Spektrum Jurnal Pendidikan Vol 2 PDF
Spektrum Jurnal Pendidikan Vol 2 PDF
2 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
Yasniarti 3
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
4 Yasniarti
PENERAPAN THINK-PAIR-SHARE UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR SISWA PADA MATERI PLANTAE
Yasniarti
Pengajar Bidang Studi Biologi SMA Negeri Jatinangor
yasniarti13@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui peningkatan hasil belajar Biologi siswa
kelas X3 SMA Negeri Jatinangor melalui penerapan metode Think Pair Share
(TPS). Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classrom Action
Research) yang terdiri dari tiga siklus. Subjek penelitian ini adalah kelas X3
dengan jumlah siswa sebanyak 40 orang, terdiri dari 29 perempuan dan 11 laki-
laki. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument berupa
lembar observasi, dan tes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Proses
pembelajaran dengan penerapan metode TPS terdiri empat tahapan yaitu tahap
think (berpikir secara individu), tahap pair (berpasangan), tahap share (berbagi
jawaban dengan pasangan lain) dilanjutkan dengan mempresentasikan jawaban
kelompoknya di depan kelas, dan tahap penghargaan; (2) Dengan penerapan
metode PTS dalam pembelajaran Biologi kelas X3 SMA Negeri Jatinangor
ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa, ditunjukkan dengan rata-rata
hasil evaluasi tiap siklus mengalami peningkatan yaitu dari 66,25 pada pra
tindakan menjadi 75,63 pada siklus 1 serta terjadi peningkatan ratata-rata secara
klasikal menjadi 84,63 pada siklus 2, kemudian terjadi peningkatan ratata-rata
kembali secara klasikal menjadi 89,50 pada siklus 3.
Pendahuluan
Proses belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting bagi guru dalam
mengaktualisasikan keterampilannya dalam mengajar. Guru dianggap orang yang
mampu merubah manusia yang tadinya tidak ada apa-apanya menjadi manusia yang
serba bisa dan serba tahu. Pembelajaran adalah membangun pengalaman belajar siswa
dengan berbagai keterampilan proses sehingga mendapatkan pengalaman dan
pengetahuan baru. Sedangkan kreatif dimaksudkan agar guru mampu menciptakan
kegiatan belajar yang beragam sehingga memenuhi dan mampu memberikan pelayanan
pada berbagai tingkat kemampuan dan gaya belajar siswa. Di sisi lain menyenangkan
dimaksudkan agar guru mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan
sehingga siswa memusatkan perhatian secara penuh. Seperti halnya yang dikemukakan
oleh Subana (2002) bahwa pembelajaran kreatif dan menyenangkan merupakan usaha
membangun pengalaman belajar siswa dengan berbagai keterampilan proses untuk
mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru, melalui penciptaan kegiatan belajar
yang beragam dan mengkondisikan suasana belajar sehingga tingkat kemampuan siswa
bertambah, serta siswa lebih terpusat perhatiannya secara penuh.
Pendapat di atas, menunjukkan bahwa melalui proses belajar, siswa dapat
memiliki perubahan tingkah laku ke arah keberhasilan pengetahuan, dan peningkatan
kompetensi sebagaimana yang telah menjadi target pendidikan.
- 105 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
106 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
Yasniarti 107
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau kelas). Pada tahap ini, setiap
pasangan atau kelompok kemudian berbagi hasil pemikiran, ide, dan jawaban mereka
dengan pasangan atau kelompok lain atau kelompok yang lebih besar yaitu kelas.
Langkah ini merupakan penyempurnaan langkah-langkah sebelumnya, dalam artian
bahwa langkah ini menolong agar semua kelompok berakhir pada titik yang sama yaitu
jawaban yang paling benar. Pasangan atau kelompok yang pemikirannya masih kurang
sempurna atau belum menyalesaikan permasalahannya diharapkan menjadi lebih
memahami pemecahan masalah yang diberikan berdasarkan penjelasan kelompok lain
yang berkesempatan untuk mengungkapkan pemikirannya. Atau jika waktu masih
memungkinkan, dapat juga memberi kesempatan pada semua kelompok untuk maju
dan menyampaikan hasil diskusinya bersama pasangannya.
Pada kesempatan ini guru dapat meluruskan dan mengoreksi maupun
memberikan penguatan jawaban di akhir pembelajaran.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tiga
siklus yang dilaksanakan di kelas X-3 SMA Negeri Jatinangor. Subjek penelitian
terdiri atas 40 siswa yang terdiri dari 29 perempuan dan 11 laki-laki. Jenis data yang
dikupulkan berupa data kuantitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil tes, dan data
kualitatif yaitu data yang diperoleh dari hasil observasi aktivitas maupun kemampuan
ilmiah siswa, yang dijaring dengan instrumen penelitian berupa lembar observasi
keterlaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa dan tes.
Pedoman observasi keterlaksanaan pembelajaran mempunyai 4 alternatif jawaban,
yaitu dengan cara memberikan skor pada rentang skor 1, 2, 3 dan 4. Untuk mengetahui
ada tidaknya peningkatan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada mata
pelajaran Biologi pada materi Plantae, dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata
hasil tes pada tiap siklus.
Tindakan Siklus I
Perencanaan penelitian meliputi: Membuat Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP); Menyusun dan menyiapkan lembar observasi
keterlaksanaan pembelajaran di kelas dengan model pembelajaran TPS (thinking-pair-
share); Menyusun media pembelajaran yaitu LKS dengan materi plantae; dan
Mempersiapkan kuis dan soal tes yang diajukan kepada siswa.
Pelaksanaan Tindakan. Pada tahap pelaksanaan, guru melaksanakan rencana
pembelajaran menggunakan model TPS masalah sesuai dengan yang telah
direncanakan. Selama proses pembelajaran berlangsung, guru mengajar sesuai dengan
RPP yang sudah dibuat peneliti, yaitu pembelajaran biologi menggunakan model TPS
pada materi Plantae. Tindakan yang dilakukan sifatnya fleksibel dan terbuka terhadap
perubahan-perubahan sesuai dengan apa yang terjadi pada saat pembelajaran.
Pengamatan atau observasi. Pengamatan atau observasi merupakan upaya
mengamati pelaksanaan tindakan. Observasi dilakukan oleh peneliti dan team
peneliti selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar
observasi yang telah dibuat. Kegiatan ini dilaksanakan selama proses pembelajaran
berlangsung dengan menggunakan lembar observasi pembelajaran.
Refleksi. Refleksi bertujuan untuk mengetahui kekurangan-kekurangan
maupun kelebihan-kelebihan yang terjadi selama pembelajaran. Refleksi
108 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
dilakukan oleh peneliti dan team yang bersangkutan dengan cara berdiskusi.
Diskusi tersebut dilaksanakan untuk mengevaluasi hasil tindakan dan merumuskan
perencanaan berikutnya.
Langkah-langkah tersebut dituangkan dalam rencana terevisi untuk
melakukan tindakan pada siklus II hingga aktivitas dan hasil belajar siswa
meningkat.
Yasniarti 109
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Tindakan Siklus II
Pelaksanaan siklus II ini didasari dari hasil refleksi pada siklus I. berdasarkan
masalah-masalah yang timbul pada siklus I, kemudian ditetapkan alternatif
pemecahan masalahnya dengan harapan tidak terulang pada siklus II nantinya.
Apabila hasil refleksi pada siklus II menunjukkan belum tercapainya indikator
ketercapaian pembelajaran maka siklus akan dilanjutkan, dan sebaliknya apabila
refleksi pada siklus II telah menunjukkan tercapainya indikator ketercapaian
pembelajaran maka siklus akan dihentikan.
Gambaran tentang aktivitas siswa selama pembelajaran pada siklus II
dapat disajikan pada grafik 01 berikut.
Selain aktivitas guru dalam PBM, dan juga aktivitas siswa selama
mengikuti proses pembelajaran, dalam hal ini penelitipun melakukan tes
penguasaan siswa terhadap materi pembelajaranpun hal ini dilakukan untuk
mengetahui ketercapaian proses pembelajaran dalam hal hasil belajar siswa.
Dari skor ideal 100, skor perolehan rata-rata secara klasikal baru mencapai rata-
rata 84, 63.
Adapun keberhasilan yang diperoleh selama penelitian yang dilakukan
mulai dari siklus 1 sampai siklus 2 ini, yaitu ditandai dengan adanya
110 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
Meningkatnya rata-rata nilai pos tes tiap tindakan dari 66,25 pada pra
tindakan menjadi 75,63 pada siklus 1 serta mengalami peningkatan ratata-rata
menjadi 84,63 pada siklus 2, dan sudah dikatakan tuntas. Untuk lebih jelasnya
berikut ini disajikan grafik peningkatan hasil evaluasi tiap tindakan.
Yasniarti 111
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Dengan demikian dari hasil data yang diperoleh dalam penelitian, maka
perlu dilakukan pembelajaran lebih lanjutan karena penelitian ini dikhawatirkan
belum memperoleh nilai yang konstan. Maka diperlukan nilai hasil
pembelajaran selanjutnya.
112 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
Aktivitas siswa dalam PBM didukung oleh meningkatnya aktivitas guru dalam
mempertahankan dan meningkatkan suasana pembelajaran yang mengarah pada
langkah-langkah pembelajaran berdasarkan model TPS. Guru sangat intensif
membimbing siswa, terutama saat siswa mengalami kesulitan dalam PBM dapat dilihat
dari hasil observasi aktivitas guru dalam PBM meningkat apabila dirata-ratakan dari
tiap siklus dari 83,5% pada siklus 1, menjadi 93,5% pada siklus 2 dan terakhir pada
siklus 3 menjadi 96%, seperti dapat dilihat pata grafik 05.
Meningkatnya rata-rata nilai pos tes tiap tindakan dari 66,25 pada pra tindakan
menjadi 75,63 pada siklus 1 serta mengalami peningkatan ratata-rata menjadi 84,63
pada siklus 2, kemudian terakhir mengalami peningkatan kembali pada siklus 3 yaitu
sebesar 89,50 dan dengan demikian bahwa nilai siswa sudah dikatakan tuntas. Untuk
lebih jelasnya berikut ini disajikan grafik peningkatan hasil evaluasi tiap tindakan pada
Gambar 06.
Yasniarti 113
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Dengan demikian dari hasil data yang diperoleh dalam penelitian, maka tidak
perlu dilakukan pembelajaran lanjutan karena penelitian ini telah menunjukkan adanya
peningkatan sesuai dengan harapan dan standar ketuntasan yang telah di tetapkan di
sekolah ini.
Kesimpulan
Proses pembelajaran dengan penerapan model TPS terdiri empat tahapan yaitu
Pertama, tahap think (berpikir secara individu). Kedua, tahap pair (berpasangan),
Ketiga, tahap share (berbagi jawaban dengan pasangan lain atau kelas), dan Keempat,
tahap penghargaan, pada tahap akhir siswa diberi penghargaan baik dari segi individu
maupun kelompok. Nilai individu didapatkan berdasarkan hasil jawaban pada tahap
think, sedangkan nilai kelompok diambil berdasarkan tahap pair dan share, terutama
sekali yaitu ketika pada tahap presentasi di depan kelas.
Dengan penerapan model PTS dalam pembelajaran Biologi kelas X3 SMA N
Jatinangor ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat ditunjukkan
dengan rata-rata hasil evaluasi tiap siklus mengalami peningkatan yaitu dari 66,25 pada
pra tindakan menjadi 75,63 pada siklus 1 serta terjadi peningkatan ratata-rata secara
klasikal menjadi 84,63 pada siklus 2, serta mengalami peningkatan juga pada siklus 3
yaitu menjadi 89,50 dan sudah dikatakan tuntas.
Saran
Degnan terbuktinya penerapan type TPS dalam meningkatkan aktivitas dan hasil
belajar siswa pada pembelajaran Biologi dengan kompetensi dasar menerapkan prinsip
klasifikasi untuk menggolongkan tumbuhan ke dalam divisio berdasarkan pengamatan
morfologi dan metagenesis tumbuhan serta mengaitkan peranannya dalam
kelangsungan kehidupan di bumi, maka disarankan hal-hal sebagai berikut: (1) Dalam
kegiatan belajar mengajar guru diharapkan mampu menggunakan TPS (Think-pair-
share) sebagai suatu alternatif dalam mengelola pembelajaran biologi khususnya pada
pokok bahasan Plantae (Tumbuhan) untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
siswa; dan (2) Karena kegiatan ini sangat bermanfaat khususnya bagi guru dan siswa,
114 Yasniarti
Penerapan Think-Pair-Share untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Plantae
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Dahar, Ratna Willis. 1996. Teori-Teori Belajar. Jakarta : Erlangga.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Margono. 2004. Metode Penelitian Pendidikan :Komponen MKDK. Jakarta : Rineka
Cipta.
Natawijaya, Rohman. 1997. Konsep Dasar Penelitian Tindakan (Action Research).
Bandung : IKIP Bandung.
Slameto (1995). Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
cipta
Subana.2002. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia. Jakarta :Pustaka Setia.
Sudjana, Nana. 2001. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung : Sinar Baru.
Suprayekti. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta : Direktorat Tenaga
Kependidikan.
Wiriatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Yasniarti 115
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
116 Yasniarti
PENERAPAN MODEL PENILAIAN PORTOFOLIO
DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA
PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS XI-A3 SMAN TANJUNGSARI
Idah Isnendawati
Pengajar Bidang Studi Matematika SMAN Tanjungsari
ABSTRAK
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti di kelas XI-A3 SMAN
Tanjungsari, menunjukkan rendahnya tingkat penguasaan siswa terhadap
pembelajaran trigonometri. Data tersebut mengindikasikan bahwa siswa kelas XI-
A3 SMAN Tanjungsari perlu mendapatkan perhatian lebih dalam pembelajaran.
Tindakan yang dianggap paling sesuai untuk perbaikan pembelajaran di kelas
tersebut adalah dengan menerapkan model penilaian portofolio. Penilaian
portofolio merupakan suatu kumpulan bahan pilihan yang dapat memberi
informasi bagi suatu penilaian kerja yang obyektif. Cara pembelajaran
trigonometri dengan penilaian portofolio adalah membahas hasil pemeriksaan,
penilaian dan komentar kepada siswa yang tertera dalam hasil kerja siswa.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian
tindakan kelas yang desainnya mengacu pada model spiral yang dikembangkan
oleh Stephen Kemmis dan Mc Taggart, yang terdiri dari empat komponen, yaitu:
perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observing) dan refleksi
(reflecting). Instrumen yang digunakan terdiri dari lembar observasi kinerja guru
dan aktivitas siswa, lembar wawancara, catatan lapangan dan tes. Dari keseluruhan
penelitian selama 3 siklus, diperoleh peningkatan hasil belajar siswa dengan nilai
rata-rata kelas pada siklus I sebesar 64%, siklus II sebesar 75%, dan siklus III
sebesar 89%.
Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang telah berkembang cukup
pesat, baik secara konten materi maupun aplikasinya. Oleh sebab itulah maka konsep-
konsep dasar matematika harus dikuasai anak didik sejak dini yang pada akhirnya
siswa terampil dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Matematika di SMA khususnya, dapat menumbuhkembangkan
kemampuan bernalar, yaitu berpikir sistematis, logis, dan kritis dalam
mengkomunikasikan gagasan atau dalam pemecahan masalah, karena unsur utama
matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi, yaitu kebenaran
suatu konsep atau pernyataan yang diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran
selanjutnya, sehingga antar konsep atau pernyataan dalam Matematika merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, yakni: materi matematika yang dipahami melalui
penalaran, dan dilatihkan melalui belajar materi matematika.
Dalam pembelajaran, sebuah konsep sering muncul sebagai pengalaman atau
intuisi, atau dari pengalaman peristiwa nyata (yaitu pemahaman konsep sering diawali
secara induktif), walaupun kebenaran harus dibuktikan secara deduktif. Penalaran
induktif didasarkan fakta dan gejala yang muncul untuk sampai pada pemikiran
- 117 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
tertentu. Tetapi pemikiran ini, harus dibuktikan secara deduktif, dengan argument yang
konsisten.
Cara belajar secara deduktif dan induktif digunakan dan sama-sama berperan
penting dalam matematika. Dari cara kerja matematika tersebut diharapkan akan
membentuk sikap, kritis, kreatif, jujur dan komunikatif bagi peserta didik. Seperti yang
tercantum dalam kurikulum mata pelajaran matematika (Muchtar A. Karim, 1997:10),
tujuan umum pada jenjang pendidikan dasar adalah: (1) Mempersiapkan siswa agar
sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu
berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional,
kritis, cermat, jujur dan efektif; (2) Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan
Matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam
mempelajarinya berbagai ilmu pengetahuan. Begitu juga dalam kurikulum 2004,
proses pembelajaran matematika menitikberatkan pada kegiatan siswa dalam bentuk
penyelidikan dan penemuan, penalaran dan komunikasi serta pemecahan masalah.
Melalui proses pembelajaran tersebut, maka siswa dapat memiliki kompetensi dasar
Matematika sesuai dengan tuntunan kurikulum dan tuntutan zaman.
Tujuan tersebut di atas, dianggap tercapai bila para siswa telah memiliki
sejumlah kemampuan di bidang matematika yang salah satunya adalah terampil dalam
pengerjaan hitungan trigonometri dengan tepat. Dalam KTSP mata pelajaran
Matematika pada kelas XI, terdapat standar kompetensi: ―Menentukan sifat-sifat
operasi hitung, faktor kelipatan bilangan bulat dan pecahan, serta menggunakannya
dalam pemecahan sehari-hari‖ (Depdiknas, 2006:39). Namun, kenyataannya di
lapangan berdasarkan hasil observasi penulis, terbukti bahwa untuk mencapai tujuan di
kelas XI tersebut ditemukan masalah bahwa sebagian besar siswa kesulitan dalam
trigonometri dengan teknik menyimpan.
Kesulitan tersebut timbul dari factor internal dan eksternal, baik dari guru, siswa,
materi, media, dan penilaian. Dalam pembelajaran guru hanya memberikan tugas untuk
mengalikan soal-soal perhitungan sehingga siswa tanpa mengetahui cara-cara
penyelesaian soal, tidak mengetahui kesalahan dan kemajuan yang dibuat oleh dirinya.
Kemudian dalam penilaian hanya mencantumkan angka atau huruf sehingga tidak ada
bukti-bukti siswa membuat kesalahan dan kemajuan.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan oleh penulis, dari siswa 20
orang diperoleh data bahwa ketika para siswa diberi soal trigonometri dengan teknik
menyimpan berjumlah 10 soal, maka sebagian besar siswa mendapatkan kesulitan
dalam mengerjakan soal trigonometri dengan teknik menyimpan.
Dari hasil observasi awal, selanjutnya dihubungkan dengan teori yang telah
penulis kaji, maka pembelajaran trigonometri di kelas XI SMAN Tanjungsari perlu
ditingkatkan, salah satu upaya untuk meningkatkan pembelajaran trigonometri tersebut
adalah melalui penilaian portofolio.
Hal ini didasarkan pada mutu penilaian kelas di SMA dalam konteks
pembelajaran Matematika menjadi tanggung jawab bersama, maka perlu direncanakan
dan diatur sesuai dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Hal ini
dimaksudkan untuk memberdayakan sekolah sesuai dengan prinsip penilaian berbasis
kelas yang merupakan prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang
akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang
jelas mengenai kemajuan siswa sebagai akuntabilitas publik.
Salah satu komponen dalam KTSP, penilaian harus dilaksanakan secara terpadu
dengan kegiatan belajar mengajar, untuk mengumpulkan informasi tentang tingkat
pencapaian siswa diperlukan pelaksanaan penilaian, salah satunya dengan penilaian
portofolio.
Pernilaian portofolio ini merupakan koleksi atau kumpulan yang dikembangkan
oleh guru yang dapat member informasi bagi suatu penilaian kinerja yang objektif.
Untuk mengembangkan portofolio, siswa dengan bimbingan guru harus
mengembangkan sejumlah karya, kemudian karya tersebut dikoleksi atau dikumpulkan
serta dikomentari oleh guru mengenai kelebihan dan kekurangannya.
Pentingnya penilaian portofolio dilaksanakan untuk mengatasi siswa kesulitan
dalam menyelesaikan trigonometri dengam teknik menyimpan didasarkan pada
pertimbangan bahwa: (1) Penilaian portofolio adalah acuan penilaian yang merupakan
kumpulan hasil pekerjaan siswa yang disimpan secara bertahap dan sistematis,
sehingga sangat diperlukan untuk peningkatan dan kemajuan prestasi siswa; (2)
Portofolio merupakan kumpulan pengalaman belajar dengan proses social pedagogis
yang terdapat dalam pikiran siswa berupa pengetahuan, nilai dan sikap yang dapat
meningkatkan pemahaman pembelajaran trigonometri; (3) Siswa dapat melihat catatan
kemajuan prestasi dan memperbaiki kesalahan yang dibuatnya, sehingga nilai yang
diperoleh lebih bermakna.
