pemborosan
yang tidak diinginkan. Selain itu ketidakseimbangan antara
pengiriman ke pelanggan dengan permintaan yang diinginkan
pelanggan juga akan menghasilkan permintaan yang tidak
diinginkan. Tujuan ideal dalam sebuah sistem JIT adalah dengan
menempatkan feeder (pembantu) dan user proses dari material
yang dilanjutkan kepihak lain.
5. Mencapai persediaan nol
Persediaan dimanapun selalu membuang waktu, usaha dan uang.
Idle inventory yang ada dalam departemen atau ditoko harus
dihilangkan. Persediaan dalam pengangkutan juga merupakan
sebuah pemborosan. Hal ini menyisakan satu alternatif, yaitu
harus ada persediaan nol dalam operasi JIT. mungkin hal ini
terdengar seperti prinsip yang mustahil, tetapi jelas bahwa hal
tersebut adalah tujuan yang harus dicapai jika kita terus ingin
mergurangi biaya persediaan. Persediaan harus dikurangi atau
dihilangkan jika memungkinkan untuk mengurangi pemborosan
yang tidak diinginkan dalam sebuah operasi.

8
6. Mencari pemasok yang bisa dipercaya
Kunci untuk membuat JIT bekerja adalah mempunyai persedian
just in time. Jika waktu pengiriman dari pemasok tidak dapat
dipercaya, sistem JIT akan menjadi kacau dengan keterlambatan
yang merugikan. Dalam operasi JIT, pemasok yang lebih sedikit
diharapkan akan dapat menjalankan pekerjaan dengan baik.
Walaupun kontrak jangka panjang dan proporsi bisnis yang
lebih besar dari perusahaan membantu dalam mengontrol
perilaku pemasok, hal tersebut tidak selalu menjamin
pengiriman tepat waktu. Beberapa pemasok bisa lebih dekat
pada pelanggan berdasarkan geografis untuk menjamin
kepercayaannya.

D. Pembelian dalam JIT dan hubungan dengan pemasok

Dalam sistem pembelian klasik, keputusan pembelian


didasarkan pada rumus economic order quantity (EOQ) untuk
meminimumkan biaya yang berarti berapa banyak unit persediaan
yang dipesan dan kapan pesananan tersebut harus disimpan.
Banyak organisasi selama beberapa dekade mendasarkan sistem
persediaan mereka pada model EOQ. Bagi yang berganti dari EOQ
ke model JIT banyak yang memilih logical path dengan pergerakan
yang pelan dan teratur dari pemesanan dengan ukuran lot besar
menjadi lebih kecil pada JIT. Hal ini bukan hanya sesuai dengan
prinsip-prinsip persediaan JIT, tetapi sistem dalam JIT sebenarnya
membantu dalam mendorong perubahan tersebut. Pengurangan di
semua bagian dari biaya angkut dimulai dengan menggunakan
ukuran lot yang lebih kecil dan metode-metode dalam JIT.

9
E. Karakteristik kerjasama dalam JIT

JIT membutuhkan hubungan kerjasama yang spesifik antara


pemasok dan departemen pembelian dari perusahaan yang
memakai sistem JIT. Kerjasama antara keduanya harus kooperatif
dimana kedua belah pihak bersama-sama mencapai masa depan
yang lebih baik, beberapa karakteristik ini meliputi :

1. Kontrak jangka panjang


Dalam operasi JIT permintaan menentukan dalam keputusan
pembelian terhadap jumlah pemesanan dan waktunya. Jaminan
kontrak jangka panjang bagi pemasok harus digunakan untuk
mengurangi biaya unit dan biaya pemesanan. Sifat jangka
panjang ini bagi perusahaan digunakan untuk memberikan
beberapa pengaruh dalam mengontrol harga, kualitas dan
waktu pengiriman.
2. Meningkatkan akurasi dari pemesanan
Pesanan harus dipenuhi oleh pemasok dengan tanpa kesalahan
dalam jumlah dan waktu pengiriman, hal ini harus diperhatikan
karena kegagalan pengiriman dari waktu yang diharapkan akan
menghentikan operasi JIT.
3. Meningkatkan kualitas
Pengiriman dengan barang-barang yang rusak tidak
diperbolehkan. Dibutuhkan pengendalian kualitas terhadap
material-material yang baru tiba untuk mengurangi atau
menghilangkan kerusakan material-material tersebut.Kesalahan
dari pemasok akan menyebabkan kekurangan material yang
akan mengakibatkan berhentinya operasi JIT.
4. Fleksibilitas pemesananan
Kebutuhan tentang kontrak harus cukup fleksibel agar
memungkinkan perubahan dalam harian atau jam dalam
pemesanan. Sistem komunikasi juga harus digunakan dengan

10
baik untuk memberikan pemasok dan pembelinya proses dialog
yang cepat dan mudah dalam periode perubahan permintaan.
5. Frekuensi pemesanan yang sering dengan lot yang kecil
Pemasok harus mampu memberikan frekuensi pemesanan yang
sering dengan lot kecil yang dibutuhkan dalam operasi JIT.
Pemasok juga harus cukup fleksibel untuk memungkinkan
perusahaan merubah lot pemesanan sama dengan satu.
6. Peningkatan hubungan kerjasama secara terus-menerus
Pemasok diharapkan untuk bekerja dengan pembelinya dalam
membantu mengurangi biaya unit material dari pembelinya,
mengurangi biaya penanganan material dan pengiriman kepada
pembeli, selain itu juga bekerjasama memecahkan masalah
pengiriman dan meningkatkan pengendalian kualitas material.
Perusahaan bukan hanya diharapkan terus menjalankan
kontrak jangka panjang , tetapi juga bakerjasama dengan
pemasok memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
bersama. Perusahaan juga harus memberikan informasi kepada
pemasok tentang pelaksanaan sistem JIT, dan bagaimana usaha
pemasok dalam membantu kesuksesan pembeli. Perusahaan
juga harus bekerja mengembangkan menggunakan system
komunikasi untuk menjaga agar kerjasama tetap aktif dan
informatif.
Manfaat dari karakteristik-karakteristik meliputi biaya
angkut yang lebih rendah, mengurangi kesalahan dan
pengulangan kerja meningkatkan kualitas barang jadi,
mengurangi control kualitas, mengulangi pengawasan, respon
terhadap perubahan pemesanan yang lebih cepat dan
pengurangan sumberdaya di departemen pembelian. Dengan
kata lain pembelian dalam JIT kepada pemasok yang sukses
bisa mengurangi pemborosan sumberdaya dan meningkatkan
produktifitas.

