BIOKIMIA
“ TENAGA”
OLEH:
NAMA : IKA INDAYATI
NIM : 18/436647/PBI/01585
FAKULTAS BIOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
TAHUN 2019
Bioenergetika adalah studi tentang proses bagaimana sel menggunakan,
menyimpan dan melepaskan energi. Komponen utama dalam bioenergetik adalah
transformasi energi, atau konversi energi dari suatu bentuk ke bentuk energi yang
lain. Organisme hidup tidak berada dalam keseimbangan, melainkan membutuhkan
masukan energi secara kontinyu. Jadi seluruh sel selalu mentransformasi energi. Sel
memiliki jutaan reaksi metabolisme yang terjadi dalam tubuh. Gambar 1,
menunjukkan reaksi metabolism yang menyerupai “Peta jalan raya yang
menghubungkan dua negara, yang memiliki jalur pusat yang luas”. Gambar
tersebut menyajikan gambaran singkat mengenai metabolisme yang reaksinya
dibagi menjadi tiga tahap berdasarkan ukuran metabolit di dalamnya.
Metabolisma adalah keseluruhan proses
yang terjadi dalam makhluk hidup yang
membutuhkan dan memanfaatkan energi bebas
untuk melaksanakan berbagai macam fungsi.
Organisma memperoleh energi tersebut melalui
reaksi eksergonik dari oksidasi nutrient untuk
menjaga kestabilan hidup seperti: melakukan kerja
mekanik, transport senyawa aktif melawan gradient
konsentrasi, dan biosintesis senyawa kompleks.
Metabolisma merupakan serangkaian reaksi
enzimatis yang berurutan yang menghasilkan
produk tertentu. Senyawa yang bereaksi, senyawa
intermedier serta produknya disebut dengan
metabolit. Setiap reaksi dikatalisis oleh enzim
berbeda. Serangkaian reaksi yang terdapat dalam
metabolisma dikelompokkan menjadi 2 yaitu:
1. Katabolisma, atau reaksi penguraian. Dalam
katabolisma senyawa metabolit kompleks
Gambar 1. Gambaran jalur singkat
diuraikan menjadi produk yang lebih sederhana
metabolisme
dengan membebaskan energi. Energi yang
dibebaskan selama proses ini disimpan dalam
bentuk ATP dari ADP dan fosfat atau digunakan
untuk mereduksi NADP+ menjadi NADPH.
Keduanya, ATP dan NADPH merupakan
sumber energi utama untuk digunakan dalam
jalur anabolisma. Karakteristik jalur penguraian adalah mengubah berbagai
senyawa (karbohidrat, lipid, protein) menjadi senyawa intermedier umum.yang
akan dimetabolisma lebih lanjut dalam jalur oksidatif pusat yang mengubahnya
menjadi beberapa produk akhir.
2. Anabolisma, jalur biosintesis. Jalur ini mempunyai proses kebalikannya. Beberapa
macam metabolit, terutama piruvat, asetil CoA dan senyawa intermedier dalam
siklus asam sitrat berfungsi sebagai senyawa awal untuk biosintesis berbagai
produk.
….……….
……………………… (1)
G adalah perubahan energi bebas Gibbs pada sistem yang sedang berreaksi, H
adalah perubahan kandungan panas sistem atau entalpi, S adalah perubahan
entropi semesta (sistem + lingkungan), termasuk sistem yang sedang bereaksi.
Jika suatu reaksi kimia berjalan menuju kearah keseimbangan, maka S selalu
meningkat, sehingga S selalu berharga positif dalam keadaan yang nyata.
Ketika S semesta meningkat selama reaksi, G sistem yang sedang bereaksi
mengalami penurunan. Oleh sebab itu G sistem yang sedang bereaksi selalu
bertanda negatif, bila peningkatan entalpi (G) tidak melampaui peningkatan
entropi.
Dalam sistem biologis, sesuai Hukum II Termodinamika bahwa entropi
semesta akan meningkat selama proses kimiawi atau fisis. Hukum ini tidak serta
merta menyatakan bahwa entropi yang meningkat itu harus terjadi di dalam
sistem raksinya sendiri, namun peningkatan mungkin saja terjadi di tempat lain di
alam semesta (dalam arti lingkungan). Organisme hidup tidak mengalami
peningkatan S (ketidakteraturan) internalnya, ketika melangsungkan proses
metabolism makanannya. Namun, lingkungan organism hidup itulah yang
mengalami peningkatan entropi selama proses kehiupan. Organisme hidup selalu
mempertahankan keteraturan internalnya dengan mengekstrak energi bebas dari
makanan yang berasal dari lingkungan, dan mengembalikan energi tersebut ke
lingkungan dalam jumlah yang sama, tetapi dalam bentuk energi yang tidak
berguna bagi sel hidup, dan menyebar secara acak ketempat-tempat lain di alam
semesta. Peningkatan entropi semesta selama selama sel hidup melakukan
aktivitas, merupakan fenomena menarik karena sifatnya yang tidak dapat balik
(irreversible). Organisme hidup secara terus menerus memberikan entropi ke
lingkungannya untuk mempertahankan keteraturan internal organisme tersebut.
Sel hidup memperoleh energi dari makanannya. Sel heterotrop
memperoleh energi bebas dari molekul nutrient yang kaya energi, dan sel
fotosintetik memperoleh energi bebas dari radiasi matahari yang diserap. Kedua
jenis sel ini mengubah energi bebas yang masuk menjadi bentuk umum energi
kimia, dan menggunakannya untuk aktivitas sel melalui proses yang tidak
melibatkan perubahan suhu secara nyata. Dengan kata lain, sel adalah mesin
kimia yang bekerja pada suhu dan tekanan tetap.
Bagaimana perhitungan energi bebas Gibbs (G) tersebut?.
Perubahan energi bebas (G) dapat dihitung dari harga tetapan kesetimbangan
pada keadaan standar. Hukum ke II menyatakan, jika suatu sistem tertutup dibiarkan,
sistem cenderung menuju keseimbangan. Hubungan perubahan energi bebas
berhubungan dengan konstanta equilibrium dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Jika G negatif (< 0), reaksi disebut eksergonik. Reaksi ini berlangsung
secara spontan, dan reaksi kebalikanya tidak akan dapat berlangsung.
2. Jika G positif (> 0), reaksi disebut endergonik. Reaksi tedak akan trjadi
secara spontan ke kanan, dan reaksi kebalikannya akan berlangsung secara
spontan.
3. Jika G sama dengan 0, reaksi berada dalam keadaan keseimbangan, tidak ada
selisih perbedaan arah reaksi.
………….
…………… (2)
Dengan mengganti hubungan antara energi Gibbs dan tegangan (pers. 3)
menghasilkan:
……………….……..
………. (3)
Persamaan akhir ini disebut persamaan Nernst. Persamaan ini dapat
digunakan untuk menghitung potensial, potensi titik tengah, dan konsentrasi
reaktan dan produk. Perhatikan bahwa ketika konsentrasi dari zat yang tereduksi
dan teroksidasi adalah sama, maka harga potensial E sama dengan E0, selanjutnya
konstanta ini disebut potensial titik tengah reaksi oksidasi/reduksi (E m). .Banyak
reaksi biologis melibatkan proton sehingga potensial titik tengah didefinisikan
pada pH 7. Potensial titik tengah untuk molekul biologis ditabulasikan pada Tabel
1. Tabel ini memberikan dasar bagi reaksi transfer electron. Secara umum,
meningkatkan potensial titik tengah sesuai dengan afinitas yang lebih besar untuk
electron, sehingga meningkatkan kemampuan oksidasi.
proton.
Gambar 6. Oksidasi NAD+ menjadi NADH adalah proses dua-elektron
dengan pelepasan hanya satu proton
Di samping faktor-faktor seperti pH dan kekuatan ion dari larutan sekitar protein,
potensial titik tengah dari suatu kofaktor dalam protein bisa bervariasi hingga 0,5
V dibandingkan dengan nilainya dalam larutan adanya interaksi kofaktor-protein.
Faktor yang paling kritis adalah ligasi dari kofaktor yang secara istimewa akan
menstabilkan keadaan (fraksi) yang tereduksi atau teroksidasi. Misalnya, besi
heme memiliki dua ligan aksial. Salah satu ligan aksial adalah donor elektron
yang lebih baik dengan daya tarik yang lebih besar untuk Fe 3+ (dibahas pada Bab
tentang mitokondria dan glukogenesis). Ligan ini akan menstabilkan keadaan
teroksidasi dan menurunkan potensial titik tengah. Heme sitokrom dengan dua
ligan aksial biasanya memiliki potensial titik tengah lebih negatif dari pada hemes
dengan satu ligan metionin dan satu histidin karena imidazol dari rantai samping
histidin adalah donor elektron lebih baik dari sisi rantai samping metionin.
Gambar 8. Rumus struktur histidin dan metionin
Gambar 11. Struktur Kimia ATP, dengan gugus fosfat terminal (diarsir)
Gambar 12. Model molekul ATP (model bola)
…………………………(8)
Sebagian sel mempertahankan konsentrasi ATP, ADP, fosfat anorganik
dalam rentang yang sangat sempit. Konsentrasi yang khas bagi ATP dan fosfat
anorganik umunya adalah 2,5 dan 2,0 mM, dengan konsentrasi ADP yang lebih
rendah sebesar 0,25 mM. Dengan memasukkan konsentrasi tersebut ke dalam
persamaan (8) dihasilkan perubahan energi bebas yang lebih negatif (sebesar –52
kJ mol–1 pada 298 K dan pH 7) daripada nilai energi bebas standar. Dalam sel,
konsentrasi ATP relatif konstan dalam keadaan seimbang, dimana kecepatan
pembentukan ATP diimbangi oleh kecepatan degradasinya. Dalam hal ini, gugus
fosfat ujung pada ATP mengalami penguraian dan pergantian secara terus menerus
dari fosfat anorganik selama metabolism sel.
Pada pH = 7,0 kedua senyawa ATP dan ADP terdapat sebagai anion ATP4–
dan ADP3–, karena hampir semua kandungan fosfat mengion semprna pada pH
ini. Namun, dalam cairan intra sel yang mengandung Mg2+ pada konsentrasi
tinggi, ATP dan ADP akan membentuk senyawa kompleks MgATP2– dan
MgADP– (Gambar 13). Dalam banyak reaksi enzimatik yang melibatkan ATP
Pada keadaan standar (baku), ATP4–, ADP3–, dan HPO42–, berada pada
konsentrasi 1,0 M. Namun, pada pH = 7,0 (pH standar bagi perhitungan Go),
konsentrasi ion hydrogen (H+) hanya menjapai 10–7 M. Menurut hukum aksi
massa, kesetimbangan hidrolisis cenderung tertarik jauh ke kanan, karena
konsentrasi H+ pada pH = 7,0 sangat kecil dibandingkan dengan konsentrasi
standar komponen reaksi lainnya (sebesar 1,0 M).
Kedua, pada pH = 7,0, molekul-molekul ATP memiliki empat muatan
negatif yang letaknya berdekatan dan saling tolak menolak dengan kuat (Gambar
11). Jika ikatan fosfat ujung terhidrolisis, sebagian diantara tegangan listrik di
dalam molekul ATP dibebaskan karena terpisahnya produk bermuatan negatif
ADP3–, dan HPO42–. Produk-produk ini hanya sedikit yang cenderung bergabung
kembali dan bereaksi kearah sebaliknya untuk membentuk ATP kembali (dalam
hal ini kedua produk saling bertolakan untuk bergabung). Sebaliknya pada
hidrolisis glukosa 6-fosfat, menghasilkan glukosa yang tidak bermuatan dan satu
produk lain yang bermuatan (yaitu HPO 42–), kedua produk ini tidak saling
bertolakan untuk bergabung kembali, sehingga kecenderungan reaksi kea rah kiri
cukup tinggi untuk membentuk glukosa 6-fosfat kembali.
Glukosa 6-fosfat2– + H2O glukosa + HPO42– …………… (10)
HPO42–) merupakan hybrid resonansi, yaitu suatu bentuk stabil yang khusus
dengan electron tertentu dalam konfigurasi yang memiliki lebih sedikit energi,
dibandingkan dengan kedudukan aslinya dalam bentuk ATP. Jadi, jika ATP
dihidrolisis, electron pada produk ADP3–, dan HPO42– dapat turun drastis menuju
tingkat energi yang lebih rendah dibandingkan dengan ATP. Keadaan ini
menyebabkan ADP3– dan HPO42– saling dibebaskan satu sama lain, akibatnya
menghasilkan energi bebas yang lebih rendah dibandingkan dengan jika kedua
senyawa tersebut masih bergabung dalam bentuk aslinya ATP.
………………
(11)
Dengan perbedaan pH, ungkapan perbedaan energi Gibbs dapat ditulis ulang:
…………… (12)
Gambar 15. Representasi skematik yang menunjukkan keterlibatan dari
empat kompleks protein, yang diidentifikasi sebagai
kompleks I-IV, dan ATP sintase dalam hipotesis
kemiosmotik.
…………………………………..... (14)
Eksperimen telah menetapkan bahwa hanya nilai Δp yang sangat penting
untuk sintesis ATP. Dalam thylakoids, potensi membran yang kecil dan begitu
pula Δp, terutama disebabkan oleh perbedaan pH pada membran, meskipun pada
tanaman potensial membran mungkin lebih besar.
C2. Kompleks protein I – IV
Dalam hipotesis kemiosmotik telah diidentifikasi adanya kompleks protein
I – IV dan ATP sintase. Jalur seluler untuk pengembangan kekuatan protonmotive
dilakukan oleh membrane empat kompleks protein tersebut. Kompleks I, disebut
juga NADH: oksidoreduktase ubiquinone, merupakan enzim-kDa 850 yang terdiri
dari lebih dari 40 subunit protein, termasuk flavoprotein yang mengandung-FMN
dan beberapa kofaktor besi-belerang. Kompleks I mengkatalisis konversi NADH
ke NAD+, yang dikopling untuk mentransfer elektron ke ubiquinone dan
pemompaan proton dari matriks ke ruang antar membran:
………….. (15)
Kompleks II, atau dehidrogenase suksinat, adalah sebuah enzim 140 kDa
yang mengandung sejumlah kofaktor. Kompleks II ini merupakan pasangan enzim
transfer elektron dari suksinat ke fumarat dengan konversi FAD ke FADH 2
(Gambar 16). Dalam reaksi ini, elektron bergerak dari suksinat melalui FAD dan
kofaktor besi-sulfur ke ubiquinone. Kompleks I dan II, bersama-sama dengan
protein acyl-CoA dehidrogenase, ETF: oksidoreduktase ubiquinone, dan 3-fosfat
dehidrogenase gliserol, menghasilkan ubiquinone tereduksi (QH 2), yang
kemudian dioksidasi kembali oleh kompleks III.
FAD
Kompleks III disebut juga komplek sitokrom bc1, yaitu protein 250-kDa
dengan 11 subunit protein dan sejumlah heme serta pusat-pusat besi-sulfur.
Pasangan kompleks III transfer elektron dari ubiquinones ke sitokrom c disertai
dengan tranfer proton dari matriks melewati membran ke ruang antarmembran.
Reaksi oksidasi /reduksi bersih, sering disebut siklus Q, pasangan transfer
elektron dari ubiquinones dengan transfer proton melintasi membran sel ditulis:
………………………………………………
…… (16)
Kompleks IV, yang juga bernama oksidase sitokrom, melengkapi rantai
pernapasan. Ukuran kompleks IV bervariasi untuk setiap organisme yang berbeda,
dari tiga atau empat subunit protein kecil pada bakteri mencapai 13 sel eukariotik.
Heme dan kofaktor tembaga melakukan reduksi terhadap empat-elektron
seluruhnya dari oksigen melalui suatu mekanisme yang berurutan tanpa pelepasan
intermediet:
…………………………………………… (17)
C3. ATP Sintase
Strategi mengatasi reaksi endotermik oleh kopling reaksi dengan hidrolisis
ATP telah digunakan dalam semua sel hidup untuk sintesis intermediet
metabolisme dan komponen selularnya. Untuk menjadi praktis, ATP harus tersedia
cukup untuk menggerakkan reaksi tersebut. Dalam reaksi ini, transfer proton
melintasi membran sel dan digunakan untuk mendorong sintesis ATP dari ADP
melalui transfer proton dari ruang antarmembran ke matriks:
……………….. (18)
Kompleks enzim ATP sintase ini memiliki dua domain, yang diidentifikasi
sebagai F0 dan F1, dengan domain enzim kloroplas dilambangkan sebagai CF0 dan
CF1. Enzim ATP sintase dari sel yang berbeda memiliki komposisi dan struktur
yang sama. Domain F1 memiliki tiga salinan (copy) subunit α dan β, serta satu
salinan F1 lainnya, yaitu subunit δ, γ, dan ε. Komposisi dari domain F0 berbeda
pada organisme yang berbeda, dengan enzim bakteri dan enzim mitokondria
memiliki satu salinan dari subunit a, dua salinan dari subunit b (atau subunit
analog), dan 10 – 14 salinan dari subunit c.
Struktur tiga dimensi dari domain F1 menunjukkan bahwa α dan β berada
dalam susunan heksamerik, tetapi dengan masing-masing subunit menunjukkan
konformasi yang berbeda yang mencerminkan tiga keadaan fungsional yang
berbeda: terikat dengan ATP, terikat dengan ADP, dan dengan ikatan situs kosong
(Gambar 17). Di pusat adalah subunit γ tunggal yang membentuk suatu struktur,
panjang heliks membungkuk di tengah struktur F 1 tersebut. Subunit γ adalah
struktur asimetris dan berinteraksi dengan hanya salah satu dari ketiga subunit β.
2. Mathew, C.K., and Van Halde. 1996. Biochemistry. 2nd Ed. The
Benjamin / Cummings Publishing Company, Inc. California.