Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM KETENAGAKERJAAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


BURUH/TENAGA KERJA PEREMPUAN HAMIL

Oleh :
Friska Ningtyas Oktaviany
(201610110311303)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
A. Kasus Posisi
Tirto.id - Hermina tak menyangka hari itu akan jadi hari tersial dalam
hidupnya. Usia kandungan Hermina, bukan nama sebenarnya, saat itu 7,7
bulan. Perut buncitnya sudah kepalang besar untuk dilewatkan mata awam,
harusnya tak terkecuali mata sang pengawas. Hermina hakul yakin tentang hal
itu. Maka, ia sempat keberatan ketika menerima instruksi untuk mengambil
setengah karung hasil cuci di laundry room: ruang khusus yang memuat
beragam bahan kimia untuk membersihkan baju sebelum dikemas. Lepas 12
jam berlalu, ketuban Hermina pecah. Kurang dari 24 jam berikutnya, anak
pertamanya lahir. Kemalangan tak bisa ditampik, bayi Hermina yang lahir
prematur hanya mampu bertahan hidup empat jam karena paru-parunya tidak
berkembang sempurna.
Belum hilang duka, perempuan 24 tahun ini harus menghadapi masa habis
kontrak kerja. Saat itu Hermina bekerja di sebuah perusahaan garmen di
Kawasan Berikat Nusantara Cakung, satu kompleks industri bertujuan ekspor
di perbatasan Jakarta Timur-Jakarta Utara. Alih-alih mendapatkan cuti
keguguran atau keringanan perpanjangan kontrak, masa kerja Hermina
dihentikan dengan sisa kontrak 17 hari dan gaji UMR. Hermina tak ingin
menyebut nama perusahaan itu karena takut namanya dicoret jika punya
kesempatan melamar lagi. Seumur hidupnya, Hermina telah pindah kerja 5 kali
selama 3 tahun di KBN Cakung, dengan sistem kerja kontrak, tak pernah
diangkat jadi karyawan tetap.
Tari, bukan nama asli, juga bernasib serupa Hermina. Kandungannya
berusia 6 bulan saat si janin terlahir prematur di rumahnya. Lahir tanpa
perawatan dokter mengakibatkan nyawa bayinya tak terselamatkan. Usai
keguguran, Tari harus rutin mengirim surat sakit dari dokter karena perusahaan
melarang cuti keguguran. Jika tidak, ia akan kehilangan upah harian, bahkan
bisa diberhentikan perusahaan. Sayangnya, dokter hanya bisa memberikan tiga
kali surat keterangan sakit karena tak bisa diperpanjang terus-menerus.
Akhirnya, ia hanya sempat beristirahat 9 hari selepas keguguran.
Perusahaan mengabaikan cuti keguguran melanggar UU Ketenagakerjaan
Nomor 13 Tahun 2003, yang mengatur seorang buruh perempuan berhak

2
memperoleh istirahat selama 1,5 bulan usai keguguran. Tapi, Tari tak tahu itu.
Ia hanya takut dipecat dan kepayahan mencari pekerjaan lagi. Sebelum
mengalami keguguran saja ia sudah sempat disuruh menandatangani
pengunduran diri. “Katanya bakal diganti dua kaleng besar susu bubuk,”
ungkap Tari, tanpa pesangon atau uang apa pun.
Bagi buruh-buruh perempuan di KBN Cakung, menjadi hamil memang
lebih sering dianggap pertanda buruk ketimbang berkah. “Karena bisa jadi
tanda hilangnya kesempatan perpanjangan kontrak kerja, atau bahkan malah
jadi dapat tekanan-tekanan untuk berhenti kerja, atau disuruh mengundurkan
diri,” kata Vivi Widyawati, peneliti di Perempuan Mahardika, kepada saya.
Perempuan Mahardika, organisasi nirlaba yang fokus pada perlindungan
perempuan dari kekerasan seksual, pernah melakukan penelitian tentang hak
maternitas buruh perempuan di Cakung, yang dirilis pertengahan 2017.
Hasil penelitiannya miris. Pemahaman hak maternitas masih rendah di
kalangan buruh, sementara perusahaan “atas nama efisiensi, produksi, dan
finansial,” kata Vivi, "acapkali lepas dari kewajiban memenuhi hak-hak
buruh." Dari total 773 buruh perempuan di KBN Cakung yang mengikuti
survei Perempuan Mahardika, dalam periode 2015-2017, ada 118 buruh
garmen perempuan yang pernah hamil dan sedang hamil. Sebanyak 93 orang
di antaranya pernah hamil, dan 25 orang sedang hamil saat mengisi survei.
Sebanyak 13 orang dari 25 tersebut berstatus kontrak. Sebanyak 30 orang atau
25,4 persen dari mereka yang pernah hamil saat bekerja harus tetap lembur
selama masa hamil; 42 buruh tidak dapat izin periksa kandungan dari atasan.
Meski ada 72 buruh yang pernah hamil mendapatkan cuti melahirkan dari
perusahaan selama 3 bulan dan 2 buruh mendapatkan cuti melahirkan kurang
dari 3 bulan, tetapi ada 19 buruh yang tidak mendapatkan cuti melahirkan.
Mahardika bertemu 7 buruh yang pernah mengalami keguguran, termasuk Tari
dan Hermina. Tiga dari tujuh buruh itu tidak mendapatkan cuti keguguran.
'Menyembunyikan Kehamilan' agar Kontrak Kerja Diperpanjang Salah satu
penyebab para buruh tak paham hak-haknya, termasuk hak cuti hamil,
keguguran, melahirkan, bahkan mendapatkan ruang laktasi, adalah faktor
pendidikan yang rendah.