Berdasarkan latar belakang tersebut atas, peneliti untuk mengangkat
permasalahan ke dalam makalah dengan judul ―Penerapan Model Penilaian Portofolio
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Trigonometri di Kelas XI
SMAN Tanjungsari‖.
Kajian Teori
Kata matematika berasal dari bahasa Inggris yaitu Mathematics. Namun arti atau
definisi yang tepat dari matematika tidak dapat diterapkan secara eksak (pasti) dan
singkat. Definisi dari matematika makin lama makin sukar untuk dibuat, karena
cabang-cabang makin lama makin bertambah dan makin bercampur satu sama lainnya.
Dapat disimpulkan, bahwa matematika adalah ilmu tentang pola yang saling
berhubungan suatu sama lainnya ke dalam beberapa bidang antara lain aljabar,
analisis, geometri, aritmatika, yang mencakup teori bilangan dan statistik.
Trigonometri
Depdikbud (1994:85), berpendapat bahwa: ―Trigonometri adalah pemjumlahan
berganda dengan suku-suku yang sama.‖ Misalnya 3 + 3 + 3 +3 disebut
penjumlahan berulang. Di sini terdapat empat suku yang sama, yaitu 3, penjumlahan
ini disajikan dalam bentuk: 4 x 3 disebut trigonometri 4 dan 3.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, trigonometri merupakan salah
satu prasyarat untuk dapat menyelesaikan persoalan trigonometri dua bilangan atau
lebih.
Portofolio
Portofolio merupakan suatu pendekatan dalam pelaksanaan penilaian hasil kerja
siswa. Pendekatan ini telah lama berkembang, terutama di Amerika Serikat dan
Australia, dan digunakan dalam pelaksanaan penilaian kinerja dipelbagai bidang,
termasuk dunia usaha dan pendidikan. Namun di Indonesia pendekatan ini masih agak
terasa asing, terutama dalam dunia pendidikan, karena baru mendapat perhatian dan
belum banyak digunakan. Depdiknas (2002:97), pengertian portofolio adalah: ―Suatu
kumpulan bahan pilihan yang dapat member informasi bagi suatu penilaian kinerja
yang obyektif.‖
Dari pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa portofolio merupakan koleksi
atau kumpulan karya yang dikembangkan siswa dan guru. Dari pendapat ini, dapat kita
bayangkan bahwa untuk mengembangkan portofolio, siswa dengan bimbingan guru
harus mengembangkan sejumlah hasil karya pembelajaran.
Dipersekolahan bahan-bahan yang dimaksud menjadi ukuran kerja siswa, dan seberapa
baik tugas-tugas yang diberikan kepada siswa telah dilaksanakan sesuai dengan tujuan
pengajaran yang ditentukan. Dari ciri-ciri dasar pada pengertian di atas, dapat kita lihat
manfaat portofolio terutama dalam kegiatan penilaian, sehingga nampak jelas bahwa
portofolio menawarkan sebuah kerangka yang dapat memudahkan perbaikan bagi
siswa dalam pembelajaran matematika.
Dengan demikian, portofolio memberikan sebuah kerangka yang dapat
merespon tuntutan keberdayaan siswa, keadaan kelas yang selalu rubah dan dapat
menjadi kesepakatan baru dalam kaitan kebutuhan peningkatan dan perbaikan praktik-
praktik pengujian matematika khususnya trigonometri. Dengan penilaian portofolio
menawarkan sebuah kerangka yang berkembang dan berlandaskan pada apa yang
sedang dilakukan siswa.
Penelitian ini dilaksanakan dengan berdasarkan kepada studi kepustakaan
disamping dilakukannya pengamatan mengenai kegiatan-kegiatan yang terjadi di
lapangan serta hasil-hasil penelitian tindakan kelas yang sesuai dengan fokus kajian
dalam penelitian ini.
Fokus utama dari kajian penelitian ini adalah mengenai peningkatan pembelajaran
trigonometri dengan penerapan model penilaian portofolio pada siswa kelas XI.
Dengan demikian, melalui penelitian ini, diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang positif bagi kemampuan pemahaman terhadap pembelajaran trigonometri dengan
penerapan model penilaian portofolio pada siswa kelas XI SMAN Tanjungsari
Kecamatan Tanjungsari.
Hasil Pembahasan
Setelah dilakukan wawancara yang dilakukan oleh peneliti diperoleh data-data
terkait kelemahan atau kesulitan siswa, kemudian disusun instrumen tes awal untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam menguasai trigonometri. Peneliti menugaskan
kepada para siswa untuk mengerjakan soal-soal trigonometri tanpa diberikan teknik
maupun model mengerjakan soal trigonometri tersebut mengumpulkan hasil pekerjaan
siswa yang sudah diperiksa dan diberi nilai oleh guru. Berdasarkan hasil tes
kemampuan belajar siswa, diperoleh data dari jumlah 20 siswa, maka 14 siswa yang
belum menguasai trigonometri dua buah bilangan dengan teknik menyimpan. Dari tes
awal tersebut tertuang pada tabel di bawah ini.
Tabel 1
Data Tes Awal Pembelajaran Trigonometri
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
1. Ajah Sopian R. 50 √
2. Agustiar 70 √
3. Ato 50 √
4. Cucu Mulyana 80 √
5. Dea Andreana 50 √
6. Deni Akbar 40 √
7. Diah Rodiah 50 √
8. Dian Sopian 50 √
9. Egi Ginanjar 50 √
10. Elsa Yulia R. 70 √
11. Eva Nopiani 50 √
12. Gusmia Daniati S. 60 √
13. Lukman 50 √
14. M. Rizal Yanpa 40 √
15. Mamat Hidayat 80 √
16. Mulyana Sopian 40 √
17. Nanang Dian N. 50 √
18. Neng Elsa T. 70 √
19. Nisa Cahyani 40 √
20. Nopi Nopiani 50 √
11. Eva Nopiani 50 √
12. Gusmia Daniati S. 60 √
13. Lukman 50 √
14. M. Rizal Yanpa 40 √
15. Mamat Hidayat 80 √
16. Mulyana Sopian 40 √
17. Nanang Dian N. 50 √
18. Neng Elsa T. 70 √
19. Nisa Cahyani 40 √
20. Nopi Nopiani 50 √
Jumlah 1090 6 14
Presentase (%) 55 30 70
Siklus I
Pada akhir pembelajaran siswa mengerjakan soal trigonometri sebagai tes akhir dengan
model penilaian portofolio. Hasil yang diperoleh masing-masing siswa sangat
memuaskan, seperti terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2
Data Tes Pembelajaran Trigonometri Siklus I
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
1. Ajah Sopian R. 60 √
2. Agustiar 75 √
3. Ato 55 √
4. Cucu Mulyana 85 √
5. Dea Andreana 65 √
6. Deni Akbar 50 √
7. Diah Rodiah 60 √
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
8. Dian Sopian 55 √
9. Egi Ginanjar 60 √
10. Elsa Yulia R. 80 √
11. Eva Nopiani 50 √
12. Gusmia Daniati S. 70 √
13. Lukman 50 √
14. M. Rizal Yanpa 70 √
15. Mamat Hidayat 80 √
16. Mulyana Sopian 60 √
17. Nanang Dian N. 55 √
18. Neng Elsa T. 70 √
19. Nisa Cahyani 50 √
20. Nopi Nopiani 70 √
Jumlah 1270 13 7
Presentase (%) 64 65 35
Tabel di atas, adalah hasil tes siklus I siswa kelas XI SMAN Tanjungsari dalam
pembelajaran trigonometri sudah mencapai rata-rata 64% dan KKM baru mencapai
65%. Kalau dibandingkan dengan data awal sudah ada peningkatan dari 55% menjadi
64% pada siklus I. Berdasarkan pada data siklus I, maka siswa yang dinyatakan
mencapai KKM sebanyak 13 atau 65% dan 7 siswa atau belum mencapai KKM.
Siklus II
Setelah selesai siswa melaksanakan pembelajaran, para siswa mengumpulkan hasil
pekerjaannya kepada guru. Seperti biasa, beberapa orang siswa diminta untuk
membacakan hasil pekerjaannya di depan kelas. Adapun hasil penilaian yang
dilakukan sebagai berikut.
Tabel 3
Data Tes Pembelajaran Trigonometri Siklus II
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
1. Ajah Sopian R. 70 √
2. Agustiar 85 √
3. Ato 65 √
4. Cucu Mulyana 90 √
5. Dea Andreana 75 √
6. Deni Akbar 55 √
7. Diah Rodiah 70 √
8. Dian Sopian 65 √
9. Egi Ginanjar 75 √
10. Elsa Yulia R. 100 √
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
11. Eva Nopiani 55 √
12. Gusmia Daniati S. 80 √
13. Lukman 55 √
14. M. Rizal Yanpa 80 √
15. Mamat Hidayat 100 √
16. Mulyana Sopian 70 √
17. Nanang Dian N. 75 √
18. Neng Elsa T. 80 √
19. Nisa Cahyani 70 √
20. Nopi Nopiani 80 √
Jumlah 1495 17 3
Presentase (%) 75 85 15
Tabel di atas, adalah hasil tes siklus II siswa kelas XI SMAN Tanjungsari dalam
pembelajaran trigonometri sudah mencapai rata-rata 75% dan KKM baru mencapai
85%. Kalau dibandingkan dengan data awal sudah ada peningkatan dari 64% menjadi
75% pada siklus II. Berdasarkan pada data siklus II, maka siswa yang dinyatakan
mencapai KKM sebanyak 17 atau 85% dan 3 siswa atau belum mencapai KKM.
Siklus III
Setelah selesai siswa melaksanakan pembelajaran, para siswa mengumpulkan hasil
pekerjaannya kepada guru. Seperti biasa, beberapa orang siswa diminta untuk
membacakan hasil pekerjaannya di depan kelas. Adapun hasil penilaian yang
dilakukan sebagai berikut.
Tabel 4
Data Tes Pembelajaran Trigonometri Siklus III
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
1. Ajah Sopian R. 80 √
2. Agustiar 100 √
3. Ato 85 √
4. Cucu Mulyana 100 √
5. Dea Andreana 95 √
6. Deni Akbar 75 √
7. Diah Rodiah 80 √
8. Dian Sopian 75 √
9. Egi Ginanjar 90 √
10. Elsa Yulia R. 100 √
11. Eva Nopiani 60 √
12. Gusmia Daniati S. 100 √
KKM
No. Nama Siswa Nilai
Tercapai Tidak
13. Lukman 75 √
14. M. Rizal Yanpa 100 √
15. Mamat Hidayat 100 √
16. Mulyana Sopian 80 √
17. Nanang Dian N. 85 √
18. Neng Elsa T. 100 √
19. Nisa Cahyani 90 √
20. Nopi Nopiani 100 √
Jumlah 1770 20
Presentase (%) 89 100
Tabel di atas, adalah hasil tes siklus II siswa kelas XI SMAN Tanjungsari dalam
pembelajaran trigonometri sudah mencapai rata-rata 89% dan KKM mencapai 100%.
Kalau dibandingkan dengan data siklus II peningkatan yang signifikan dari 75%
menjadi 89%.
Kesimpulan
Gambaran hasil analisis data setiap siklusnya setelah dilaksanakan tindakan model
penilaian portofolio dalam pembelajaran trigonometri adalah sebagai berikut.
1. Siklus I
Siklus I sudah mencapai rata-rata 64% dan KKM baru mencapai 65%. Kalau
dibandingkan dengan data awal sudah ada peningkatan dari 55% menjadi 64% pada
siklus I. berdasarkan data siklus I, maka siswa dinyatakan mencapai KKM sebanyak 13
atau 65% dan 7 siswa atau 35% belum mencapai KKM.
2. Siklus II
Siklus II mencapai rata-rata 75% dan KKM baru mencapai 85%. Kalau dibandingkan
dengan data siklus I sudah ada peningkatan dari 64% menjadi 75% pada siklus II.
Berdasarkan pada data siklus II, maka siswa yang dinyatakan mencapai KKM
sebanyak 17 atau 85% dan 3 siswa atau 15% belum mencapai KKM.
3. Siklus III
Siklus III mencapai rata-rata 89% dan KKM mencapai 100%. Kalau dibandingkan
dengan data siklus II peningkatan yang signifikan dari 75% menjadi 89%. Berdasarkan
perhitungan batas KKM untuk pembelajaran trigonometri pada siswa kelas XI SMAN
Tanjungsari, maka batas KKM minimal harus dicapai oleh siswa kelas XI ada mata
pelajaran Matematika semester 2 adalah 60.
Pembahasan Penelitian
Pembahasan hasil penelitian ini dilakukan dengan jalan menemukan pola-pola
hubungan hasil penelitian yang mengacu pada konsep atau teori-teori yang mendukung
Solusi guru untuk mengatasi hambatan pada setiap siklus di atas adalah :
1. Guru memberikan komentar bukan hanya secara tertulis pada hasil pekerjaan siswa
tersebut melainkan juga menambahkan penjelasan secara verbal dan melakukan
bimbingan individu tentang kesulitan yang dialami oleh siswa tersebut. Pada
akhirnya, siswa tadi mengerti dan memahami komentar dan penjelasan yang
disampaikan oleh guru dalam bimbingannya.
2. Guru berulang kali mengikatkan pada para siswa untuk berhati-hati dan tidak
menyelesaikan tugas yang diberikan dengan tergesa-gesa, sehingga hasil yang
diperoleh siswa lebih baik dari sebelumnya. Hal ini dilakukan guru kepada siswa
yang mengalami kesulitan tersebut dan juga kepada seluruh siswa secara klasikal
dan pada akhirnya, para siswa jadi lebih hati-hati dan berkonsentrasi dalam
mengerjakan tugasnya.
3. Guru menyiapkan beberapa tugas tambahan soal untuk siswa tersebut bila
kemungkinan siswa itu menganggu teman-temannya yang belum menyelesaikan
tugas yang diberikan guru. Selain itu, guru memindahkan tempat duduknya ke
tempat yang lebih terkontrol oleh guru, misalnya dipindahkan ke barisan depan
berdekatan dengan meja guru. Siswa tersebut kini sudah dapat mengerti dan tidak
terlalu mengganggu teman-temannya lagi.
Pustaka Rujukan
Eros Rosmawati
Pengajar Bidang Studi Kimia SMA Al Masoem Jatinangor
rosmawatiros65@gmail.com
ABSTRAK
Pendahuluan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, dewasa ini
akan dapat membawa dampak yang positif pada masyarakat Indonesia berupa usaha
untuk selalu meningkatkan diri agar tidak ketinggalan dalam dunia pendidikan.
Pedidikan sangat penting artinya, karena melalui pendidikan orang akan memperoleh
ilmu pengetahuan ketrampilan dan keahlian yang bermanfaat bagi dirinya sendiri
maupun orang lain. Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan itu penting bagi
setiap orang karena hanya dengan pendidikan seseorang akan memperoleh menguasai
berbagai jenis ilmu pengetahuan.
Guru merupakan unsur penting dalam sebuah sistem pendidikan, proses belajar
mengajar siswa sangat dipengaruhi oleh bagaimana siswa memandang guru mereka,
guru yang memberi perhatian, hangat dan suportif (memberi semangat) diyakini bisa
memberi motivasi belajar yang pada gilirannya dapat meningkatkan prestasi belajar.
- 129 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Mendidik adalah suatu profesi yang harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan
persiapan khusus, karena pendidikan berhubungan dengan manusia yang mana ia
menjadi poros dan penggerak utama dalam kehidupan. Pendidikan adalah sebuah
pekerjaan yang berhubungan dengan pembentukan suatu kepribadian dan guru adalah
sumber utama informasi ilmu pengetahuan bagi para anak didiknya.
Sekolah Menengah Atas Al Masoem merupakan salah satu sekolah swasta yang
berada di kawasan pendidikan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Secara tipologi
berbatasan langsung dengan wilayah kota Bandung yang merupakan barometer
kualitas pendidikan di Jawa Barat. Selayaknya pencapaian hasil belajar khususnya
pembelajaran kimia di SMA Al Masoem tidak jauh berbeda dengan pencapaian di
beberapa SMA di kota Bandung, tetapi kondisi rilnya tidak seperti itu. Berdasarkan
pengamatan di kelas khususnya kelas XI IPA terutama dalam mata pelajaran kimia
dapat teridentifikasi permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan
proses belajar mengajar.Permasalahan tersebut yaitu: (1)Umumnya banyak siswa
masih sulit memahami dan menguasai materi stoikiometri larutan, sehingga berakibat
rendahnya prestasi belajar kimia.(nilai UAS kimia < dari KKM) (KKM = 72), (2)
Kurangnya minat terhadap pelajaran kimia,(3) Kurang memanfatkan sumber belajar
yang ada (4) tugas yang diberikan tidak dapat diselesaikan dengan baik.Kondisi ini
menyebabkan rendahnya hasil ulangan harian dapat di lihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1
Rekapitulasi nilai Ulangan Harian Mata Pelajaran Kimia
ulangan harian 1 ulangan harian 2
rentang nilai
jumlah persen jumlah persen
24 50 24 60
51 - 71 14 35 12 30
72 6 15 4 10
jumlah 40 100 40 100
Sumber : Buku Nilai Siswa Kelas XI
Bertitik tolak dari hasil belajar yang diperoleh siswa, diperlukan perubahan cara
pembelajaran, sebab cara pembelajaran yang tidak bervariasi dan belum banyak
memotivasi aktivitas siswa berinteraksi, dan pembelajaran masih terpusat pada guru.
Hasil ulangan tersebut, belum mencapai target minimal 75% siswa yang mencapai
KKM, hanya 15%.
Belajar tidak cukup hanya mendengar dan melihat, tetapi harus dengan
melakukan aktivitas yang lain diantaranya membaca, bertanya, menjawab,
berpendapat, mengerjakan tugas, mengkomunikasikan, diskusi , presentasi
menyimpulkan dan memanfatkan peralatan. Salah satu model pembelajaran yang
dapat mengaktifkan siswa adalah pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran
dimana para siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran. Salah satu metode dalam
pembelajaran kooperatif yaitu student team achievement division (STAD).
Pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan pendekatan yang dikembangkan untuk
melibatkan siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran
(Rachmadiarti, 2001)
Pada STAD siswa dalam suatu kelas tertentu dibagi menjadi 4 – 5 orang dan
setiap kelompok haruslah heterogen yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan
memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan anggota tim menggunakan lembar kegiatan
atau perangkat pembelajaran yang lain untuk menuntaskan materi pelajaran, dan
kemudian saling membantu satu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui
tutorial, kuis, satu sama lain dan melakukan diskusi (Rachmadiarti, 2001)
Metode diskusi yang digunakan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD ini
dengan ceramah, Tanya jawab, diskusi dsb, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kemampuan siswa (Permana, 2004). Menurut Slavin 1998 (dalam Permana , 2005)
ada 5 langkah utama di dalam pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
model STAD yaitu: penyajian kelas, tahapan kegiatan belajar kelompok, tahapan
menguji kinerja individu, penskoran , dan tahapan penghargaan kelompok.
Keuntungan model pembelajaran kooperatif tipe STAD menurut Davidson
(dalam Asma , 2006 : 26) yaitu :
Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan
keterampilan bertanya dan membahas suatu masalah.
Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih intensif mengadakan
penyelidikan mengenai suatu masalah.
Dapat mengembangkan bakat kepemimpinan dan mengajarkan keterampilan
berdiskusi.
Dapat memungkinkan guru untuk lebih memperhatikan siswa sebagai individu
dan kebutuhan belajarnya.
Para siswa lebih aktif bergabung dalam pelajaran mereka dan mereka lebih
aktif dalam diskusi.
Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan rasa
menghargai, menghormati pribadi temannya, dan menghargai pendapat
oranglain.
Metode penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action
Research), yang dimaksudkan untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu
pembelajaran di kelas dan upaya perbaikan ini dilakukan dengan melaksanakan
tindakan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang diangkat dari kegiatan
sehari-hari di kelas. Penelitian ini dirancang dalam 2 siklus. Untuk tiap siklus
terdiri dari empat tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan tindakan, tahap
observasi dan tahap refleksi.
Pelaksanaan Tindakan
Materi pembelajaran yang disajikan pada siklus l mengenai penyelesaian soal
stoikiometri larutan dengan menggunakan konsep mol, volume larutan, molaritas dan
reaksi pembatas.
Di awal siklus l, peneliti mengabsen siswa, memberi apersepsi motivasi dan
menyampaikan tujuan pembelajaran, kemudian membagi siswa menjadi 8 kelompok.
