Anda di halaman 1dari 32

TUGAS MATRIKULASI

BIOKIMIA
“ TENAGA”

OLEH:
NAMA : IKA INDAYATI
NIM : 18/436647/PBI/01585

FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TAHUN 2019
Bioenergetika adalah studi tentang proses bagaimana sel menggunakan,
menyimpan dan melepaskan energi. Komponen utama dalam bioenergetik adalah
transformasi energi, atau konversi energi dari suatu bentuk ke bentuk energi yang
lain. Organisme hidup tidak berada dalam keseimbangan, melainkan membutuhkan
masukan energi secara kontinyu. Jadi seluruh sel selalu mentransformasi energi. Sel
memiliki jutaan reaksi metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Gambar 1,
menunjukkan reaksi metabolism yang menyerupai “Peta jalan raya yang
menghubungkan dua negara, yang memiliki jalur pusat yang luas”. Gambar
tersebut menyajikan gambaran singkat mengenai metabolisme yang reaksinya
dibagi menjadi tiga tahap berdasarkan ukuran metabolit di dalamnya.
Metabolisma adalah keseluruhan proses
yang terjadi dalam makhluk hidup yang
membutuhkan dan memanfaatkan energi bebas
untuk melaksanakan berbagai macam fungsi.
Organisma memperoleh energi tersebut melalui
reaksi eksergonik dari oksidasi nutrient untuk
menjaga kestabilan hidup seperti: melakukan kerja
mekanik, transport senyawa aktif melawan gradient
konsentrasi, dan biosintesis senyawa kompleks.
Metabolisma merupakan serangkaian reaksi
enzimatis yang berurutan yang menghasilkan
produk tertentu. Senyawa yang bereaksi, senyawa
intermedier serta produknya disebut dengan
metabolit. Setiap reaksi dikatalisis oleh enzim
berbeda. Serangkaian reaksi yang terdapat dalam
metabolisma dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Katabolisma, atau reaksi penguraian. Dalam
katabolisma senyawa metabolit kompleks
Gambar 1. Gambaran jalur singkat
diuraikan menjadi produk yang lebih sederhana
metabolisme
dengan membebaskan energi. Energi yang
dibebaskan selama proses ini disimpan dalam
bentuk ATP dari ADP dan fosfat atau digunakan
untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH.
Keduanya, ATP dan NADPH merupakan
sumber energi utama untuk digunakan dalam
jalur anabolisma. Karakteristik jalur penguraian adalah mengubah berbagai
senyawa (karbohidrat, lipid, protein) menjadi senyawa intermedier umum.yang
akan dimetabolisma lebih lanjut dalam jalur oksidatif pusat yang mengubahnya
menjadi beberapa produk akhir.
2. Anabolisma, jalur biosintesis. Jalur ini mempunyai proses kebalikannya. Beberapa
macam metabolit, terutama piruvat, asetil CoA dan senyawa intermedier dalam
siklus asam sitrat berfungsi sebagai senyawa awal untuk biosintesis berbagai
produk.

Salah satu tahap metabolisme adalah glikolisis, yang digambarkan dalam


Gambar 3 (a dan b) sebagai dua jalur sekaligus dalam degradasi karbohidrat, baik
dalam sel aerob maupun anaerob. Dalam jalur ini, piruvat sebagai hasil glikolisis
ditangani secara berbeda oleh jalur anaerob (fermentasi) dan jalur aerob. Jalur anaerob
mengarah ke berbagai produk termasuk laktat dan etanol, sedangkan jalur aerob
menghasilkan asetil-KoA yang akhirnya menjadi karbondioksida dan siklus asam sitrat
(Gambar 4.).
Gambar 2. Hubungan energi diantara lintas katabolisme dan anabolisme yang
melibatkan energi kimia dalam bentuk ATP, NADH, dan NADPH

Bagaiamana organisme memperoleh energi bebas yang diperlukan?


Organisma autotrof (tanaman dan bakteri fotosintetik) memperoleh energi bebas dari
matahari melalui fotosintesis, suatu proses dimana energi cahaya digunakan untuk
mengubah CO2 dan H2O menjadi karbohidrat dan O2. Organisma kemotrof,
memperoleh energinya melalui oksidasi senyawa organik (karbohidrat, lipid, dan
protein) yang diperoleh dari organisma lain. Energi tersebut merupakan energi bebas.
Energi bebas yang diperoleh tersebut sering digunakan untuk
mengkounter reaksi endergonik melalui sintesis senyawa intermedier
berenergi tinggi, yaitu adenosin trifosfat (ATP). Disamping digunakan untuk
oksidasi, nutrient juga diuraikan dalam serangkaian reaksi menjadi senyawa
intermedier umum yang merupakan prekursor senyawa biologi lain.
Gambar 3a. Glikolisis dari Jalur Metabolisme

Sebagai penyedia utama dari energi metabolik, ATP memberikan


energi kimiawi untuk mendorong reaksi endergonik (memerlukan energi),
melaksanakan kerja mekanik (gerakan), memberikan panas (membantu
mempertahankan suhu tubuh), dan menghasilkan cahaya (nyala kunang-
kunang). Ligase merupakan contoh dari hubungan eksergonik/endergonik
yang ditemukan dalam sistem kehidupan karena penyambungan dari
dua molekul (pembentukan ikatan kovalen), dikatalisis oleh kelas enzim
ini, merupakan suatu reaksi endergonik dan memerlukan energi yang
dilepaskan oleh suatu reaksi eksergonik, contohnya hidrolisis ATP.
Gambar 3b. Glikolisis: Fase Awal Gambar 4. Metabolisme Oksidatif

B1. Energi bebas sel hidup


Bentuk-bentuk energi sebagaimana hukum I Termodinamika antara lain
energi dalam (E atau U), energi bebas Gibbs (G), entalpi (H), entropi (S),
kalor/panas (Q), dan kerja (W). Dalam pembahasan tentang energi sel dalam
tubuh, panas bukanlah sumber energi yang berarti bagi sel hidup, karena panas
dapat melakukan kerja hanya jika ia mengalir dari satu tempat dengan suhu
tertentu ke tempat lain yang suhunya lebih rendah. Sel hidup memeliki suhu yang
relative sama pada seluruh bagiannya, sehingga tidak dapat memanfaatkan
sumber energi panas secara berarti. Energi panas bermanfaat bagi sel hidup untuk
mempertahankan suhu optimum bagi aktivitas sel hidup. Oleh sebab itu, energi
yang terlibat dalam proses metabolism sel hidup adalah energi bebas (dan yang
digunakan adalah parameter energi bebas Gibbs), yang dapat melakukan kerja
pada suhu dan tekanan tetap. Dimana pada suhu dan tekanan tetap, secara
matematis besarnya energi bebas Gibbs (G) ditentukan melalui persamaan:

….……….