11
F. Metode untuk melaksanakan JIT dalam lingkup EOQ

Banyak perusahaan menggunakan sistem JIT dalam lingkup


model EOQ, perusahaan tersebut memanfaatkan penggunaan
pendekatan model EOQ untuk membantu dalam transisi menuju
JIT. Kebanyakan manajer persediaan mengerti dan masih
menyukai model dari EOQ. Model EOQ bisa digunakan untuk
menjalankan JIT dalam mengurangi biaya, yang bermanfaat bagi
manajer dalam membuat perubahan kepada operasi JIT. Lebih jauh
model baru berdasarkan JIT bisa digunakan untuk menentukan
jumlah pesanan dan banyaknya pengiriman yang dilakukan selama
kontrak jangka panjang.

G. Metode JIT/EOQ

Berdasarkan rumus EOQ, serangkaian rumus JIT dan EOQ


digunakan untuk membantu menjembatani transisi dari EOQ ke
JIT. Rumus-rumus JIT/EOQ ini didasarkan pada kenyataan bahwa
JIT mengurangi lot pengiriman, sebagai arti dari pelaksanaan JIT
dalam lingkup lot besar EOQ. Asumsi-asumsi yang harus
digunakan pada kombinasi metode JIT/EOQ antaralain:

a) Biaya unit tidak dipengaruhi oleh jumlah pesanan


b) Biaya pengiriman tidak dipengaruhi oleh jumlah pesanan
c) Biaya pemesanan adalah konstan, tidak masalah berapa banyak
pengiriman yang dijadwalkan.

Asumsi-asumsi ini sama dengan asumsi dari model dasar EOQ


dan beralasan dari sudut pandang pemberiaan control pembeli
dalam negosiasi kontrak jangka panjang JIT.

12
2.2 Elemen-elemen Kunci System JIT

Lima elemen kunci yang harus diperhatikan demi keberhasilan


penerapan just in time:

1. Jumlah Pemasok dan tingkat persediaan yang minimal


Penerapan system just in time akan mengurangi/menghilangkan biaya-
biaya yang tidak ekonomis dengan cara mengurangi :
a. Ruang untuk menyimpan bahan baku
b. Jumlah penanganan bahan baku
c. Jumlah persediaan usang
2. Pembenahan Tata Letak Pabrik
Dibuat tata letak yang memungkinkan barang/arus produksi yang
lancer dengan metode alur lini.alur lini biasa adalah jalur fisik yang
melewati oleh sebuah produk pada saat bergerak melalui proses
produksi dari penerimaan bahan baku sampai ke pengiriman barang
jadi. Dengan metode ini manfaat yang akan didapatkan:
a. Meminimalkan biaya penanganan bahan baku
b. Meniadakan penyimpanan unit produk antara dalam proses pada
saat unit tersebut menunggu proses berikutnya.
3. Pengurangan Setup Time
Waktu pengusutan (setup time) adalah waktu yang dibutuhkan untuk
mengubah perlengkapan, memindahkan bahan baku dan mendapatkan
formulir terkait dan untuk mengakomodasi perubahan jadwal produksi.
4. Kendali Mutu Terpadu (Total Qualitaty Control)
TQC berarti bahwa perusaan tidak akan memperbolehkan penerimaan-
penerimaan kompenen dan bahan baku yang cacat dari para pemasok
internal/eksternal.
5. Tenaga kerja yang fleksibel
Parameter dari keandalan system Just In Time meliputi faktor-faktor
efektivitas siklus pabrik sbb:
a. Tingkat produk cacat/rusak

13
b. Waktu siklus
c. Persentase pengiriman produk yang tepat waktu
d. Akurasi pesanan
e. Persentase produksi actual dibandingkan dengan produksi yang
direncanakan.

2.3 Penentuan Harga Pokok Produk Metode Konvensional 1

Dalam akuntansi biaya, perhitungan harga pokok dilakukan dengan


menjumlahkan seluruh unsur biaya produksi, sedangkan harga pokok produksi
per unit ditentukan dengan membagi seluruh total biaya produksi dengan
volume produksi yang dihasilkan atau yang diharapkan akan dihasilkan. Cara
seperti ini yang harus digunakan apabila berhubungan dengan prinsip
akuntansi, mempengaruhi baik jumlah harga pokok produk maupun
cara penyajiannya dalam laporan rugi laba. Bagi manajemen, punya
kebebasan untuk tidak mengikuti prinsip akuntansi dalam hal tertentu, cara
yang disebut Full Costing tersebut seringkali tidak banyak membantu.
Oleh karena itu untuk perencanaan dan pengambilan keputusan yang
berhubungan dengan biaya produksi dikenal dengan pendekatan Variable
Costing.

A. Variabel Costing

Variabel Costing adalah suatu metode penentuan harga pokok


(dan pengaruhnya pada penyajian laporan rugi laba) dimana hanya
biaya produksi variable saja dibebankan sebagai bagian dari harga
pokok produksi. Metode ini disebut Variable Costing dengan
alasan bahwa biaya yang dibebankan kepada produk hanya biaya
yang berhubungan langsung dengan produk saja. Dengan
pengertian tersebut, maka yang disebut harga pokok produksi
adalah penjumlahan dari biaya bahan variabel, biaya upah variabel
dan biaya overhead variabel tampak sebagai berikut:

14
Biaya bahan variable Rp xxx
Biaya upah variable Rp xxx
Rp xxx
Biaya overhead variable +
Rp xxx Harga pokok produksi

Dengan cara seperti tersebut, maka dalam metode variable


costing biaya overhead tetap bukan merupakan bagian dari
produksi dan hal ini merupakan bagian dari produksi dan hal ini
akan berpengaruh pada penyajian laporan rugi laba.

