Anda di halaman 1dari 12

PEMBIAYAAN DAN PENGANGGARAN KESEHATAN

“Gambaran Penanganan Defisit BPJS oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah


Daerah”

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
RIZQA SARAH WAHYUNI (0801163
AZMIATUSSAHLIYAH (0801163119)
NILA SARI (0801163120)
NONI NAZLATUN NIDA (0801163124)
MAWADDAH MARAHMAH (0801163137)

DOSEN PEMBIMBING : RISTI IVANTI S.KM, M.K.M

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2018/201
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah memberikkan
limpahan karunia kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
“Gambaran Penanganan Defisit BPJS oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah”. Penulisan
makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas dari Dosen mata kuliah Pembiayaan dan
Penganggaran Kesehatan oleh Ibu Risti
Makalah ini ditulis berdasarkan sumber-sumber yang berkaitan dengan materi, serta
informasi dari berbagai media yang berhubungan materi dalam makalah. Tidak lupa pula kami
sampaikan terima kasih kepada pengajar atas bimbingan serta arahan dalam penulisan makalah
ini. Dan juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan masukan sehingga
terselesaikannya makalah kami ini.
Kami harap makalah kami ini dapat menambah wawasan terutama mengenai BPJS di
Indonesia. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah kami ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun guna
sempurnanya makalah kami ini. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi untuk
kami maupun untuk semuanya.

Medan, 26 November 2018

Kelompok 6
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................


A. Latar Belakang ....................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................
C. Tujuan .................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..............................................................................................


A. BPJS ...................................................................................................................

BAB III PENUTUP ......................................................................................................


A. Kesimpulan ........................................................................................................
B. Saran ..................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program Jaminan Kesehatan Nasional berhasilmeningkatkan akses bagi
masyarakat Indonesia untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Tingginya akses tersebut
berbanding lurus dengan biaya kesehatan yang dikeluarkan oleh BPJS Kesehatan sebagai
purchaser. Defisit BPJS Kesehatan yang tahun ke tahun selalu naik, diproyeksikan
besaran defisit pada tahun 2018 mencapai Rp. 9T. Disisi lain, tunggakan iuran peserta
BPJS Kesehatan pun sudah mencapai Rp. 3,4 Triliun. Hal ini tentunya akan mengancam
sustainability program JKN ini. Pendapatan negara terbatas sementara pengeluaran untuk
JKN tidak terbatas. Maka dari itu perlu sumber baru untuk menopang pendanaan system
pembiayaan kesehatan yang selama ini bersumber dari APBN dan iuran peserta BPJS
Kesehatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan BPJS?
2. Apa yang menyebabkan terjadinya defisit BPJS?
3.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang BPJS.