……………………… (1)
G adalah perubahan energi bebas Gibbs pada sistem yang sedang berreaksi, H
adalah perubahan kandungan panas sistem atau entalpi, S adalah perubahan
entropi semesta (sistem + lingkungan), termasuk sistem yang sedang bereaksi.
Jika suatu reaksi kimia berjalan menuju kearah keseimbangan, maka S selalu
meningkat, sehingga S selalu berharga positif dalam keadaan yang nyata.
Ketika S semesta meningkat selama reaksi, G sistem yang sedang bereaksi
mengalami penurunan. Oleh sebab itu G sistem yang sedang bereaksi selalu
bertanda negatif, bila peningkatan entalpi (G) tidak melampaui peningkatan
entropi.
Dalam sistem biologis, sesuai Hukum II Termodinamika bahwa entropi
semesta akan meningkat selama proses kimiawi atau fisis. Hukum ini tidak serta
merta menyatakan bahwa entropi yang meningkat itu harus terjadi di dalam
sistem raksinya sendiri, namun peningkatan mungkin saja terjadi di tempat lain di
alam semesta (dalam arti lingkungan). Organisme hidup tidak mengalami
peningkatan S (ketidakteraturan) internalnya, ketika melangsungkan proses
metabolism makanannya. Namun, lingkungan organism hidup itulah yang
mengalami peningkatan entropi selama proses kehiupan. Organisme hidup selalu
mempertahankan keteraturan internalnya dengan mengekstrak energi bebas dari
makanan yang berasal dari lingkungan, dan mengembalikan energi tersebut ke
lingkungan dalam jumlah yang sama, tetapi dalam bentuk energi yang tidak
berguna bagi sel hidup, dan menyebar secara acak ketempat-tempat lain di alam
semesta. Peningkatan entropi semesta selama selama sel hidup melakukan
aktivitas, merupakan fenomena menarik karena sifatnya yang tidak dapat balik
(irreversible). Organisme hidup secara terus menerus memberikan entropi ke
lingkungannya untuk mempertahankan keteraturan internal organisme tersebut.
Sel hidup memperoleh energi dari makanannya. Sel heterotrop
memperoleh energi bebas dari molekul nutrient yang kaya energi, dan sel
fotosintetik memperoleh energi bebas dari radiasi matahari yang diserap. Kedua
jenis sel ini mengubah energi bebas yang masuk menjadi bentuk umum energi
kimia, dan menggunakannya untuk aktivitas sel melalui proses yang tidak
melibatkan perubahan suhu secara nyata. Dengan kata lain, sel adalah mesin
kimia yang bekerja pada suhu dan tekanan tetap.
Bagaimana perhitungan energi bebas Gibbs (G) tersebut?.
Perubahan energi bebas (G) dapat dihitung dari harga tetapan kesetimbangan
pada keadaan standar. Hukum ke II menyatakan, jika suatu sistem tertutup dibiarkan,
sistem cenderung menuju keseimbangan. Hubungan perubahan energi bebas
berhubungan dengan konstanta equilibrium dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Jika G negatif (< 0), reaksi disebut eksergonik. Reaksi ini berlangsung
secara spontan, dan reaksi kebalikanya tidak akan dapat berlangsung.
2. Jika G positif (> 0), reaksi disebut endergonik. Reaksi tedak akan trjadi
secara spontan ke kanan, dan reaksi kebalikannya akan berlangsung secara
spontan.
3. Jika G sama dengan 0, reaksi berada dalam keadaan keseimbangan, tidak ada
selisih perbedaan arah reaksi.

Perbedaan energi Gibbs dapat dihubungkan dengan konstanta kesetimbangan ata


u ekuivalen dengan rasio produk, yaitu konsentrasi spesies teroksidasi (A teroksidasi,)

dan reaktan atau spesies tereduksi (Aterreduksi), dengan persamaan:

………….
…………… (2)
Dengan mengganti hubungan antara energi Gibbs dan tegangan (pers. 3)
menghasilkan:
……………….……..
………. (3)
Persamaan akhir ini disebut persamaan Nernst. Persamaan ini dapat
digunakan untuk menghitung potensial, potensi titik tengah, dan konsentrasi
reaktan dan produk. Perhatikan bahwa ketika konsentrasi dari zat yang tereduksi
dan teroksidasi adalah sama, maka harga potensial E sama dengan E0, selanjutnya
konstanta ini disebut potensial titik tengah reaksi oksidasi/reduksi (E m). .Banyak
reaksi biologis melibatkan proton sehingga potensial titik tengah didefinisikan
pada pH 7. Potensial titik tengah untuk molekul biologis ditabulasikan pada Tabel
1. Tabel ini memberikan dasar bagi reaksi transfer electron. Secara umum,
meningkatkan potensial titik tengah sesuai dengan afinitas yang lebih besar untuk
electron, sehingga meningkatkan kemampuan oksidasi.