B. Full Costing
Metode Full Costing adalah metode penentuan harga pokok
produksi dimana semua biaya produksi diperhitungkan ke dalam
harga pokok produksi. Sehingga tidak membedakan antara biaya
produksi variable dan biaya produksi tetap. Dikarenakan seluruh
biaya produksi tetap dan variable dimasukkan ke dalam harga
pokok produksi, maka akan ada biaya tetap yang masih melekat
pada produk yang belum laku terjual. Sehingga biaya tetap yang
masih melekat pada produk yang belum laku terjual tidak
dibebankan pada periode yang seharusnya.
Dikarenakan memperhitungkan semua biaya produksi,
maka dalam metode full costing format perhitungan harga pokok
produksi adalah sebagai berikut :

Biaya bahan variable Rp xxx


Biaya upah variable Rp xxx
Biaya overhead variable Rp xxx
Rp xxx
Biaya overhead tetap +
Rp xxx Harga pokok produksi

15
Metode variable costing mempunyai perbedaan dengan metode Full
Costing dalam hal:

1. Penentuan harga pokok produksi


- Metode Full Costing (Menggunakan pendekatan fungsi)
Yaitu pembenahan biaya didasarkan pada fungsi perusahaan sehingga
apa yang disebut biaya produksi baik langsung maupun tidak langsung,
tetap maupun variable. Biaya operasi adalah seluruh biaya untuk
menawarkan dan menjual produk setelah keluar dari fungsi produksi,
meliputi biaya operasi tetap dan variable atau bisa dikelompokkan
menjadi fungsi lebih terinci, seperti fungsi administrasi, fungsi
penjualan dan sebagainya,
- Metode Variabel Costing (Menggunakan pendekatan tingkah laku)
Artinya, perhitungan harga pokok dan penyajian laporan laba rugi
didasarkan atas tingkah laku biaya. Biaya produksi dibebani
biayavariabel saja, dan biaya tetap dianggap bukan biaya produksi.
Pendekatan ini digunakan karena dianggap produksi yang berubah-
berubah saja layak dibebankan, agar tidak terjadi kelebihan atau
kekurangan pembebanan. Demikian pula pada biaya operasi, biaya
operasi dipisahkan dengan biaya operasi tetap, karena biaya operasi
variable berubah sesuai dengan perubahan operasi perusahaan,
sedangkan biaya operasi tetap tidak dipengaruhi oleh opersi
perusahaan.
Dengan perbedaan pendekatan tersebut, maka penyajian laporan
laba rugi menurut kedua metode berbeda. Metode Harga Pokok Penuh,
laporan laba rugi disajikan berdasar fungsi,sedangkan laporan laba rugi
menurut metode Variabel Costing berdasarkan tingkah laku.
2. Penyajian dalam Laporan Laba Rugi
Pada variable costing ada item Contribution Margin (laba kontribusi yaitu
selisih penjualan dengan biaya-biaya variable, sedangkan pada Full
Costing tidak ada.

16
C. Manfaat Variabel Costing bagi Manajemen
1. Variable costing sebagai alat perencanaan laba
Perencanaan Laba atau perencanaan operasi adalah rencana
dari manajemen yang meliputi seluruh tahap dari operasi
dimasa yang akan datang untuk mencapai tujuan perusahaan
yang dibagi dalam dua jenis rencana, yaitu rencana jangka
pendek dan jangka panjang. Variable Costing
bermanfaat dalam pembuatan rencana jangka pendek dengan
memisahkan biaya variabel dan tetap dalam laporan rugi laba,
sehingga akan diketahui Contribution Margin. Dengan kedua
hal itu maka manajemen bisa merencanakan berapa laba yang
akan diperoleh.
2. Variable costing sebagai petunjuk penentuan harga jual
Informasi Contribution Margin dari Variable Costing sangat
membantu dalam menentukan harga jual yang kompetitive,
karena Contribution Margin menunjukkan berapa kelebihan
hasil penjualan dari biaya variabel, bisa diperhitungkan dengan
mengalikan contribution margin/unit dengan jumlah penjualan.
sedang biaya tetap akan tetap jumlahnya, oleh karena itu
tertutup atau tidaknya tergantung jumlah CM yang didapat.
Selisih antara CM dengan biaya tetap merupakan laba.
3. Variable costing untuk pengambilan keputusan manajemen
Manajemen sering dihadapkan pada masalah pemilihan
alternatif dimana alternatif-alternatif tersebut mempunyai
pengaruh terhadap besar kecilnya laba perusahaan. seperti
masalah memasuki pasar-pasar baru, perluasan usaha,
memenuhi atau tidak pesanan khusus, membuat sendiri atau
memesan bahan pembantu atau suku cadang tertentu. Masalah
ini dapat dipecahkan dengan pertolongan analisis CM.

17
D. Manfaat dari Penggunaan Metode Full Costing
1. Biaya Overhead pabrik baik yang variable maupun
tetap,dibebankan kepada produk atas dasar tarif yang
ditentukan di muka pada kapasitas normal atau dasar biaya
overhead yang sesungguhnya.
2. Selisih biaya overhead pabrik akan timbul apabila biaya
overhead pabrik yang dibebankan berbeda dengan biaya
overhead pabrik yang sesungguhnya terjadi.
3. Jika semua produk yang diolah dalam periode tersebut belum
laku dijual, maka pembebanan biaya overhead pabrik lebih atau
kurang tersebut digunakan untuk mengarungi atau menambah
harga pokok yang masih dalam persediaan (baik produk dalam
proses maupun produk jadi).
4. Metode ini akan menunda pembebanan biaya overhead pabrik
tetap sebagi biaya sampai saat produk yang bersangkutan
dijual.

E. Contoh kasus penentuan harga pokok produksi metode


Variable Costing dan Full Costing.
1. Contoh soal dan penyelesaiaan metode Variable Costing:
Diketahui pada tahun 2017, PT.MAKMUR JAYA
memproduksi sebanyak 1.000 unit produk A. Berikut data
biaya produksi untuk memproduksi produk A pada
PT.MAKMUR JAYA :
- Biaya bahan baku Rp. 200/unit
- Biaya tenaga kerja langsung Rp. 150/unit
- Biaya overhead tetap Rp. 100.000
- Biaya pemasaran variable Rp. 300/unit
- Biaya pemasaran tetap Rp. 150.000
- Biaya administrasi & umum tetap Rp. 200.000

18
Produk A dijual dengan harga Rp. 2.000/unit. Dan produk A terjual
1.000 unit. Hitunglah harga pokok produksi menggunakan metode
variable costing!