3
Kebanyakan buruh yang bekerja di KBN Cakung datang dari latar ekonomi
menengah ke bawah. Jumisih, ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP),
salah satu serikat buruh di KBN Cakung, berkata bahkan kebanyakan
perempuan yang bekerja di Cakung memulai dari usia muda. “Banyak banget
yang pekerjaan pertamanya itu sebagai buruh garmen,” kata Jumisih. FBLP
punya seribuan anggota, terdiri dari berbagai perusahaan di KBN Cakung, dan
mayoritasnya perempuan. Data yang dimiliki Perempuan Mahardika berbunyi
senada. Dari 773 buruh yang disurvei, 237 orang mulai bekerja sejak usia 21–
25 tahun. Sebanyak 107 buruh memulai bekerja di Cakung sejak usia 17 tahun,
dan 234 buruh perempuan memulainya sejak usia 18–20 tahun. Hanya 196
orang memulai kerja pada usia lebih dari 25 tahun. Lowongan kerja di KBN
Cakung sering tersedia buat para perempuan berusia 17-25 tahun. “Kalau di
atas itu sudah susah keterima biasanya,” kata Jumisih. “Yang sudah kerja saja
kalau umur 25 ke atas, sudah tidak tenang. Mikir-mikir apa kontraknya
diperpanjang atau tidak.”
Sistem kerja kontrak hanya setahun, setengah tahun, bahkan ada yang tiga
bulan, menjadi problem akut yang menjerat kaki-kaki buruh. Hermina dan Tari,
misalnya. Mereka susah protes karena takut kontrak diputus. Sementara dapur
harus senantiasa ngebul. Menjadi buruh garmen menjadi jalan keluar mereka,
bukan karena mereka tidak giat bekerja atau tak punya impian besar, tapi
pilihan itu seringkali satu-satunya opsi yang paling tersedia dan masuk akal.
Vivi Widyawati menemukan ada fenomena kalangan buruh perempuan di
KBN Cakung menyembunyikan kehamilannya. “Mereka sengaja enggak
bilang ke pengawas, supaya enggak ditandai. Kalau sampai ketahuan hamil
muda, sama saja dengan memperpendek kontrak kerja yang sedang
diperbarui,” ujar Vivi. Biasanya, kontrak kerja buruh perempuan yang hamil
muda hanya diperpanjang tiga bulan. Artinya, saat masa kontrak telah habis
sebelum masa melahirkan. Dengan begitu perusahaan tak perlu memberikan
cuti hamil, yang bisa berefek pada pengeluaran perusahaan. Kami juga
menerima pengakuan para buruh yang menyebut "uang menstruasi" sebagai
ganti hak cuti haid. Di beberapa perusahaan, para buruh seolah-olah diberi
pilihan untuk tidak memakai cuti haid yang bisa digantikan upah lebih.

4
Fenomena ini akhirnya merugikan buruh perempuan yang hamil, karena
akhirnya kehilangan hak atas "uang menstruasi" yang biasanya diterima tiap
bulan. Sayang, kebanyakan sumber tak ingin menyebut nama perusahaan yang
pernah atau sedang jadi tempat kerja mereka. Sebab, sistem kontrak di KBN
Cakung memaksa para buruh untuk tetap aman agar terus bisa bekerja di
industri garmen meski harus berpindah-pindah perusahaan.