B2. Oksidasi sebagai sumber energi metabolisme


Secara termodinamika, oksidasi biologi dari substrat organik sebanding
dengan oksidasi nonbiologis, seperti pada pembakaran kayu. Energi bebas
totalnya adalah sama, baik sumbernya adalah substansi biologis, seperti glukosa,
ataupun oksidasi senyawa seperti pada pembakaran kayu. Namun, oksidasi
biologis, jauh lebih kompleks daripada proses pembakaran. Ketika kayu dibakar,
semua energi dilepaskan sebagai panas, tetapi sebaliknya pada oksidasi biologis,
reaksi oksidasi terjadi dengan penangkapan beberapa energi bebas sebagai energi
kimia.tanpa peningkatan suhu. Penangkapan energi metabolik terjadi terutama
melalui sintesis ATP, molekul yang disiapkan untuk menyediakan energi yang
akan digunakan dalam bekerja (aktivitas sel hidup). Dalam katabolisme glukosa,
misalnya, sekitar 40% dari 2870 kJ / mol energi yang dilepaskan digunakan untuk
mendorong sintesis ATP dari ADP dan Pi (fosfat anorganik).
Berbeda dengan oksidasi glukosa oleh oksigen, oksidasi biologis tidak
melibatkan transfer langsung elektron dari substrat ke oksigen.Sebaliknya,
serangkaian reaksi oksidasi-reduksi terjadi, dengan elektron dilewatkan melalui
pembawa elektron intermediet seperti NAD+ yang pada akhirnya dipindahkan ke
oksigen.
Tidak semua energi metabolis berasal dari oksidasi oleh oksigen. Zat lain
selain oksigen dapat berfungsi sebagai akseptor elektron terminal. Sebagai contoh,
beberapa mikroogranisme tumbuh secara anaerob (tanpa oksigen) menghasilkan
energi dengan mentransfer elektron ke material anorganik, seperti ion sulfat atau
ion nitrat. Mikroorganisme lainnya, seperti bakteri asam laktat, mereduksi zat
organik, seperti piruvat, membentuk laktat. Sebagian besar organisme-organisme
tersebut memperoleh energi berasal dari fermentasi, yang menghasilkan energi
dari jalur katabolic, yang prosesnya terjadi dengan tidak ada perubahan bersih
dalam keadaan oksidasi produk dibandingkan dengan keadaan substrat. Karena
energi metabolik terutama berasal dari reaksi oksidatif, semakin tinggi substrat
tereduksi, semakin tinggi potensi untuk menghasilkan energi biologis. Dengan
demikian, pembakaran lemak menyediakan energi panas lebih tingi daripada
pembakaran karbohidrat dengan massa setara.

Tabel 1. Potensial Titik Tengah untuk Reaksi Oksidasi/Reduksi pada Beberapa


Reaksi Biologis
Potensial listrik (E) diukur untuk reaksi oksidasi/reduksi yang relevan
secara biologis pada rentangan yang sangat besar. Donor utama fotosistem II,
P680, adalah kofaktor pengoksidasi paling banyak ditemukan dalam biologi.
Potensial P680 cukup tinggi bahkan untuk mengoksidasi air sekalipun. Perhatikan
bahwa potensial titik tengah (Em) P680 lebih besar dibandingkan dengan
komponen kimianya yaitu klorofil a, dalam larutan, dan jauh lebih besar dari
potensial bakteri donor electron yang sesuai, P870. Sitokrom adalah protein
dengan heme-heme sebagai kofaktor yang berfungsi sebagai pembawa elektron,
seperti sitokrom c, atau sebagai membran protein yang merupakan bagian dari
rantai transfer elektron, seperti sitokrom f, yang merupakan bagian dari sitokrom
b6f kompleks. Ubiquinon berfungsi sebagai akseptor elektron dalam kompleks
protein yang berbeda, termasuk pusat reaksi bakteri.
Perhatikan (Tabel 1) bahwa hidrogen memiliki potensial titik tengah nol
dan dijadikan sebagai standar. Pada pH 7, potensial titik tengah (midpoint)
menurun menjadi 0,42 V akibat penurunan pH 0,059 per satu satuan yang
diharapkan pada reaksi terkopling pada transfer proton. Ferredoxin merupakan
protein kecil yang mengandung kluster besi-belerang yang akan teroksidasi atau
tereduksi selama proses metabolisme. Dalam beberapa kasus, enzim yang
mengkatalisis reaksi oksidasi/reduksi mentransfer elektron ke pembawa elektron
universal. Beberapa senyawa dengan potensial titik tengah rendah dan berfungsi
sebagai pembawa elektron yang baik, diantaranya mononukleotida flavin (FMN),
flavin adenine dinukleotida (FAD), dan glutation. Dalam beberapa kasus
pembawa elektron mudah bergerak diantara enzim-enzim, seperti yang ditemukan
pada NAD+ dan NADP+, sedangkan dalam kasus lain kofaktor itu terikat erat,
karena umunya ditemukan pada FMN dan FAD. Tabel 1 diatas, menunjukkan
bahwa beberapa tetapi tidak semua protein yang berpartisipasi dalam reaksi
oksidasi/reduksi mengandung logam yang berfungsi sebagai donor atau akseptor
elektron.
Dalam banyak reaksi biologis, reaksi oksidasi/reduksii melibatkan transfer
dua elektron dan dua proton. Reaksi ini disebut dehidrogenasi dan enzim yang
mengkatalisisnya disebut dehidrogenese. Misalnya, konversi laktat untuk piruvat
melibatkan pelepasan dua proton dari gugus keton pada posisi karbon kedua,
selain pelepasan dua elektron (Gambar 5). Transfer bersih dua proton dan dua
elektron adalah umum terjadi, tetapi tidak diperlukan. Misalnya, oksidasi NAD+
melibatkan pembebasan dua proton dalam reaksi dehidrogenasi (Gambar 6). Salah
satu proton dilepaskan ke dalam larutan namun bentuk molekul teroksidasinya
menerima ion hidrida, menghasilkan pelepasan bersih satu proton.