Penyelesaian :

Biaya bahan baku Rp. 200 x 1.000 = Rp. 200.000

Biaya tenaga kerja langsung Rp. 150 x 1.000 = Rp. 150.000 +

Biaya overhead variable Rp. 400 x 1.000 = Rp. 400.000

Harga pokok produksi Rp. 750.000

Jadi, dalam metode variable costing hanya memperhitungkan


biaya-biaya produksi yang bersifat variable dalam perhitungan
harga pokok produksi. Sedangkan biaya tetap dianggap sebagai
periode cost dan langsung dibebankan pada periode yang
bersankutan.

2. Contoh soal dan penyelesaiaan metode Full Costing:


Diketahui pada tahun 2017, PT. SEJAHTERA memproduksi
sebanyak 1.000 unit produk A. Berikut data biaya produksi
untuk memproduksi produk A pada PT. SEJAHTERA :
- Biaya bahan baku Rp. 200/unit
- Biaya tenaga kerja langsung Rp. 150/unit
- Biaya overhead variable Rp. 400/unit
- Biaya overhead tetap Rp. 100.000
- Biaya pemasaran variable Rp. 300/unit
- Biaya pemasaran tetap Rp. 150.000
- Biaya administrasi & umum tetap Rp. 200.000

Produk A dijual dengan harga Rp. 2.000/unit. Dan produk A


terjual 1.000 unit. Hitunglah harga pokok produksi
menggunakan metode full costing!

19
Penyelesaian :

Biaya bahan baku RP. 200 x 1.000 = Rp. 200.000

Biaya tenaga kerja langsung Rp. 150 x 1.000 = Rp. 150.000


+
Biaya overhead variable Rp. 400 x 1.000 = Rp. 400.000

Biaya overhead tatap Rp. 150.00

Harga pokok produksi Rp. 900.000

Jadi, dalam metode full costing semua biaya produksi


diperhitungkan dalam harga pokok produksi. Namun aka nada
biaya tetap yang belum dibebankan pada periode tersebut jika ada
produk yang belum laku terjual, sebab didalam produk tersebut
terdapat biaya overhead tetap yang melekat.

2.4 Definisi Activity Based Costing (ABC)

ABC merupakan kependekan dari Activity Based Costing (pembiyaan


atau penetapan biaya berdasarkan aktivitas). Karena istilah ini bagi
kalangan akedemisi dan para manajemen puncak sudah cukup popular
maka istilah ABC tidak akan diterjemahkan akan tetapi masih tetap dipakai
sebagaimana adanya (aslinya). ABC menjadi alat biaya popular dikalangan
perusahaan manufaktur pada tahun 1980.

Metode ABC merupakan alternative lain terhadap metode pembiyaan


tradisional atas biaya overhead. Konsep ini muncul karena dianggap
metode tradisional tidak tepat dalam mengalokasikan biaya overhead ke
produksi hanya dengan mengandalkan dasar bahan langsun, upah langsung
ataupun unit produksi saja. Menurut konsep ini pembenahan seperti itu
tidak adil dan akan dapat memberikan informasi keliru dalam pemberian
informasi mengenai biaya produksi, oleh karena itu ABC menawarkan

20
agar pembenahan overhead ihi juga didasarkan pada presentase
proporsional kepada biaya lain atau kepada produk. Tetapi kepada
kegiatan yang dilaksanakan untuk memproduksi barang itu, yang
diperhatikan adalah unsur yang men “drive” biaya itu (cost driver) bukan
produknya. Kalau konsep ini diterapkan maka keputusan yang diambil
akan lebih tepat dan perusahaan tidak mengalami kerugian hanya karena
kesalahan unit cost.

A. Pengertian Activity Based Costing (ABC)

Activity Based Costing pada dasrnya merupakan penentuan harga


pokok produk yang ditujukan untuk menyajikan informasi harga pokok
produk secara cermat untuk kepentingan manajemen, dengan
mengukur secara cermat konsumsi sumber daya dalam setiap aktivitas
yang digunakan untuk menghasilkan produk.

Jadi ABC (Activity Based Costing) adalah system akumulasi biaya


dan pembenahan biaya ke produk dengan menggunakan berbagai cost
driver, dilakukan dengan menelusuri biaya dari aktivitas dan setelah itu
menelusuri biaya dari aktivitas ke produk.

B. Tujuan ABC (Activity Based Costing)

Tujuan Activity Based Costing adalah untuk mengalokasikan biaya


ke transaksi dari aktivitas yang dilaksanakan dalam suatu organisasi
dan kemudian mengalokasikan biaya tersebut secara tepat ke produk
sesuai dengan pemakaian aktiviatas setiap produk. Full costing dan
Vriabel costing (konvensial) menitikberatkan penentuan harga pokok
produk pada fase produk saja, sedangkan untuk Activity Based
Costing menitikberatkan penentuan harga pokok produk pada semua
fase pembuatan produk yang terdiri dari :

21
1. Fase desaign dan pengembangan produk
- Biaya design (design expenses)
- Biaya pengujian (testing exspenses)
2. Fase produksi
- Unit level activity cost
- Batch level activity cost
- Product sustaining activity cost
- Facility sustaining activity cost
3. Fase dukungan logistic
- Biaya iklan (advertising expenses)
- Biaya distribusi (distribution expenses)
- Biaya garansi produk (product guarantee expenses)

C. Konsep Dasar ABC

Anggapan yang mendasari konsep ABC adalah sebagai berikut :

1. Kegiatan menimbulkan biaya


ABC berangkat dengan anggapan bahwa sumber daya pembantu
atau sumber daya tidak langsung menyediakan kemampuan untuk
melaksanakan kegiatan, bukan sekedar menyebabkan timbulnya
biaya yang harus dialokasika.
2. Produk menyebabkan timbulnya permintaan dan kegiatan
Untuk membuat produk diperlukan berbagai kegiatan, dan setiap
kegiatan memerlukan sumber daya untuk pelaksanaan kegiatan
tersebut.

Dngan konsep dasar ABC tersebut, biaya merupakan


konsumsi sumber daya (seperti bahan baku, sumber daya manusia,
teknologi, modal) dihubungkan dengan kegiatan yang
mengkonsumsi sumber daya tersebut. Dengan demikian hanya
dengan mengelola dengan baik kegiatan untuk menghasilkan

22
produk dan jasa, manajemen akan mampu membawa perusahaan
unggul dalam persaingan jangka panjang. Untuk mampu mengelola
kegiatan perusahaan, manajemen memerlukan informasi biaya
yang mencerminkan konsumsi sumber daya dalam berbagai
kegiatan perusahaan.