Peneliti membagi lembar kerja siswa berisi materi dan soal stoikiometri larutan yang
harus dilakukan dengan menggunakan tahapan tahapan yang telah ditentukan.
Tahapan berikutnya, siswa bekerja dalam kelompoknya masing-masing
menyelesaikan lembar kerja siswa. Selama pembelajaran peneliti membimbing siswa
dalam mengerjakan lembar kerja siswa, kemudian mempresentasikan hasil kerjanya.
Selama pembelajaran dilakukan terhadap aktivitas guru dan siswa oleh observer.
Penilaian pos tes untuk mengukur keberhasilan belajar siswa. Penilaian minat siswa
terhadap pelajaran kimia dilakukan dengan memberi angket.
Hasil Pengamatan
a.Minat Siswa Terhadap Pelajaran Kimia
Untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran kimia digunakan
penilaian diri,peneliti memberikan angket kepada siswa yang berisi sikap selama
pembelajaran kimia dengan model pembelajaran STAD. Angket diberikan setelah
selesai pembelajaran tiap siklus. Dari hasil angket yang dibagikan diperoleh data
sebagai berikut:
Tabel 2
Data Minat Siswa Terhadap Pelajaran Kimia dengan Model STAD
No Kriteria Jumlah Siswa Skor Prosentase(%)
1 Sangat setuju 4 170 10
2 Setuju 26 855 65
3 Tidak Tahu/ragu 8 212 20
4 Tidak Setuju 2 41 5
5 Sangat Tidak Setuju - - -
Jumlah 40 1066 100
Dari tabel di atas, didapatkan bahwa sikap dan minat siswa terhadap pelajaran
kimia dengan menggunakan model STAD hasilnya baik. Hal ini dapat dilihat dari
penilaian siswa yang banyak menyatakan setuju sebanyak 26 orang dengan prosentase
65%. Bahkan 4 orang (10%) mengatakan sangat setuju,yang tidak tahu berjumlah 8
orang (20%) dan yang tidak setuju 2 orang (5%). Dengan pendapat lebih banyak
setuju, artinya siswa memiliki sikap dan minat yang baik terhadap pelajaran kimia.
Tabel 3
Data Aktifitas Siswa dalam Model Pembelajaran STAD
No Aktifitas yang diamati Skor Prosentase (%)
1 Mengamati /memperhatikan penjelasan guru 150 75
2 Membaca materi ajar dan menulis hal-hal
yang pentingselama pembelajaran 133 66,5
berlangsung
3 Mengerjakan tugas- tugas kelompok dan
112 56
berbagi tugas
4 Bertanya pada guru atau teman lain tentang
132 66
materi ajar
5 Mempresentasikan hasil kerja kelompok dan
135 67,5
merefleksi
Jumlah 662 331
Rata- rata 132,4 66,2
Kategori Baik
Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa aktifitas siswa pada siklus 1 kelas Xl
IPA 1 yaitu mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru atau siswa lain mencapai
skor 150 atau 75 %,membaca materi ajar dan menulis hal-hal yang penting mencapai
skor 133 atau 66,5 %, mengerjakan tugas kelompok mencapai skor 112 atau 56%,
bertanya pada guru atau siswa mencapai skor 132 atau 66%, demikian pula
mempresentasikan hasil karya mencapai skor 135 atau 67,5%.
Dengan skor total keseluruhan dari 5 aktifitas adalah 662 dengan skor rata-rata
tiap indicator 132,4 atau 66,2% dengan katagori baik.
Tabel 4
Data skor Pre tes dan Pos tes
Pre tes Pos Tes
Skor 1003 1833
Prosen 25,075% 45,83%
Rata-rata 25,075 45,83
Dilihat dari tabel nilai Pre Tes dan Pos Tes, ternyata nilai Pos Tes lebih besar
dari Pre tes. Hal ini menunjukan adanya keberhasilan dalam pembelajaran,walaupun
rata-rata nilai belajar siswa masih di bawah KKM (KKM=70) jadi secara klasikal
belum tuntas, karena rata-rata nilai Pos tes masih jauh dari KKM. Dari tabel di atas
terlihat bahwa rata-rata nilai Pre tes pada siklus 1 ini adalah 25,075 dengan prosen tase
25,075% dan skor 1003,sedangkan nilai pos tes rata-rata 45,83 dengan prosentase
45,83% dengan skor 1833.
d.Refleksi
Setelah dilakukan berdasarkan hasil pengamatan melalui diskusi antara peneliti
dengan observer disimpulkan bahwa kinerja peneliti pada siklus 1 perlu ditingkatkan,
terutama dalam hal pengelolaan kelas, membimbing kelompok kerja, membimbing
presentasi, mengevaluasi hasil kerja kelompok. Di samping itu juga perlu ditingkatkan
dalam hal memberi penghargaan kepada siswa yang aktif baik secara individu atau
kelompok sehingga siswa merasa dihargai hasil kerjanya.
Deskripsi Siklus ll
Perencanaan Tindakan
Perencanaan tindakan pada siklus II merupakan perbaikan rencana tindakan pada
siklus I Peneliti lebih banyak membimbing siswa dalam cara menyelesaikan tahapan
penyelesaian soal stoikiometri larutan,membimbing presentasi dan memberi
kesempatan presentasi yang lebih merata.
Pelaksanaan Tindakan
Tindakan yang dilakukan telah mendekati perencanaan tindakan yang dibuat.
Materi yang disajikan pada siklus II mengenai stoikiometri larutan dengan
menggunakan mol, volume larutan, molaritas pada siklus I, dan penyelesaian
stoikiometri larutan dengan menggunakan reaksi pembatas pada siklus II. Di awal
pembelajaran peneliti mengabsen siswa, mereview pekerjaan siswa/tugas yang
diberikan pada siklus sebelumnya, memberikan apersepsi ,memberikan motivasi dan
Hasil Pengamatan
a.Minat siswa terhadap Pelajaran Kimia
Untuk mengetahui minat siswa terhadap pembelajaran digunakan penilaian diri.
Peneliti memberikan angket kepada siswa yang berisi sikap selama pembelajaran kimia
dengan model pembelajaran STAD. Angket diberikan setelah selesai pembelajaran
tiap siklus. Dari angket yang dibagikan diperoleh data sebagai berikut:
Tabel 5
Data Minat Siswa terhadap Pelajaran Kimia
No Kriteria Jumlah siswa Skor Prosentase(%)
1 Sangat Setuju 5 215 12,5
2 Setuju 32 1107 80
3 Tidak Tahu 3 90 7,5
4 Tidak Setuju - - -
5 Sangat tidak setuju - - -
Jumlah 40 1412 100
Dari tabel di atas, didapatkan bahwa pada siklus II lebih banyak yang setuju
dibandingkan pada siklus I. Pada siklus I yang sangat setuju 4 orang (10%) menjadi 5
orang (12,5%),yang setuju dari 26 orang (65%) menjadi 32 orang (80%), tidak tahu
dari 8 orang (20%) turun menjadi 3 orang (7,5%). Tidak ada yang tidak setuju.
Dengan pendapat lebih banyak setuju artinya siswa memiliki sikap dan minat yang
baik terhadap pelajaran kimia.
b.Aktifitas Siswa
Secara umum peneliti melakukan proses pembelajaran lebih baik dari pada
siklus I. Siswa mulai terbiasa dengan model pembelajaran STAD. Siswa sudah mulai
senang membaca buku, mendengarkan penjelasan guru atau temannya, mencari
informasi, dan mau bertanya. Ketika mempresentasikan hasil kegiatan kelompok,
sebagian siswa sudah berani mengemukakan pendapatnya dan mau bertanya.
Pengamatan yang dilakukan observer terhadap aktifitas belajar siswa dapat dilihat
dalam tabel.
Tabel 6
Data Aktifitas Siswa dalam Pembelajaran Model STAD
No Aktifitas yang diamati Skor Prosentase(%)
1 Mengamati/memperhatikan penjelasan
152 76
guru atau siswa
2 Membaca materi ajar dan menulis hal-
hal yang penting selama pembelajaran 151 75,5
berlangsung
3 Mengerjakan tugas-tugas kelompok
156 78
dan berbagi tugas
4 Bertanya pada guru atau teman lain
154 77
tentang materi ajar
5 Mempresentasikan hasil kerja
149 74,5
kelompok
762 381
JumlahRata-rataKategori
152,4 76,2
Baik
Dilihat dari data di atas, aktifitas siswa pada siklus II mengalami kenaikan.
Dalam mengamati/ memperhatikan guru atau siswa lain dari skor 150 (75%) menjadi
152 ( 76%) naik 1 %. Membaca materi ajar dan menulis hal-hal penting dari 133
(66,5%) menjadi 151(75,5%) naik 11%.Mengerjakan tugas kelompok dari 112( 56%)
menjadi 156 (78%) naik 22%. Bertanya pada guru atau teman lain tentang materi ajar
dari 132 (66%) menjadi 154 (77%) naik 10 %. Mempresentasikan kerja kelompok dan
refleksi dari 135 (67,5%) menjadi 149 (74,5 ) naik 7%. Kenaikan rata-rata untuk
aktifitas siswa dari siklus l ke siklus ll adalah 9,8 %.
Tabel 7
Data Skor Pre Tes dan Pos Tes
Pre tes Pos Tes
Skor 1458 2172
Prosen 36,45% 54,3%
Rata-rata 36,45 54,3
Dilihat dari tabel di atas, nilai pre tes dan pos tes pada siklus II lebih besar
dibandingkan siklus I. Rata-rata pre tes siklus I adalah 25,075 (25,075%) dengan skor
1003 dan pada siklus II menjadi rata-rata 36,45 (36,45%) dengan skor 1458 ada
kenaikan 10,375%. Untuk nilai pos tes rata-rata 45,83 (45,83% ) dengan skor 1833
menjadi rata-rata 54,3 (54,3% ) dengan skor 2172 mengalami kenaikan 8,47 %.
d. Refleksi
Hasil pengamatan dan temuan pada siklus II adalah adanya usaha peneliti untuk
meningkatkan kinerja dalam pembelajaran. Dengan menggunakan model
pembelajaran STAD berdampak meningkatnya aktifitas siswa, hasil belajar siswa dan
minat siswa terhadap pelajaran kimia.
Grafik I
80
Minat siswa
70 siklus I
60 Minat siswa
Minat siswa Minat siswa siklus II
siklus I siklus II
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data pembahasan penelitian tindakan kelas
(PTK) di kelas Xl IPA 1 Sekolah Menengah Atas Al Masoem Jatinangor peneliti
menyimpulkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran STAD dapat
meningkatkan aktifitas,hasil belajar dan minat siwa terhadap pelajaran kima pada
materi stoikiometri larutan. Hal ini ditunjukan dari hasil pembelajaran pada siklus l
dan siklus II mengalami peningkatan sebagai berikut:
1) Minat siswa mempelajari kimia dari hasil analisis data yang diperoleh pada siklus 1
siswa yang setuju 65 %,dan pada siklus ll siswa yang setuju menjadi 80 %
mengalami kenaikan 15 %.
2) Aktifitas siwa dari 66,2 % menjadi 76,2 % meningkat 10 %
3) Proporsi nilai tes hasil belajar dari 45,83 % menjadi 54,3 % mengalami peningkatan
8,47 %
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Asma Nur. 2006. Model Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Departemen
Agama Islam RI.
Chairani. 2003. Teknologi Pembelajaran. Surabaya: Intellectual Cub.
Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Rachmadiarti. 2001. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Slavin. 2010. Cooperative Learning Teori dan Praktik. Bandung: Nusa Media
Riset.
Rita Hidayanti
Pengajar Bidang Studi Ekonomi SMAN Tanjungsari
ritayanti65@gmail.com
ABSTRAK
Kata kunci: Pembelajaran, metode two stay and two stray, permintaan,
penawaran, keseimbangan harga.
Pendahuluan
dalam proses pembelajaran melibatkan proses berfikir. Kedua , dalam proses
pembelajaran membangun suasana dialogis dan proses Tanya jawab terus menerus
yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berfikir siswa ,
yang pada gilirannya kemampuan berfikir itu dapat membantu siswa untuk
memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. " (Syaiful Sagala,2003: 63)
Dari uraian diatas, proses pembelajaran yang baik dapat dilakukan oleh siswa
baik didalam maupun diluar kelas, dan dengan karakteristik yang dimiliki oleh siswa
diharapkan mereka mampu berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman- temannya
secara baik dan bijak.
Seiring dengan pernyataan-pernyataan diatas maka sebagai upaya agar student
center menjadi dominan maka langkah yang harus ditempuh adalah dengan
menggunakan cooperative learning (belajar bekerjasama), salah satu bentuk
Cooperative learning adalah peer teaching Method (metoda belajar sesama teman)
dengan menggunakan pendekatan Two stay Two Stray Dua Tamu dua tinggal (Two
stay Two Stray)
- 141 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Melalui penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi yang positif baik bagi
Guru dan siswa,
1. Bagi Guru
a. Mengembangkan metode pembelajaran yang menarik aktif, Kreatif, efektif dan
menyenangkan, sehingga dapat memotivasi siswa untuk mempelajari lebih
dalam lagi tentang materi pembelajaran.
b. Meningkatkan kualitas pembelajaran
c. Meningkatkan ketrampilan dalam menggunakan berbagai tekhnik dan metode
pembelajaran.
d. Meningkatkan kemampuan untuk memotivasi siswa dalam belajar
e. Meningkatkan minat untuk melakukan penelitian dalam upaya meningkatkan
profesionalisme.
2. Bagi siswa
a. Menumbuhkan rasa senang dan termotivasi untuk belajar ekonomi sehingga
siswa tidak merasa terpaksa untuk belajar ekonomi.
b. Meningkatkan kepercayaan diri dan mengurangi rasa keraguan untuk
mengungkapkan ide, gagasan, dan pemikiran dalam pelajaran ekonomi
c. Meningkatkan makna kebersamaan (cooperative learning)
d. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi Permintaan, penawaran, dan
keseimbangan harga
Kajian Teori
Siswa bukan lagi dianggap sebagai gelas yang kosong harus di isi oleh Guru,
karena pada hakekatnya siswa telah memiliki berbagai kemampuan dimana
kemampuan tersebut harus digali. Kemampuan guru untuk memotivasi siswa dalam
pembelajaran sangta diperlukan dan metode yang tepat untuk itu adalah dengan
menggunakan Methode Cooperative learning (Metoda belajar bekerjasama)
Cooperative learning adalah strategi pembelajaran yang cukup berhasil pada
kelompok-kelompok kecil, di mana pada tiap kelompok tersebut terdiri dari siswa-
siswa dari berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk
meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari.
Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang
diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan rekan belajar, sehingga bersama-sama
mencapai keberhasilan. Semua Siswa berusaha sampai semua anggota kelompok
berhasil memahami dan melengkapinya.
Sedangkan Eggen dan Kauchak (1993: 319) mendefinisikan pembelajaran
kooperatif sebagai sekumpulan strategi mengajar yang digunakan guru agar siswa
saling -membantu dalam mempelajari sesuatu. Oleh karena itu belajar kooperatif ini
juga dinamakan ―belajar teman sebaya.‖ Menurut Slavin (1997), pembelajaran
kooperatif, merupakan metode pembelajaran dengan siswa bekerja dalam kelompok
yang memiliki kemampuan heterogen. Pembelajaran kooperatif atau cooperative
learning mengacu pada metode pengajaran, siswa bekerja bersama dalam kelompok
kecil saling membantu dalam belajar (Nur dan Wikandari, 2000:25).
Permintaan
Permintaan (Demand) adalah jumlah barang dan jasa tertentu yang diminta
oleh konsumen pada tingkat harga tertentu dan pada situasi tertentu. Dari pengertian
permintaan tersebut ada 3 faktor yang mempengaruhi permintaan. Pertama adalah
barang dan jasa. Kebutuhan konsumen pada dasarnya merupakan permintaan akan
barang dan jasa tertentu. Kedua, adalah harga. Jumlah (banyak atau sedikitnya
).Permintaan dipengaruhi oleh tingkat harga. Jika harga naik maka jumlah permintaan
akan berkurang sedangkan apabila harga turun maka jumlah permintaan akan naik.
Contoh: Pada saat harga beras Rp. 3.000,00/ Kg Ibu Hera mampu membeli 40 Kg
sebulan. Kemudian harga naik menjadi Rp. 4.500/ Kg Ibu Hera hanya mampu membeli
30 Kg untuk satu bulan.
Penawaran
Penawaran (Supply) adalah jumlah barang atau jasa yang akan dijual
(ditawarkan) pada berbagai tingkat harga dan situasi tertentu.
Ingat Jika permintaan datangnya dari Konsumen atau pembeli. Sedangkan Penawaran
datangnya dari Produsen atau penjual. Tentu saja karena penawaran datangnya dari
produsen maka setiap produsen menginginkan harga barang yang ditawarkannya cukup
tinggi, walaupun dengan resiko barang yang dijual sedikit. Artinya jika harga barang
tinggi maka semakin banyak produsen yang menawarkan. Sebaliknya jika harga
rendah (murah) maka makin sedikit produsen yang menawarkan.
Keseimbangan harga
Harga (Price) adalah kemampuan barang atau jasa jika ditukarkan dengan
uang. Dalam tukar menukar nilai sebuah barang dinyatakan dengan harga, sedangkan
untuk menyatakan harga suatu barang dipakai satuan uang. Maka harga suatu barang
adalah nilai barang yang dinyatakan dengan satuan uang.
Harga keseimbangan ( Equilibrium price) akan terjadi apabila antara penjual
dan pembeli terdapat kesepakatan harga. Sebelum terjadi harga pasar (Harga
kesepakatan) biasanya antar penjual dan pembeli melakukan proses tawar menawar
antara penjual dan pembeli setelah ada kesepakatan maka terbentuklah harga pasar.
Apabila penawaran bertambah sedangkan permintaan tetap maka kurva
penawaran akan bergeser kebawah, sehingga akan mengakibatkan harga turun.
Sedangkan apabila Permintaan bertambah kurva permintaan bergeser ke atas
sedangkan kurva penawaran tetap maka akan menyebabkan harga naik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kurva permintaan slopenya negatif yakni
bergerak dari kiri atas menuju kanan bawah. Sedangkan sifat kemiringan kurva
penawaran adalah positif, yakni bergerak dari kiri bawah ke kanan atas. Kontradisksi
sifat kemiringan itu mengisyaratkan kemungkinan terjadinya keseimbangan antara
permintaan dan penawaran. Apabila kurva permintaan dan kurva penawaran
digabungkan, akan terjadi titik potong antara kedua kurva tersebut. Titik potong ini
disebut titik keseimbangan atau titik equilibrium.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Prosedur
penelitian terbagi dalam 3 siklus dan programnya dapat diurutkan sebagai berikut :
PERENCANAAN → TINDAKAN → OBSERVASI → REFLEKSI (Yaitu
Merenungkan, memikirkan, dan menilai) → PERENCANAAN ( perencanaan
kembali atau perbaikan rencana) → TINDAKAN →OBSERVASI →
REFLEKSI → Seterusnya hingga mencapai tujuan akhir atau memperoleh hasil
yang memuaskan.
No Indikator Ketercapaian
Perubahan
Siklus I Siklus II
1 Keberanian siswa dalam mengajukan 45,75% 59,44% 13,69%
permasalahan dan menjawab permasalahan
dari kelompok lain
2 Motivasi dan kegairahan dalam mengikuti 60,82% 73,35% 12,53%
pembelajaran ( menyelesaikan tugas
kelompok )
3 Interaksi siswa dalam mengikuti diskusi 69,25% 88,32% 19,07%
antar kelompok
4 Hubungan siswa dengan guru selama 70,00% 37,66% 32,34%
kegiatan pembelajaran
5 Hubungan siswa dengan siswa lain selama 72,65% 96,11% 23,46
pembelajaran ( Dalam kerja kelompok)
6 Partisipasi siswa dalam 70,55% 94,45% 23,90
pembelajaran (memperhatikan), ikut
melakukan kegiatan kelompok, selalu
mengikuti petunjuk guru).
Rata –Rata 64,83% 74,88% 10,05
Berdasarkan tabel 1 di atas, terlihat bahwa rata-rata aktivitas siswa yang relevan
dengan kegiatan pembelajaran pada siklus 2 mengalami peningkatan dibandingkan
dengan siklus1 yaitu sebesar 10,05%. Dapat terlihat dalam Diagram 1 berikut.