Gambar 5. Oksidasi laktat menjadi piruvat yang melibatkan pelepasan 2

proton.
Gambar 6. Oksidasi NAD+ menjadi NADH adalah proses dua-elektron
dengan pelepasan hanya satu proton

Nilai-nilai yang dilaporkan dalam Tabel 6.1 telah ditentukan secara


eksperimental oleh salah satu dari dua cara. Satu pendekatan adalah untuk
potensial poise ambang (poise = kekentalan, dan untuk satuan 1 poise = 1 kg.m –1.
s) pada serangkaian nilai-nilai nya ditentukan dengan penggunaan reduktan dan
oksidan kimia (Gambar 7). Atau, harga potensial dapat dibangun dengan
menggunakan sel elektrokimia. Untuk masing-masing potensial, bilangan oksidasi
dari suatu kofaktor tertentu diukur dengan cara spektroskopi, dengan memantau
perubahan spektrum absorpsi optik. Dari spektrum tersebut, fraksi yang tereduksi
pada setiap potensial ditentukan dengan menggunakan persamaan Nernst (pers. 3)
dan potensial titik tengah dapat dihitung. Karena kofaktor dalam protein biasanya
terperangkap (buried) di dalam protein, untuk pengyukurannya, senyawa mediator
khusus dapat digunakan untuk memfasilitasi transfer elektron antara elektroda dan
kofaktor tersebut.
Gambar 7. Penentuan potensial titik tengah dengan titrasi redoks

Di samping faktor-faktor seperti pH dan kekuatan ion dari larutan sekitar protein,
potensial titik tengah dari suatu kofaktor dalam protein bisa bervariasi hingga 0,5
V dibandingkan dengan nilainya dalam larutan adanya interaksi kofaktor-protein.
Faktor yang paling kritis adalah ligasi dari kofaktor yang secara istimewa akan
menstabilkan keadaan (fraksi) yang tereduksi atau teroksidasi. Misalnya, besi
heme memiliki dua ligan aksial. Salah satu ligan aksial adalah donor elektron
yang lebih baik dengan daya tarik yang lebih besar untuk Fe 3+ (dibahas pada Bab
tentang mitokondria dan glukogenesis). Ligan ini akan menstabilkan keadaan
teroksidasi dan menurunkan potensial titik tengah. Heme sitokrom dengan dua
ligan aksial biasanya memiliki potensial titik tengah lebih negatif dari pada hemes
dengan satu ligan metionin dan satu histidin karena imidazol dari rantai samping
histidin adalah donor elektron lebih baik dari sisi rantai samping metionin.
Gambar 8. Rumus struktur histidin dan metionin

Ikatan hidrogen dan interaksi elektrostatik lainnya juga akan sistematis


mengubah potensi titik tengah suatu kofaktor. Untuk bacteriochlorophyll, ada dua
oksigen karbonil yang merupakan bagian dari cincin konjugasi dan berfungsi
sebagai akseptor ikatan hidrogen dari protein sekitarnya (Gambar 9). Sebagai
donor proton yang berada pada posisi ikatan hidrogen, potensial titik tengah yang
diperoleh meningkat (Gambar 10). Dengan melakukan pengukuran electron
nuclear double resonance (ENDOR), distribusi elektron ditentukan dan
peningkatan potensial titik tengah dapat dijelaskan melalui model Huckel (Bab
tentang glikolisis), dengan perubahan potensial titik tengah ini sebagai hasil dari
stabilisasi keadaan tereduksi karena interaksi ikatan hidrogen.
Gambar 10. Redoks titrasi dari pusat reaksi bakteri
menunjukkan peningkatan yang sistematis dalam
potensi titik tengah karena penambahan ikatan
Gambar 9. Struktur bacteriochlorophyll a
hidrogen.
yang ditemukan di pusat reaksi bakteri.

A. Adenosin Trifosfat (ATP)


Proses dimana berlangsungnya reaksi-reaksi yang melepaskan energi
bebas (eksergonik) selalu dirangkaikan dengan proses yang reaksi-reaksinya
memerlukan energi bebas (endergonik). Reaksi eksergonik adalah reaksi dalam
proses katabolisme yaitu reaksi-reaksi pemecahan atau oksidasi molekul bahan
bakar sedangkan reaksi sintesa yang membangun berbagai substansi terdapat
dalam proses anabolisme. Untuk merangkaikan kedua proses eksergonik dan
endergonik harus ada senyawa antara dengan potensial energi tinggi yang
dibentuk dalam reaksi eksergonik dan menyatukan senyawa yang baru dibentuk
tersebut kedalam reaksi endergonik, sehingga energi bebasnya dialihkan antara
dua proses tersebut. Senyawa antara yang dibentuk tidak perlu mempunyai
hubungan struktural dengan reaktan-reaktan yang bereaksi.
Dalam sel hidup, reaksi oksidasi yang melepas energi bebas selalu disertai
dengan peristiwa fosforilasi yang membentuk senyawa dengan potensial energi
lebih tinggi. Senyawa pembawa atau senyawa antara energi tinggi yang utama
adalah ATP . Kegunaan ATP terletak pada kemampuannya untuk mengkonversi
menjadi adenosin difosfat (ADP) , dengan hilangnya terminal fosfat (Gambar 11)
melalui hidrolisis menghasilkan fosfat anorganik (Pi):
ATP + H2O DP + Pi + H3O+ …………… (4)