Pada awal pengembangan ABC digunakan dalam


perusahaan-perusahaan manufaktur yang memproduksi berbagai
macam produk dengan biaya overhead tinggi. Dalam merancang
ABC, kegiatan untuk memproduksi dan menjual produk dalam
perusahaan yang menghasilkan berbagai macam produk dapat
digolongkan ke dalam 4 macam kelompok besar yaitu :

1. Facility Sustaining Activity Cost

Biaya ini berhubungan dengan kegiatan untuk mempertahankan


kapasitas yang dimiliki perusahaan. Biaya depresiasi dan
amortisasi, biaya asusransi, biaya gaji karyawan kunci perusahaan
adalah contoh jenis biaya yang termasuk dalam facility sustaining
activity cost. Biaya dibebankan kepada produk atas dasar taksiran
unit produk yang dihasilkan kapasitas activity cost.

2. Product Sustaining Activity Cost

Biaya ini berhubungan dengan penelitian dan pengembangan


produk tertentu dan biaya-biaya untuk mempertahankan produk
untuk tetap dapat dipasarkan. Biaya tidak terpengaruh oleh jumlah
unit yang diproduksi dan jumlah batch produksi yang dilaksanakan
oleh divisi penjual. Contoh biaya ini adalah biaya desain produk,
desain proses pengelolaan produk, pengujian produk, biaya ini
dibebankan kepada produk atas dasar taksiran jumlah unit produk
tertentu yang akan dihasilkan selama umur produk tertentu (produk
life cycle).

23
3. Batch Activity Cost
Biaya ini berhubungan dengan jumlah batch produk yang
diproduksikan. Setiap cost yang merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk menyiapkan mesin dan peralatan sebelum suatu order
produksi diproses adalah contoh biaya yang termasuk dalam
golongan biaya ini, besar kecilnya biaya ini tergantung dari
frekuensi order produksi yang diolah oleh fungsi produksi. Biaya
ini tidak dipengaruhi oleh jumlah unit produk yang diproduksi
dalam setiap order produksi. Pembeli dibebani batch activity cost
berdasrkan jumlah batch activity cost yang dikeluarkan oleh
perusahaan dalam setiap menerima order dari pembeli.
4. Unit Level Activity Cost
Biaya ini dipengaruhi oleh besar kecilnya jumlah unit produk
yang dihasilkan. Biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya
energy, biaya angkutan adalah contoh biaya yang termasuk dalam
golongan ini, biaya ini dibebankan kepada produk berdasrkan
jumlah unit produk dikalikan dengan jumlah produk yang
sesungguhnya diperoleh.

D. Manfaat dan Keterbatasan Metode ABC


1. Manfaat ABC adalah :
 Menentukan harga pokok produk secara lebih akurat, terutama
untuk menghilangkan adanya subsidi silang sehingga tidak ada
lagi pembebanan harga pokok jenis tertentu terlalu tinggi
(cover costing) dan harga pokok jenis produk lain terlalu
rendah (under costing).
 Memperbaiki pembuatan keputusan.
Dengan mengunakan ABC tidak hanya menyajikan informasi
yang lebih akurat mengenai biaya produk, tetapi juga
memberikan informasi bagi manajer tentang aktivitas-aktivitas
yang menebabkan timbulnya biaya khususnya biaya tidak

24
langsung, yang merupakan hal penting bagi manajemen dalam
pengambilan keputusan baik mengenai produk maupun dalam
mengelola aktivitas-aktivitas sehingga dapat meningkatkan
efesiensi dan efektifitas usaha.
 Mempertinggi pengendalian terhadap biaya overhead
Biaya overhead di sebabkan oleh aktivitas-aktivitas yang terjadi
di perusahaan. System ABC memudahkan manajer dalam
mengendalikan aktivitas-aktivitas yang menimbulkan biaya
overhead tersebut.

2. Keterbatasan ABC adalah :


 System ABC menghendaki data-data yang tidak bisa
dikumpulkan oleh suatu perusahaan, seperti jumlah set-up,
jumlah inspeksi, jumlah order yang diterima.
 Pada ABC pengalokasiaan biaya overhead pabrik, seperti biaya
asuransi dan biaya penyusutan pabrik ke pusat-pusat aktivitas
lebih sulit dilakukan secara akurat karena makin banyaknya
jumlah pusat-pusat aktivitas.

E. Tahap-tahap ABC
Tahap-tahap dalam penerapan ABC adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasikan aktivitas-aktivitas
pengidentifikan aktivitas-aktivitas mengendaki adanya daftar jenis-
jenis pekerjaan yang terdapat dalam perusahaan yang berkaitan
dengan proses produksi.
2. Membebankan biaya ke aktivitas-aktivitas
Setiap kali suatu aktivitas ditetapkan, maka biaya pelaksanaan
aktivitas tersebut ditentukan.
3. Menentukan activity driver

25
Langkah berikutnya adalah menentukan activity driver untuk
masing-masing aktivitas yang merupakan faktor penyebab
pengendali dari aktivitas-aktiviatas tersebut.
4. Membebankan biaya ke produk
Langkah selanjutnya adalah mengkalikan tarif yang diperoleh
untuk setiap aktivitas tersebut dengan aktivitas driver yang
dikonsumsi oleh tiap-tiap jenis produk yang diproduksi untuk tiap
produk.

2.5 Sistem ABC (Activity Based Costing System)


Activity Based Costing System timbul sebagai akibat dari kebutuhan
manajemen akan informasi akuntansi yang mampu mencerminkan
konsumsi sumber daya dalam berbagai aktivitas untuk menghasilkan
produk. Kebutuhan akan informasi biaya yang akurat tersebut disebabkan
oleh persaingan global (Global Competition) yang dihadapi perusahaan
manufaktur memaksa manajemen untuk mencari berbagai alternative
pembuatan produk yang cost effective.
Penggunaan teknologi maju dalam pembuatan produk menyebabkan
proporsi biaya overhead pabrik dalam product cost menjadi dominan.
Untuk dapat memenangkan persaingan dalam kompetisi global,
perusahaan manufaktur harus menerapkan market driven strategy (
Menuntut manajemen untuk inovatif ). Pemanfaatan teknologi computer
dalam pengelolaan data akuntansi memungkinkan dilakukan pengolahan
berbagai iformasi biaya yang sangat bermanfaat dengan cukup akurat.