Tabel 2
Data Aktivitas Siswa yang kurang relevan dengan pembelajaran
No Indikator Ketercapaian
Perubahan
Siklus I Siklus II
1 Tidak memperhatikan penjelasan guru 37,75% 13,88% 23,87%
2 Keluar masuk kelas 10,75% 2,44% 8,31%
3 Mengerjakan tugas lain 7,68% 4,35% 3,33%
Rata – rata 28,26% 9,24% 19.02
Berdasarkan Tabel 2 diatas terlihat bahwa aktivitas siswa yang kurang relevan
dengan kegiatan pembelajaran pada siklus 2 mengalami penurunan dibandingkan
dengan siklus 1 yaitu sebesar 19,02%. Hal ini dapat terlihat di Diagram 2.
Diagram 2
Tabel 3
Data Pemahaman Siswa tentang Memahami konsep ekonomi dalam kaitannya
dengan permintaan, penawaran, harga keseimbangan, dan pasar dan ketuntasan
belajar siswa
Melalui model Two Stay Two Stray ini terlihat hubungan siswa dengan guru
sangat signifikan dimana guru bukan sebagai satu-satunya nara sumber. Guru hanya
berperan sebagai fasilitator dan mitra untuk berbagi pengalaman sesuai dengan konsep
Cooperative Learning.
Kesimpulan
Ada beberapa temuan yang dapat penulis simpulkan yaitu:
1. Metode Two Stay dan Two stray dapat meningkatkan kemampuan belajar dalam
memahami konsep ekonomi dalam kaitannya dengan permintaan, Penawaran,
Harga keseimbangan dan pasar di kelas X-5 SMA Negeri Tanjungsari
2. Penggunaan Metode Two Stay and Two Stray dapat meningkatkan kemampuan
belajar siswa untuk memahami konsep ekonomi dalam kaitannya dengan
Permintaan, Penawaran, Harga keseimbangan dan Pasar pada siswa kelas X-5 di
SMA Negeri Tanjungsari
3. Peningkatan kemampuan belajar siswa dalam memahami konsep ekonomi
kaitannya dengan permintaan, penawaran, harga keseimbangan, dan pasar ,setelah
diterapkannya metode two stay and Two Stray pada siswa kelas X-5 di SMA Negeri
Tanjungsari berpengaruh secara signifikan.
Daftar Pustaka
Alam, S. 2013. Ekonomi. Jakarta: ESIS.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Bumi Aksara
Dimyati & Mudjiono. 2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Monkiw, N. Gregory. 2003. Pengantar Ekonomi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Samuelson dan William. 1997. Micro Ekonomi. Jakarta: Erlangga.
Sudarsono. 1992. Matematika Ekonomi, Jakarta: Rineka Cipta.
Sukino, Sadono. 2002. Pengantar Teori Micro Ekonomi. Jakarta: Grafindo.
Wantara, Ignatius Agus. 1995. Matematika untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta:
Universitas Atmajaya.
Yurianto
Pengajar Bidang Studi Geografi SMAN Jatinangor
yuri.yurianto@rocketmail.com
ABSTRAK
Pendahuluan
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) membawa konsekuensi logis
pada upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran geografi yang disesuaikan
dengan karakteristik dan lingkungan sekitar sekolah. Proses belajar yang diharapkan
melalui kurikulum ini bukan sekedar membahas materi dalam buku-buku panduan
pelajaran atau menginformasikan pengetahuan kepada siswa, melainkan menekankan
pada pemberian pengalaman secara langsung kepada siswa untuk memahami gejala
- 151 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
152 Yurianto
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Geografi di Kelas XI IPS 3 SMAN Jatinangor
Kajian Pustaka
Karakteristik Pembelajaran Geografi
Pembelajaran Geografi di sekolah dapat dikatakan ―unik‖, karena baik subjek
maupun objek pembelajarannya memiliki karakter yang khas. Objek pembelajaran
Geografi selain berhubungan dengan alam nyata juga berkaitan dengan proses-proses
kehidupan. Agar siswa dapat memahaminya, maka metode dan pendekatan yang
digunakan dalam proses pembelajarannya harus disesuaikan dengan karakteristik objek
dan subjek belajarnya. Fenomena yang diajarkan melalui Geografi adalah fenomena
alam yang mungkin pernah dihadapi siswa. Oleh karena itu, Geografi tidak dapat
dipahami jika hanya diajarkan secara hafalan. Menurut Saptono (Sari, 2007),
pemahaman konsep-konsep Geografi dapat dianalogikan dengan berbagai macam
kegiatan sederhana yang dapat diamati/dilakukan siswa.
Hal ini senada dengan Muslich (Sari,2007) yang menyebutkan bahwa, jika
dalam pembelajaran guru meminta siswa untuk melakukan sesuatu dan
melaporkannya, maka mereka akan mengingat sebanyak 90%. Lebih lanjut Muslich
(Sari,2007) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa siswa akan mencapai hasil
belajar 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, dan 50% dari apa yang
dilihat dan didengar. Hal ini berarti bahwa siswa mudah memahami konsep jika
disertai dengan contoh-contoh konkret sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi
dengan mempraktekkan sendiri upaya penemuan konsep melalui perlakuan terhadap
kenyataan fisik, melalui penanganan benda-benda yang benar-benar nyata.
Yurianto 153
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Menurut Esler (Hidayat, 2008) ada 4 hal penting mengapa mengajar dengan
inkuiri perlu diberikan kepada siswa, yaitu:
1. Memelihara rasa ingin tahu siswa.
2. Melibatkan siswa dalam aktivitas pembelajaran yang memerlukan keterampilan
kognitif lebih tinggi.
3. Mengembangkan sikap positif siswa terhadap sains.
4. Memberikan pengalaman konkrit bagi siswa yang belum mecapai tahap
operasional.
Salah satu bentuk model pembelajaran inkuiri adalah Guided Inquiry (inkuiri
terbimbing). Pembelajaran inkuiri terbimbing adalah suatu model pembelajaran inkuiri
yang dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk yang cukup
luas kepada siswa. Sebagian besar perencanaannya dibuat oleh guru, siswa tidak
154 Yurianto
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Geografi di Kelas XI IPS 3 SMAN Jatinangor
Yurianto 155
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Pendekatan Kontekstual
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916)
yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari
terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi
di sekelilingnya.
Menurut Johnson (Padri, 2004:1) pembelajaran dan pengajaran kontekstual
(CTL) adalah suatu proses pembelajaran yang bertujuan untuk membantu siswa
melihat makna materi pelajaran yang sedang dipelajari dengan cara mengaitkan materi
pelajaran tersebut dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, maupun budaya mereka
sehari-hari.
Ada beberapa definisi tentang CTL, salah satunya dikemukakan oleh Howey,
1998 (Reese, 2002:40) bahwa:
Contextual teaching is defined by the Office of Vocational and Adult
Education as teaching that enables learning in which students employ their
academic understanding and abilities in a variety of in- and out- of school
context to solve simulated or real-world problems, both alone and with others.
Using contextual teaching strategies, teacher help students make connections
with their roles and responsibilities as family members, citizens, students and
workers”.
156 Yurianto
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Geografi di Kelas XI IPS 3 SMAN Jatinangor
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Contextual Teaching and
Learning (CTL) merupakan suatu strategi pembelajaran yang bertujuan untuk
membantu siswa melihat makna materi pelajaran yang sedang dipelajari dengan cara
mengaitkan materi pelajaran tersebut dengan pengalaman awal serta lingkungan hidup
mereka sehari-hari guna memecahkan permasalahan dalam kehidupan nyata yang
berhubungan dengan peran dan tanggung jawab mereka sebagai anggota keluarga,
warga negara, siswa maupun pekerja.
Pendekatan Kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat (Bandono, 2008). Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna
belajar, manfaatnya, dan bagaimana mencapainya. Dengan demikian siswa akan
menyadari bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi hidupnya, sehingga akan
membuat mereka berusaha menggapainya.
Tugas guru dalam pembelajaran kontekstual adalah membantu siswa dalam
mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih berurusan dengan strategi daripada
memberi informasi. Guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja
sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Proses belajar mengajar lebih
diwarnai student centered daripada teacher centered (Bandono, 2008).
Kunci dan Strategi membelajarkan CTL adalah: (1) relating/mengaitkan, yaitu
belajar dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, (2) experiencing/mengalami, belajar
dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat memanipulasi peralatan dan bahan serta
melakukan bentuk-bentuk penelitian yang aktif, (3) applying/menerapkan, belajar
bilamana dipresentasikan di dalam konteks pemanfaatannya, (4) cooperating /
kerjasama, belajar melalui komunikasi inter/antarpersonal, (5) transferring /
mentransfer, belajar melalui pemanfaatan pengetahuan di dalam situasi konteks baru
(Bandono, 2008).
Yurianto 157
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Siklus 1:
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada siklus 1 menggunakan sumber
belajar foto-foto lingkungan. Siswa diminta berdiskusi secara berkelompok dengan
panduan Lembar Diskusi Siswa (LDS). Dari hasil observasi aktivitas siswa, diskusi
kelompok belum berjalan efektif karena masing-masing siswa sibuk membaca buku
untuk mencari jawaban soal pada LDS. Mereka bekerja secara individu dan tidak
memberikan kontribusi pada kegiatan diskusi kelompok. Hanya sebagian anggota
kelompok yang saling mendiskusikan hasil temuan jawaban mereka. Di sini belum
terlihat kerjasama yang baik antaranggota kelompok.
Pada saat diskusi kelas, hampir semua kelompok terlibat secara aktif dalam
diskusi kelas. Namun, siswa yang aktif dalam tiap kelompok hanya beberapa orang
saja. Keaktifan siswa yang dinilai dalam diskusi kelas meliputi: menyampaikan hasil
diskusi/pendapat, menanggapi hasil diskusi/pendapat kelompok lain, menambahkan
informasi yang terkait dengan materi diskusi, dan mengajukan pertanyaan.
Persentase keaktifan siswa pada siklus 1 belum memenuhi indikator kinerja.
Analisis terhadap hasil tersebut dipaparkan berikut ini. Kegiatan pembelajaran yang
dilakukan yaitu pengamatan foto-foto lingkungan yang diikuti diskusi kelompok dan
diskusi kelas sebenarnya sudah tepat, namun pertanyaan dalam LDS masih cenderung
text book sehingga kurang merangsang siswa bertukar pikiran untuk memecahkan
masalah bersama dengan anggota kelompoknya. Selain itu kerja sama antar siswa juga
perlu dilatih dengan bentuk kegiatan yang melibatkan siswa secara total, artinya
masing-masing siswa dituntut untuk memberikan kontribusi secara aktif dalam
kelompoknya. Hal tersebut tidak tercapai melalui kegiatan diskusi kelompok karena
siswa cenderung idem dengan pendapat siswa lain dalam satu kelompok yang dianggap
pintar.
158 Yurianto
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Geografi di Kelas XI IPS 3 SMAN Jatinangor
Siklus 2:
Pada siklus 2, kegiatan pembelajaran diubah dengan melakukan kombinasi
kegiatan outdoor dan indoor. Pada kegiatan outdoor, siswa melakukan percobaan
sederhana tentang pengaruh kerusakan hutan terhadap lingkungan khususnya bencana
alam. Setiap siswa dalam kelompoknya masing-masing terlibat secara aktif dalam
melakukan percobaan dan mengamati hasilnya. Kerja sama dalam kelompok terlihat
sangat baik. Pembagian tugas antar anggota kelompok sudah terlihat merata dan
maksimal.
Yurianto 159
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
belajar individual ditetapkan jika siswa mendapat nilai ≥ 73 dan ketuntasan belajar
klasikal ditetapkan ≥ 85% siswa mendapatkan nilai ≥ 73.
Data hasil tes setiap akhir siklus dan sebelum pelaksanaan tindakan disajikan
dalam tabel di bawah ini.
Kesimpulan
1. Kualitas pembelajaran Geografi pada materi ‖Manfaat dan Resiko Lingkungan
Hidup dalam Pembangunan‖ pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri Jatinangor
melalui penerapan pendekatan kontekstual, mengalami peningkatan.
2. Aktivitas belajar siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri Jatinangor setelah diterapkan
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, mengalami peningkatan.
3. Kompetensi siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri Jatinangor setelah diterapkan
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual, mengalami peningkatan.
160 Yurianto
Penerapan Pendekatan Kontekstual untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran
Geografi di Kelas XI IPS 3 SMAN Jatinangor
Daftar Pustaka
Yurianto 161
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
162 Yurianto
MENINGKATKAN KEMAMPUAN SISWA DALAM MATERI MEMBIASAKAN
PERILAKU TERPUJI MELALUI MODEL KONTEKSTUAL
PADA SISWA KELAS XI-A2 SMAN TANJUNGSARI
Sadi
Pengajar Bidang Studi Agama SMAN Tanjungsari
drsustadsadi@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam materi
membiasakan perilaku terpuji melalui model kontekstual. Subjek penelitian
adalah siswa kelas XI-A2 di SMA Negeri Tanjungsari. Metode penelitian yang
digunakan melalui pendekatan kualitatif dengan desain penelitiannya
menerapkan penelitian tindakan kelas dan rancangan penelitian yang digunakan
mengacu pada model spiral. Model spiral ini mengacu pada empat komponen
yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), observasi (observasing), dan
refleksi (reflecting). Instrumen yang digunakan terdiri dari lembar observasi
kinerja guru dan aktivitas siswa, lembar wawancara, catatan lapangan, dan tes
yang diolah diperoleh rata-rata kelas pada siklus I sebesar 67%, siklus II sebedar
74%, dan siklus III sebesar 80%. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata kelas
eksperimen dan kelas kontrol, didapatkan bahwa penggunaan model konstekstual
pada pembelajaran kontekstual interaktif pada materi membiasakan perilaku
terpuji, secara signifikan lebih efektif dalam meningkatkan pembiasaan perilaku
terpuji dibandingkan dengan pembelajaran kontekstuall interaktif tanpa
menggunakan model kontekstual.
Pendahuluan
Pada saat ini, para siswa dihadapkan pada tantangan era globalisasi. Era ini
ditandai dengan beberapa karakteristik yang harus dimilki oleh masyarakat, yaitu harus
memiliki keterampilan dasar (membaca, menulis, berhitung), juga ditutntut untuk
memiliki kemampuan untuk belajar sepanjang hayat, mengelola informasi, mengelola
sumber daya, mengelola hubungan sosial, mengelola diri, bersikap fleksibel,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, beradaptasi, berpikir kreatif, memotivasi
diri, dan menyusun pertimbangan, serta lkemampuan lainnya yang diperlukan untuk
berinteraksi dengan orang lain.
Untuk menyiapkan masyarakat yang disebutkan di atas, pendidikan adalah
upaya yang sangat strategis untuk membentuk karakteristik masyarakat yang dituntut
seperti yang dikemukakan dia atas. Salah satu mata pelajaran yang berkontribusi besar
terhadap pembentukan watak dan karakteristik yang dituntut seperti dalam pelajaran
Pendidikan Agama Islam.
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan 2006 di kelas XI, yang perlu diajarkan kepada siswa dengan ruang lingkup
pembelajaran fiqih dengan Standar Dasar: ―Membiasakan perilaku menghargai karya
orang lain dalam kehidupan sehari-hari‖, (Depdiknas, 2006:8). Untuk mencapai tujuan
tersebut di atas, perlu seorang guru merancang yang dapat melibatkan aktivitas siswa.
- 163 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, maka guru perlu memahami cara
pembelajaran yang tepat, sehingga siswa lebih mudah memahami suatu konsep
pembelajaran membiasakan perilaku terpuji. Salah satu cara agar pembelajaran
membiasakan perilaku terpuji dapat dipahami oleh para siswa tersebut adalah
menggunakan pembelajaran kontekstual yang tepat sebagai model yang dapat
menjelaskan konsep pembelajaran membiasakan perilaku terpuji.
Penulis menemukan masalah bahwa pada umumnya para siswa masih kesulitan
dalam membiasakan perilaku terpuji. Hal ini dibuktikan pada kelas XI-A2 dari siswa
yang berjumlah 21 orang, hanya 8 orang atau 38% yang mencapai KKM dan sisanya
13 orang atau 62% belum mencapai KKM.
Dari data di atas, maka siswa kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari perlu
mendapatkan perhatian dalam pembelajaran membiasakan perilku terpuji. Untuk
membantu agar siswa tidak lagi mengalami kesuliatan dalam menyelesaikan soal
membiasakan perilaku terpuji diperlukan model yang dapat menguhubungkan masalah
pembelajaran dengan kehidupan anak yang realistis, maka upaya yang dilakukan oleh
penulis adalah menerapkan model pembelajaran kontekstual.
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran
lebih dipentingkan daripada hasil.
Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian pada
permasalahan tersebut dengan mengambil judul ―Meningkatkan Kemampuan Siswa
dalam Materi membiasakan perilaku Terpuji Melalui Model Kontekstual Kelas XI-A2
SMAN Tanjungsari.‖
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana proses pembelajaran penerapan model pembelajaran kontekstual dalam
upaya mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran membiasakan perilaku
terpuji di kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari?
b. Bagaimana hasil pelaksanaan model pembelajaran kontekstual dalam upaya
mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran membiasakan perilaku terpuji di
kelas XIA2 SMAN Tanjungsari?
164 Sadi
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Materi Membiasakan Perilaku Terpuji Melalui Model
Kontekstual pada Siswa Kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Bagi Siswa
Dapat memahami pembelajaran membiasakan perilaku terpuji yang dijelaskan
oleh guru.
Dapat memudahkan penyelesaian soal-soal membiasakan perilaku terpuji
yang diberikan oleh guru.
Memperoleh gambaran dengan jelas tentang membiasakan perilaku terpuji
dengan model kontekstual.
2) Bagi Guru
Dapat mempermudah cara pembelajaran membiasakan perilaku terpuji
kepada siswa.
Dapat menjadi bekal pengalaman dan pengetahuan bagi pembelajaran
membiasakan perilaku terpuji.
Dapat menambah model pembelajaran dengan menampilkan bukti nyata
dalam menerapkan konsep membiasakan perilaku terpuji.
Kajian Teori
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
Mata pelajaran pendidikan Agama Islam perlu diberikan kepada semua siswa
mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat menengah untuk membekali siswa
dengan kemampuan berpikir logis, analitis sistematis, kritis dan kreatif, serta
kemampuan bekerjasama kompetensi tersebut diperlukan agar siswa dapat memiliki
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan
hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif.
Perlunya belajar Pendidikan Agama Islam adalah untuk manusia agar berpikir,
karena Pendidikan Agama Islam disajikan dengan keabsahan dari pemikiran kebenaran
yang tidak bisa diragukan lagi manfaatnya dalam kehidupan.
Pendidikan Agama Islam merupakan alat bantu dan pelayanan ilmu yang tidak
hanya untuk Pendidikan Agama Islam itu sendiri tetapi juga untuk ilmu-ilmu yang
lainnya, baik untuk kepentingan teoritis maupun kepentingan praktis sebagai aplikasi
dari Pendidikan Agama Islam.
Ruseffendi berpendapat bahawa Pendidikan Agama Islam diajarjan di SMA
adalah menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan
pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman
peserta didik tentang agama Islm sehingga menjadi manusia muslim yang terus
berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Mewujudkan manusia
Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang
berpengetahuan, rajin beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin,
bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta
mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah (Depdiknas, 2006:2).
Selain itu Pendidikan Agama Islam diajarkan di SMA mempunyai kelebihan dari
kebanyakan ilmu pengetahua, maka perlu disajikan dalam bentuk berbagai cara
pembelajaran agar manrik, melekat, dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Sadi 165
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan
mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari gur ke siswa.
Dalam nkelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai
tujuannya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi.
Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru datang
dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru. Begitulah peran guru di kelas yang
dikelola dengan pendekatan kontekstual.
Menurut Trianto (2007:101) mengemukakan, kontekstual adalah sebuah konsep
yang membantu guru menghubungkan isi mata pelajaran dengan situasi dunia nyata
dan memotivasi siswa untuk menghubungkan pengetahuan dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pembelajaran kontekstual bukan merupakan sesuatu yang baru. Penerapanan
pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat pertamma kali diusulkan oleh Dewey
(1916) mngusulkan bahwa suatu kurikulum dan metodologi pengejaran yang dikaitkan
dengan minat dan pengalaman siswa (Trianto, 2007:101).
Pembelajaran kontekstual merupkan suatu proses pendidikan yang holistic dan
bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang
dipelajarinya dengan mengakaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka
sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswwa memiliki
pengetahuan/keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu
permasalahan/konteks ke permasalahan/konteks lainnya.