2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya BPJS.
3.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut BPJS adalah badan
hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk dengan Undang-
Undang untuk menyelenggarakan perogram jaminan sosial. BPJS menurut UU Nomor 40
Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah trasformasi dari badan
penyelenggara jaminan sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan untuk
membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangnan jaminan
sosial.
BPJS Kesehatan adalah badan hukum publik menurut UU BPJS. Tiga kriteria di bawah
ini digunakan untuk menentukan bahaw BPJS merupakan badan hukum publik, yaitu:
a. Cara pendiriannya atau terjadinya badan hukum itu, diadakan dengan konstruksi
hukum publik, yaitu didirikan oleh penguasa (Negara) dengan Undang-Undang;
b. Lingkungan kerjanya, yaitu dalam melaksanakan tugasnya badan hukum tersebut
pada umumnya dengan publik dan bertindak dengan kedudukan yang sama dengan
publik;
c. Wewenangnya, badan hukum tersebut didirikan oleh penguasa Negara dan diberi
wewenang untuk membuat keputusan, ketetapan, atau peraturan yang mengikat
umum.
d.
BPJS merupakan badan hukum publik karena memenuhi ketiga persyaratan tersebut di
atas. Ketiga persyaratan tersebut tercantum dalam berbagai norma dalam UU BPJS, yaitu:
a. BPJS dibentuk dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial.
b. BPJS berfungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yaitu sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) yang berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat dan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. BPJS diberi delegasi kewenangan untuk membuat aturan yang mengikat umum.
d. BPJS bertugas mengelola dana publik, yaitu dana jaminan sosial untuk kepentingan
peserta.
e. BPJS berwenang mlakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan
pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan jaminan sosial nasional.
f. BPJS bertindak mewakili Negara RI sebagai anggota organisasi atau lembaga
internasional.
g. BPJS berwenang mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja
yang tidak memenuhi kewajibannya.
h. Pengangkatan anggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi oleh Presiden, setelah
melalui proses seleksi publik.
BPJS wajib menyampaikan pertanggungjawabkan atas pelaksanaan tugasnya dalam
bentuk laporan penggelolan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik kepada presiden, dengan tembusan kepada DJSN, paling lambat 30 Juni tahun
berikutnya.
BPJS mengumumkan laporan pengelolan program dan laporan keuangan tahunan kepada
publik dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui website BPJS dan melalui paling sedikit 2
(dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal
31 Juli tahun berikutnya.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang BPJS menyebutkan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Selanjutnya, mengenai tugas dari BPJS,
disebutkan dalam Pasal 10 bahwa dalam melaksanakan fungsinya, BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;
b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja;
c. Menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;
e. Mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;
f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan
ketentuan program Jaminan Sosial; dan
g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada
Peserta dan masyarakat.
B. Landasan Hukum
Landasan hukum BPJS Kesehatan ialah, antara lain :
1. Undang Undang Dasar 1945
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu
dengan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi kesejahteraan seluruh
rakyat.
2. Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Dalam Undang-Undang ini diatur penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
pensiun, jaminan hari tua, dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk melalui
iuran wajib pekerja. Program-program jaminan sosial tersebut diselenggarakan
oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan
membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembagan
jaminan sosial.
3. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
Pembentukan Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini
merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, setelah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara Nomor 007/PUUIII/2005, guna memberikan kepastian hukum bagi
pembentukan BPJS untuk melaksanakan program Jaminan Sosial di seluruh
Indonesia. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek
(Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan
peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban.
Dengan Undang-Undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan
kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Dengan terbentuknya kedua BPJS tersebut jangkauan kepesertaan program
jaminan sosial akan diperluas secara bertahap

C. Sumber Dana BPJS


Pembayaran dilakukan berdasarkan iuran bulanan yang dikenakan pada peserta
BPJS. Kepersertaan BPJS dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok Peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Bantuan Iuran (Non-
PBI). Adapun perbedaan iuran yang akan dibayarkan, antara lain :
1. Iuran Peserta PBI
Bagi peserta PBI ataupun peserta yang di daftarkan oleh Pemerintah Daerah
akan membayar iiuran sebesar Rp 19.225 (Sembilan belas ribu dua ratus dua
puluh lima rupiah) per orang per bulan.
2. Iuran Peserta Non-PBI
a) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang
terdiri atas Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota POLRI, Pejabat
Negara, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5% dari
Gaji atau Upah per bulan.
b) Iuran sebagaimana dimaksud pada poin 1 dibayar sesuai dengan
ketentuan sebagai berikut :
1) 3% dibayar oleh Pemberi Kerja
2) 2% dibayar oleh Peserta
c) Kewajiban Pemberi Kerja dalam membayar iuran sebagaimana dimaksud
diatas, dilaksanakan oleh :
1) Pemeerintah untuk iuran Jaminan Kesehatan bagi Pegawai Negeri
Sipil Pusat, Anggota TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, dan
Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri Pusat.
2) Pemerintah Daerah untuk Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pegawai
Negeri Sipil Daerah dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri
Daerah.
d) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Penerima Upah selain
Peserta sebagaimana dimaksud di atas yang dibayarkan mulai tanggal 1
Januari 2014 sampai dengan 30 Juni 2015 sebesar 4,5% (empat koma
lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan :
1) 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
2) b. 0,5% (nol koma lima persen) dibayar oleh Peserta.
e) Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta sebagaimana dimaksud di atas
yang dibayarkan mulai tanggal 1 Juli 2015 sebesar 5% (lima persen) dari
Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan :
1) 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja; dan
2) b. 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.