A. Sistem Biaya Activity Based Costing ( ABC)

Activity Based Costing (ABC) telah dikembangkan pada


organisasi sebagi suatu solusi untuk masalah-masalah yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik oleh system biaya tradisional,
system biaya ABC ini merupakan hal yang baru sehingga

26
konsepnya masih dan terus berkembang, sehigga ada berbagai
definisi mengenai system biaya ABC itu sendiri.

Beberapa ahli memberikan definisi mengenai system biaya


Activity Based Costing sebagai berikut:

1. Mulyadi (1993) : “ABC merupakan metode penentuan HPP


(product costing) yang ditujukan untuk menyajikan informasi
harga pokok secara cermat bagi kepentingan manajemen,
dengan mengukur secara cermat konsumsi sumber daya alam
setiap aktivitas yang digunakan untuk menghasilkan produk.”
2. Tunggal (1992) : “Bahwa ABC system tidak hanya
memberikan kalkulasi biaya produk yang lebih akurat, tetapi
juga memberikan kalkulasi apa yang menimbulkan biaya dan
bagaimana mengelolanya, sehingga ABC system juga dikenal
sebagai system manajemen yang pertama.”
3. Garrison dan Norren (2000) : “Metode costing yang dirancang
untuk menyediakan informasi biaya bagi manajer untuk
keputisan strategic dan keputusan lainnya yang mungkin akan
mempengaruhi kapasitas dan juga biaya tetap.”
4. Morse, Davis dan Hartgraves (1991) : Dalam bukunya
“Management Accounting” memberikan definisi mengenai
Activity Based Costing (ABC), sebagai system pengalokasian
dan pengalokasian kembali biaya keobjek biaya dengan dasr
aktivitas yang menyebabkan biaya. System ABC ini didasarkan
pada pemikiran bahwa aktivitas penyebab biaya dan biaya
aktivitas harus dialokasikan keobjek biaya dengan dasar
aktivitas biaya tersebut dikonsumsikan. System ABC ini
menelusuri biaya ke produk sebagi dasar aktivitas yang
digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.

27
B. Keunggulan dari Sistem Biaya Activity Based Costing (ABC)

keunggulan dari sistem biaya Activity based Costing (ABC)


dalam penentuan biaya produksi adalah sebagai berikut:

1. Biaya produk yang lebih realistik, khususnya pada industri


manufaktur teknologi tinggi dimana biaya overhead adalah
merupakan proporsi yang signifikan dari total biaya.
2. Semakin banyak overhead dapat ditelusuri ke produk. Dalam
pabrik yang modern, terdapat sejumlah aktivitas non lantai
pabrik yang berkembang. Analisis system biaya ABC itu
sendiri memberi perhatian pada semua aktivitas sehingga biaya
aktivitas yang non lantai pabrik dapat ditelusuri.
3. Sistem biaya ABC mengakui bahwa aktivitaslah yang
menyebabkan biaya (activities cause cost) bukanlah produk,
dan produklah yang mengkonsumsi aktivitas.
4. Sistem biaya ABC memfokuskan perhatian pada sifat riil dari
perilaku biaya dan membantu dalam mengurangi biaya dan
mengidentifikasi aktivitas yang tidak menambah nilai terhadap
produk.
5. Sistem biaya ABC mengakui kompleksitas dari diversitas
produksi yang modem dengan menggunakan banyak pemicu
biaya (multiple Cost Drivers), banyak dari pemicu biaya
tersebut adalah berbasis transaksi (transaction-based) dari pada
berbasis volume produk.
6. Sistem biaya ABC memberikan suatu indikasi yang dapat
diandalkan dari biaya produk variabel jangka panjang (long run
variabel product cost) yang relevan terhadap pengambilan
keputusan yang strategik.
7. Sistem biaya ABC cukup fleksibel untuk menelusuri biaya ke
proses, pelanggan, area tanggung jawab manajerial, dan juga
biaya produk.

28
Sistem ABC ini akan menghilangkan aktivitas-aktivitas dan
waktu yang tidak memiliki nilai tambah pada proses pembuatan
suatu produk. Waktu yang tidak bernilai tambah tersebut adalah
waktu pindah, waktu inspeksi, dan waktu tunggu.

C. Perbandingan Sistem Biaya ABC dengan Sistem biaya


tradisional

Suatu temuan yang konsisten dari buku akuntansi biaya


tradisional adalah ketidak tepatan dalam menggunakan informasi
biaya untuk menjalankan suatu pabrik manufakturing.
Hal ini berbeda dengan sistem biaya ABC yang memberikan
informasi biaya yang lebih akurat. Sistem biaya ABC menelusuri
biaya produksi tidak langsung ke unit, batch, lintasan produk, dan
seluruh fasilitas berdasarkan aktifitas tiap level. Metode penentuan
biaya ini menghasilkan biaya akhir produk yang lebih akurat dan
lebih realistis.
Beberapa perbandingan antara sistem biaya tradisional dan
sistem biaya Activity Based Costing (ABC) yang dikemukakan
oleh Tunggal (1995) adalah sebagai berikut:
1. Sistem biaya ABC menggunakan aktivitas-aktivitas sebagai
pemicu biaya (driver) untuk menentukan seberapa besar
konsumsi overhead dari setiap produk. Sedangkan sistem biaya
tradisional mengalokasikan biaya overhead secara arbitrer
berdasarkan satu atau dua basis alokasi yang non reprersentatif.
2. Sistem biaya ABC memfokuskan pada biaya, mutu dan faktor
waktu. Sistem biaya tradisional terfokus pada performansi
keuangan jangka pendek seperti laba. Apabila sistem biaya
tradisional digunakan untuk penentuan harga dan profitabilitas
produk, angka-angkanya tidak dapat diandalkan.