Pendekatan kontekstual menekankan pada proses berpikir yang tingkatnya lebih
tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, analisis, dan sintesis
informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan. Trianto berpendapat ada
enam unsur kunci kontekstual, yaitu, (1) Pembelajaran bermakna: pemahaman,
relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa dia berkepentingan terhadap materi
yang harus dipelajari; (2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melibatkan
bagaimana materi yang dipelajari dalam aplikasinya pada saat sekarang dan masa yang
akan datang; (3) Berpikir tingkat lebih tinggi: siswa dilatih untuk berpikir kritis dan
kreatif dalam mengumpulkan data, memahami suatu isu, atau memecahkan masalah;
(4) Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar: materi pengajarn berstandar
local, nasional, atau industri; (5) responsif terhadap budaya: pendidik harus memahami
dan menghormati nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaansiswa,
sesame rekan pendidik, dan masyarakat setempat; (6) penilaian autentik: penggunaan
berbagai macam strategi penilaian yang secara valid mencerminkan hasil belajar
sesungguhnya yang diharapkan dari siswa (2007:102-103).
Pendekatan ini mengasumsikan pikiran seseorang secara alami akan mencari
makna konteks sesuai dengan lingkungannya. Hal ini dapat terjadi melalui pencarian
hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Keterpaduan materi pembelajaran dengan
166 Sadi
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Materi Membiasakan Perilaku Terpuji Melalui Model
Kontekstual pada Siswa Kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari
Rencana
Tindakan I
Refleksi
Observasi
Pelaksanaan
Tindakan
Rencana
Tindakan II
Refleksi
Observasi
Pelaksanaan
Tindakan
Rencana
Tindakan III
Gambar 1
Modifikasi Model Spiral Menurut Kemmis dan Taggart
Sadi 167
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Gambar 01
KKM Data
Dari data di atas, maka siswa kelas XI-A2 SMAN Tanjungasri perlu
mendapatkan perhatian dalam pembelajaran membiasakan perilaku terpuji. Unruk
membantu agar siswa tidak lagi mengalami kesuliatan dalam menyelesaikan soal
membiasakan perilaku terpuji diperlukan model pembelajaran kontekstual, hal ini
telihat dalam siklus I prestasi belajar siswa mengalami peningkatan.
Setelah melakukan pembelajaran kontekstual, maka siswa XI-A2 SMAN
Tanjungsari dalam menyelesaikan soal membiasakan perilaku terpuji mengalami
peningkatan. Hal ini terlihat dari 21 siswa sebanyak 16 orang atau setara 76% yang
mencapai KKM dan sebanyak 5 orang atau setara 24% belum mencapai KKM.
Berdasarkan hasil pengolahan data maka hasil prestasi belajar siswa dari pembelajaran
siklus I, keadaan siswa yang mengalami peningkatan ini terlihat dalam Gambar 02.
168 Sadi
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Materi Membiasakan Perilaku Terpuji Melalui Model
Kontekstual pada Siswa Kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari
Gambar 02
KKM Siklus I
Pada siklus II terjadi lagi peningkatan hasil belajar siswa dalam mengerjakan soal
membiasakan perilaku terpuji, dari 21 siswa sebanyak 19 orang atau 90% yang
mencapai KKM dan sebanyak 2 orang atau 10% yang belum mencapai KKM dengan
rata-rata kelas 74. Berikut ini hasil belajar siswa dalam hasil observasi perbaikan
pembelajaran membiasakan perilaku terpuji dapat terlihat dalam Gambar 03 di bawah
ini.
Gambar 03
KKM Siklus II
Sadi 169
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Pada siklus III terjadi lagi peningkatan dalam hasil mengerjakan soal membiasakan
perilaku terpuji, terbukti semua siswa kelas XI SMAN Tanjungsari yang berjumlah 21
orang sudah mencapai KKM 100% dengan rata-rata kelas 80. Untuk lebih jelasnya,
peningkatan hasil tiap siklus dari data awal sampai dengan siklus III dapat terlihat pada
Gambar 04 di bawah ini.
Gambar 04
KKM Peningkatan Siswa
Melalui tiga siklus penelitian tersebut terdapat peningkatan yang signifikan, jika
dibandingkan dengan kemampuan para siswa sebelum diberikannya tindakan
berdasarkan data awal observasi penelitian. Peningktah ini dikarenakan membiasakan
perilaku terpuji melalui pembelajaran model pembelajaran kontekstual dilaksanakan
sesuai dengan model pembelajaran kontekstual yang sistematis dan bertahap yang
mengacu pada pola tujuh komponen utama pembelajaran yang efektif, yaitu:
1. Kontstruktivisme;
2. Bertanya;
3. Menemukan;
4. Masyarakat Belajar;
5. Pemodelan;
170 Sadi
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Materi Membiasakan Perilaku Terpuji Melalui Model
Kontekstual pada Siswa Kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari
6. Refleksi;
7. Penilaian Sebenarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan berdasarkan kepada teori-teori
atau konsep-konsep dasar yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
proses pembelajaran pendekatan kontekstual dalam mengatasi kesuliatan siswa dalam
mengerjakan soal membiasakan perilaku terpuji di kelas XI-A2 SMAN Tanjungsari,
meliputi tahap kontruktivisme, tahap inqquiry (menemukan), tahap questioning
(bertanya), tahap learning community (masyarakat belajar), tahap modeling
(pemodelan), tahap reflection (refleksi), tahap authentic assessment (penilaian yang
sebenarnya).
Hasil dari pelaksanaan membiasakan perilaku terpuji melalui model
pembelajaran kontekstual pada siswa XI-A2 SMAN Tanjungsari adalah peningkatan
rata-rata pada data awal 38%, namun setelah dilaksanakannya model pembelajarn
kontekstual, maka siklus I sebesar 76%, siklus II 90%, dan siklus III menjadi 100%.
Saran-saran
Ada beberapa saran atau rekomendasi yang perlu penulis sampaikan sebagai
implikasi dari hasil penelitian ini, antara lain adalah seorang guru harus memperluas
wawasan pengetahuan dan keterampilan mengenai penerapan pendekatan kontekstual.
Seorang guru harus mempermudah pelaksanaan pembelajaran membiasakan perilaku
terpuji. Untuk siswa perlu memotivasi dan membangkitkan pembiasaan perilaku
terpuji, sedangkan untuk lembaga perlu memberikan kontribusi dalam meningkatkan
kemampuan pembelajaran membiasakan perilaku terpuji, serta dijadikan salah satu
model pembelajaran yang relevan dengan permasalahan yang terjadi di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1994. Pendidikan Agama Islam 2. Jakarta: Depdikbud
Depdiknas. 2003. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2003. Pedoman Penelitian Karya Ilmiah. Bandung: UPI.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Pembelajaran Kontekstual. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Hawa, S. dkk. 2007. Pendidikan Agama Islam di SMA. Jakarta: Depdiknas.
Hidayat, dkk. 2003. Belajar Pendidikan Agama Islam 3. Bandung: PT Sarana Panca
Karyanusa.
Moleong. 2004. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosma Karya.
Muchtar, A.K. 1997. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Depdikbud.
Sadi 171
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Rachmat, dkk. 2005. Belajar Pendidikan Agama Islam. Badung: PT Sarana Panca
Karyanusa.
Ruseffendi, E.T. 1992. Pendidikan Agama Islam 3. Jakarta: Universitas Terbuka.
Subarinah. 2005. Inovasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar.
Jakarta: Depdiknas.
Trianto. 2007. Model-Model pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka.
Windayana, H. 2004. CTL dalam Pembelajaran Matematik SMA Seiringa KBK.
Bandung: Jurnal Pendidikana Dasar UPI.
Wiriaatmadja, Rochiati. 2005. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: UPI.
172 Sadi
PENINGKATAN AKTIVITAS PEMBELAJARAN HIDROSFER DAN
DAMPAKNYA TERHADAP KEHIDUPAN MELALUI TINDAKAN GURU
INOVATIF PADA KELAS X DI SMA NEGERI JATINANGOR
Ipin Sumpena
Pengajar Bidang Studi Geografi SMAN JATINANGOR
ipinsupena64@gmail.com
ABSTRAK
Pembelajaran dikatakan berhasil apabila dapat meningkatkkan hasil belajar siswa
dari segi kognitif, psikomotorik, dan afektif. Hasil belajar yang benar dihasilkan
oleh proses belajar yang berbasis aktivitas siswa. Aktivitas belajar pada Materi
Pokok Hidrosfer (X6) lebih rendah antara 20%-30% dibandingkan dengan kelas
paralelnya lainnya. Untuk mewujudkan keberhasilan pembelajaran tersebut
diperlukan tindakan guru yang inovatif. Tujuan penelitian ini adalah: 1)
meningkatkan aktivitas siswa, 2) terciptanya proses belajar berbasis siswa aktif.
Penelitian ini terdiri dari tiga siklus, dan setiap siklus terdiri atas perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus
I, tindakan inovatif guru pada Kelas Tindakan mampu meningkatkan sebesar
>22% yang ditunjukkan oleh diresponnya 2 dari 9 indikator aktivitas yang ada,
yakni aktivitas menanggapi pertanyaan teman. Pada siklus II aktivitas siswa
meningkat sebesar 16,7% dari siklus pertama atau aktivitas siklus ke dua sebesar
>86% dengan inovasi yang dilakukan adalah menyimak materi terkait di internet.
Peningkatan yang signifikan (>97%) atau meningkat >27,8% didapatkan pada
siklus III dengan tindakan inovatif mencari contoh materi hidrosfer dan
dampaknya terhadap keseharian. Berdasarkan hasil penelitian, dapat di tegaskan
bahwa melalui tindakan guru yang inovatif antara Kelas Tindakan dan Kelas
Paralel tidak ada perbedaan aktivitas belajarnya dalam pembelajaran hidrosfer dan
dampaknya terhadap kehidupan. Kesimpulannya kenaikan setiap siklus sebesar >
33% didapat dari upaya guru berinovasi. Saran yang dikemukakan adalah guru
mengenali profil masing-masing kelas agar tindakan guru dapat disesuaikan
dengan kondisi kelas.
Pendahuluan
Pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan kualitas manusia, oleh
sebab itu pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam mencerdaskan
kehidupan bangsa. Setiap individu yang terkait dalam pendidikan dituntut berperan
secara maksimal untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui proses
pembelajaran. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pembelajaran pada
setiap jenjang pendidikan adalah peran guru sebagai fasilitator dalam kegiatan
pembelajaran. Guru merupakan salah satu komponen tenaga kerja yang profesional
pada tingkat satuan pendidikan formal. Peran guru sangat penting karena berhadapan
langsung dengan peserta didik, oleh karena itu seorang guru harus berkualitas agar
berkemampuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Hamalik (2004) dan Banowati
(2010) berpendapat bahwa proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja
ditentukan oleh sekolah, struktur dan isi kurikulumnya, akan tetapi sebagian besar
- 173 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
artinya tujuan dapat diperinci sedemikian rupa menjadi jelas dan terukur; 3) tercapai
hasil belajar tuntas.
Guru yang inovatif akan mampu manciptakan iklim yang kondusif di dalam
kelas dan mendorong siswa untuk belajar secara kreatif. Berbagai upaya guru yang
inovatif ketika mengajar harus memperhatikan:
1. Pengaturan fisik penggunaan media pembelajaran.
Guru dalam mengajar dapat menggunakan alat dan media pembelajaran.
Penggunaan alat dan media pembelajaran dapat membantu siswa yang mempunyai
kelemahan-kelemahan tertentu. Secara individual siswa yang berkemampuan
rendah dalam berfikir abstraknya seperti halnya materi geografi yang mempelajari
fenomena geosfer membutuhkan imajinasi dan fantasi (abstrak) perlu dibantu
dengan alat peraga yang konkrit.
Adapun teknik menggunakan media belajar, diseyogyakan: a) pengaturan tempat
duduk yang mengarah pada teraksesnya media yang digunakan; b) mudah dibawa
di ruang kelas, karena geografi di SMA tidak tersedia laboratorium; diciptakan
ruang kelas yang santai tenang, dan menyenangkan.
2. Persiapan dalam kegiatan pembelajaran, antara lain: menyusun perangkat
pembelajaran; mempersiapkan media pembelajaran yan dibutuhkan.
3. Motivator dan fasilitator.
Guru dapat sebagai pemotivasi dan memberikan bantuan kepada siswa yang
kurang cepat dalam menangkap materi pelajaran. Dalam penelitian ini dilakukan
dengan jalan memberikan tindakan atau upaya inovatif dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menanggapi pertanyaan guru maupun pertanyaan
siswa.
4. Berkompeten dalam memilih strategi dan metode yang bervariasi mampu
mengurangi kebosanan anak (siswa) dalam proses belajar hidrosfer yang mereka
temukan dalam kehidupan kesehariannya.
5. Menggunakan sumber belajar yang ada di sekitar tempat belajar maupun di sekitar
siswa. Pada penelitian ini upaya guru adalah pembelajarannya selain dilakukan di
ruang kelas juga dilakukan di ruang multi media yang diperlengkapi dengan
internet.
Siklus II
Refleksi dari tindakan siklus pertama, berdasarkan hasil analisis data yang
diperoleh diketahui aktivitas dalam kegiatan pembelajaran pada Materi Pokok
Hidrosfer menunjukkan bahwa dari 9 aktivitas siswa yang ada 5 aktivitas siswa
termasuk dalam kategori tuntas atau 4 aktivitas siswa dalam kategori belum mampu
direspon siswa secara aktif. Hal ini menunjukkan (telah) terjadi peningkatan aktivitas
siswa dalam kegiatan pembelajaran pada Materi Pokok Hidosfer melalui tindakan guru
inovatif, walaupun masing-masing ada 4 (dalam satu) aktivitas siswa yang belum
tuntas yaitu aktivitas dalam mengemukakan pendapat ketika kegiatan pembelajaran.
Berikut disajikan Tabel 2 pada siklus II di kelas tindakan.
Tabel 2. Aktivitas Siswa Siklus II Pada Kelas Tindakan
Siklus III
Refleksi siklus kedua, berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada siklus
III pada kelas tindakan hal tindakan inovatif yang dirancangkan adalah pembelajaran
masih dilakukan di ruang multi media dipandu oleh guru untuk mencari materi terkait
di internet. Dari 32 siswa mengenai aktivitas dalam kegiatan pembelajaran pada Materi
Pokok Hidrosfer menunjukkan bahwa dari 9 aktivitas siswa yang ada para siswa kelas
X6 sudah mencapai 8 kategori tuntas direspon oleh siswa dalam forum. Secara jelasnya
dapat dilihat pada sajian Tabel 3.
Pada siklus ini aktivitas siswa sudah mencapai 55% atau melaksanakan sesuai
dengan tingkat ketuntasan yang ada. Total skor yang didapatkan 35 mengalami
kenaikan secar signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I, tindaklan inovatif guru pada
kelas tindakan (X6) mampu meningkatkan sebesar >22% yang ditunjukkan oleh
diresponnya 2 dari 9 indikator aktivitas yang ada, yakni aktivitas menanggapi
pertanyaan teman. Pada siklus II aktivitas siswa meningkat sebesar 16,7% dari siklus
pertama atau aktivitas siklus ke dua pada posisi sebesar >86% dengan inovasi yang
dilakukan adalah menyimak materi terkait di internet. Peningkatan yang signifikan
(>97%) atau meningkat >27,8% didapatkan pada siklus III dengan tindakan inovatif
mencari contoh materi hidrosfer dan dampaknya terhadap keseharian.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari 32 siswa mengenai aktivitas
dalam kegiatan pembelajaran pada Materi Pokok Hidrosfer menunjukkan bahwa dari 9
aktivitas siswa yang ada, tujuh aktivitas siswa termasuk dalam kategori tuntas dan 2
aktivitas siswa dalam kategoti belum tuntas yaitu pada aktivitas bertanya dan
mengemukakan pendapat secara substansial ketika kegiatan pembelajaran. Untuk
memperjelas deskripsi disajikan aktivitas siswa siklus I seperti pada Tabel 4.
Hal ini disebabkan oleh kondisi ketika kegiatan pembelajaran dimana aktivitas
siswa dalam bertanya dan mengemukakan pendapat cenderung sesuai contoh soal yang
ada pada buku, meskipun sebagain kecil dari beberapa dari mereka sudah bertanya
serta mengemukakan pendapat ketika dalam pelaksanaan pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada siklus I di kelas paralel (X6)
mengenai aktivitas dalam kegiatan pembelajaran pada Materi Pokok Hidrosfer
menunjukkan bahwa dari 9 aktivitas siswa yang ada 7 aktivitas siswa termasuk dalam
kategori 4, manun masih pada kategori 2 sebanyak 1 item dan kategori 3 terdapat 1
item yaitu kemampuan memecahkan masalah dan substansi materi yang ditanyakan.
Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas siswa dalam kegiatan
pembelajaran pada Materi Pokok Hidosfer melalui tindakan guru inovatif, walaupun
masing ada 2 (dua) aktivitas siswa yang belum tuntas yaitu aktivitas dalam bertanya
dan mengemukakan pendapat ketika kegiatan pembelajaran. Untuk mendapatkan
gambaran, lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5 dengan total skor 32.
Total skor aktivitas pada siklus II kelas tindakan tidak dilakukan tindakan
apapun. Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh pada siklus II melalui
pengamatan secara alami aktivitas dalam kegiatan pembelajaran pada Materi Pokok
Hidosfer menunjukkan bahwa dari 9 aktivitas siswa yang ada para siswa kelas X6
sudah mencapai kategori tuntas pada tataran substansial, dimana pada aktivitas
kegiatan yang ada para siswa mencapai skor 33 atau 91,67% dari idealnya yaitu total
skor 36 melaksanakan sesuai dengan tingkat ketuntasan yang ada. Berikut disajikan
Tabel 6 hasil siklus ketiga kelas paralel.
Hasil penelitian pada kelas kontrol menunjukkan bahwa pada siklus I, pada
proses pembelajaran sesuai RPP yang telah dipersiapkan. Artinya tidak ada tindakan
tambahan seperti halnya kelas tindakan. Secara aktif di respon oleh siswa dalam forum,
meskipun aktivitas mendengarkan teman menyampaikan pendapat dan kemampuan
memecahkan masalah masih standar. Pada siklus ke dua kemampuan mendengarkan
pendapat teman menunjukkan hasil respon yang meningkat dari kriteria 2 meningkat
ke kriteria 3. Peningkatan juga terjadi di siklus ke tiga berkaitan dengan kemampuan
memecahkan masalah.
Daftar Pustaka
Akbar, Reni dkk., 2001. Kreativitas. Jakarta: Grasindo.
Anni, Chatarina Tri, 2004. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang press.
Arends, Richard, 2001. Learning to Teach. Boston: Mc. Graw Hill.
Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arsyad, Azhar, 2006. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Banowati, Eva. 2006. Membangun Pembelajaran Bermakna. Makalah. Semarang:
Seminar Internasional Hispisi.
—————, 2010. Kesiapan LPTK Dalam Menyonsong Pendidikan Profesi Guru
(PPG) Untuk Menghasilkan Guru Profesional. Prosiding. Semnas:
Revitalisasi LPTK Untuk Menghasilkan Guru yang Profesional. Bandar
Lampung: Lembaga Penelitian Universitas Lampung.
Blancahard, Alan, 2001. Contextual Teaching and Learning. Boston: Mc. Graw Hill
Boardman, David (Editor), 1988. Handbook for Geography Teachers. Sheffield:
Geographic Association.
BSNP, 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Geografi SMA/MA. Badan Standar Nasional
Pendidikan.
Daldjoeni, N., 1997. Geografi Baru, Organisasi Keruangan Dalam Teori dan
Praktek. Bandung: Alumni.
Danim, Sudarwan, 2008. Media Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Darsono, Max. 2001, Belajar dan Pembalajaran. Semarang: IKIP Semarang pres.
Depdiknas, 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Geografi Sekolah
Menengah Umum. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan
Pengembangan.
Djamarah, Syukur dan Aswan Zain, 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Hamalik, Oemar, 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
—————, 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Ibrahim, M. dkk., 2000. Pembelajaran Koopetif. Surabaya: University Press, UNESA.
Munandar, Utami, 1999. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka
Cipta
Nasution, 2004. Didaktik Azas-Azas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Nurhadi, 2003. Pembelajaran Kontekstual. Malang: UNM Press
Plus, Philip, 2008. Kiat Menjadi Orang Kreatif. Yogyakata: Maximus.
Poerwodarminto, 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PN. Balai Pustaka.
Rooijakkers, 1990. Mengajar dengan Sukses. Jakarta: Gramedia.
Sardiman. 2007. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Slavin, Robert E., 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Boston: Allyn
and Bacon.
Sudaryo, dkk., 1991. Strategi Belajar Mengajar I. Semarang: IKIP Semarang press.
Sumaatmadja, Nursid, 2001. Metodologi Pengajaran Geografi. Jakarta: Bumi Aksara.