B. Analisa terkait Hukum dengan Kasus Posisi


Dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa :
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah)
bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau
bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai
dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.1

Pasal tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap Buruh/Tenaga


Kerja Perempuan akan Hak cuti hamil dan cuti melahirkan. Sedangkan Dalam
hal ini Penulis menemukan bukti bahwa Perusahaan/Pemberi Kerja belum
memenuhi hak pekerja untuk cuti hamil dan melahirkan hal ini sebagaimana
terurai dalam kasus posisi yang menandakan bahwa buruh yang bekerja sangat
kesulitan untuk mendapatkan cuti dalam hal kehamilan dan kelahirannya.
Pasal 76 Ayat (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 Pasal 76 ayat 2
menyatakan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan perempuan hamil
yang bisa berbahaya bagi kandungannya dan dirinya sendiri. Hal tersebut
merupakan hak Pekerja/Tenaga Pekerja atas Perlindungan selama masa
kehamilan, dimana Perusahaan/Pemberi kerja wajib menjamin perlindungan
bagi pekerja wanita yang sedang hamil, karena pekerja yang sedang hamil

1
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

5
berada dalam kondisi yang sangat rentan oleh karena itu harus dihindarkan dari
beban pekerjaan yang berlebih.
Dalam hal ini pengusaha atau pemberi kerja dinilai belum menjamin
terlindungnya hak buruh selama masa kehamilan dengan adanya fakta bahwa
pekerja kesulitan untuk mendapat cuti dan perlindungan keselamatan dan
kesehatan dalam bekerja. Salah satunya terurai dalam kasus saudari Vivi yang
selama masa kehamilan tetap bekerja untuk mengambil laudry dengan jumlah
berat dan ditempat yang mengandung banyak bahan kimia yang dapat
mengancam keselamatan ibu dan calon bayinya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial
tenaga kerja, perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 10 tenaga kerja atau
membayar upah paling sedikit Rp 1.000.000/bulan wajib mengikut sertakan
karyawannya dalam program Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja). Salah
satu program jamsostek adalah jaminan pemeliharaan kesehatan yang
mencakup pemeriksaan dan biaya persalinan. Hal tersebut merupakan hak
terhadap biaya persalinan.
Dalam hal ini, berdasarkan uraian kasus posisi diatas belum menunjukkan
adanya pemenuhan jaminan biaya persalinan sebagaimana seharunya dipenuhi
oleh perusahaan berdasarkan Undang-undang No. 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan sosial tenaga kerja.
Pasal 83 Undang-Undang No 13 tahun 2003 menyatakan bahwa pekerja
yang menyusui minimal diberi waktu untuk menyusui atau memompa ASI
pada waktu jam kerja. Hal tersebut merupakan Hak Pekerja/Tenaga Kerja
dalam hal Hak Menyusui.
Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Setiap Pekerja/Tenaga Kerja Perempuan memiliki hak untuk cuti menstruasi
pada hari pertama dan kedua periode haidnya.
Dalam Posisi Kasus tersebut, penulis menilai bahwa perusahaan telah
melanggar hak cuti yang dimiliki pekerja/tenaga kerja perempuan. Dalam Hal
Hak Cuti menstruasi maupun Hak Cuti Keguguran.

6
Sedangkan Jika dikaji dalam segi Hak Asasi Manusia dalam Pasal 49 Ayat
(2) dan (3), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa :
(1) Wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang
dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan
dengan fungsi reproduksi wanita;
(2) Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi
reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.

Dalam hal ini Wanita mendapatkan hak khusus yaitu berhak untuk
mendapatkan perlindungan dalam perlaksanaan pekerjaan yang dapat
mengancam keselamatan dan/atau kesehatannya dengan fungsi reproduksi,
yang meliputi haid atau menstruasi, hamil maupun keguguran. Dalam kasus
posisi tersebut terbukti bahwa Perusahaan/Pemberi kerja dalam kasus posisi
Hermina dan Tari telah melakukan penyelewengan kewenangannya Hermina
dan Tari yang merupakan Tenaga Kerja Perempuan. Perusahaan/Pemberi Kerja
tersebut telah melanggar ketentuan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 49 Ayat
(2) dan (3). Perusahaan/Pemberi Kerja menyuruh Hermina untuk bekerja saat
usia kandungannya sudah 7 bulan, bahkan pekerjaan tersebut bisa berdampak
terhadap keselamatan dan/atau kesehatannya tersebut. Selain itu dalam kasus
tari perusahan atau pemeberi kerja melarang cuti keguguran dengan ancaman
tari akan kehilangaan upah harian,bahkan bisa dipaksakan diberhentikan oleh
perusahaan atau pemberi kerja. Selain dari kasus harmina dan tari, ada
beberapa pengakuan para buruh atau tenaga kerja wanita tidak mendapatkan
hak cuti haid, hal ini sebabkan para tenaga kerja wanita tidak sadar hukum atau
gampang diiming-imingi oleh pihak perusahaan atau tenaga kerja yang seolah-
olah memberi upah tambahan untuk mereka yang lagi haid dapat bekerja.

Anda mungkin juga menyukai