29
3. Sistem biaya ABC memerlukan masukan dari seluruh
departemen persyaratan ini mengarah ke integrasi organisasi
yang lebih baik dan memberikan suatu pandangan fungsional
silang mengenai organisasi.
4. Sistem biaya ABC mempunyai kebutuhan yang jauh lebih kecil
untuk analisis varian dari pada sistem tradisional , karena
kelompok biaya (Cost Pools) dan pemicu biaya (Cost Driver)
jauh lebih akurat dan jelas, selain itu ABC dapat menggunakan
data biaya historis pada akhir periode untuk menghilang biaya
aktual apabila kebutuhan muncul.

D. Perhitungan Cost of Goods Manufactured Dengan


Menggunakan Sistem Activity Based Costing.
Metode ABC mencoba mengatasi masalah pembebanan biaya
overhead pabrik. Dalam metode ini, biaya overhead akan
dibebankan kepada produk berdasarkan konsumsi aktivitasnya
secara nyata. Aktivitas-aktivitas yang dapat diidentifikasi dalam
proses produksi yaitu. Biaya overhead yang dikeluarkan akibat
dilakukannya aktivitas tersebut antara lain biaya listrik, biaya oli
dan service, biaya obat, biaya sparepart, biaya umum, biaya
service, biaya inspeksi, depresiasi bangunan, mesin dan kendaraan.
Aktivitas-aktivitas produksi dikelompokkan menjadi beberapa
pusat aktivitas yaitu:
1. Aktivitas Pemeliharaan Inventaris:
- Biaya Depresiasi Gedung
- Biaya Depresiasi Mesin
- Biaya Depresiasi Kendaran
- Biaya Umum
2. Aktivitas Proses Penenunan Kain:
- Biaya Setup

30
- Biaya Listrik
- Biaya Obat
- Biaya Sparepart
- Biaya Oli dan service
3. Aktivitas inspeksi: Biaya inspeksi.

2.6 Activity Based Management (ABM)


Activity Based Management (ABM) atau manajemen berdasarkan
aktivitas adalah pendekatan yang luas dan terpadu yang memfokuskan
perhatian manajemen pada aktivitas dengan tujuan perbaikan nilai pelanggan
dan laba yang dicapai dengan menyediakan nilai ini.
Menurut Mulyadi (2001 ; 614), manajemen berbasis aktivitas adalah
pendekatan pengelolaan terpadu dan bersistem terhadap aktivitas dengan
tujuan untuk meningkatkan customer value dan laba yang dicapai dari
penyediaan value tersebut. Sedangkan menurut Supriyono (1999 ; 354),
manajemen berbasis aktivitas (MBA) adalah suatu disiplin (sistem yang luas
dan pendekatan yang terintegrasi) yang memusatkan perhatian manajemen
pada aktivitas-aktivitas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai yang
diterima oleh konsumen dan laba yang diperoleh dari penyediaan nilai
tersebut.

Dari definisi-definisi di atas, dapat diketahui bahwa ABM memiliki dua


frasa penting yaitu : Manajemen berbasis aktivitas berfokus kepengelolaan
secara terpadu dan bersistem pada aktivitas yang bertujuan meningkatkan
customer value dan laba. Manajemen berbasis aktivitas berfokus ke
aktivitas yaitu serangkaian kegiatan yang membentuk suatu proses untuk
pembuatan produk dan penyerahan jasa.

ABM bertujuan untuk meningkatkan customer value secara


berkelanjutan dan penghilangan pemborosan. Dengan hilangnya
pemborosan, biaya dapat berkurang, sehingga laba akan meningkat.
Pemborosan diakibatkan oleh adanya aktivitas bukan penambah nilai dan

31
aktivitas penambah nilai yang tidak dilaksanakan secara efisien. Dengan
demikian, fokus ABM adalah penyebab terjadinya biaya itu sendiri,
yaitu dengan menghilangkan aktivitas bukan penambah nilai dan
memperbaiki aktivitas penambah nilai yang akibatnya adalah menurunkan
biaya dan meningkatkan laba.

A. Dimensi Ativity Based Management (ABM)


Manajemen berdasarkan aktivitas meliputi penghitungan
biaya produk atau Activity Based Costing (ABC) dan analisis
nilai proses atau Process Value Analysis (PVA). Jadi, model
manajemen berdasarkan aktivitas memiliki dua dimensi, yaitu :
1. Dimensi Biaya
Dimensi biaya memberikan informasi biaya mengenai
sumber daya, aktivitas, produk dan pelanggan (dan objek
biaya lainnya yang diperlukan). Tujuan dimensi biaya
adalah memperbaiki keakuratan pembebanan biaya.
Sebagaimana disebutkan pada model terserbut, sumber
biaya ditelusuri pada aktivitas, dan kemudian biaya
aktivitas dibebankan pada produk dan pelanggan. Dimensi
penghitungan biaya berdasarkan aktivitas berguna untuk
penghitungan biaya produk, manajemen biaya strategis, dan
analisis taktis.
Dimensi biaya atau dimensi ABC atau dimensi vertikal
atau dimensi pembebanan biaya adalah dimensi ABM.
Yang bertujuan menyempurnakan keakuratan biaya pada
objek – objek biaya dengan cara :
 Sumber-sumber. Tahap pertama ABC adalah
mengidentifikasi biaya sumber-sumber.
 Aktivitas-aktivitas. Tahap kedua ABC adalah
menelusuri biaya-biaya sumber-sumber pada aktivitas-
aktivitas.

32
 Objek biaya. Tahap ketiga ABC adalah membebankan
biaya pada objek-objek biaya misalnya berbagai produk
atau konsumen yang mengkonsumsi aktivitas-aktivitas.

2. Dimensi Proses
Dimensi proses, memberikan informasi tentang aktivitas
apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan, dan seberapa baik
dikerjakannya. Dimensi inilah yang memberikan kemampuan
untuk berhubungan dan mengukur perbaikan berkelanjutan.
Dimensi proses atau dimensi mendatar atau analisis nilai
proses adalah dimensi ABM yang mengendalikan aktivitas –
aktivitas dengan cara :
 Menganalisis driver-driver biaya. Analisis driver biaya
adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan
biaya atau menjelaskan mengapa biaya aktivitas terjadi
(analisis driver aktivitas).
 Mengidentifikasikan aktivitas. Mengidentifikasikan
aktivitas adalah menilai aktivitas-aktivitas apa yang
dilaksanakan.
 Menganalisis kinerja. Menganalisis kinerja adalah
mengevaluasi aktivitas-aktivitas yang dilaksanakan untuk
menilai seberapa baik kinerja.