Reaksinya sangat eksotermis dengan energi 30,5 kJ.mol–1, dan merupakan


pelepasan energi dalam kondisi biologis normal. Rumus empirisnya adalah
C10H16N5O13P3, dan rumus kimianya adalah C10H8N4O2NH2(OH)2(PO3H)3H,
dengan bobot molekul 507.184 u. Gugus fosforil pada AMP disebut gugus alfa,
beta, and gamma fosfat (Gambar 11 dan 12). ATP dapat dihasilkan melalui
berbagai proses selular, namun seringnya dijumpai di mitokondria melalui proses
fosforilasi oksidatif dengan bantuan enzim pengkatalisis ATP sintetase. Pada
tumbuhan, proses ini lebih sering dijumpai di dalam kloroplas melalui proses
fotosintesis. Bahan bakar utama sintesis ATP adalah glukosa dan asam lemak.
Mula-mula, glukosa dipecah menjadi asam piruvat di dalam sitosol dalam reaksi
glikolisis. Dari satu molekul glukosa akan dihasilkan dua molekul ATP. Tahap
akhir dari sintesis ATP terjadi dalam mitokondria dan menghasilkan total 36 ATP.
ATP merupakan nukleotida yang terdiri dari adenin, ribosa dan trifosfat .
Bentuk aktif ATP adalah kompleksnya bersama dengan Mg2+ atau Mn2+ (Gambar
13). Sebagai pengemban energi, ATP kaya energi karena unit trifosfatnya
mengandung dua ikatan fosfoanhidrida. Sejumlah besar energi bebas dilepaskan
ketika ATP dihidrolisis menjadi adenosin difosfat (ADP) dan ortofosfat (Pi) atau
ketika ATP dihidrolisis menjadi adenosin monofosfat (AMP) dan pirofosfat (Ppi).
ATP memungkinkan perangkaian reaksi yang secara termodinamik tidak
menguntungkan menjadi reaksi yang menguntungkan. Reaksi pertama dalam
lintasan glikolisis yaitu fosforilasi glukosa menjadi glukosa 6 fosfat adalah reaksi
yang endergonik (Gº = +13,8 kj/mol), agar reaksi dapat berlangsung harus
terangkai dengan reaksi lain yang lebih eksergonik yaitu hidrolisa gugus terminal
fosfat ATP (Gº = –30,5 kJ.mol–1) sehingga rangkaian reaksi yang dikatalisa oleh
heksokinase tersebut berlangsung dengan mudah dan sangat eksergonik (Gº = –
16,7 5 kJ.mol–1).
Glukosa + ATP glukosa 6 – fosfat + ATP ……..…………
(5)
Gº = (13,8 – 30,5) kJ.mol–1 = –16,7 kJ.mol–1
Konversi antar ATP, AMP dan ADP adalah mungkin. Enzym adenilat kinase
(miokinase) mengkatalisis reaksi :
ATP + AMP ADP+ADP ………………..…. (6)
Reaksi ini mempunyai fungsi antara lain, memungkinkan fosfat energi tinggi
dalam ADP untuk digunakan dalam sintesa ATP, memungkinkan AMP yang
terbentuk dari beberapa reaksi aktivasi yang melibatkan ATP difasforilasi ulang
menjadi ADP dan memungkinkan peningkatan konsentrasi AMP (ketika ATP
terpakai habis) sebagai sinyal metabolik untuk menaikkan kecepatan reaksi-
reaksi katabolik (menghasilkan ATP). Beberapa reaksi biosintesis dijalankan oleh
nukleotida trifosfat yang analog dengan ATP, yaitu guanosin trifosfat (GTP),
uridin trifosfat (UTP) dan sitidin trifosfat (CTP). Bentuk difosfat nukleotida-
nukleotida ini disebut dengan GDP, UDP dan CDP dan bentuk-bentuk
monofosfatnya dengan GMP, UMP dan CMP. Transfer gugus fosforil terminal
dari satu ke lain nukleotida dapat terjadi dengan bantuan enzym nukleosida
difosfat kinase:
ATP + GDP ADP + GTP
………………….…… (7a)
dan ATP + GMP ADP + GDP
………………….…… (7b)

  

Gambar 11. Struktur Kimia ATP, dengan gugus fosfat terminal (diarsir)
Gambar 12. Model molekul ATP (model bola)

Gambar 13. Kompleks ATP dengan Mg 2+ dan Kompleks ADP dengan


Mg2+

Nilai –30,5 kJ mol-1 untuk hidrolisis ATP merupakan perubahan energi


Gibbs keadaan standar pada konsentrasi 1 M dan pH 7. Dalam suatu sel,
konsentrasi dan pH yang tidak pada keadaan standar, perubahan energi yang
sebenarnya akan berbeda dari yang dihitung menggunakan keadaan standar.
Perubahan energi Gibbs yang sebenarnya ditentukan dengan mempertimbangkan
konsentrasi dari ADP, ATP, dan anorganik fosfat melalui persamaan:

…………………………(8)
Sebagian sel mempertahankan konsentrasi ATP, ADP, fosfat anorganik
dalam rentang yang sangat sempit. Konsentrasi yang khas bagi ATP dan fosfat
anorganik umunya adalah 2,5 dan 2,0 mM, dengan konsentrasi ADP yang lebih
rendah sebesar 0,25 mM. Dengan memasukkan konsentrasi tersebut ke dalam
persamaan (8) dihasilkan perubahan energi bebas yang lebih negatif (sebesar –52
kJ mol–1 pada 298 K dan pH 7) daripada nilai energi bebas standar. Dalam sel,
konsentrasi ATP relatif konstan dalam keadaan seimbang, dimana kecepatan
pembentukan ATP diimbangi oleh kecepatan degradasinya. Dalam hal ini, gugus
fosfat ujung pada ATP mengalami penguraian dan pergantian secara terus menerus
dari fosfat anorganik selama metabolism sel.
Pada pH = 7,0 kedua senyawa ATP dan ADP terdapat sebagai anion ATP4–

dan ADP3–, karena hampir semua kandungan fosfat mengion semprna pada pH
ini. Namun, dalam cairan intra sel yang mengandung Mg2+ pada konsentrasi
tinggi, ATP dan ADP akan membentuk senyawa kompleks MgATP2– dan

MgADP– (Gambar 13). Dalam banyak reaksi enzimatik yang melibatkan ATP

sebagai donor fosfat, bentuk aktifnya merupakan senyawa kompleks MgATP2–.