Usman, MU., 2000. Menjadi Guru Profesional. Bandung. Remaja Rosdakarya
Ridha Herdiani
Pengajar Bidang Studi Bahasa Sunda SMAN Tanjungsari
herdianir@yahoo.com
ABSTRAK
Proses pembelajaran Bahasa Sunda saat ini pada umumnya belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Sebagian besar siswa menganggap Bahasa Sunda
merupakan pelajaran yang tidak menarik dan membosankan, serta tidak
mendunia. Metode pembelajaran Bahasa Sunda yang diterapkan oleh sebagian
guru cenderung menggunakan metode konvensional yang menempatkan guru
sebagai pusat segalanya, sehingga kegitan pembelajaran menjadi tidak efektif
dan mengakibatkan siswa menjadi bosan, pasif dan tidak mempunyai motivasi
belajar. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan
metode pemecahan masalah yang sangat efisien dan fleksibel digunakan dan
dapat lebih meningkatkan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sebagai
akibat meningkatkannya motivasi belajar siswa, dengan alasan teresebut maka
penelitian ini diberi judul ―Penggunaan Metode Pemecahan Masalah Sebagai
Upaya Meningkatkan Minata Siswa terhadap Pembelajaran bahasa Sunda pada
Pokon Bahasan Carpon di Kelas XI S3 SMAN Tanjungsari‖ . Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keberhasilan penggunaan metode pemecahan
masalah, dalam upaya meningkatkan motivasi belajar siswa pada pokok bahasan
carpon, yang mencakup proses penggunaan metode pemecahan masalah, dan
peningkatan ketuntasan belajar siswa. Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah perangkat pembelajaran, soal tes, lembar observasi, dan
angket siswa, yang digunakan untuk mengetahui peningkatan motivasi belajar
siswa dan ketuntasan belajar selama proses pembelajaran yang terdiri dari tiga
siklus pembelajaran. Dari pengisian lembar observasi dan angket diketahui
adanya peningkatan motivasi belajar siswa. Dari kegiatan tes diperoleh hasil
yang menunjukkan adanya peningkatan ketuntasan belajar siswa.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penggunaan Metode Pemecahan masalah
pada Pokok Bahasan Carpon Bahasa Sunda dapat Meningkatkan Motivasi
Belajar Siswa Kelas XI S3 SMAN Tanjungsari Kabupaten Sumedang.
Pendahuluan
Pelajaran bahasa Sunda merupakan pelajaran muatan lokal. Pembelajarannya
penting untuk dikuasai oleh siswa. Dalam pembelajaran bahasa Sunda, selain
pengembangan pemahaman konsep itu sendiri perlu dikembangkan iklim belajar dan
mengajar konstruktif bagi berkembangnya sikap dan keterampilan siswa sehingga
menghasilkan siswa yang berkualitas dalam menyongsong tantangan di bidang IPTEK
dan sebagai persiapan menghadapi pergeseran sistem nilai di era globalisasi ini.
- 183 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
Peran ideal guru dalam proses belajar dan mengajar yang dinyatakan di atas,
dalam kenyataannya berdasarkan pada fakta pengalaman dan pengamatan sering terjadi
sebaliknya. Pembelajaran yang seharusnya berfokus pada siswa (students centered)
justru menjadi pembelajaran yang sifatnya guru sentris (teachers centered). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Arnie Fajar (2003:77) sebagai berikut:
…kenyataan di lapangan menunjukkan sebagian besar guru dalam proses
pembelajarannya hanya menggunakan buku teks (text book)….guru bertindak
sebagai objek atau pendengar yang baik…
Salah satu sifat guru sentries ditandai dengan seringnya guru menggunakan
metode pembelajaranyang mengabaikan minat dan kondisi siswa. Banyak guru dalam
proses belajar mengajar seringkali menggunakan metode ceramah dalam
pembelajaran, tanpa mau melakukan variasi dalam pemilihan metode. Konsekuensi
dari hal ini bagi siswa adalah munculnya kebosanan dan kejenuhan serta rendahnya
motivasi belajar siswa, yang berimbas pada kekurangaktifan siswa dalam proses
belajar mengajar.
Munculnya kebosanan, kejenuhan serta rendahnya motivasi belajar siswa
dalam mata pelajaran Bahasa Sunda pokok bahasan carpon, menuntut dilakukannya
perbaikan dari segi pemilihan dan penggunaan metode pembelajaran yang tepat dan
bervariasi. Metode yang tepat dan bervariasi adalah metode pembelajaran yang
berorientasi pada siswa yang mampu menarik minat siswa untuk belajar dalam kondisi
yang menyenangkan (joyfull), yang mampu merangsang motivasi belajar siswa
sehingga siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dengan penuh antusias dan
akhirnya kebosanan dalam belajar Bahasa Sunda bisa dihilangkan.
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah salah satu metode
pembelajaran yang dapat digunakan dalam mata pelajaran Bahasa Sunda. Metode ini
didesain untuk meningkatkan minat belajar siswa dalam mata pelajaran Bahasa Sunda
pada pokok bahasan carpon, di samping dapat meningkatkan minat belajar siswa, juga
mampu merangsang siswa untuk berpikir kritis dan membiasakan siswa untuk
memecahkan berbagai permasalahan secara kritis dan rasional. Hal itu berkaitan
dengan langkah-langkah yang ditempuh dalam proses pemecahan masalah yang
menuntut siswa berpikir kritis dan rasional. Menurut Neimark (2005:10), terdapat lima
langkah yang harus dilakukan pada waktu kegiatan pemecahan masalah yaitu:
1. Problem finding: pencarian masalah;
2. Stating the problem: perumusan masalah;
3. Planning a solutions: perencanaan suatu solusi;
4. Acting on the plan: pelaksanaan rencana; dan
5. Evaluate: evaluasi.
4. Dalam penelitian ini dibatasi masalah penelitiannya yaitu dalam bidang penggunaan
metode pemecahan masalah (problem solving) untuk meningkatkan minat belajar
siswa dalam mata pelajaran Bahasa Sunda pada pokok bahasan carpon di kelas XI
S3 SMA Negeri Tanjungsari.
Kajian Teori
Metode pembelajaran pemecahan masalah (problem solving) adalah bagian dari
inkuiri. Metode ini memberi tekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara
menalar. Secara etimologis, masalah dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana
terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, dan kondisi tersebut menuntut
pemecahannya atau jalan keluarnya. Berdasarkan hal tersebut , Kosasih Djahiri
(1985:133) menyatakan bahwa : metode pemecahan masalah lebih menitikberatkan
kepada terpecahkannya sesuatu masalah yang menuntut perkiraan rasio atau logis,
benar dan tepat.
Dalam proses pembelajaran, metode pemecahan masalah (problem solving)
dirasakan penting sebab pada prinsipnya belajar adalah suatu proses interaksi antar
manusia pada lingkungannya. Proses ini dapat juga sebagai proses internalisasi oleh
karena itu di dalam interaksi tersebut manusia aktif memahami dan menghayati makna
dari lingkungan. Menurut Gulo (2005:111) proses ini berlangsung secara bertahap,
mulai dari menerima stimulus dari lingkungan sampai pada member respon yang tepat
terhadapnya.
Belajar dengan menggunakan metode pemecahan masalah merupakan sebuah
cara belajar yang lahir dari adanya perubahan mendasar dalam paradigma berpikir
tentang bagaimana siswa belajar. Belajar tidak lagi dipandang sebagai proses
menerima informasi untuk disimpan dalam memori siswa yang diperoleh melalui
pengulangan praktek (latihan) dan penguatan saja. Siswa belajar dengan mendekati
setiap persoalan atau tugas baru dengan pengetahuan yang telah ia miliki (prior
knowledge), mengasimilasi informasi baru dan membangun pengertian sendiri.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Sudirman sebagaimana dikemukakan oleh
Nasution (2005:146) yang menyatakan sebagai berikut:
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah cara penyajian bahan
pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis
dan disintetis dalam usaha mencari pemecahan masalah atau jawabannya oleh siswa.
Permasalahan itu dapat diajukan serta diberikan kepada siswa bersama guru, atau dari
siswa itu sendiri, yang kemudian dijadikan pembahasan yang dicari pemecahannya ini
sebagai kegiatan pembelajaran siswa. Metode pemecahan masalah ini sering disebut
pula sebagai problem solving method ,reflective thingking method, atau scientific
method.
Berdasarkan pendapat Sudirman di atas dapat disimpulkan bahwa metode
pemecahan masalah (problem solving) merupakan cara belajar dengan bekerja berpikir
melalui masalah-masalah. Masalah menurut Oemar Hamalik (2003:2) adalah segala
sesuatu yang mengandung keragu-raguan, ketidakpastian atau kesulitan yang harus
dipecahkan, dikuasai dan dijinakkan. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan
oleh Killen sebagaimana dikutip oleh Oemar Hamalik (2003:106) yang menyatakan
bahwa masalah bisa juga diartikan sebagai situasi dimana beberapa informasi diketahui
dan informasi lain diperlukan sesuatu yang memberi keraguan, ketidakpastian atau
sesuatu yang sulit dimengerti.
Killen dalam Oemar Hamalik (2003:105) merumuskan tiga kategori
pembelajaran problem solving, yaitu: Pertama, ada yang berupa mengajarkan siswa
untuk memecahkan masalah. Kedua, mengajarkan siswa untuk menggunakan
pemecahan masalah, dan Ketiga, sistem pembelajaran yang berisikan masalah.
Lebih lanjut Killen (1998:105) mengemukakan bahwa untuk menggunakan
metode pemecahan masalah sebagai suatu strategi pembelajaran harus diperhatikan
pedoman atau rambu-rambunya, yaitu sebagai berikut:
Seorang guru harus menjelaskan kepada siswanya mengapa kita ingin mereka
mempelajarinya. Kenapa kita menggunakan masalah sebagai cara untuk
keberlangsungan proses pembelajaran, dan interaksi macam apa yang kita harapkan
dari mereka selama proses pembelajaran itu berlangsung. Melalui proses pembelajaran
ini, fokusnya adalah pengembangan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran
yang akan kita berikan, bukannya penemuan jawaban untuk masalah itu sendiri. Hal ini
bisa dicapai dengan baik jika guru memberikan waktu dan kesempatan yang cukup
kepada siswanya untuk mengembangkan pemahaman mereka.
Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2003:107) mengemukakan bahwa dalam
menggunakan pemecahan masalah, guru tidak hanya menekankan kepada siswa
bagaimana cara memecahkan masalah, maka mereka hanya mengajarkan siswa
bagaimana cara memecahkan masalah,maka mereka hanya mempelajari sedikit
pengetahuan, atau sekedar tahu langkah-langkah yang harus diikuti untuk memecahkan
masalah. Di samping itu, cara ini kurang efektif dalam membantu siswa belajar, karena
banyak bukti yang menunjukkan bahwa siswa yang diajarkan memecahkan masalah,
dengan pendekatan sarana sebagai tujuan akhir hanya akan mendapat sedikit
pengetahuan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk
memecahkan masalah-masalah sosial, khususnya dalam mata pelajaran Bahasa Sunda
yang erat kaitannya dengan carpon, guru membutuhkan pengetahuan yang spesifik.
Penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving) dalam pembelajaran
Bahasa Sunda diperlukan sebagai strategi pembelajaran untuk membina siswa agar
memahami materi pembelajaran dan memiliki keterampilan berpikir kritis guna
memecahkan suatu permasalahan. Dalam pandangan Kosasih Djahiri (1985:133)
metode pembelajaran pemecahan masalah memberikan beberapa manfaat, yaitu
sebagai berikut:
1) Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta
mengambil keputusan secara objektif dan mandiri.
2) Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa. Proses berpikir terdiri dari
serentetan keterampilan (mengumpulkan informasi/data, membaca data dan lain-
lain) yang penerapannya membutuhkan latihan serta pembiasaan/ pembakuan.
aktifitas mental dengan menyoroti permasalahan dari berbagai segi dalam rangka
mencari pemecahannya.
4) Proses terjadi karena adanya dorongan dan tujuan yang akan dicapai.
5) Belajar merupakan bentuk pengalaman.
Metodologi
Metode yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Prosedur
penelitian terbagi dalam 3 siklus dan programnya dapat diurutkan sebagai berikut :
PERENCANAAN → TINDAKAN → OBSERVASI → REFLEKSI (Yaitu
Merenungkan, memikirkan, dan menilai) → PERENCANAAN ( perencanaan
kembali atau perbaikan rencana) → TINDAKAN →OBSERVASI →
REFLEKSI → Seterusnya hingga mencapai tujuan akhir atau memperoleh hasil
yang memuaskan.
Penelitian motivasi di dalam kelas dapat diketahui dengan cara observasi
langsung didukung oleh wawancara, telaah dokumentasi, tes prestasi belajar, dan
rekaman foto atau handycam dalam situasi pembelajaran Bahasa Sunda. Teknik
pengumpulan data tersebut digunakan dengan harapan saling melengkapi sehingga
dapat diperoleh data situasi pembelajaran secara absah.
Penelitian Tindakan Kelas ini berakhir pada siklus kedua karena semua permasalahan
telah teratasi dengan baik. Adapun indikator bukti keberhasilannya ditandai dengan
adanya perilaku positif dari siswa, yaitu:
1) Guru memberikan penjelasan dan penguatan mengenai kepentingan siswa untuk
mempelajari pokok bahasa carpon.
2) Ketika siswa memecahkan masalah pada pokok bahasan carpon secara kelompok,
guru membimbing siswa secara intensif dan personal sehingga siswa terlihat
senang dan mulai memahami materi.
3) Seluruh siswa aktif dalam kelompoknya.
4) Siswa memiliki keberanian untuk memunculkan masalah yang akan dipecahkan
bersama.
5) Siswa berani dan berlomba untuk maju ke depan kelas untuk menjawab soal.
6) Siswa terlihat senang ketika guru dan siswa membuat kesimpulan bersama.
Berikut gambaran ketercapaian hasil dalam tiap siklus akan disajikan pada tabel
di bawah ini.
Tabel 1
Rekapitulasi Hasil Tindakan Per-Siklus
Deskripsi Hasil Penelitian Tindakan Kelas
No. Hasil Siklus I Hasil Siklus II Kesimpulan
1 Guru memberikan Siswa berani dan berlomba Penelitian Tindakan Kelas ini
penjelasan dan untuk maju ke depan kelas berakhir pada siklus kedua
penguatan mengenai untuk menjawab soal. karena semua permasalahan
kepentingan siswa untuk telah teratasi. Dengan
mempelajari pokok demikian metode
bahasan carpon pemecahan masalah
1) Siswa terlihat senang ketika (problem solving) telah
Ketika siswa memecahkan guru dan siswa membuat terbukti efektif dalam
2 masalah pada pokok kesimpulan bersama. pembelajaran Bahasa Sunda
bahasan carpon secara pada pokok bahasan carpon.
kelompok, guru
membimbing siswa secara
intensif dan personal
sehingga siswa terlihat
senang dan mulai
memahami materi.
3 Siswa memiliki
keberanian untuk
memunculkan masalah
4 yang akan dipecahkan
bersama.
Berdasarkan hasil penelitian, dari enam masalah tersebut hanya empat yang
dapat teratasi yaitu 1) guru tidak memberikan penjelasan mengenai kepentingan siswa
untuk mempelajari pokok bahasan carpon; 2) ketika siswa memecahkan masalah pada
pokok bahasan carpon secara kelompok, guru kurang membimbing siswa sehingga
siswa terlihat gaduh atau ribut; 3) sebagian siswa aktif dan sebagian siswa lain tidak
aktif dalam kelompoknya; 4) siswa tidak memiliki keberanian untuk memunculkan
masalah yang akan dipecahkan bersama.
Adapun masalah yang belum teratasi adalah: 1) siswa tidak berani ke depan
kelas untuk menjawab soal; 2) siswa terlihat risau dan gelisah ketika guru
menyuruhnya membuat kesimpulan.
Penelitian Tindakan Kelas ini, berakhir pada siklus kedua karena dua masalah
yang muncul telah teratasi pada siklus kedua. Dengan demikian, Penelitian Tindakan
Kelas ini telah membuktikan bahwa penggunaan metode pemecahan masalah (problem
solving) telah terbukti efektif dalam pembelajaran carpon.
PERMASALAHAN DALAM
Dampak
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
SOLUSI
Siswa tidak termotivasi
Rendahnya minat siswa dalam
Metode Pemecahan belajar Bahasa Sunda
pembelajaran Bahasa Sunda pada
Masalah (Problem
pokok bahasan carpon
Solving)
HASIL SIKLUS I
U
S HASIL SIKLUS 2
Simpulan
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa untuk mengatasi rendahnya minat siswa
dalam pembelajaran Bahasa Sunda pada pokok bahasan carpon dapat diatasi melalui
penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving). Penelitian Tindakan Kelas
ini menggunakan metode pemecahan masalah telah terbukti efektif dalam
meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran Bahasa Sunda pada pokok bahasan
carpon di kelas XI S3 SMA Negeri Tanjungsari.
Penelitian Tindakan Kelas ini berakhir pada siklus kedua. Karena semua
persoalan yang muncul dalam proses pembelajarannya dapat teratasi dengan baik
melalui metode pemecahan masalah (problem solving).
Dengan demikian maka penggunaan metode pemecahan masalah (problem
solving) terbukti efektif dalam upaya meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran
Bahasa Sunda pada pokok bahasan carpon di kelas XI S3 SMA Negeri Tanjungsari.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto,S . (1991).Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Albin, Syamsudin Makmur. (1999). Psikologi Pendidikan: Perangkat Sistem
Pengajaran Modul. Bandung:PT Remaja Rosda Karya.
Achad. Sanusi. (1993). Memberi Bobot pada Mutu LPTK dan Lulusannya
Bandung:PPs IKOP.
Depdikbud. (1999). Bahan Pelatihan Penelitian Tindakan (Action Reseach).
Jakarta: Depdikbud.
Depdikbud. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Bandung:
Depdikbud.
Djojosuroto dan Sumaryati. 2004. Prinsip-prinsip dasar Penelitian Bahasa dan Sastra.
Bandung: Nuansa.
Ibrahim. (1998). Inovasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud ork.
Kasbolah, Kasihani. (1999). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Depdikbud.
Makmun, A.S. (1997). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Murlaini, Ninu. 2004. Belajar Bahasa Indonesia. Bandung: Sarana Pancakarya Nusa.
Narbuko, Cholid jeung Abu Achmadi. 2008. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi
Aksara
Nuraeni, Euis. 1995. Materi Pokok Pendidikan Indonesia. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Nuergiantoro, B. 1986. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta:
BPFE.
Rusyana, Yus. 1986. Pedoman Penulisan Tata BahasaIndonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Sudarmianti. 2002. Metodologi Penelitian. Bandung: Mandar Maju.
Sudaryat, Abud Prawirasumantri, H. Karna Yudibrata. 2007. Tata Basa Sunda
Kiwari. Bandung: Yrama Widya
Sudjana, Nana. 1986. Dasar-dasar Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: Serajaya.
Tarigan, H.G. 1986. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H.G. 1944. Menulis Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Widawati Pamungkas
Pengajar Bidang Studi Bahasa Inggris SMAN Jatinangor
anwar.yud66@gmail.com
ABSTRAK
Masalah penelitian ini adalah Apakah dengan menggunakan model writing
workshop dalam pembelajaran menulis mata pelajaran bahasa Inggris dapat
meningkatkan kemampuan menulis siswa kelas X SMAN Jatinangor, Apakah
dengan menggunakan model writing workshop dalam pemberlajaran menulis
mata pelajaran bahasa Inggris dapat mengaktifkan siwa kelas X SMAN
Jatinangor dalam proses pembelajaran. Apakah dengan menggunakan model
writing workshop dalam pemberlajaran menulis mata pelajaran bahasa Inggris
dapat membuat proses pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif,
dinamis dan dialogis. Penelitian ini bertujuan ‖Penerapan model writing
workshop untuk meningkatkan kemampuan menulis bahasa inggris siswa kelas
X SMAN Jatinangor‖. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: 1) Siswa,
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis dalam mata pelajaran
bahasa Inggris. 2) Guru, untuk meningkatkan penggunaan model-model
pembelajaran yang bervariasi dan beragam. 3) Sekolah, untuk meningkat kan
mutu pendidikan terutama pada mata pelajaran bahasa Inggris. Metode
penelitian menggunakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan
penerapan model writing workshop. Hasil penelitian ini adalah bahwa
pembelajaran menulis dengan menggunakan Writing Workshop pada siswa
kelas X SMAN Jatinangor dapat meningkatkan kemampuan menulis, dapat
mengaktifkan siswa, membuat proses pembelajaran yang bermakna,
menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis. Maka dalam penelitian ini
disampaikan saran/rekomendasi berikut ini. 1) Bagi guru, dalam pelaksanaan
pembelajaran menulis dengan menggunakan WW sebaiknya memperhatikan
prinsip dan prosedur pelaksanaannya. 2) Bagi sekolah, karena pembelajaran
menulis dengan WW ini dapat meningkatkan aktivitas, kreativitas, dan
menyenangkan, sebaiknya dapat disosialisasikan kepada guru mata pelajaran
yang sama atau serumpun.
PENDAHULUAN
Pembelajaran berbasis kompetensi didasarkan atas pokok-pokok pikiran
bahwa apa yang ingin dicapai oleh siswa melalui kegiatan pembelajaran
harus dirumuskan dengan jelas. Perumusan dimaksud diwujudkan dalam bentuk
standar kompetensi yang diharapkan dikuasai oleh siswa. Standar kompetensi
meliputi standar materi atau standar isi (content standard) dan standar pencapaian
(performance standard). Standar materi berisikan jenis, kedalaman, dan ruang lingkup
materi pembelajaran yang harus dikuasi siswa, sedangkan standar penampilan
berisikan tingkat penguasaan yang harus ditampilkan siswa. Tingkat penguasaan itu
- 195 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
misalnya harus 100% dikuasai atau boleh kurang dari 100%. Sesuai dengan pokok-
pokok pikiran tersebut, masalah materi pembelajaran memegang peranan penting
dalam rangka membantu siswa mencapai standar kompetensi.
Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan di benak mereka sendiri. Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat
sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh
guru. Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan
mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan. Pembelajaran
menulis (writing) dalam mata Pelajaran Bahasa Inggris diajarkan di kelas X SMAN
Jatinangor. Materi yang tercantum dalam Kurikulum 2006 berkenaan dengan
penelitian ini adalah materi aspek menulis dengan Standar Kompetensi
―mangungkapkan makna dalam teks tulis fungsional pendek dan esei sederhana
berbentuk discussion dalam konteks sehari-hari‖.
Tujuan utama pengajaran menulis (writing) adalah memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman menulis (writing)
agar mampun mengkomunikasikan gagasan, penghayatan, perasaan, kehendak, dan
pengalamannya kepada berbagai pihak. Pengetahuan dan pengalaman menulis
(writing) akan memperkuat kemampuan seseorang terhadap hasil belajar menulis
(writing) dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Daya tersebut, di dalam kegiatan
pembelajaran diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa menulis (writing)
dengan mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, menumbuhkan kepekaan
terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan untuk dikomunikasikan kepada orang
lain. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan memgetahuinya. Pembelajaran
yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat
jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam
kehidupan jangka panjang
Dalam kenyataannya, tidak sedikit siswa yang tidak mau melakukan kegiatan
seperti yang diharapkan dalam pembelajaran menulis (writing) tersebut atau masih
banyak siswa yang mengikuti pembelajaran menulis (writing), tetapi siswa tersebut
tidak mendalami dan tidak menghayati pembelajaran, terkesan asal mengikuti saja.
Bahkan ada juga siswa yang tidak tertarik terhadap pembelajaran menulis (writing)
itu, karena merasa takut, dan benci.
Kondisi seperti itu tentu sangat tidak diharapkan. Untuk itu, setidaknya
ada tiga komponen yang harus diperhatikan oleh guru dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran menulis (writing). Ketiga komponen itu, yakni: komponen siswa,
komponen guru, dan komponen bahan.
Siswa merupakan objek utama dalam kegiatan belajar mengajar, yang memiliki
sejumlah kompetensi yang harus dikembangkan oleh guru. Guru sebagai fasilitator
dalam kegiatan belajar mengajar harus mempunyai teknik yang tepat agar dapat
menumbuhkembangkan potensi yang dimiki siswa tersebut. Komponen ketiga adalah
bahan menulis (writing). Sebuah bahan menulis (writing) akan menjadi materi menulis
(writing), jika bahan tersebut sudah dibaca (diapresiasi), dinikmati oleh
penikmatnya. Sebab, menulis (writing) sebagai benda budaya, baru akan menjadi
menulis (writing) kalau sudah dibaca. Hasil belajar menulis siswa Kelas X SMAN
J a t i n a n g o r masih kurang, yaitu dari 36 orang, hanya 10 orang saja yang tuntas.
Kriteria Kentuntasan Minimal kompetensi dasar menulis adalah 60%,
sedangkan rata-rata hasil belajar menulis Kelas X SMAN Jatinangor adalah 55%.
Ini berarti hasil belajar menulisnya di bawah KKM.
Berdasarkan hal itu, guru harus dapat menciptakan suasana belajar menulis
(writing) yang menarik, agar dapat menggugah siswa untuk dapat merespon,
menanggapi atas apa yang siswa lihat, apa yang siswa dengar, dan apa yang siswa
rasakan. Karena itu, penelitian yang berjudul ‖Penerapan Model Writing Workshp
dalam Upaya Peningkatan Hasil Belajar Menulis (Writing) Mata Pelajaran Bahasa
Inggris di Kelas X SMAN Jatinangor‖ perlu dilakukan
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan
Kelas dengan menggunakan penerapan model writing workshop, dilaksanakan di
SMAN Jatinangor, pada mata pelajaran Bahasa Inggris. Subjek penelitian adalah kelas
X Tahun Pelajaran 2013-2014 dengan jumlah siswa 36 orang, terdiri dari 16 siswa laki-
laki dan 20 Siswa perempuan.
Pelaksanaan penelitian tindakan ini dilakukan dengan tiga siklus, yang masing-
masing siklus meliputi (a) perencanaan, (b) pelaksanaan, (c) observasi, (d) evaluasi,
dan (e) Refleksi.
Dalam pelaksanaan tindakan ini, persiapan yang dilakukan sebelum
pelaksanaan tindakan adalah sebagai berikut.
a. Membagi siswa dalam 6 (delapan) kelompok dengan anggota yang
heterogen dari segi prestasi, jenis kelamin, suku dan lain-lain.
b. Guru menyampaikan tugas yang harus dilakukan oleh siswa dalam diskusi
kelompok.
c. Dalam kelompok masing-masing siswa memilih topik yang akan ditulis secara
bebas memilih topik sendiri, penulis pemula menulis karangan pendek atau hanya
menulis sebuah paragraf panjang, menulis draft, hasinya dibaca teman di kelas,
saling menukar draft tulisan, siswa diminta untuk merespon bukan untuk
mengkiritk tulisan siswa lain, dan membaca draft.
d. Siswa secara berkelompok diminta untuk pergi ke luar kelas guna
mempelajari dan menulis tentang lingkungan, siswa menghabiskan banyak waktu
untuk mengamati keadaan sekitar di tempat-tempat tertentu, siswa menuangkan
persepsi ke dalam kata-kata, siswa harus menemukan cerita atau berita dalam
kehidupan sehari-hari, pembuatan majalah (majalah dinding), siswa memilih
tulisan terbaiknya untuk dipublikasikan, dan siswa bekerja dalam kelompok kecil
dan mengeditnya.
e. Siswa diarahkan ke masalah-masalah atau issue-issue terkini, siswa
memahami bagaimana pengarang menulis esei, dan siswa mengembangkan
kemampuannya dalam penentuan tulisan secara mendalam.
f. Kegiatan pembelajaran kembali ke kelas seperti pada fase pertama, yaitu
menjadikan siswa sebagai pusat proses menulis dan siswa mengenali diri sendiri
melalui mendengar,
g. Masing–masing kelompok diberi Lembar Kerja Siswa (LKS).
h. Dalam proses belajar mengajar, guru kolabolator melakukan pengamatan dan
observasi sesuai dengan format yang disediakan
Langkah ke-1, siswa diberi pemahaman tentang pengertian dan cara- cara
pemilihan tema atau topik sebuag karangan. Guru membagi siswa dalam 6
(delapan) kelompok dengan anggota yang heterogen dari segi prestasi, jenis
kelamin, suku dan lain-lain. Guru menyampaikan tugas yang harus dilakukan oleh
siswa dalam diskusi kelompok melalui kegiatan mini-lesson, writing time and
conference, dan sharing time. Dalam kelompok masing-masing siswa memilih topik
yang akan ditulis secara bebas memilih topik sendiri. Selain itu, siswa diberiserta
Saran
1. Bagi guru, dalam pelaksanaan pembelajaran menulis dengan
menggunakan Writing Workshop sebaiknya memperhatikan prinsip dan prosedur
pelaksanaannya
2. Bagi sekolah, karena pembelajaran menulis dengan Writing Workshop ini dapat
meningkatkan aktivitas, kreativitas, dan menyenangkan, sebaiknya dapat
disosialisasikan kepada guru mata pelajaran yang sama atau serumpun.
DAFTAR PUSTAKA
Akhadiah, M.K. Sabarti, dkk. 1997. Menulis. Jakarta: DIKDASMEN
Akhadiah, M.K. Sabarti, dkk. 1998. Pengembangan Kemampuan Bernalar, Kreativitas,
dan Budaya Tulis Melalui Jalur Pendidikan dalam Rangka
Peningkatan SDM dalam Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta:
Depdikbud.
Calkins, Lucy McCormick. 1998. The Art of Teaching Writing. Columbia University:
Teachers College.
Donovan, Timothy & Mclelland, Ben W. 1980. Eight Approachrs to Teaching
Composition. Illinois: National Council of Taecher of English.
Funk, Robert et.al. 1989. Language Arts for Reading and Writing. New York:
McMillan.
Gaith, Ghazi. 2002. The Nature of Writing Process. www.ghait.tsx.org.acceessed on
28 September.2007
Lensimire, Timothy J. 1994. When Children Write Critical Revisions of The Writing
Workshop. New York: Teachers College, Columbia University.
Abstrak
Penelitian ini bermula dari temuan penulis, dimana prestasi belajar
kelas X-9 selalu relatif di bawah kelas X lainnya. Selain itu pada kelas
tersebut masih banyak siswa yang perolehan nilainya berada di bawah
kriteria ketuntasan minimum serta perolehan Indeks Prestasi Kelompok-
nya (IPK) termasuk kategori rendah. Dari data yang diperoleh, nilai rata-
rata ulangan harian fisika kelas X-9 pada dua materi sebelumnya, hanya
10% siswa yang mencapai KKM dengan IPK 39,7 pada ulangan harian
pertama dan 63,6% siswa mencapai KKM dengan IPK 59,6 pada ulangan
harian kedua. Nilai tersebut masih di bawah kriteria keruntasan minimal
sekolah yaitu 65. Dari hasil diskusi dengan guru fisika lainnya,
dilanjutkan dengan diskusi bersama kepala sekolah, disarankan untuk
memperbaiki pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw untuk mengatasi rendahnya prestasi belajar siswa.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas sebanyak
tiga siklus. Materi pelajaran yang dibahas yaitu listrik dinamis. Dari hasil
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, diperoleh
peningkatan prestasi belajar, IPK dan ketuntasan siswa pada setiap
siklusnya, yaitu pada siklus I mencapai 70,7 (termasuk termasuk
kategori sedang) dengan banyak siswa yang mencapai ketuntasan
sebanyak 72,2%, pada siklus II mencapai 66,9 (kategori sedang) dengan
pencapaian KKM sebanyak 81,8%, dan pada siklus III prestasi belajar
dan IPK-nya mencapai 84 yang termasuk kategori tinggi dengan
pencapaian KKM sebanyak 93,9%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan,
bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif learning tipe jigsaw
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas X-9.
Pendahuluan
Dari sekian banyak kelas yang penulis masuki untuk melaksanakan kegiatan
pembelajaran mulai kelas X, XI dan XII, terdapat satu kelas yang selalu menjadi kelas
yang dikeluhkan, kelas tersebut yaitu kelas X-9. Keluhan yang dirasakan, selain oleh
penulis selaku guru mata pelajaran fisika, juga dirasakan oleh guru mata pelajaran
lainnya. Suasana yang sering ribut pada saat pembelajaran, jarang mengerjakan tugas
dan hasil belajar yang tidak sesuai dengan harapan guru bidang studi merupakan
masalah yang sudah biasa dan dimaklumi oleh setiap guru. Dilihat berdasarkan
tingkatan, kelas ini berada pada urutan paling akhir. Dilihat dari tingkatan prestasi
- 205 -
Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. II. No.1, Desember 2013
belajar, siswa yang ditempatkan di kelas ini ialah siswa yang memiliki prestasi yang
relatif rendah bila dibandingkan dengan kelas-kelas lainnya, apalagi bila dibandingkan
dengan yang tergolong sebagai kelas unggulan yaitu kelas X-1, X-2 dan X-4.
Hal ini terlihat dari rendahnya prestasi belajar pada beberapa materi yang telah
dipelajari, bahkan sebagian besar siswa belum mencapai kriteria ketuntasan minimum
(KKM) pada kompetensi yang diujikan begitupun dengan nilai indeks prestasi
kelompoknya ada dalam kategori rendah.
Model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk tindakan dan dpandang
mampu mengadopsi semua harapan di atas, adalah model pembelajaran kooperatif
dengan tipe Jigsaw. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu
tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa untuk lebih aktif dan saling
membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal
(Isjoni, 2009: 77). Selain itu, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat
memacu prestasi belajar siswa, sehingga dengan begitu model ini dapat merangsang
kemampuan siswa untuk belajar dan bertanggung jawab dalam menguasai materi.
Adapun tahap-tahap dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah tahap
pendahuluan, penugasan, pelaporan dan pengetesan dan tahap penghargaan. Adapun
media yang dipakai adalah media poster, demonstrasi, eksperimen dan LKS.
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana
peningkatan prestasi belajar siswa kelas X-9 setelah penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Jigsaw?, sehingga tujuan penelitian tindakan ini adalah meningkatkan
prestasi belajar siswa dalam pembelajaran fisika dalam pokok bahasan listrik dinamis
dengan menggunakan model pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw di kelas X-9.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas
(Class Action Research). Metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) sebagai sebuah
inovasi pembelajaran diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan praktik
pembelajaran di kelas secara berkesinambungan dengan memperhatikan perkembangan
pemahaman siswa. Selain itu, metode ini juga diharapkan dapat meningkatkan
profesionalisme guru serta mengembangkan kurikulum di tingkat sekolah dan di
tingkat kelas.
Dalam model Jigsaw versi Aronson, kelas dibagi menjadi suatu kelompok kecil
yang heterogen yang diberi nama tim Jigsaw dan materi dibagi sebanyak kelompok
menurut anggota timnya. Tiap tim diberikan satu set materi yang lengkap dan masing-
masing individu ditugaskan untuk memilih masing-masing satu topik. Kemudian siswa
dipisahkan menjadi kelompok ―ahli‖ atau ―rekan― yang terdiri dari seluruh siswa
dikelas yang mempunyai bagian informasi yang sama.
Dalam pembelajaran Jigsaw, siswa dikelompokkan menjadi empat-empat untuk
mempelajari materi dari buku ajar. Oleh sebab itu, bab tersebut dibagi menjadi empat
bagian, yang mengajak setiap anggota kelompok menjadi ahli pada satu bagian dan
kemudian bertanggung jawab untuk mengajarkan anggota lain dalam kelompok
tentang hal tersebut.
Tahap 2: Diskusi Kelompok Ahli. Kelompok ahli harus melakukan pertemuan sekitar
satu kali pertemuan untuk mendiskusikan topic yang ditugaskan. Setiap anggota
kelompok ahli harus menerima satu lembar kerja ―ahli―. Lembar kerja ahli harus
memuat pertanyaan-pertanyaaan dan kegiatan (jika ada) untuk mengarahkan diskusi
kelompok. Guru mendorong para siswa untuk menggunakan cara belajar yang
bervariasi. Tujuan kelompok ini adalah mempelajari sub bab tersebut dan menyiapkan
ringkasan presentasinya.
Tahap 4 : Tahap Penghargaan. Tahap ini merupakan tahap yang mampu mendorong
para siswa untuk lebih kompak. Pada tahap ini rata-rata peningkatan kelompok
dilaporkan pada carta penghargaan mingguan. Guru dapat menggunakan kata-kata
khusus untuk memerikan kinerja kelompok semacam Bintang Sains, atau sebutan
lainnya. Penghargaan kerja masing-masing kelompok disajikan pada papan tulis
dalam kelas. Kinerja individu yang luar biasa juga dilaporkan. Kepekaan guru sangat
diperlukan untuk memahami dan menghargai siswa secara akademik dari kelompok
berkemampuan rendah yang merupakan bagian integral keefektifan pembelajaran
Jigsaw. Ellizabeth Cohen telah menemukan bahwa penting untuk menyadari akan para
siswa yang diduga memiliki kompetensi yang konsisten rendah. Ketika siswa semacam
ini menunjukan kinerja baik, segera beri dia penghargaan khusus yang bersifat terbuka
untuk kompetensi ini.
Hasil Penelitian
Siklus 1
Adapun pelaksanaan siklus I ini sebagai berikut:
a) Tahap Pendahuluan (Bahan Ajar). Guru melakukan kegiatan apersepsi, dan
memberikan motivasi kepada siswa kemudian guru melakukan demonstrasi terkait
pembelajaran yang dilaksanakan. Kemudian siswa dibentuk menjadi kelompok
kecil yang terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan yang heterogen, guru
memberikan penjelasan pada siswa bahwa kelompok asal yang sekarang akan
dipecah kembali menjadi satu tim ahli, tiap satu tim ahli mempunyai satu anggota
dari kelompok asal.
Siswa diberikan pemahaman bahwa setiap tim ahli akan mengerjakan kegiatan
yang berbeda, maka setiap anggota tim ahli memiliki tanggung jawab untuk
Pencapaian Siklus 1
a) Keterlaksanaan Pembelajaran. Keterlaksanaan pembelajaran diukur berdasarkan
indikator yang dirancang untuk melihat tahap-tahap pembelajaran model tersebut.
Adapun tahap-tahap model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah tahap
pendahuluan, tahap penugasan, tahap pelaporan dan pengetesan, dan tahap
penghargaan kelompok. Peneliti menjabarkan lagi setiap tahapnya dalam kegiatan
pembelajaran yang menjadi indikator keterlaksanaan pembelajaran. Hasil
observasi siklus 1 menunjukkan keterlaksaaan 100% dari prosedur pembelajaran.
Pada siklus 1 ini, keseluruhan kegiatan pembelajaran terlaksana, namun 1 kegiatan
pembelajaran pada tahap pelaporan dan penilaian tidak terlaksana secara optimal
Siklus 2
Tindakan Pembelajaran pada siklus 2
a) Tahap Pendahuluan (Bahan Ajar). Guru melakukan kegiatan apersepsi, dan
memberikan motivasi kepada siswa pemberian motivasi kali ini guru
menampilkan poster yang terkait dengan pembelajaran, kemudian guru melakukan
demonstrasi. Siswa dikelompokkan ke dalam kelompok-kelompok kecil yang
terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan akademis yang heterogen.
Guru memberikan penjelasan pada siswa bahwa kelompok asal yang sekarang
akan dipecah kembali menjadi satu tim ahli, tiap satu tim ahli mempunyai satu
anggota dari kelompok asal. Siswa diberikan pemahaman bahwa setiap tim ahli
akan mengerjakan kegiatan yang berbeda, maka setiap anggota tim ahli memiliki
tanggung jawab untuk menguasai materi dan kegiatan yang dilaksanakan, karena
mereka bertanggung jawab untuk menjelaskan materi yang dipelajari tim ahli
kepada kelompok asal mereka. Kemudian guru membagikan lembar materi dan
LKS pada setiap anggota kelompok.
b) Tahap Penguasaan (Diskusi Kelompok Ahli). Siswa dengan materi / LKS yang
sama bergabung dalam kelompok ahli dan berusaha manguasai materi sesuai
dengan kegiatan yang diterima atau ditugaskan oleh guru. Guru memberikan
bantuan sepenuhnya kepada siswa selama kegiatan eksperimen dan diskusi
kelompok ahli. Kelompok ahli 1, 2 dan 3 melaksanakan kegiatan 1 yaitu
menyelidiki hubungan antara panjang (l) dengan hambatan (R) kawat/penghantar,
kelompok 4, 5 dan 6 melaksanakan kegiatan 2 yaitu menyelidiki hubungan antara
luas penampang (A) dengan hambatan (R) kawat/pengantar, kelompok 7 dan 8
melaksanakan kegiatan 3 yaitu menyelidiki pengaruh jenis kawat dengan
hambatan (R) kawat/pengantar, sehingga nanti setiap tim ahli akan mendapatkan
nilai yang berbeda, hal itulah yang akan menjadi bahan diskusi kelas, yaitu
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan.
c) Tahap Pengetesan dan pelaporan. Setiap siswa kembali ke kelompok asalnya,
setiap siswa dalam kelompok saling menularkan dan menerima materi dari siswa
lain sehingga terjadi diskusi antar siswa dalam kelompok asal. Setelah diskusi
dengan kelompok asal selesai maka dibuka diskusi kelas berupa tanya jawab, dan
dimulai dari persentasi kelompok ahli, pada siklus 1 ini tidak semua tim ahli
mendapat kesempatan persentasi, namun hanya dua kelompok ahli yang tampil
yaitu tim ahli 2 dan 4.
Dari diskusi terjadi tanya jawab, dan dari diskusi siswa memperoleh jawaban
persoalan yang ada, salah satunya yaitu mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi hambatan. Kemudian guru bersama siswa menyimpulkan kegiatan
pembelajaran dan guru menyajikan beberapa contoh penyelesaian soal. Setelah
diskusi kelas berlangsung, guru melaksanakan tes berupa pilihan ganda.
d) Penutup (Penghargaan). Pada kegiatan penutup ini guru memberikan penghargaan
kepada kelompok asal yang terbaik, penghargaan diberikan dengan pertimbangan
keterlibatan siswa saat pembelajaran baik saat eksperimen, diskusi kelompok, dan
diskusi kelas. Pada tahap satu ini kelompok terbaik jatuh kepada kelompok 4,
maka kelompok ini diberi penghargaan dengan nama kelompok Einstein dan
mendapatkan poin.
Pencapaian Siklus 2
a) Keterlaksanaan Pembelajaran. Hasil Observasi keterlaksanaan pembelajaran pada
siklus 2 menunjukkan 100% dari keseluruhan prosedur pembelajaran, terlaksana.
Kekurangan yang terjadi pada pembelajaran siklus 1 ternyata tidak semua dapat
diperbaiki pada siklus 2 ini, pada siklus 2 ini terdapat kegiatan pembelajaran
tambahan yang merupakan penekanan berdasarkan hasil refleksi siklus 1, yaitu
memberikan apersepsi dan motivasi pada siswa melalui media poster,
membimbing siswa untuk memahami materi yang termasuk ke dalam tahap
penugasan. Walaupun pada siklus 2 ini keterlaksanaan pembelajaran sudah
mencapai 100%, namun observer masih memberi catatan lapangan untuk
perbaikan proses pembelajaran ke arah yang lebih baik.
b) Prestasi Belajar Siswa. Prestasi belajar pada siklus 2 ini menunjukkan adanya
penurunan prestasi belajar dari siklus sebelumnya. Hal ini dikarenakan banyak
siswa yang kurang faham pada materi faktor-faktor yang mempengaruhi hambatan
terutama pada penerapan atau hitungan, hal ini tampak dari rata-rata kelas yang
mengalami penurunan, yaitu 66,9. Berdasarkan data IPK tersebut, prestasi belajar
siswa masuk ke dalam kategori sedang. Namun data prestasi belajar siswa yang
berupa nilai masing-masing siswa menunjukkan 81,8% dari keseluruhan siswa
yang mendapat nilai di atas kriteria ketuntasan minimum, yaitu 27 orang siswa,
dan 6 orang siswa lainnya mendapat nilai yang rendah, hal ini menunjukan adnya
kenaikan siswa yang mencapai kriteria ketuntasan minimum dibandingkan siklus
sebelumnya. Data nilai tindakan siklus II persentase siswa diatas KKM 27 orang
dari 33 orang yang mengerjakan 81,8%.
Walaupun indeks prestasi kelompok mengalami peningkatan, namun kategori
prestasi kelas masih termasuk ke dalam kategori rendah, sehingga peneliti masih
membutuhkan data-data aspek kognitif untuk mengetahui kekurangan yang terjadi
dalam pembelajaran yang menyebabkan masih rendahnya prestasi belajar.
Rata-rata persentase setiap siswa menjawab benar pada masing-masing
aspek kognitif pada siklus 2 adalah hafalan (C1) 96,9%, pemahaman (C2) 87,9%,
penerapan (C3) 72,7%, dan analisis (C4) 49,5%. Pada hasil perhitungan terlihat
paling rendah persentasenya pada analisis (C4) yaitu 49,5% hal ini telah
membuktikan bahwa sudah ada perbaikan pada aspek penerapan (C), pada siklus
dua ini siswa rendah hasilnya di C4 dikarenakan siswa kurang mampu
menganalisis materi fisika yang disampaikan. Data persentase aspek kognitif pada
siklus 2 dapat dilihat pada tabel 03.
Tabel 03
Persentase Aspek Kognitif pada Tes Hasil Siklus 2
Aspek Kognitif Persentase (%)
Hafalan (C1) 96,9
Pemahaman (C2) 87,9
Penerapan (C3) 72,7
Analisis (C4) 49,5
Rata-rata 76,8
Siklus 3
a) Tahap Pendahuluan (Bahan Ajar). Guru melakukan kegiatan apersepsi, dan
memberikan motivasi kepada siswa, karena pemberian motivasi pada siklus 2
dianggap sudah optimal, maka siklus 3 ini guru menampilkan poster yang terkait
dengan pembelajaran, kemudian guru melakukan demonstrasi. Kemudian siswa
dibentuk menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan
yang heterogen, guru memberikan penjelasan pada siswa bahwa kelompok asal
yang sekarang akan dipecah kembali menjadi satu tim ahli, tiap satu tim ahli
mempunyai satu anggota dari kelompok asal. Siswa diberikan pemahaman bahwa
setiap tim ahli akan mengerjakan kegiatan yang berbeda, maka setiap anggota tim
ahli memiliki tanggung jawab untuk menguasai materi dan kegiatan yang
dilaksanakan, karena mereka bertanggung jawab untuk menjelaskan materi yang
dipelajari tim ahli kepada kelompok asal mereka. Kemudian guru membagikan
materi dan LKS pada setiap anggota kelompok.
b) Tahap Penguasaan (Diskusi Kelompok Ahli). Siswa dengan materi / LKS yang
sama bergabung dalam kelompok ahli dan berusaha manguasai materi sesuai
dengan kegiatan yang diterima atau ditugaskan oleh guru. Guru memberikan
bantuan sepenuhnya kepada siswa selama kegiatan eksperimen dan diskusi
kelompok ahli. Kelompok ahli 1 melaksanakan kegiatan 1 yaitu menyelidiki
karakteristik rangkaian seri dengan nilai hambatan 100 ohm, kelompok 2
melaksanakan kegiatan 2 yaitu menyelidiki karakteristik rangkaian seri dengan
nilai hambatan 120 ohm, kelompok 3 melaksanakan kegiatan 1 yaitu menyelidiki
karakteristik rangkaian seri dengan nilai hambatan 150 ohm, kelompok 4
melaksanakan kegiatan 4 yaitu menyelidiki karakteristik rangkaian seri dengan
nilai hambatan 100 ohm, kelompok 5 melaksanakan kegiatan 5 yaitu menyelidiki
karakteristik rangkaian paralel dengan nilai hambatan 100 ohm, kelompok 6
melaksanakan kegiatan 6 yaitu melaksanakan kegiatan 1 yaitu menyelidiki
karakteristik rangkaian paralel dengan nilai hambatan 120 ohm, kelompok 7
melaksanakan kegiatan 2 yaitu menyelidiki karakteristik rangkaian paralel dengan
nilai hambatan 150 ohm, dan kelompok 8 melaksanakan kegiatan 3 yaitu
menyelidiki karakteristik rangkaian paralel dengan nilai hambatan 100 ohm
sehingga nanti setiap tim ahli akan mendapatkan nilai yang berbeda, hal itulah
yang akan menjadi bahan diskusi kelas, yaitu mengenai karakteristik rangkaian
seri dan rangkaian paralel, serta perhitungannya.
c) Tahap Pengetesan dan pelaporan. Setiap siswa kembali ke kelompok asalnya,
setiap siswa dalam kelompok saling menularkan dan menerima materi dari siswa
lain sehingga terjadi diskusi antar siswa dalam kelompok asal. Setelah diskusi
dengan kelompok asal selesai maka dibuka diskusi kelas berupa tanya jawab, dan
dimulai dari persentase kelompok ahli, pada siklus 1 ini tidak semua tim ahli
mendapat kesempatan persentase namun hanya dua kelompok ahli yang tampil
yaitu tim ahli 3 dan 6. Dari diskusi terjadi tanya jawab, dan dari diskusi siswa
memperoleh jawaban persoalan yang ada, salah satunya yaitu mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi hambatan. Kemudian guru bersama siswa
menyimpulkan kegiatan pembelajaran dan guru menyajikan beberapa contoh
penyelesaian soal. Setelah diskusi kelas berlangsung, guru melaksanakan tes
berupa pilihan ganda.
Pencapaian Siklus 3
a) Keterlaksanaan Pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan pada siklus 3
adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Penerapan model dan media
pembelajaran pada siklus 3 berdasarkan pada hasil refleksi siklus 2 yang berupa
penekanan pada tahap-tahap tertentu untuk dapat meningkatkan indikator yang
belum dicapai. Persentase keterlaksanaan pembelajaran pada siklus 3 yang diamati
oleh observer menunjukkan 100% dari keseluruhan prosedur pembelajaran,
terlaksana. Terlaksananya keseluruhan kegiatan pembelajaran ini tak lepas dari
catatan lapangan yang diberikan oleh observer, yaitu keadaan kelas agak ribut
karena banyak siswa yang bertanya saat percobaan dan saat mengerjakan LKS,
sehingga guru harus membimbing seluruh kelompok untuk berdiskusi secara
maksimalkan.
b) Prestasi belajar Siswa. Pada siklus 3, prestasi belajar mengalami peningkatan dari
siklus sebelumnya. Peningkatan prestasi belajar dilihat dari meningkatnya rata-
rata kelas, yaitu 84,1. Berdasarkan IPK yang didapat, kategori hasil kelas masuk
ke dalam kategori tinggi. Data nilai-nilai siswa yang didapat pada siklus 3
menunjukkan 93,9% dari keseluruhan siswa mendapat nilai di atas kriteria
ketuntasan minimun, yaitu 31 orang siswa dan sisanya 2 orang siswa mendapat
nilai yang sedang, dan 1 orang siswa mendapat nilai yang rendah. Data nilai siswa
dapat dilihat pada lampiran. Pada siklus 3 ini, didapatkan data analisis aspek
kognitif. Data analisis aspek kognitif dapat dilihat pada tabel 04.
Tabel 04
Persentase Aspek Kognitif Pada Tes Hasil Siklus 3
Aspek Kognitif Persentase (%)
Hafalan (C1) 72,7
Pemahaman (C2) 86,4
Penerapan (C3) 87,1
Analisis (C4) 82,5
Rata-rata 82,2
tinggi, dan perolehan KKM pada siklus 1 adalah 72,2% pada siklus 2 adalah 81,8%
dan pada siklus 3 adalah 93,9% .
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis dapat memberikan
beberapa saran yang dapat dikemukakan untuk penelitian lebih lanjut dan untuk
penyelesaian permasalahan pembelajaran yang terjadi di kelas, antara lain: (1) Jika
ditemukan permasalahan dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa, maka
Model Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat dijadikan alternatif pemecahan
masalah; (2) Dalam upaya menggali konsep awal siswa pada kegiatan apresepsi, guru
hendaknya menampilkan gejala-gejala fisis yang menarik yang dapat dibantu dengan
penggunaan media poster agar lebih mudah dipahami. Jika konsep awalnya sudah
dipahami siswa maka pembelajaran berlangsung ke kegiatan inti, dan diharapkan
pembelajaran pada kegiatan inti dapat berjalan dengan baik; (3) Pada keterlaksanaan
pembelajaran observer harus lebih mendalami atau memahami setiap tahapan
pembelajaran, agar keterlaksanaan pembelajaran dapat teramati dengan baik. Dan perlu
adanya elaborasi kembali dalam mengembangkan indikator pengamatan.
Daftar Pustaka
Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action
Research). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah (Secondary
School Teacher Development Project) IBRD Loan No. 3979 – Ind.
__________. 2007. Cognitive Load. [Online]. Tersedia://From wikipedia, the free
encyclopedia. Cognitif load. html. (20 Oktober 2010 )
Abstrak
(Times New Roman 10, Bold, spasi 1, spacing before 12 pt, after 2 pt)
Abstrak memuat uraian singkat mengenai masalah dan tujuan penelitian, metode yang
digunakan, dan hasil penelitian. Tekanan penulisan abstrak terutama pada hasil penelitian. Abstrak
ditulis dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Pengetikan abstrak dilakukan dengan spasi
tunggal dengan margin yang lebih sempit dari margin kanan dan kiri teks utama. Kata kunci
perlu dicantumkan untuk menggambarkan ranah masalah yang diteliti dan istilah-istilah pokok
yang mendasari pelaksanaan penelitian. Kata-kata kunci dapat berupa kata tunggal atau gabungan
kata. Jumlah kata-kata kunci 3-5 kata. Pencarian judul penelitian dan abstraknya dipermudah
dengan kata-kata kunci tersebut.
PENDAHULUAN (Times New Roman 10, Bold, Spasi 1, Spacing Before 12 pt, After
2 pt)
Bagian pendahuluan terutama berisi: (1) permasalahan penelitian; (2)
wawasan dan rencana pemecahan masalah; (3) rumusan tujuan penelitian; (4)
rangkuman kajian teoritik yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Pada bagian
ini kadang-kadang juga dimuat harapan akan hasil dan manfaat penelitian. Panjang bagian
pendahuluan sekitar 2-3 halaman dan diketik dengan 1,5 spasi .
Adapun ketentuan untuk template artikel ejournal sbb: Batang tubuh teks
menggunakan font: Times New Roman 10, regular, spasi 1.15, spacing before 0 pt,
after 0 pt. Margin Atas (Top) 3 cm, Margin Kiri (left) 4 cm, Margin Bawah (bottom) 3
cm dan Margin Kanan (Right) 3 cm.
Jumlah halaman untuk artikel yang akan dimuat dalam maksimum 15
lembar/halaman.
METODE
Pada dasarnya bagian ini menjelaskan bagaimana penelitian itu dilakukan. Materi
pokok bagian ini adalah: (1) rancangan penelitian; (2) populasi dan sampel
(sasaran penelitian); (3) teknik pengumpulan data dan pengembangan instrumen; (4)
dan teknik analisis data.
Untuk penelitian kualitatif seperti penelitian tindakan kelas, etnografi,
fenomenologi, studi kasus, dan lain-lain, perlu ditambahkan kehadiran peneliti, subyek
penelitian, informan yang ikut membantu beserta cara-cara menggali data-data
penelitian, lokasi dan lama penelitian serta uraian mengenai pengecekan keabsahan
hasil penelitian.
Satuan
Penulisan satuan di dalam artikel memperhatikan aturan sebagai-berikut: Gunakan
SI (MKS) atau CGS sebagai satuan utama, dengan satuan sistem SI lebih diharapkan.
Persamaan
Penulisan persamaan dalam font Times New Roman atau font Symbol. Jika
terdapat beberapa persamaan, beri nomor persamaan. Nomor persamaan
seharusnya berurutan, letakkan pada bagian paling kanan, yakni (1), (2), dan
seterusnya. Gunakan font italic untuk variabel, huruf tebal untuk vektor.
tubuh artikel. Artinya, sumber yang ditulis dalam Daftar Pustaka benarbenar dirujuk
dalam tubuh artikel. Daftar Pustaka disusun secara alfabetis dan cara penulisannya
disesuaikan dengan aturan yang ditentukan dalam jurnal. Kaidah penulisan kutipan, acuan,
dan Daftar Pustaka mengikuti buku pedoman ini.
Penyajian gagasan orang lain di dalam artikel dilakukan secara tidak langsung.
Gagasan yang dikutip tidak dituliskan seperti teks asli, tetapi dibuatkan ringkasan atau
simpulannya. Sebagai contoh, Suharno (1973:6) menyatakan bahwa kecepatan terdiri dari
gerakan ke depan sekuat tenaga dan semaksimal mungkin, kemampuan gerakan kontraksi
putus-putus otot atau segerombolan otot, kemampuan reaksi otot atau segerombolan otot
dalam tempo cepat karena rangsangan.
Acuan adalah penyebutan sumber gagasan yang dituliskan di dalam teks sebagai
(1) pengakuan kepada pemilik gagasan bahwa penulis telah melakukan ―peminjaman‖
bukan penjiplakan, dan (2) pemberitahuan kepada pembacanya siapa dan darimana
gagasan tersebut diambil. Acuan memuat nama pengarang yang pendapatnya
dikutip, tahun sumber informasi ditulis, dan/tanpa nomor halaman tempat informasi
yang dirujuk diambil. Nama pengarang yang digunakan dalam acuan hanya nama akhir.
Acuan dapat dituliskan di tengah kalimat atau di akhir kalimat kutipan.
Acuan ditulis dan dipisahkan dari kalimat kutipan dengan kurung buka dan kurung
tutup (periksa contoh-contoh di bawah). Acuan yang dituliskan di tengah kalimat
dipisahkan dengan kata yang mendahului dan kata yang mengikutinya dengan jarak.
Acuan yang dituliskan diakhir kalimat dipisahkan dari kata terakhir kalimat kutipan
dengan diberi jarak, namun tidak dipisahkan dengan titik. Nama pengarang ditulis tanpa
jarak setelah tanda kurung pembuka dan diikuti koma. Tahun penerbitan dituliskan
setelah koma dan diberi jarak. Halaman buku atau artikel setelah tahun penerbitan,
dipisahkan dengan tanda titik dua tanpa jarak, dan ditutup dengan kurung tanpa jarak.
Sebagai contoh: karya tulis ilmiah adalah tulisan faktual yang digunakan
penulisnya untuk memberikan suatu pengetahuan/informasi kepada orang lain
(Riebel, 1978:1).
Apabila nama pengarang telah disebutkan di dalam teks, tahun penerbitan sumber
informasi dituliskan segera setelah nama penulisnya. Atau, apabila nama pengarang
tetap ingin disebutkan, acuan ini dituliskan di akhir teks. Contohnya:
menurut Riebel (1978:1), karya tulis ilmiah adalah tulisan faktual yang digunakan
penulisnya untuk memberikan suatu pengetahuan/informasi kepada orang lain.
Nama dua pengarang dalam karya yang sama disambung dengan kata ‗dan‘. Titik
koma (;) digunakan untuk dua pengarang atau lebih dari dua pengarang dengan
karya yang berbeda. Contohnya: karya tulis ilmiah adalah tulisan faktual yang
digunakan penulisnya untuk memberikan suatu pengetahuan/informasi kepada
orang lain (Riebel dan Roger, 1980:5). Jika melibatkan dua pengarang dalam dua
karya yang berbeda, contoh penulisannya: karya tulis ilmiah adalah tulisan faktual
yang digunakan penulisnya untuk memberikan suatu pengetahuan/informasi kepada
orang lain (Riebel, 1978:4; Roger, 1981:5).
Apabila pengarang lebih dari dua orang, hanya nama pengarang pertama yang
dituliskan. Nama pengarang selebihnya digantikan dengan ‗dkk‘ (dan kawankawan).
Tulisan ‗dkk‘ dipisahkan dari nama pengarang, yang disebutkan dengan jarak, diikuti
titik, dan diakhiri dengan koma. Contohnya: membaca adalah kegiatan interakasi
antara pembaca dan penulis yang kehadirannya diwakili oleh teks (Susanto dkk.,
1994: 8).
PENUTUP
Simpulan
Simpulan menyajikan ringkasan dari uraian mengenai hasil dan pembahasan,
mengacu pada tujuan penelitian. Berdasarkan kedua hal tersebut dikembangkan pokok-
pokok pikiran baru yang merupakan esensi dari temuan penelitian.
Saran
Saran disusun berdasarkan temuan penelitian yang telah dibahas. Saran dapat
mengacu pada tindakan praktis, pengembangan teori baru, dan/atau penelitian
lanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
De Porter, Bobbi dan Hernacki, Mike. 1992. Quantum Learning. Membiasakan
Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Terjemahan oleh Alwiyah
Abdurrahman. Bandung: Penerbit Kaifa.
Sujimat, D. Agus. 2000. Penulisan karya ilmiah. Makalah disampaikan pada
pelatihan penelitian bagi guru SLTP Negeri di Kabupaten Sidoarjo tanggal 19
Oktober 2000 (Tidak diterbitkan). MKKS SLTP Negeri Kabupaten
Sidoarjo
Suparno. 2000. Langkah-langkah Penulisan Artikel Ilmiah dalam Saukah, Ali dan
Waseso, M.G. 2000. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: UM Press.
PASCAUNPAR. 2000. Pedoman Penulisan Artikel Jurnal, Bandung, Universitas Katolik
Parahyangan.
Wahab, Abdul dan Lestari, Lies Amin. 1999. Menulis Karya Ilmiah. Surabaya:
Airlangga University Press.
Winardi, Gunawan. 2002. Panduan Mempersiapkan Tulisan Ilmiah. Bandung:
Akatiga.
~0~