D. Defisit BPJS

E. Solusi dalam Mengatasi Defisit BPJS


Menanggapi permasalahan defisit BPJS, berbagai pihak berusaha mencari solusi
untuk memecahkan defisit BPJS Kesehatan, baik dari BPJS itu sendiri, pemerintah,
hingga DPR RI. Langkah konstruktif ini lebih berdampak positif dibandingkan
hanya menjadikan BPJS sebagai isu politis.
BPJS Kesehatan telah mempersiapkan kebijakan dan program yang ditargetkan
bisa menghemat pengeluaran hingga Rp 3 triliun. Beberapa diantaranya adalah
perbaikan sistem rujukan dan rujuk balik. Program lainnya adalah mengefisiensikan
layanan sejumlah penyakit dan tindakan medis lainnya hingga mengefektifkan audit
klaim dan audit medis pada kasus-kasus yang diduga ada kecurangan (fraud).
Dari sisi pemerintah, selain memberikan dana talangan untuk mengurangi
defisit, Pemerintah telah menyiapkan 6 bauran kebijakan yang bisa menekan defisit
keuangan BPJS Kesehatan hingga 2,9 triliun. Bauran kebiajakan dalam mengatasi
defisit BPJS yaitu sebagai berikut:
1. Intercept atau mencegat tunggakan pemerintah daerah. Ini diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 183 Tahun 2017 tentang Tata Cara
Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui
Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil. Dari kebijakan ini,
dana masuk ke BPJS Kesehatan ditargetkan mencapai Rp 264 miliar sepanjang
2018. Adapun realisasi sampai dengan Oktober sebesar Rp 229,57 miliar.
2. Penggunaan paling sedikit 50% Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) melalui PMK 222 Tahun 2017. Hingga 18 Oktober 2018 penyaluran DBH
CHT mencapai Rp 2,22 triliun kepada 354 daerah di 18 provinsi. Targetnya akan
bertambah Rp 750 miliar lagi sampai akhir tahun ini. Pemanfaatan dana tersebut
diharapkan bisa berkontribusi dalam menekan besarnya nominal klaim.
3. Ketiga, efisiensi dana operasional BPJS berdasarkan PMK Nomor 209 Tahun
2017. Perhitungan Kemenkeu efisiensinya bisa mencapai Rp 198 miliar.
4. Percepatan pencairan dana iuran peserta BPJS Kesehatan kategori PBI. Hal ini
seiring pemberlakuan PMK Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Iuran Jaminan Kesehatan
PBI. Per 31 Juli, iuran sudah dibayarkan untuk 12 bulan sebesar Rp 25,5 triliun.
5. Potongan pajak rokok yang dikirimkan langsung ke rekening Dana Jaminan
Sosial (DJS) Kesehatan. Hal ini sesuai PMK Nomor 128 Tahun 2018 tentang
Tata Cara Pemotongan Pajak Rokok Sebagai Kontribusi Dukungan Program
Jaminan Kesehatan. Pada triwulan III, DJS Kesehatan telah menerima Rp 1,34
Triliun dari 28 provinsi. Dalam waktu dekat, akan ada tambahan lagi sebesar Rp
83,61 miliar dari 6 provinsi.
6. Efisiensi pembayaran layanan kesehatan melalui sinergi dengan badan
penyelenggara lainnya. PMK ini sudah ditandatangani oleh Menteri Keuangan
dan sedang dalam proses pengundangan oleh Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Dari kebijakan ini, ada potensi penghematan sebesar Rp 120
miliar
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Panduan Praktis tentang Kepersertaan dan Pelayanan Kesehatan yang Diselenggarakan


oleh BPJS Kesehatan. Hlm. 4

Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan


Sosial Nasional

Anda mungkin juga menyukai