Pertanyaan yang muncul adalah mengapa ATP memiliki energi bebas
yang relative tinggi? Ada tiga alasan yang dapat mendasari jawaban atas
pertanyaan tersebut. Pertama adalah derajat ionisasi ATP mendekati 1 (satu),
sehingga pada pH = 7,0, hampir keseluruhan ATP terionisasi sempurna menjadi
ATP4–. Hidrolisis yang sebenarnya dari ATP menghasilkan tiga produk, yaitu

ADP3–, HPO42–, dan H+, melalui persamaan reaksi:

ATP4– + H2O ADP3– + HPO42– + H+ ……………… (9)

Pada keadaan standar (baku), ATP4–, ADP3–, dan HPO42–, berada pada
konsentrasi 1,0 M. Namun, pada pH = 7,0 (pH standar bagi perhitungan Go),
konsentrasi ion hydrogen (H+) hanya menjapai 10–7 M. Menurut hukum aksi
massa, kesetimbangan hidrolisis cenderung tertarik jauh ke kanan, karena
konsentrasi H+ pada pH = 7,0 sangat kecil dibandingkan dengan konsentrasi
standar komponen reaksi lainnya (sebesar 1,0 M).
Kedua, pada pH = 7,0, molekul-molekul ATP memiliki empat muatan
negatif yang letaknya berdekatan dan saling tolak menolak dengan kuat (Gambar
11). Jika ikatan fosfat ujung terhidrolisis, sebagian diantara tegangan listrik di
dalam molekul ATP dibebaskan karena terpisahnya produk bermuatan negatif
ADP3–, dan HPO42–. Produk-produk ini hanya sedikit yang cenderung bergabung
kembali dan bereaksi kearah sebaliknya untuk membentuk ATP kembali (dalam
hal ini kedua produk saling bertolakan untuk bergabung). Sebaliknya pada
hidrolisis glukosa 6-fosfat, menghasilkan glukosa yang tidak bermuatan dan satu
produk lain yang bermuatan (yaitu HPO 42–), kedua produk ini tidak saling
bertolakan untuk bergabung kembali, sehingga kecenderungan reaksi kea rah kiri
cukup tinggi untuk membentuk glukosa 6-fosfat kembali.
Glukosa 6-fosfat2– + H2O glukosa + HPO42– …………… (10)

Ketiga, masing-masing dari kedua produk hidrolisis ATP (ADP3–, dan

HPO42–) merupakan hybrid resonansi, yaitu suatu bentuk stabil yang khusus
dengan electron tertentu dalam konfigurasi yang memiliki lebih sedikit energi,
dibandingkan dengan kedudukan aslinya dalam bentuk ATP. Jadi, jika ATP
dihidrolisis, electron pada produk ADP3–, dan HPO42– dapat turun drastis menuju
tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan dengan ATP. Keadaan ini
menyebabkan ADP3– dan HPO42– saling dibebaskan satu sama lain, akibatnya
menghasilkan energi bebas yang lebih rendah dibandingkan dengan jika kedua
senyawa tersebut masih bergabung dalam bentuk aslinya ATP.

C1. Hipotesis Kemiosmotik ATP


Sedangkan sifat umum dari ATP telah dikenali, namun pemahaman
tentang mekanisme itu sukar dipahami. Pada tahun 1961, Peter Mitchell
mengusulkan mekanisme di mana energi Gibbs disimpan dalam bentuk gradien
pH dan potensial listrik di membran sel. Ini dikenal sebagai hipotesis
kemiosmotik. Pada awalnya usulan ini kurang diterima tetapi akhirnya
memperoleh penerimaan sebagai studi eksperimen yang membuktikan
kebenaran dari ide-ide tersebut, dan sekarang hipotesis ini merupakan landasan
untuk memahami penggunaan energi dalam sel. Inti dari hipotesis Mitchell
kemiosmotik adalah bahwa transfer elektron terjadi dalam mode vectorial
melintasi membran biologis.
Sebagaimana elektron ditransfer melalui serangkaian pembawa pada
membran, proton juga diangkut, dan menghasilkan perbedaan pH antara sisi
eksterior dan interior membran sel. Karena membran adalah lapisan ganda lipid
yang impermeabel, setelah transfer proton yang melintasi membran dapat
disimpan. Karena proton bermuatan, transfer mengarah ke bagian membrane yang
berbeda potensialnya. Jumlah dari kedua efek potensial tersebut digunakan untuk
menyediakan energi dalam sintesis ATP. Hipotesis ini memberikan penjelasan
alami terhadap sejumlah hasil pengamatan eksperimen. Sebagai contoh, diketahui
bahwa suatu senyawa yang disebut uncouplers akan dapat menghambat sintesis
ATP dalam sistem. Senyawa ini merupakan asam lemah lipofilik seperti
dinitrophenol. Mitchell mengusulkan bahwa senyawa ini dapat mengusir gradien
proton karena kemampuan mereka untuk menyebar melalui membran baik dalam
bentuk terdeprotonasi maupun terprotonasi. Pada tahun 1966, hipotesis ini secara
dramatis didukung oleh percobaan oleh Andre Jagendorf dan kawan-kawan.
Thylakoids dipertahankan dalam buffer pH = 4 yang menyebabkan baik interior
dan eksterior dari sel menyeimbangkan posisinya pada pH tersebut (Gambar 14).
Suatu penyangga dengan pH = 8 disuntikkan dengan cepat ke dalam larutan,
menghasilkan perbedaan pH sekitar empat satuan di membran thylakoid.
Perbedaan pH ini menghasilkan sejumlah besar ATP yang dibentuk dari ADP dan
fosfat anorganik, hasil ini mendukung hipotesis kemiosmotik.
Gambar 14. Dukungan terhadap untuk hipotesis kemiosmotik dalam
pembentukan ATP dengan percobaan Jagendorf dan
kawan-kawan.

Pengangkutan proton melintasi membran menghasilkan baik perbedaan


konsentrasi maupun perbedaan muatan, dengan adanya kedua efek tersebut akan
mempengaruhi energetika sel. Salah satu kontribusi terhadap perbedaan energi
Gibbs timbul dari perbedaan konsentrasi proton untuk dua sisi dari membran sel.
Perbedaan proton muncul dari proses metabolisme yang berbeda (Gambar 15)
atau dari aksi pompa proton. Untuk konsentrasi interior proton [H +]dalam dan
konsentrasi proton luar membran [H +]luar, perbedaan energi Gibbs diberikan oleh
rasio dua konsentrasi tersebut melalui persamaan:

………………
(11)
Dengan perbedaan pH, ungkapan perbedaan energi Gibbs dapat ditulis ulang:

…………… (12)
Gambar 15. Representasi skematik yang menunjukkan keterlibatan dari
empat kompleks protein, yang diidentifikasi sebagai
kompleks I-IV, dan ATP sintase dalam hipotesis
kemiosmotik.