B. Tujuan dan Manfaat Ativity Based Management (ABM)


Tujuan ABM adalah untuk meningkatkan nilai produk atau
jasa yang diserahkan ke konsumen. Oleh karena itu, dapat
digunakan untuk mencapai laba ekstra dengan menyediakan nilai
tambah bagi konsumennya.
ABM memusatkan pada akuntabilitas aktivitas – aktivitas dan
bukan pada biaya, ABM menekankan pada maksimalisasi kinerja
secara luas daripada kinerja individual.

33
Manfaat ABM menurut Supriyono (Supriyono, 1999: 356)
adalah :
1. Mengukur kinerja keuangan dan pengoperasian (non
keuangan) organisasi dan aktivitas – aktivitasnya.
2. Menentukan biaya-biaya dan profitabilitas yang benar
untuk setiap tipe produk dan jasa.
3. Mengidentifikasikan aktivitas-aktivitas bernilai tambah dan
tidak bernilai tambah.
4. Mengelompokkan aktivitas-aktivitas (faktor-faktor yang men-
driver biaya-biaya) dan mengendalikannya.
5. Mengefisiensikan aktivitas bernilai tambah dan
mengeliminasi aktivitas-aktivitas tak bernilai tambah.
6. Menjamin bahwa pembuatan keputusan, perencanaan, dan
pengendalian didasarkan pada isu-isu bisnis yang luar dan
tidak semata berdasarkan pada informasi keuangan.
7. Menilai penciptaan rangkaian nilai tambah untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasaan konsumen.

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Just In Time adalah sistem yang memproduksi barang hanya ketika produk
dibutuhkan dan hanya dalam jumlah yang diminta konsumen. JIT diasumsikan
bahwa semua biaya selain bahan langsung digerakkan oleh waktu dan ruang.
JIT secara khusus mengurangi persediaan sampai tingkat jauh lebih rendah dari
sistem konvensional, menekankan pada pengendalian mutu, serta
menghasilkan perubahan mendasar dalam cara produksi diorganisasi dan
dilaksanakan. Pada dasarnya, JIT menekankan pada perbaikan berkelanjutan
melalui penurunan biaya persediaan dan pertautan dengan masalah-masalah
ekonomi lainnya. Penurunan persediaan menghemat modal yang dapat
dimanfaatkan untuk investasi lebih produktif.
Sistem JIT secara simultan bertujuan untuk memenuhi permintaan
pelanggan secara tepat waktu dengan produk yang berkualitas dan dengan total
biaya serendah mungkin. Suatu sistem JIT memiliki fitur-fitur berikut :
1. Produksi diorganisasikan dalam sel manufaktur
2. Pekerja direkrut dan dilatih agar multiterampil dan mampu melaksanakan
beragam operasi serta tugas
3. Kerusakan dieliminasi secara agresif
4. Waktu setup akan dikurangi dan waktu tenggang manufaktur juga
dikurangi.
5. Pemasok dipilih atas dasar kemampuannya untuk mengirimkan bahan
kualitas secara tepat waktu.
Salah satu keuntungan sisten JIT terletak pada pengurangan jumlah
investasi yang melekat dalam persediaan bahan baku dan barang jadi dan
perusahaan manufakturing tidak perlu menyediakan fasilitas gudang
persediaan yang besar. Disisi lain, salah satu kelemahan sistem JIT adalah
tertundanya penerimaan bahan yang penting dapat mengakibatkan operasi
pabrik menjadi terhenti. Oleh karena itu dalam JIT, penjadwalan kedatangan

35
bahan hanya layak bila pemasok dan sistem transportasi memiliki kehandalan
yang tinggi. Untuk mencapai efektivitas yang paling besar, JIT memerlukan
MRP yang sehat dan prosedur MRP II yang tergantung pada supplier.
Activity Based Costing adalah suatu usaha yang sistematis untuk
menelusuri biaya overhead ketujuan biaya (cost objectives) dengan cara
merefleksikan bagaimana tujuan biaya menciptakan biaya (how the objectives
creat the cost). Akuntansi aktivitas mengubah cara perusahaan mengelola
biaya. Dengan cara menghubungkan biaya perusahaan terhadap aktivitas.
Biaya produk merupakan jumlah biaya dari semua aktivitas, yang dapat
ditelusuri berdasarkan pengguna aktivitas. Pengendalian biaya difokuskan
pada sumber biaya, dengan mengabaikan unit organisasi.
Suatu aktivitas menunjukkan “apa” yang sistem perusahaan lakukan, yaitu
bagaimana waktu digunakan dan keluaran diproses. Fungsi suatu aktivitas
adalah mengkonversikan sumber daya (material, tenaga kerja, dan teknologi)
menjadi keluaran (output). Activity costing dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengidentivikasi aktivitas (seperti penanganan material, setup,
penjadwalan dan pengiriman) yang menciptakan biaya overhead.
2. Mengumpulkan semu biaya overhead yang berhubungan dengan suatu
aktivitas dalam suatu “cost pools” untuk aktivitas tersebut.
3. Membagi biaya total untuk setiap aktiovitas, berdasarkan jumlah unit dari
aktivitas yang diproduksi untuk menghitung biaya per unit dari aktivitas
yang disediakan.
4. Membebankan biaya aktivitas ke-setiap “cost objective” degan
menggunakan unit aktivitas yang dikonsumsi.

3.2 Saran

Demikian makalah yang dapat kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca. Apabila ada saran dan kritik yang berrsifat membangun sangat
kami harapkan demi perbaikan selanjutnya. Apabila ada terdapat kesalahan

36
mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan pengetahuan bagi semua.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.slideshare.net/mobile/AndriiyBalapadang/abc-abm-abb-and-jit

https://www.google.co.id/search?q=manfaat+mengetahui+sistem+ABC+bagi+ma
hasiswa&client=ucweb-b&channel=sb

http://scholar.google.co.id/scholar?start=10&q=sistem+persediaan+JIT&hl=id&as
_sdt=0,5&as_vis=1

https://dwiermayanti.wordpress.com/2011/11/14/penentuan-harga-pokok-produk-
dengan-metode-konvensional/

https://www.e-akuntansi.com/2015/09/activity-based-management-
abm.html?m=1

37

Anda mungkin juga menyukai