Kontribusi kedua timbul dari perbedaan muatan untuk kedua sisi


membran. Perbedaan energi Gibbs untuk konstribusi ini diberikan oleh perbedaan
tegangan ΔV melintasi membran sel (persamaan 13) dengan menggunakan n = 1
untuk muatan proton:
Greak = – n F E, dan E = ΔV ………………………………
(13a)
Greak = – n F V = – F V
……………………………………. (13b)
Energi total Gibbs yang ada karena perbedaan konsentrasi proton pada kedua sisi
membran sel disebut gaya protonmotive (Δp) dan dapat ditulis sebagai:

…………………………………..... (14)
Eksperimen telah menetapkan bahwa hanya nilai Δp yang sangat penting
untuk sintesis ATP. Dalam thylakoids, potensi membran yang kecil dan begitu
pula Δp, terutama disebabkan oleh perbedaan pH pada membran, meskipun pada
tanaman potensial membran mungkin lebih besar.
C2. Kompleks protein I – IV
Dalam hipotesis kemiosmotik telah diidentifikasi adanya kompleks protein
I – IV dan ATP sintase. Jalur seluler untuk pengembangan kekuatan protonmotive
dilakukan oleh membrane empat kompleks protein tersebut. Kompleks I, disebut
juga NADH: oksidoreduktase ubiquinone, merupakan enzim-kDa 850 yang terdiri
dari lebih dari 40 subunit protein, termasuk flavoprotein yang mengandung-FMN
dan beberapa kofaktor besi-belerang. Kompleks I mengkatalisis konversi NADH
ke NAD+, yang dikopling untuk mentransfer elektron ke ubiquinone dan
pemompaan proton dari matriks ke ruang antar membran:

………….. (15)
Kompleks II, atau dehidrogenase suksinat, adalah sebuah enzim 140 kDa
yang mengandung sejumlah kofaktor. Kompleks II ini merupakan pasangan enzim
transfer elektron dari suksinat ke fumarat dengan konversi FAD ke FADH 2
(Gambar 16). Dalam reaksi ini, elektron bergerak dari suksinat melalui FAD dan
kofaktor besi-sulfur ke ubiquinone. Kompleks I dan II, bersama-sama dengan
protein acyl-CoA dehidrogenase, ETF: oksidoreduktase ubiquinone, dan 3-fosfat
dehidrogenase gliserol, menghasilkan ubiquinone tereduksi (QH 2), yang
kemudian dioksidasi kembali oleh kompleks III.

Gambar 16. Suksinat diubah menjadi fumarat dengan keterlibatan

FAD
Kompleks III disebut juga komplek sitokrom bc1, yaitu protein 250-kDa
dengan 11 subunit protein dan sejumlah heme serta pusat-pusat besi-sulfur.
Pasangan kompleks III transfer elektron dari ubiquinones ke sitokrom c disertai
dengan tranfer proton dari matriks melewati membran ke ruang antarmembran.
Reaksi oksidasi /reduksi bersih, sering disebut siklus Q, pasangan transfer
elektron dari ubiquinones dengan transfer proton melintasi membran sel ditulis:

………………………………………………
…… (16)
Kompleks IV, yang juga bernama oksidase sitokrom, melengkapi rantai
pernapasan. Ukuran kompleks IV bervariasi untuk setiap organisme yang berbeda,
dari tiga atau empat subunit protein kecil pada bakteri mencapai 13 sel eukariotik.
Heme dan kofaktor tembaga melakukan reduksi terhadap empat-elektron
seluruhnya dari oksigen melalui suatu mekanisme yang berurutan tanpa pelepasan
intermediet:

…………………………………………… (17)
C3. ATP Sintase
Strategi mengatasi reaksi endotermik oleh kopling reaksi dengan hidrolisis
ATP telah digunakan dalam semua sel hidup untuk sintesis intermediet
metabolisme dan komponen selularnya. Untuk menjadi praktis, ATP harus tersedia
cukup untuk menggerakkan reaksi tersebut. Dalam reaksi ini, transfer proton
melintasi membran sel dan digunakan untuk mendorong sintesis ATP dari ADP
melalui transfer proton dari ruang antarmembran ke matriks:

……………….. (18)
Kompleks enzim ATP sintase ini memiliki dua domain, yang diidentifikasi
sebagai F0 dan F1, dengan domain enzim kloroplas dilambangkan sebagai CF0 dan
CF1. Enzim ATP sintase dari sel yang berbeda memiliki komposisi dan struktur
yang sama. Domain F1 memiliki tiga salinan (copy) subunit α dan β, serta satu
salinan F1 lainnya, yaitu subunit δ, γ, dan ε. Komposisi dari domain F0 berbeda
pada organisme yang berbeda, dengan enzim bakteri dan enzim mitokondria
memiliki satu salinan dari subunit a, dua salinan dari subunit b (atau subunit
analog), dan 10 – 14 salinan dari subunit c.
Struktur tiga dimensi dari domain F1 menunjukkan bahwa α dan β berada
dalam susunan heksamerik, tetapi dengan masing-masing subunit menunjukkan
konformasi yang berbeda yang mencerminkan tiga keadaan fungsional yang
berbeda: terikat dengan ATP, terikat dengan ADP, dan dengan ikatan situs kosong
(Gambar 17). Di pusat adalah subunit γ tunggal yang membentuk suatu struktur,
panjang heliks membungkuk di tengah struktur F 1 tersebut. Subunit γ adalah
struktur asimetris dan berinteraksi dengan hanya salah satu dari ketiga subunit β.

Gambar 17. Struktur domain ATP sintase


mitokondria F1 yang terlihat dibawah sumbu
simetri sekitar 6-kali lipat dari subunit α dan β
dengan perbedaan struktur akibat ikatan ATP/
ADP. Di pusat adalah subunit γ. ( Abrahams et
al., 1994).

Subunit γ meluas di bawah domain F1 ke dalam wilayah darii domain F0.


Domain F0 terdiri dari tiga subunit protein a, b, dan c. Subunit c sangat hidrofobik
dan terdiri dari dua heliks transmembran dengan loop kecil. Sub-unit c diatur
simetris di sekitar sumbu simetri F 1 dengan dua set heliks membentuk dua
lingkaran konsentris (Gambar 18 dan 19). Cincin dari subunit c diperkirakan
terkait erat dengan subunit γ dari domain F1 tetapi tidak dengan sub-unit lainnya.
Dalam motor, stator stasioner dan rotor berputar di tengah. Sub-unit c dapat
dipertimbangkan untuk membentuk sebuah rotor yang dapat bergerak secara
independen dari bagian protein sisa yang akan bersifat stator.
Mekanisme tersebut melibatkan kehadiran tiga situs, yaitu ATP yang
terikat erat, terikat lemah, dan situs kosong (Gambar 20). Energi yang dibutuhkan
untuk melepaskan ATP, bukan untuk membentuknya. Posisi ketiga situs dalam
subunit tersebut adalah tidak tetap, tetapi bervariasi sebagai enzim yang berputar,
dengan subunit γ bertindak seperti camshaft dan bergantian mendistorsi subunit β,
yang dapat menyebabkan perputaran tiga situs tersebut. Interaksi antara subunit a
dan cincin c memberikan ratchet (roda bergigi) bagi transfer proton dengan rotasi
cincin dalam arah yang berlawanan. Meskipun banyak aspek mekanisme sintesis
ATP telah ditentukan, stoikiometri jumlah proton yang dibutuhkan untuk
ditransfer pada setiap ATP yang disintesis masih merupakan pertanyaan terbuka,
yang belum terjawab secara pasti hingga saat ini.

Gambar 18. Struktur komplek F 0 F 1


Gambar 19. Sebuah demonstrasi eksperimental rotasi
dan model bagaimana rotasi subunit c dari ATP sintase dengan menggunakan filamen aktin
dalam membran sel relatif thd berlabel fluorescently (Kinosita et al. 2004).
domain F1 dan subunit a dan b dapat
memasangkan sintesis ATP dengan
transfer proton ( Murata et al. 2005)
Gambar 20. Modus perubahan ikatan pada sintesis ATP (Modifikasi dari
Boyer, 2000).

C4. Penguraian ATP menjadi AMP dan Pirofosfat


Pada beberapa reaksi sel dengan melibatkan ATP, kedua gugus fosfat pada
ujung molekul ATP (gugus  dan ) dilepaskan sebagai satu senyawa, yaitu
pirofosfat anorganik (Ppi), dan adenosine monofosfat (AMP) sebagai produk lain.
Contoh: aktivasi enzimatik suatu asam lemak untuk membentuk ester koenzim A,
suatu reaksi asam lemak akan memberikan energi untuk mengubahnya menjadi
senyawa aktif (asil lemak-KoA) pada biosintesis lipid:
ATP + RCOOH + KoA – SH AMP + Ppi + RCO – S – KoA
……… (19)
Asam lemak Asam lemak – KoA
G0 = + 0,2
kkal.mol–1

Reaksi aktivasi tersebut berjalan dengan pelepasan pirofosfat dari ATP


untuk menghasilkan AMP. Sedangkan hidrolisis ATP juga dapat menghasilkan
AMP dan Ppi:
ATP + H2O AMP + Ppi, G0 = –7,7 kkal.mol–1
…………. (20a)
Pirofosfat anorganik tersebut selanjutnya dihidrolisis oleh pirofosfatase
menghasilkan dua molekul ortofosfat anorganik (Pi):
Pirofosfat + H2O AMP + 2Pi, G0 = –6,9 kkal.mol–1
……... (20b)
Reaksi keseluruhannya:
ATP + 2H2O AMP + 2Pi, G0 = –14,6 kkal.mol–1
……….. (20c)
Dari reaksi keseluruhan ini, kita ketahui bahwa G0 tepat dua kali dari G0
gugus fosfat ujung ATP untuk berubah menjadi ADP (G0 = –7,3 kkal.mol–1).
Ternyata pada semua sel hewan, AMP dapat kembali ke siklus ATP melalui kera
enzim yang ada pada sel hewan, yaitu enzim adenilat kinase. Enzim ini
mengkatalisis fosforilasi dapat balik
2+
AMP menghasilkan ADP.
Mg
ATP + AMP ADP + ADP
……………………………… (21a)
ADP yang terbentuk dapat terfosforilasi kembali menghasilkan ATP. Adenilat
kinase memiliki fungsi penting lainnya, jika enzim ini bekerja dengan arah
sebaliknya. Mg2+

2ADP ATP + AMP ……


………………………….. (21b)
Tingkat ATP di dalam sel dapat dipertahankan, karena adenilat kinase
membantu memindahkan gugus fosfat ujung dari suatu moleuk ADP ke molekul
ADP lainnya, dan mengubah kedua molekul ADP ini menjadi ATP. Pada otot yang
berkontraksi, adenilat kinase membiarkan penggunaan kedua gugus fosfat  dan 
pada ATP sebagai sumber energy (Gambar 21). Akibat dari ini, adenilat kinase
yang bekerja pada ADP dapat membantu menghasilkan fosfokreatin sebagai
sumber ATP selama kontraksi otot.
Berikut mekanime penguraian ATP menjadi ADP, AMP, dan Pi (Mathew, C.K.,
1996)

Gambar 22 . ATP dan hidrolisisnya menjadi ADP, AMP, dan Pi.


Daftar Bacaan:
1. Allen, J.P., 2008. Biophysical Chemistry. 1st Ed. John Wiley & Sons, Ltd.
Publish. Singapore.

2. Mathew, C.K., and Van Halde. 1996. Biochemistry. 2nd Ed. The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. California.

3. Lehninger. 1982. Dasar-Dasar Biokimia, Jilid 2. (Terjemahan: Maggy


Thenawijaya). Penerbit: Erlangga. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai