SKRIPSI
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
BERNADETHA RODEKA PINEM
F34061157
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Tanggal Lulus :
BERNADETHA RODEKA PINEM. F34061157. Pengaruh Penambahan H2O2 sebagai Bahan
Pemucat pada Proses Pemurnian Surfaktan MESA dari Jarak Pagar terhadap Sifat Fisiko
Kimia Surfaktan yang Dihasilkan. Di bawah bimbingan Erliza Hambali. 2010.
RINGKASAN
ABSTRACT
Surfactant is a surface active agent that capable to reduce surface and inter- facial tension.
One of them that can be developed prospectively is a MES surfactant that can be applied largely as a
cleaning agent. This condition based on the oil contain C18 of MES by the jatropha curcas has a
detergency nature that can be used as a cleaning agent. Methyl Ester Sulfonates (MES) is the
anionic surfactant made from vegetable oil that is now being developed. MES has the similar, or
even better than Linear Alkylbenzene Sulfonates that is now the most produced anionic
surfactant synthesized from petroleum. Jatropha curcas is potential to be developed as MES
feedstock because of oil contain and the C18 as a dominant of fatty acid composition.
Methyl Ester Sulfonates synthesis can be done by a chemical process of metyl ester as a
raw material with SO3 reactant. In this research, preparation of the sample carried out by the reaction
of the methyl ester with SO3 at a certain temperature condition with level 100oC and sampling sample
in the 3rd period (after 3 hours). The sulfonation process in this research using single tube falling film
reactor. Methyl ester input flow rate into the reactor is 100 ml/minute. For the perfect sulfonation,
process will be continued by aging process with 80 oC temperature condition and 45 minutes duration.
MESA produced in black color which is the main problem in its aplication as a cleaning
agent so that the purification process such as bleaching and neutralization process required. The
reason of usage the hydrogen peroxide as a bleaching agent because of its nature as a stronger oxidizer
and versatile oxidant which is both safe and effective. Afterwards, the proportion of H2O2
consentration to get the best purification process will be undertaken, because of H2O2 addition in the
certain concentration will be given the effect to the physic and chemical characteristic of product, so
that the best purification condition can be achieved.
This research purpose to learn the effect of the H2O2 addition as a bleaching agent in MESA
purificaton process of Methyl Ester Sulfonates Acid from Jatropha curcas L applicable to the
physic and chemical characteristic of the produced surfactant. Research was begun with the
Jatropha seeds pressing until the purification and analysis process. This research using single
factorial completely randomized design with two replications. The treatments used are bleaching
with 2, 4 dan 6% variation of H2O2 consentration followed by neutralization process so that the
neutral surfactant can be produced. From the physic and chemical analysis process of MESA, the
neutralized MESA, bleached MESA and bleached-neutralized MESA has an active matter value
from 18,94 to 23,47 percent, iodine value from 29,75 to 32,82 mg Iod/g MES, absorbency color
percent from 0,27 to 0,52 percent, and pH from 1,11 to 7,15.
Performance test shows that the bleaching and the bleaching-neutralization process in 2, 4
and 6% variation of H2O2 consentration have no significant effect in the iodine value, acid number,
pH, color and active matter of MESA. The best condition of MES purification process reached at
the bleaching process followed by neutralization. The bleaching process with 2% H2O2 addition can
fetched the physic and chemical characteristic as the same as with 4 and 6% H2O2 addition. This
condition was considered more economically because of the cost more cheaper than the other process
with more H2O2 addition. The physic and chemical analysis result of MESA from this condition are
iodine value reached about 31,02 mg I2/g MES, active matter about 23,47 percent, the color about
0,52 Absorbency percent and pH reached about 7,15.
BIODATA PENULIS
Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya, sehingga penulis mampu
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian
penulis yang dilakukan di Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC LPPM-IPB) dan
Laboratorium Surfaktan SBRC di PT. MAHKOTA INDONESIA, mulai bulan Maret sampai
Agustus 2010.
Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini penulis banyak sekali mendapatkan
bantuan baik secara moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih yang setulus- tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. Erliza Hambali selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam segala hal.
2. Bpk Taufik Djatna dan Ibu Endang selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan
saran yang membangun dalam penulisan skripsi saya
3. Kedua Orang Tua, Kakak dan Adik tercinta atas segala dukungan doa, motivasi, dan kasih
sayang yang telah diberikan.
4. Staff dan laboran Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC-LPPM IPB)
yang secara langsung dan tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
5. Staff dan pegawai di PT. MAHKOTA INDONESIA yang turut membantu dalam
penelitian ini.
6. Mba Renni, Mba Yenni, Mba Ira, Mba Susi, Mas Encep, Ka Anas, Ka Andrew, dan
lainnya yang juga penelitian di SBRC LPPM-IPB yang turut memberi semangat dan
berbagi ilmu kepada saya dalam penelitian ini.
7. Teman-teman satu team saya: Dini, Arya, Nunu dan teman dari team lain: Jaelani, Neli M.,
Lely dan seluruh teman TIN ’43 yang telah memberi semangat selama penelitian ini, serta
semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini belum tercipta suatu karya yang
sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
iv
5.1. KESIMPULAN .......................................................................................................... 35
5.2. SARAN ...................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 36
LAMPIRAN ............................................................................................................................. 39
v
DAFTAR TABEL
Halaman
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Buah jarak pagar (Jatropha curcas L) dan biji jarak pagar................................. 3
Gambar 2. Diagram alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan
berulir................................................................................................................... 5
Gambar 3. Reaksi esterifikasi................................................................................................ 7
Gambar 4. Diagram alir proses pembuatan metil ester ......................................................... 7
Gambar 5. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester....................................... 8
Gambar 6. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida menggunakan katalis basa……. 8
Gambar 7. Gambar molekul surfaktan dan gambaran mikroskopik surfaktan…………….. 10
Gambar 8. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi……………. 11
Gambar 9. Mekanisme reaksi pembentukan MESA ............................................................ 12
Gambar 10.
Reaksi sulfonasi pembuatan MES .....................................................................
13
Gambar 11. Reaksi kimia pembentukan disalt …………………………………………… 13
Gambar 12. Molekul hidrogen peroksida ………………………...……………………….. 16
Gambar 13. Reaksi pembentukan hidrogen peroksida .......................................................... 17
Gambar 14. Reaksi pemucatan oleh hidrogen peroksida ........................................................ 17
Gambar 15. Single tube falling film sulfonation reactor....................................................... 18
Gambar 16. Reaktor metil ester pilot plant SBRC dengan kapasitas 100 L ........................... 20
Gambar 17.
Diagram alir proses pemurnian yang dilakukan………….………………….…
22
Gambar 18. Diagram alir pelaksanaan
Gambar 19. Proses pengepresan biji jarak dengan alat pengepress berulir ............................ 25
Gambar 20. Proses pembuatan metil ester jarak pagar ........................................................... 27
Gambar 21. Reaksi sulfonasi yang terjadi pada ikatan rangkap metil ester……………….... 28
Gambar 22. Histogram pengaruh proses pemucatan terhadap nilai pH surfaktan MESA...... 29
Gambar 23. Pengaruh proses pemurnian terhadap tingkat warna surfaktan MESA............... 30
Gambar 24. Metil ester sulfonat sebelum dan sesudah pemucatan ….……………….…….. 31
Gambar 25. Reaksi netralisasi MESA..................................................................................... 32
Gambar 26. Pengaruh proses pemurnian terhadap bilangan iod surfaktan MESA ................ 32
Gambar 27. Pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA ........ 33
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
viii
I. PENDAHULUAN
Pengembangan biofuel dari jarak pagar sebagai salah satu sumber energi alternatif membuka
peluang bagi pengembangan produk turunan oleokimia yang bernilai tinggi, yaitu surfaktan.
Peningkatan potensi biodiesel dari jarak pagar menjadi surfaktan berarti akan meningkatkan nilai
tambah jarak pagar. Salah satu surfaktan yang prospektif untuk dikembangkan adalah surfaktan MES,
yang pemanfaatan terbesarnya adalah sebagai cleaning agent atau pembersih. Hal ini memungkinkan
dilakukan mengingat kandungan asam lemak C18 pada minyak jarak pagar mempunyai sifat
deterjensi yang sesuai untuk diaplikasikan sebagai bahan pembersih. Proses produksi surfaktan MES
dilakukan dengan menggunakan agen pensulfonasi gas SO3. Kelebihan surfaktan MES dibandingkan
surfaktan berbasis petrokimia adalah sebagai berikut: bersifat terbarukan, mudah didegradasi (good
biodegradability), karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan
tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, pada konsentrasi MES yang lebih
rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim
yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt)
lebih rendah.
Proses sulfonasi metil ester memerlukan mol ratio SO3 yang lebih besar dibandingkan bahan
baku dari petroleum dan memerlukan tahapan aging dengan temperatur tinggi. Proses sulfonasi yang
dapat terjadi pada ikatan rangkap, ikatan α atom C, serta pada gugus karboksil ini menyebabkan
terjadinya proses oksidasi sehingga menimbulkan warna gelap pada produk surfaktan yang dihasilkan.
Warna gelap inilah yang menjadi masalah dalam aplikasinya sebagai cleaning agent atau pembersih
sehingga harus dilakukan proses pemucatan. Proses pemucatan tersebut dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu metode secara kimia dan fisika. Pemucatan secara fisika sebagai contoh
hidrogenasi, memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik sehingga butuh biaya investasi
yang lebih mahal serta sulit dilakukan. Sedangkan metode kimia dapat dilakukan dengan
menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan hanya pencampuran dengan adsorben atau senyawa
pengomplek tertentu. Pemucatan dengan bahan kimia lebih banyak digunakan karena hasilnya yang
lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Bahan kimia yang bertindak sebagai
pemucat atau yang disebut dengan bleaching agent terdiri dari hidrogen peroksida, ammonium
persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, sodium hipoklorit, klorin, klorin dioksida, potassium
permanganat, fluorin, ozon dan hidroksil radikal. Hidrogen peroksida merupakan oksidator yang
lebih kuat dibandingkan dengan klorin, klorin dioksida dan potassium permanganat. Di samping itu,
dengan adanya katalis, H2O2 dapat dikonversi menjadi hidroksi radikal dengan tingkat reaktivitas
kedua setelah fluorin (salah satu bahan pemucat dengan tingkat potensial oksidasi lebih tinggi dari
hidrogen peroksida). Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup baik hanya diperoleh
dengan larutan hidrogen peroksida yang cukup kuat. Kelebihan hidrogen peroksida lainnya
dibandingkan dengan oksidator lain, yaitu aplikasinya yang dapat disesuaikan dengan mengatur
jumlah konsentrasi yang ditambahkan serta sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak
meninggalkan residu yang berbahaya. Konsentrasi H2O2 yang ditambahkan ke dalam suatu larutan
berbeda-beda tergantung pada bahan baku, tujuan proses, serta produk akhir yang dihasilkan karena
adanya penambahan hidrogen peroksida tersebut dapat mempengaruhi sifat fisiko kimia produk yang
dihasilkan.
Untuk mencapai tujuan kegiatan penelitian, dilakukan proses esterifikasi dan transesterifikasi
untuk mendapatkan metil ester dari jarak pagar, proses pemurnian metil ester jarak pagar yang
dihasilkan, proses sulfonasi metil ester yang dihasilkan dengan gas SO3, serta perbaikan proses
pemurnian surfaktan MES yang dihasilkan, meliputi perbaikan proses bleaching dan netralisasi
dengan penambahan H2O2 sebagai bahan pemucat sehingga dapat diketahui pengaruh penambahan
H2O2 tersebut terhadap surfaktan yang dihasilkan melalui analisis sifat fisiko kimia surfaktan yang
dihasilkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan H2O2 sebagai bahan
pemucat pada proses pemurnian surfaktan MESA jarak pagar terhadap sifat fisiko kimia surfaktan
MES yang dihasilkan. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui kondisi proses pemurnian yang
optimal dari beberapa konsentrasi H2O2 yang ditambahkan melalui analisis fisiko kimia surfaktan
MES.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Jarak pagar (Jatropha curcas L) telah lama dikenal masyarakat luas di Indonesia sejak
dikenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942. Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang
mempunyai potensi menghasilkan minyak nabati (minyak jarak/curcas oil) sebagai bahan baku energi
baru terbarukan termasuk sebagai biodiesel. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang di lahan
marginal/kering sehingga dapat dikembangkan di wilayah Indonesia Timur. Selain sebagai upaya
konservasi lahan, meningkatkan pendapatan masyarakat penanaman jarak pagar ini juga sebagai salah
satu alternatif sumber bahan baku enegi terbarukan (Hambali, 2009).
Jarak pagar memiliki buah yang terdiri dari daging buah, cangkang biji dan inti biji. Buah
berupa buah kotak berbentuk bulat, diameter 2 – 4 cm, berwarna hijau ketika masih muda dan kuning
jika masak. Buah jarak terbagi 3 ruang yang masing-masing ruang diisi 3 biji. Biji berbentuk bulat
lonjong, warna coklat kehitaman. Inti biji merupakan sumber bagian yang menghasilkan minyak
dengan proses awal ekstraksi. Kandungan minyak yang terdapat dalam biji baik cangkang maupun
buah berkisar 25-35% berat kering biji. Jarak pagar mampu menghasilkan 7,5-10 ton/ha/tahun
tergantung dari kualitas benih, agroklimat, tingkat kesuburan tanah dan pemeliharaan (Hambali et al.,
2007). Sebagai perhitungan kasar produksi crude jatropha oil (CJO), dari 1 ton biji kering maka dapat
diperoleh minyak hasil ekstraksi sebesar 250-270 kg minyak jarak. Minyak jarak pagar berwujud
cairan bening berwarna kuning dan tidak menjadi keruh sekalipun disimpan dalam jangka waktu lama.
Penampakan dari buah dan biji jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Buah Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) dan Biji Jarak pagar
(www.Chem-Is-Try.Org)
Hal yang membedakan jarak pagar dengan tanaman jarak lainnya adalah persentase
komponen penyusun dan kandungan asam lemaknya. Komponen penyusun pada jarak pagar
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen Penyusun Biji Jarak Pagar
34.38 a
Minyak (% b/b) 56.8− 58.4 b
17.08 a
Protein (% b/b) 22.2 – 27.2 b
29.40±1.04 c
Serat (% b/b) 22.96 a
2.57±0.35 c
3.17 a
Abu (% b/b) 3.6 – 4.3 b
5.77 a
5.00 ±0.01 c
Karbohidrat (% b/b) 16.89±0.91 c
Sumber : Winkler et al. (1997) a , Gubitz et al. (1999) b, Peace dan Aladesanmi (2008) c
Proses ekstraksi jarak pagar menjadi minyak dilakukan secara mekanik menggunakan mesin
press, baik sederhana dengan skala kecil maupun skala produksi industri. Jenis alat press dibedakan
menjadi dua macam yaitu press hidrolik (hydraulic pressing) dan press ulir (expeller pressing) yang
memiliki kelemahan dan keunggulan masing masing, biasanya disesuaikan dengan tingkat produksi
minyak. Setelah biji jarak dikeringkan dan disortir berdasarkan kualitas, biji jarak pagar dimasukkan
ke dalam mesin press mekanik. Hasil pengepresan diperoleh minyak mentah atau crude jatropha oil
(CJO) dan bungkil berupa sisa ampas. Untuk memurnikan CJO selanjutnya dilakukan penyaringan
dan diperoleh limbah berupa sludge. Beberapa industri pengolahan mengikutkan cangkang inti biji
untuk proses, sehingga tidak diperlukan proses pengelupasan cangkang dari inti buah (Hambali et al.,
2007).
Teknik pengepresan mekanis merupakan suatu cara pemisahan minyak dari bahan yang berupa
biji-bijian dan paling sesuai untuk memisahkan minyak dari bahan yang kadar minyaknya tinggi yaitu
sekitar 30-70 persen. Kandungan minyak jarak pagar dalam biji adalah sekitar 20 - 35 persen. Teknik
pengepresan biji jarak dengan menggunakan ulir (screw) merupakan teknologi yang lebih maju dan
banyak digunakan di industri pengolahan minyak jarak saat ini. Dengan cara ini biji jarak dipress
menggunakan pengepresan berulir (screw) yang berjalan secara kontinyu. Teknik ekstraksi ini tidak
memerlukan perlakuan pendahuluan bagi biji jarak yang akan diekstraksi. Biji jarak kering yang akan
diekstraksi dapat langsung dimasukkan ke dalam screw press. Tipe alat pengepres berulir yang
digunakan dapat berupa pengepres berulir tunggal (single screw press) atau pengepres berulir ganda
(twin screw press). Rendemen minyak jarak yang dihasilkan dengan teknik pengepres berulir tunggal
(single screw press) sekitar 25 - 27 persen, sedangkan dengan teknik pengepres berulir ganda (twin
screw press) dihasilkan rendemen minyak sekitar 27 - 30 persen. Pada Gambar 2 disajikan diagram
alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan berulir (Hambali et al., 2009).
(sistem kontinyu)
Minyak jarak
Gambar 2. Diagram alir proses pengepresan biji jarak menggunakan metode pengepresan berulir
(Hambali et al., 2009)
Alat ekstraksi minyak jarak yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi
(SBRC)-LPPM IPB adalah alat press tipe ulir (screw press). Bahan yang masuk ke dalam alat akan
terdorong ke depan, kemudian bahan akan mendapat tekanan yang semakin membesar sampai berada
di ujung alat. Tekanan ini menyebabkan keluarnya minyak dari bahan. Minyak jarak masih
mengandung kotoran yang terbawa selama pengepresan sehingga perlu dilakukan penyaringan. Pada
Tabel 2 disajikan spesifikasi mutu minyak jarak pagar berdasarkan beberapa literatur.
Menurut Hambali, et al. (2007), minyak jarak pagar mengandung 21% asam lemak jenuh
dan 79% asam lemak tak jenuh. Adapun komposisi asam lemak pada minyak jarak pagar dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Asam Lemak pada Minyak Jarak Pagar
Kandungan asam lemak Presentase (%)
Asam lemak dominan pada minyak jarak pagar adalah asam oleat, asam linoleat, dan
asam palmitat. Asam oleat dan asam linoleat merupakan asam lemak tak jenuh, sedangkan
asam palmitat merupakan asam lemak jenuh. Asam oleat merupakan asam lemak yang
terdapat di sebagian besar minyak atau lemak dengan rata-rata komposisinya 50% dari total asam
lemak. Menurut Sheats dan MacArthur (2002), semakin tinggi jumlah asam lemak tak jenuh
dalam suatu minyak, maka akan menyebabkan minyak tersebut semakin mudah teroksidasi.
Keuntungan minyak jarak pagar apabila dibuat menjadi metil ester (biodiesel) antara lain
adalah minyak jarak pagar tidak termasuk kategori minyak makan (edible oil) sehingga
pemanfaatannya tidak mengganggu penyediaan kebutuhan minyak makan. Minyak jarak pagar tidak
dapat dikonsumsi manusia karena mengandung racun yang disebabkan adanya senyawa forbol ester
dan cursin (Hambali et al., 2007).
Metil ester atau biodiesel merupakan salah satu jenis bahan bakar yang bersifat terbarukan
karena bersumberkan dari sumber daya hayati, seperti minyak nabati. Minyak nabati memiliki potensi
sebagai sumber bahan bakar yang terbarukan, sekaligus sebagai alternatif bahan bakar minyak yang
berbasis petroleum atau minyak bumi (Hambali et al., 2007).
Biodiesel sebagai bahan bakar alternatif memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar
diesel petroleum (Haryanto, 2007). Kelebihan tersebut antara lain (1) merupakan bahan bakar yang
tidak beracun dan dapat dibiodegradasi, (2) mempunyai bilangan setana yang tinggi, (3) mengurangi
emisi karbon monoksida, hidrokarbon dan NOx dan (4) terdapat dalam fase cair. Hambali et al. (2007)
menambahkan bahwa penggunaan biodiesel memiiki keuntungan antara lain emisi biodiesel bebas
sulfur, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi beban impor akan bahan bakar, serta
karakteristik biodiesel tidak berbeda jauh dengan solar.
Biodiesel dapat diproduksi melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi maupun keduanya,
tergantung pada jumlah asam lemak bebas yang terdapat pada minyak jarak tersebut. Reaksi
transesterifikasi adalah reaksi alkoholisis, yang hampir sama dengan reaksi hidrolisis tetapi
menggunakan alkohol. Reaksi ini bersifat reversibel dan menghasilkan alkil ester dan gliserol.
Alkohol berlebih digunakan untuk memicu reaksi pembentukan produk. Transesterifikasi bertujuan
untuk menurunkan viskositas minyak jarak dan meningkatkan daya pembakaran sehingga dapat
digunakan sesuai standar minyak diesel untuk kendaraan bermotor (Joelianingsih et al., 2006).
Sumber alkohol yang digunakan dapat bermacam-macam. Apabila direaksikan dengan
metanol, maka akan didapat metil ester, apabila direaksikan dengan etanol akan didapat etil ester.
Metanol lebih banyak digunakan sebagai sumber alkohol karena rantainya lebih pendek, lebih mudah
direkoveri, lebih polar, dan harganya lebih murah dari alkohol lainnya (Hambali et al., 2007). Metil
ester dapat terbentuk dari reaksi antara trigliserida dan metanol maupun asam lemak bebas dan
metanol. Gambaran reaksi esterifikasi FFA menjadi metil ester dan diagram alir proses pembuatan
metil ester dengan dua tahap dapat dilhat pada Gambar 3 dan 4.
Bahan baku dengan kadar
FFA >2% H2SO4 Metanol
Pemanasan
Pencampuran
Esterifikasi
KOH Metanol
Separasi
Pencampuran
Metanol Transesterifikasi
Separasi
Recovery
Metanol
Gliserol Crude Metil ester
Purifikasi
Metil ester
Gambar 5. Reaksi transesterifikasi trigliserida menjadi alkil ester
(Hargreaves, 2003)
Transesterifikasi trigliserida diawali dengan protonisasi satu gugus karbonil pada molekul
trigliserida menghasilkan senyawa intermediet II berupa senyawa karboksi. Bentuk karboksi
kemudian akan bereaksi dengan alkohol membentuk senyawa intermediet III berupa molekul
tetrahedral. Senyawa intermediet tetrahedral kemudian akan terpecah menjadi ester yang baru dan
digliserida. Langkah ini terjadi berulang pada molekul digliserida dan molekul monogliserida
(Jungermann, 1979).
Proses transesterifikasi dilakukan dengan mereaksikan jarak pagar setelah proses esterifikasi
dengan 15%-v/v methanol. Reaksi transesterifikasi dipercepat dengan penambahan katalis KOH
sebesar 1%-v/v. Reaksi transesterifikasi diawali dengan penyerangan ion alkoksida pada atom karbon
gugus karbonil dalam molekul trigliserida menghasilkan senyawa intermediet berbentuk tetrahedral.
Pada tahap kedua, senyawa intermediet ini akan terpecah menjadi metil ester dan anion digliserida.
Anion digliserida kemudian akan bereaksi dengan metanol membentuk molekul digliserida. Molekul
digliserida kemudian akan dikonversi menjadi molekul monogliserida dan gliserol melalui mekanisme
yang sama. Mekanisme reaksi transesterifikasi trigliserida dengan katalis basa disajikan pada Gambar
6 (Jungermann, 1979).
‐
O O
=
Katalis basa _
‐
R1 C OR2 + OCH3 R1 C OR2 (1)
_
OCH3
‐
O O
=
Katalis basa
_
‐
R1 C OR2
1
R C OCH3 + OR2 (2)
_
OCH3
Katalis basa
‐
OR2 + CH3OH R2‐OH + ‐
OCH3 (3)
Setelah dilakukan reaksi esterifikasi dan transesterifikasi, metil ester atau biodiesel tidak dapat
langsung digunakan, karena itu harus dimurnikan terlebih dahulu untuk menghilangkan gliserol, air,
sisa metanol, katalis, dan bahan pengotor lainnya. Proses pemurnian dapat dilakukan dengan water
washing atau dry washing. Standar mutu biodiesel dapat dilihat pada Tabel 4 (SNI 04- 7182-2006).
Tabel 4. Standar Mutu Biodiesel (SNI 04- 7182-2006)
No. Parameter Satuan Metode Uji Nilai
o 3
1. Massa jenis pada 40 C kg/m ASTM D1298 850-890
2. Viskositas kinematik pada 40 oC mm2 /s(cSt) ASTM D445 2,3-6,0
3. Bilangan setana - ASTM D613 Min. 51
o
4. Titik nyala (mangkok tertutup) C ASTM D93 Min. 100
o
5. Titik kabut C ASTM D2500 Maks. 18
6. Korosi kepingan tembaga (3 jam - ASTM D130 Maks.no 3
o
pada 50 C)
7. Residu karbon dalam :
-Contoh asli % massa ASTM D4530 Maks.0,05
-10% ampas distilasi Maks.0,30
8. Air dan sedimen % volume ASTM D1796 Maks.0,05
o
9. Suhu distilasi 90% C ASTM D1160 Maks. 360
10. Abu tersulfatkan % massa ASTM D874 Maks.0,02
11. Belerang ppm-m (mg/kg) ASTM D1266 Maks. 100
12. Fosfor ppm-m (mg/kg) ASTM D1091 Maks. 10
13. Bilangan asam mg KOH/g AOCS Cd 3d-63 Maks. 0,8
14. Gliserol total % massa AOCS Ca 14-56 Maks.0.24
15. Kadar ester alkil % massa SNI04-7182-2006* Min. 96,5
16. Bilangan iodium % massa (g I2 AOCS Cd1-25 Maks. 115
/100 g)
Catatan: * diperoleh dari hasil perhitungan antara bilangan penyabunan dan bilangan asam
2.4. Surfaktan
Surfaktan atau surface active agent merupakan suatu molekul amphipatik atau amphifilik yang
mengandung gugus hidrofilik dan lipofilik dalam satu molekul yang sama. Secara umum kegunaan
surfaktan adalah untuk menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan
kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W)
(emulsi dimana bahan pengemulsinya mudah larut dalam air sehingga air dikatakan sebagai fase
eksternal) atau water in oil (W/O) (emulsi dimana bahan pengemulsinya mudah larut dalam minyak)
(Hargreaves, 2003). Apabila ditambahkan ke suatu cairan pada konsentrasi rendah, maka dapat
mengubah karakteristik tegangan permukaan dan antarmuka cairan tersebut. Antarmuka adalah bagian
dimana dua fasa saling bertemu/kontak. Permukaan yaitu antarmuka dimana satu fasa kontak dengan
gas, biasanya udara. Gambar molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7 (Elefani, 2008).
Hidrofilik
Hidrofobik
(a) (b)
Gambar 7. Gambar molekul surfaktan (a) dan gambaran mikroskopik surfaktan (b) (Elefani, 2008)
Surfaktan memiliki dua gugus dalam molekul yang sama yaitu gugus hidrofobik (grup
nonpolar) yang memiliki sifat hidrofobik dalam media air tetapi bersifat hidrofilik dalam media
hidrokarbon. Sedangkan gugus hidrofilik (grup polar) bersifat hidrofilik dalam media air tetapi
bersifat hidrofobik dalam media hidrokarbon (Hargreaves, 2003).
Surfaktan sebagai senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang
digunakan sebagai bahan penggumpal, pembasah, pembusaan, emulsifier dan komponen bahan
adhesif telah diaplikasikan secara luas pada berbagai bidang industri. Kehadiran gugus hidrofobik dan
hidrofilik yang berada dalam satu molekul menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antar muka
antara fase yang berbeda derajat polaritas dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Pembentukan
film pada antarmuka ini menurunkan energi antarmuka dan menghasilkan sifat-sifat khas molekul
surfaktan (Hargreaves, 2003).
Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara luas pada hampir
semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan
kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Hargreaves, 2003). Sedangkan Swern (1979)
membagi surfaktan menjadi empat kelompok sebagai berikut:
1.Surfaktan kationik, merupakan surfaktan yang bagian pangkalnya berupa gugus hidrofilik
dengan ion bermuatan positif (kation). Umumnya merupakan garam-garam amonium
kuarterner atau amina.
2.Surfaktan anionik, merupakan surfaktan yang gugus hidrofiliknya dengan ion bermuatan
negatif (anion). Umumnya berupa garam natrium, akan terionisasi menghasilkan Na+ dan ion
surfaktan yang bermuatan negatif.
3.Surfaktan nonionik, merupakan surfaktan yang tidak berdisosiasi dalam air, kelarutannya
diperoleh dari sisi polarnya. Surfaktan jenis ini tidak membawa muatan elektron, tetapi
mengandung heteroatom yang menyebabkan terjadinya momen dipol.
4.Surfaktan amfoterik, mengandung gugus yang bersifat anionik dan kationik seperti pada
asam amino. Sifat surfaktan ini tergantung pada kondisi media dan nilai pH.
Surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi, seperti Linier Alkilbensen
Sulfonat (LAS), Alkil Sulfonat (AS), Alkil Etoksilat (AE) dan Alkil Etoksilat Sulfat (AES). Surfaktan
dari turunan minyak bumi dan gas alam ini dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan,
karena surfaktan ini setelah digunakan akan menjadi limbah yang sukar terdegradasi. Disamping itu,
minyak bumi yang digunakan merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbaharui. Masalah
inilah yang menyebabkan banyak pihak mencari alternatif surfaktan yang mudah terdegradasi dan
10
berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui (Swern, 1979).
Metil ester sulfonat (MES) merupakan zat yang disintesis dari bahan metil ester dan agen
sulfonasi melalui proses reaksi sulfonasi. MacArthur et al. (2002) menyebutkan bahwa studi tentang
C16-C18 MES yang dilakukan oleh Lion-Jepang menunjukkan bahwa MES memiliki sifat yang lebih
baik daripada surfaktan LAS atau AS (alcohol sulfate) dalam hal pencucian di air dingin dan air sadah
hingga 100 ppm (CaCO3).
Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen
sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1976), pereaksi yang dapat dipakai pada proses
sulfonasi antara lain asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3 di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3),
NH2SO3H, dan ClSO3H. Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting
yang harus dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan,
waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, pH dan suhu netralisasi.
Pada mekanisme reaksi sulfonasi, lokasi terjadinya proses sulfonasi adalah pada bagian α-atom
karbon. Menurut Jungermann (1979), terdapat tiga lokasi terjadinya reaksi sulfonasi molekul ester
dengan basis asam lemak yaitu (1) gugus karboksil; (2) bagian α -atom karbon; (3) rantai tidak jenuh
(ikatan rangkap). Kemungkinan terikatnya pereaksi SO3 dalam proses sulfonasi dapat dilihat pada
Gambar 8.
O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3
Terikat pada bagian α atom C
SO3H
O
CH3‐(CH2)7‐CH2‐CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3
Terikat pada ikatan rangkap
SO3H O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C Terikat pada gugus karboksil
OC(SO3H)H2
Gambar 8. Kemungkinan terikatnya pereaksi kimia dalam proses sulfonasi
(Jungermann,1979)
Mekanisme reaksi yang terjadi selama reaksi sulfonasi dapat dijelaskan pada Gambar 9. (dalam
hal ini dijelaskan dengan menggunakan salah satu asam lemak penyusun yang dominan dari ME Jarak
Pagar yaitu asam lemak oleat sekitar 34,3 – 45,8 %) (Gubitz et al.,1999).
11
O O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C‐OCH3 (I) + SO3 CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐(C‐OCH3):SO3 (II)
O O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐(C‐OCH3):SO3 (II) + SO3 CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐(C‐OCH3):SO3 (III)
SO3H
O O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)6‐CH‐(C‐OCH3):SO3 (III) + SO3 CH3‐(CH2)7‐CH‐CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3 (IV)
SO3H SO3H SO3H
Metil ester Jarak Pagar (I) dalam hal ini menggunakan senyawa asam lemak yang dominan
yaitu oleat C18 bereaksi dengan gas SO3 membentuk senyawa intermediet (II), pada umumnya berupa
senyawa anhidrad. Dalam kondisi reaksi yang setimbang, senyawa intermediet (II) tersebut akan
mengaktifkan gugus alfa (α) pada rangkaian gugus karbon metil ester sehingga membentuk senyawa
intermediet (III). Selanjutnya, senyawa intermediet (III) tersebut mengalami restrukturisasi dengan
melepaskan gugus SO3. Gugus SO3 yang dilepaskan bukanlah gugus yang terikat pada ikatan alfa.
Dengan terlepasnya gas SO3 selama proses post digestion tersebut, maka terbentuklah MESA (IV).
Di industri, proses sulfonasi secara langsung dilakukan dengan cara mereaksikan agen
sulfonasi ke minyak pada suhu reaksi yang lebih tinggi dari titik leleh minyak. Setelah sulfonasi, sisa
pereaksi yang tidak bereaksi dipisahkan dari produk hasil sulfonasi, kemudian dinetralisasi
menggunakan larutan alkali. Pencucian dan netralisasi dilakukan pada suhu antara 40-50 oC
(Pore,1976).
Proses sulfonasi metil ester dengan gas SO3 dapat dilakukan pada skala laboratorium, skala
pilot maupun skala industri. Peralatan sulfonasi yang dilakukan pada skala laboratorium yaitu bejana
gelas berbentuk silinder dengan diameter bagian dalam 4 cm dan tingginya 45 cm. Gelas tersebut
dilengkapi dengan jaket pendingin, saluran masuk dan keluar gas, dan termometer. Gas masuk melalui
saluran atas dengan diameter saluran 8 mm. Proses sulfonasi pada skala ini dapat berlangsung secara
kontinyu dengan lapisan tipis pada reaktor. Untuk menghasilkan surfaktan metil ester sulfonat dengan
kapasitas besar dapat meningkatkan skala peralatan produksi tersebut (Hambali et al., 2007).
Penggunaan suhu 70-90 oC dengan rasio mol metil ester dan gas SO3 yaitu 1:1,3 (eksotermis),
merupakan kondisi ideal dalam sulfonasi pada falling film reactor. Pada awal reaksi, terjadi kontak
bahan dengan gas SO3 secara cepat hingga mencapai keseimbangan reaksi. Pada suhu tersebut dapat
menghasilkan MES dengan bahan aktif 30%-65% (Hambali et al., 2009).Metil ester sulfonat yang
dihasilkan larut dalam air sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka.
Reaksi sulfonasi metil ester dengan gas SO3 dapat digambarkan sebagai berikut:
12
O O
SO3 + Rn – C – OCH3 Rn-1 – CH – C – OCH3
SO3H
Pemurnian merupakan suatu proses untuk meningkatkan kualitas suatu bahan agar mempunyai
nilai jual yang lebih tinggi. Beberapa metode pemurnian yang dikenal adalah secara kimia ataupun
13
fisika. Pemurnian secara fisika memerlukan peralatan penunjang yang cukup spesifik, akan tetapi
bahan yang dihasilkan baik, karena warnanya lebih jernih dan komponen utamanya menjadi lebih
tinggi. Untuk metode pemurnian kimiawi bisa dilakukan dengan menggunakan peralatan yang
sederhana dan hanya memerlukan pencampuran dengan adsorben atau senyawa pengomplek tertentu
(Hernani, 2007).
Menurut Ketaren (1986), proses pemucatan (bleaching) merupakan suatu tahapan proses
pemurnian surfaktan yang bertujuan untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dan
menghilangkan bau. Dalam proses pemucatan ini, produk surfaktan MESA akan mengalami
peningkatan/pencerahan warna.
Proses pemucatan bertujuan untuk membuat penampakan dan bau surfaktan yang lebih baik.
Proses pemucatan dilakukan dengan pencampuran metanol dengan hidrogen peroksida (H2O2). Reaksi
bleaching lalu dilanjutkan dengan metanol reflux dan pengontrolan temperatur yang presisi. Acid
ester yang terbentuk dalam proses sulfonasi bersifat tidak stabil dan mudah terhidrolisis. Oleh karena
itu, pencampuran yang sempurna antara asam sulfonat dan aliran basa dibutuhkan dalam proses
netralisasi untuk mencegah lokalisasi kenaikan pH dan temperatur yang dapat mengakibatkan reaksi
hidrolisis yang berlebih. Neutralizer beroperasi secara kontinu, mempertahankan komposisi dan pH
dari pasta secara otomatis (Elefani, 2008).
Proses pemucatan dapat dilakukan dengan adsorben, bahan kimia, maupun dengan cara
pemanasan. Pemucatan dapat juga dilakukan dengan cara mencampur produk dengan sejumlah kecil
adsorben, seperti tanah lempung (feller earth), lempung aktif (activated clay), dan arang aktif atau
dapat juga menggunakan bahan kimia lainnya (Ketaren, 1986)
Peristiwa adsorbsi dapat terjadi bila dua fase bergabung, sehingga terjadi suatu proses dimana
molekul dari satu fase melekat pada permukaan fase lain. Kedua fase tersebut dapat berupa fase cair
dengan fase cair, fase cair dengan fase gas, fase cair dengan fase padat, atau fase gas dengan fase
padat (Priatna et al., 1990)
Pemucatan dengan bahan kimia pada umumnya dibagi atas 2 macam reaksi pemucatan, yaitu
pemucatan dengan proses oksidasi dan pemucatan dengan proses reduksi. Pemucatan dengan
menggunakan bahan kimia banyak digunakan karena pemucatan zat warna dengan menggunakan
bahan kimia lebih baik dibandingkan dengan menggunakan adsorben. Keuntungan bahan kimia
sebagai bahan pemucat adalah karena hilangnya sebagian produk dapat dihindarkan dan zat warna
diubah menjadi zat yang tidak berwarna, yang tetap tinggal dalam produk (Djatmiko dan Ketaren,
1985)
Bahan pemucat (Bleaching agents) merupakan suatu bahan yang dapat memucatkan atau
memudarkan warna suatu substrat melalui proses fisika dan kimia. Proses ini melibatkan proses
oksidasi, reduksi, atau adsorbsi yang membuat bagian-bagian yang berwarna pada substrat menjadi
lebih larut atau diserap sehingga mudah dihilangkan selama proses pemucatan. Pemucatan dapat juga
melibatkan proses kimia yang mengubah kemampuan bagian molekul berwarna untuk menyerap
cahaya, yaitu dengan mengubah derajat ketidakjenuhan (Kirk dan Othmer, 1964).
Kirk dan Othmer (1985) menyatakan bahwa adsorben yang umum digunakan untuk pemucatan
adalah tipe polar (hidrofilik) dan non polar (hidrofobik). Adsorben polar antara lain silika gel, alumina
yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat (clay). Adsorben tersebut umumnya digunakan untuk
menghilangkan zat warna yang lebih polar dari cairannya. Adsorben non polar di antaranya adalah
arang aktif dan arang (karbon dan batu bara) yang biasanya digunakan untuk menghilangkan zat
warna yang kurang polar.
14
Karbon/arang aktif adalah suatu bentuk karbon yang telah diaktifkan menggunakan panas uap
air atau bahan kimia sehingga daya penyerapannya tinggi. Karbon aktif mengandung 5 – 15% air, 2 –
3% abu dan sisanya terdiri dari karbon. Adsorbsi arang aktif disebabkan karena arang aktif memiliki
pori-pori dalam jumlah besar dan proses ini terjadi karena adanya perbedaan energi potensial antara
permukaan arang dan zat yang diserap (Jacobs, 1951).
Keuntungan penggunaan arang aktif sebagai bahan pemucat adalah lebih efektif untuk
menyerap zat warna dibandingkan dengan bleaching clay, sehingga arang aktif dapat digunakan
dalam jumlah kecil. Arang aktif dapat juga menyerap sebagian bau yang tidak dikehendaki dan
mengurangi jumlah peroksida sehingga dapat meningkatkan mutu. Kelemahan arang aktif adalah
proses autooksidasi terjadi lebih cepat (Ketaren, 1986).
Bentonit merupakan istilah dalam perdagangan untuk lempung mineral yang mengandung
montmorilonit sebagai komponen utamanya (Kirk dan Othmer, 1985). Ukuran partikel bentonit sangat
kecil dan mempunyai kapasitas penukar ion yang tinggi dengan pertukaran ion terutama diduduki oleh
ion-ion Ca dan Mg. Bentonit berwarna dasar putih dengan sedikit kecoklatan atau kemerahan atau
kehijauan tergantung dari jenis dan jumlah mineral-mineralnya. Selain itu, bentonit bersifat agak
lunak, ringan, mudah pecah, terasa seperti sabun, mudah menyerap air dan dapat melakukan
pertukaran ion (Priatna, 1982).
Bahan kimia yang bertindak sebagai pemucat/pemutih disebut dengan bleaching agents, seperti
hidrogen peroksida, ammonium persulfat, azodicarbonamide, CaSO4, TiO2, Sodium Hypochlorite,
Isocyanurates and Cyanuric Acid, dan lain-lain. Dalam penggunaannya, efek pemutihan yang cukup
baik hanya diperoleh dengan larutan hidrogen peroksida yang cukup kuat. Berikut tabel perbedaan
tingkat oksidasi berbagai bahan pemucat dalam proses pemucatan (Shafii, 2008).
Hidrogen peroksida merupakan oksidator yang lebih kuat dibandingkan dengan klorin, klorin
dioksida dan potassium permanganate. Di samping itu dengan adanya katalis, H2O2 dapat dikonversi
menjadi hidroksi radikal dengan tingkat reaktivitas kedua setelah fluorin. Sementara fluorin lebih
banyak diaplikasikan pada proses pengolahan limbah. Di beberapa industri penghasil detergen, dalam
proses produksinya menggunakan beraneka ragam jenis bleaching agents sesuai dengan tujuan dan
kebutuhannya. Beberapa bleaching agents yang dapat diaplikasikan dalam skala laboratorium, seperti
Hidrogen peroksida (H2O2), Sodium hipoklorit, Asam Isosianurat dan Asam Sianurik (Shafii, 2008).
Umumnya reduksi warna surfaktan yang utama dipilih adalah pemucatan (bleaching) dengan
larutan peroksida ± 30 %, sebagaimana diperlihatkan dalam Chemithon Corp. di Amerika Serikat.
Produk glikosida (glycoside) sebelum disimpan terlebih dahulu mengalami proses pemucatan dengan
bahan oksidasi seperti: ozon, hidrogen peroksida, dan hipoklorit. Sedangkan untuk menstabilkan
15
warna dari produk digunakan gas sulfur dioksida, sodium dioksida, sodium sulfit, sodium metabisulfit
dan sodium hidrosulfit (Priatna, 1982).
Hidrogen peroksida adalah cairan bening, agak lebih kental daripada air, yang merupakan
oksidator kuat. Sifatnya sebagai oksidator kuat ini dimanfaatkan manusia sebagai bahan pemutih
(bleach), desinfektan, oksidator dan dapat digunakan sebagai bahan bakar roket. Sifat lainnya yaitu,
berbau khas agak keasaman dan larut dengan baik dalam air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient),
hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun.
Mayoritas penggunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi
dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen (Prasetyo, 2008).
Hidrogen peroksida dijual bebas, dengan berbagai merek dagang dalam konsentrasi rendah (3 –
5%) sebagai pembersih luka atau sebagai pemutih gigi (pada konsentrasi terukur). Dalam konsentrasi
agak tinggi dijual sebagai pemutih pakaian dan desinfektan. Penggunaan hidrogen peroksida dalam
kosmetika dan makanan tidak dibenarkan karena zat ini mudah bereaksi dengan rumus kimia H2O2
ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818 (Prasetyo, 2008). Senyawa ini merupakan bahan
kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida
adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Teknologi yang banyak digunakan di dalam industri
hidrogen peroksida adalah autooksidasi anthraquinone. Bentuk molekul hidrogen peroksida dapat
dilihat pada Gambar 12. (Prasetyo, 2008).
Stabilisasi dari hydrogen peroxide ini dapat dicapai pada tingkat keasaman atau pH stabil
sehingga dapat memperlambat dekomposisi peroksida. Bleaching agent lain seperti Sodium
Hypochlorite digolongkan dalam bleaching agent untuk produk detergen yang banyak diaplikasikan
di Asia dan Amerika. Sedangkan Isocyanurates and Cyanuric Acid digunakan sebagai pembersih
toilet dan sebagai pencegah adanya alga, jamur serta bakteri di kolam renang (Waldhoff and Rudiger,
2005).
Penguraian hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen merupakan reaksi eksoterm (Wood et
al., 1966). Untuk menjaga kestabilan kondisi hidrogen peroksida dalam larutan yang dipasarkan
dalam dunia perdagangan bisa ditambahkan bahan stabilizer seperti Gliserin, Kalsium Klorida, atau
Alkohol. Larutan hidrogen peroksida sendiri mempunyai sifat oksidator sekaligus reduktor kuat
(Priyanto, 1990)
Dalam dunia industri, hidrogen peroksida dibentuk dari reaksi antara Natrium Dioksida dengan
Asam Sulfat, reaksi pembentukannya adalah sebagai berikut:
16
Na2O2 + H2SO4 Na2SO4 + H2O2
Gambar 13. Reaksi pembentukan hidrogen peroksida (Priyanto, 1990)
Larutan yang terbentuk kemudian dilakukan pemisahan dengan filtrasi dan destilasi. hidrogen
peroksida hasil destilasi ini biasanya mempunyai konsentrasi 30 persen dan biasa disebut hidrogen
peroksida Teknis atau “Perhidrol” (Durrant, 1960).
Menurut Wood et al.,(1966), sifat hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat
untuk membebaskan oksigen, maka bahan ini merupakan bahan yang istimewa, karena bisa digunakan
untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah. Persamaan reaksi proses pemutihan oleh hidrogen peroksida
dapat dilihat pada Gambar 14.
H2O2 + X H2O + XO
(Dark pigmen) (pigmen terokdisasi)
Gambar 14. Reaksi pemucatan oleh hidrogen peroksida (Wood et al.,1966)
Hidrogen peroksida bisa digunakan sebagai zat pengelantang atau bleaching agent pada
industri pulp, kertas dan tekstil. Senyawa ini juga biasa dipakai pada proses pengolahan limbah cair,
industri kimia, pembuatan deterjen, makanan dan minuman, medis, serta industri elektronika
(pembuatan PCB). Hidrogen peroksida bersifat oksidator dan akan merusak ikatan rangkap pigmen
menjadi komponen yang tidak berwarna. Aktivitas ini meningkat dengan semakin meningkatnya
konsentrasi H2O2 (Wood et al., 1966).
Salah satu keunggulan hidrogen peroksida dibandingkan dengan oksidator yang lain adalah
sifatnya yang ramah lingkungan karena tidak meninggalkan residu yang berbahaya. Kekuatan
oksidatornya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Sebagai contoh dalam industri pulp dan kertas,
penggunaan hidrogen peroksida biasanya dikombinasikan dengan NaOH. Semakin basa, maka laju
dekomposisi hidrogen peroksida pun semakin tinggi (Prasetyo, 2008).
17
III. METODOLOGI
Peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah reaktor sulfonasi jenis
Single Tube Falling Film yang digunakan untuk mereaksikan metil ester dengan gas SO3.
Peralatan lain yang digunakan adalah piknometer, pH meter, hotplate stirrer, viskosimeter
Brookfield, termometer, neraca analitis, oven, tanur, soxhlet, buret, pipet, labu Erlenmeyer, labu
takar dan peralatan gelas lainnya. Penampakan visual dari reaktor sulfonasi jenis Single Tube
Falling Film Reactor dapat dilihat pada Gambar 15.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metil ester dari minyak biji jarak
pagar (Jatropha curcas L.) dan gas SO3. Lalu bahan kimia yang digunakan untuk analisa antara
lain KOH, H2SO4, metanol, etanol, NaOH, HCl, indikator Penolphtalein, indikator kanji, Na2SO4,
air suling, sikloheksan, asam asetat glasial, kalium iodida, Na2SO2O3, K2Cr2O7, larutan Wijs,
toluene, khloroform, indikator metilene blue, Cetyltrimethylammonium Bromide (CTAB), dan
aseton. Bahan pemucat hidrogen peroksida (H2O2 2, 4 dan 6%), NaOH 50%, methanol 31%,
18
3.2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan bahan dan sampel yang
terdiri dari: a) analisis proksimat biji jarak pagar dan pengepresan biji jarak pagar, b) analisis minyak
jarak pagar, c) pembuatan dan analisis metil ester dan d) pembuatan dan analisis Methyl Ester
Sulfonates Acid (MESA); serta tahap pemurnian MESA dan analisis sifat fisiko kimia MES hasil
pemurnian.
a. Analisis Sifat Fisiko Kimia (proksimat) Biji Jarak Pagar dan Proses
Pengepresan
Biji jarak pagar merupakan bahan baku yang digunakan dalam tahapan
penelitian ini. Biji jarak pagar disortir guna memisahkan kotoran-kotoran lalu
dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah itu, dilakukan analisis proksimat pada biji
jarak pagar yang meliputi kadar air, kadar abu, dan kadar minyak. Kemudian, dilakukan
pengepresan biji jarak dengan menggunakan alat screw press guna memperoleh minyak
jarak. Prosedur lengkap analisis proksimat biji jarak pagar dapat dilihat pada Lampiran 1.
19
Gambar 16. Reaktor Metil Ester Pilot Plant SBRC LPPM-IPB
dengan Kapasitas 100L
Metil ester kemudian diuji sifat fisiko-kimianya, meliputi kadar air, bilangan iod,
bilangan asam, bilangan penyabunan, fraksi tak tersabunkan, gliserol total dan kadar
ester. P r o s e d u r l e n g k a p a n a l i s i s m e t i l e s t e r d a p a t d i l i h a t p a d a L a m p i r a n
3.
3.2.2. Proses Pemurnian Surfaktan MESA dan Analisis Sifat Fisiko Kimia
MES Hasil Pemurnian
20
H2O2 sebesar 2, 4 dan 6% dari bahan tanpa netralisasi; dan tahap II adalah proses bleaching dengan
konsentrasi H2O2 sebesar 2, 4 dan 6% dari bahan, diikuti dengan proses netralisasi. Setelah itu
dilakukan perbandingan sifat surfaktan MES hasil pemurnian dengan surfaktan MESA sebelum
pemurnian. Tujuan dilakukannya pemurnian pada tahap I hanya sebagai bahan pembanding antara
surfaktan MESA sebelum pemurnian dengan surfaktan MES hasil pemurnian (tahap II) dikarenakan
oleh surfaktan MESA hasil tahap I masih bersifat asam sehingga dalam aplikasinya, surfaktan ini
belum dapat digunakan.
Proses pemucatan (bleaching) dilakukan dengan mencampurkan MESA dengan pelarut
metanol 31% (v/v, MESA basis) dan H2O2 50% sekitar 2, 4 dan 6% (v/v, MESA basis) pada suhu 50-
60 0C selama 1 - 1,5 jam. Selanjutnya secara kontinyu dinetralisasi hingga mencapai nilai pH 6,5 –
7,5. Proses netralisasi dilakukan dengan mencampurkan MESA hasil bleaching dengan pelarut NaOH
50% pada suhu 55 oC untuk membuat suasana larutan menjadi netral atau basa. Penggunaan larutan
sodium hidroksida (NaOH) sangat dianjurkan karena proses penambahan larutan NaOH akan lebih
mudah karena berbentuk larutan dan tidak memerlukan penyaringan untuk menghilangkan garam
yang terbentuk (Wood et al., 1996). Penambahan metanol pada proses pemucatan berfungsi untuk
mengurangi pembentukan garam disodium karboksi sulfonat.
Bleached agent yang digunakan dalam penelitian ini adalah H2O2 (hidrogen peroksida)
karena sifat hidrogen peroksida tersebut yang mempunyai kecenderungan kuat untuk membebaskan
oksigen dan bisa digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu rendah, serta menurut Wood et al., (1966)
yang menyatakan bahwa proses produksi hidrogen peroksida yang lebih murah telah membawa bahan
ini banyak digunakan sebagai bahan pemutih untuk berbagai hal. Lebih lanjut Durrant (1960)
menyatakan bahwa hidrogen peroksida ini dapat larut dalam air pada semua konsentrasi. Dalam
kondisi larutan, hidrogen peroksida mempunyai kondisi yang lebih stabil bila dibandingkan dengan
dalam keadaan murni, sehingga hidrogen peroksida mempunyai kecenderungan mengurai menjadi air
dan oksigen dan seringkali bisa menurunkan konsentrasi hidrogen peroksida itu sendiri di dalam
larutan. Prinsip pemucatan dengan hidrogen peroksida menggunakan prinsip oksidasi. Hidrogen
peroksida (H2O2) akan merusak ikatan rangkap pigmen pada larutan surfaktan menjadi komponen
yang tidak berwarna. Oleh sebab itu, pada penelitian kali ini akan dilakukan perbandingan perlakuan
bleaching dengan tiga kondisi pelarut H2O2 50% sekitar 2, 4 dan 6% sehingga dapat diperoleh kondisi
pemurnian MES yang optimal atau efisien serta perbandingan sifat fisiko kimia surfaktan yang
dihasilkan dari masing-masing perlakuan proses pemurnian. Metode lengkap proses pemurnian yang
dilakukan dapat dilihat pada Gambar 17.
21
MESA P e m u ca ta n
P a n a s ka n hin g g a 4 0 o C
M e ta n o l 3 1 % M E S A 4 0 -4 5 o C
M E S A 6 0 -7 0 o C
H 2 O 2 5 0 % (2 % , 4 %
A d u k, 1 ja m
dan 6% )
M E S A d id in g in ka n
h in g g a 4 0 o C
B le a c h e d M E S A
M E S A 4 0 -5 0 o C N e tra lisa s i
N aO H 50 %
Aduk
S e p a ra si G aram (disalt)
MES
Untuk mengetahui pengaruh penambahan H2O2 sebagai bahan pemucat pada proses
pemurnian surfaktan MESA terhadap sifat fisiko kimia surfaktan yang dihasilkan, dilakukan analisis
statistik menggunakan rancangan acak lengkap dengan faktor tunggal (Sudjana, 1994). Faktor yang
digunakan adalah konsentrasi H2O2 dengan tiga taraf (sebesar 2, 4, dan 6% dari bahan) dan dua kali
ulangan. Model rancangan percobaan dapat dilihat sebagai berikut:
Yij= µ+Ai+εj(i)
Dimana :
Yij = hasil pengamatan pada ulangan ke-j, pada
konsentrasi ke-i
µ = rata-rata sebenarnya
Ai = pengaruh konsentrasi ke-i
εj(i) = galat eksperimen
Sifat fisiko kimia produk hasil proses yang dianalisis dari rancangan percobaan ini meliputi
bahan aktif (metode Ephton), bilangan asam (SNI 01-2891-1992), pH (ASTM D 1172-95), warna
(metode Klett), bilangan iod (AOAC) dan densitas (SNI 01-2891-1992). Prosedur analisis
22
karakteristik MES sesudah pemurnian dapat dilihat pada Lampiran 4. Data yang dihasilkan dianalisis
dengan uji anova, apabila ada perbedaan yang nyata dilakukan uji lanjut menggunakan metode uji
Duncan dengan tingkat kepercayaan 95%. Data hasil analisa uji anova untuk masing-masing
parameter sifat fisiko kimia produk dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai 9. Diagram alir pelaksanaan
kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 18.
23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Jarak pagar (Jatropha curcas L) yang akan dipress untuk diperoleh minyaknya dianalisis terlebih
dahulu atau yang sering disebut dengan uji proksimat untuk dapat diketahui kualitas dari biji jarak
pagar tersebut. Hasil analisis biji jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil analisis kadar minyak pada biji jarak pagar adalah sebesar 40,55%. Kadar minyak yang
tinggi ini menunjukkan bahwa biji jarak pagar ini potensial untuk dikembangkan sebagai sumber
minyak nabati dalam produksi surfaktan methyl ester sulfonates (MES). Menurut Hambali et al.
(1935), kadar minyak pada biji-bijian berbeda-beda tergantung pada varietas tanaman, keadaan
tanah dan iklim. Disamping itu juga cara dan jenis bahan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
mempengaruhi besarnya kadar minyak yang dihasilkan. Dalam hal ini, kematangan buah waktu
dipanen juga berpengaruh terhadap kandungan minyak dalam biji.
Hasil analisis kadar air biji jarak pagar adalah sebesar 9,65%. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian biji jarak yang digunakan masih basah, sehingga diperlukan proses pengeringan atau
penjemuran biji jarak tersebut. Menurut Hambali (2007), kadar air yang optimum untuk biji-bijian
yang akan dipress minyaknya adalah sebesar 6 sampai 7 persen. Adanya kandungan air di dalam
jaringan minyak dalam biji-bijian dapat menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisa yang akan
menghasilkan asam lemak bebas. Besarnya kadar air biji jarak antara lain dipengaruhi oleh
kematangan buah waktu dipanen, penjemuran dan lama penyimpanan. Kadar abu menunjukkan
jumlah kandungan bahan anorganik dalam biji jarak pagar, dimana kadar abu hasil analisis adalah
sebesar 3,27%. Besarnya kadar abu tersebut dipengaruhi oleh keadaan tempat tumbuh dan iklim.
Alasan digunakannya biji jarak pagar dalam penelitian kali ini menurut Hambali et al. (2006),
adalah dikarenakan oleh sifat minyak jarak hasil pengepresan biji jarak pagar tergolong dalam non-
edible oil (bukan merupakan minyak makan), karena mengandung senyawa forbol ester dan
cursin yang bersifat toksik sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh manusia sehingga tidak
terjadi kompetisi antara bahan pangan dengan bahan untuk energi atau oleochemical.
Setelah dilakukan analisis proksimat, selanjutnya biji jarak pagar tersebut dipress
dengan menggunakan alat pengepresan berulir (sistem kontinyu) yang memberikan
tekanan yang semakin membesar sampai ke ujung alat dan tekanan inilah yang
menyebabkan keluarnya minyak dari biji jarak pagar tersebut. Proses pengepresan biji
jarak pagar dideskripsikan pada Gambar 18.
24
Gambar 19. Proses pengepresan biji jarak dengan alat pengepress berulir
Minyak jarak hasil pengepresan biji jarak pagar diperoleh dengan rendemen sekitar 25% dimana
selebihnya adalah sludge. Selanjutnya dilakukan analisis lebih lanjut terhadap minyak jarak pagar dari
hasil pengepresan biji yang telah dianalisis sebelumnya guna mengetahui sifat fisiko kimia dari
minyak jarak pagar yang akan diolah menjadi metil ester, sehingga dapat ditentukan jalur proses
produksi minyak jarak pagar menjadi metil ester. Analisis tersebut meliputi analisis kadar air, kadar
abu, bilangan iod, bilangan penyabunan, bilangan asam dan FFA (Free Fatty Acid). Berikut Tabel
hasil analisis minyak jarak pagar yang dihasilkan:
5 FFA % 32,09
6 Bilangan asam mg KOH/g lemak 63,86
Dari hasil pengujian minyak jarak di atas, diperoleh nilai kadar air yang cukup tinggi sebesar
0,36%. Sedangkan pada nilai FFA dan nilai bilangan asam yang tinggi, masing-masing sebesar 32,09
dan 63,86%. Hal ini dikarenakan oleh minyak jarak yang digunakan mengalami proses penyimpanan
maupun proses pengendapan setelah pengepresan dimana kandungan air dan enzim lipase dalam biji
jarak pagar akan menyebabkan terjadinya proses hidrolisis minyak jarak pagar. Karena nilai FFA
lebih dari 2%, maka dalam pembuatan metil ester dari minyak jarak ini akan dilakukan dalam 2
tahap, yaitu esterifikasi dan transesterifikasi. Esterifikasi ditujukan untuk mencegah terbentuknya
sabun pada saat proses transesterifikasi yang nantinya akan mengganggu proses transesterifikasi
sehingga mengurangi rendemen metil ester yang dihasilkan.
Bilangan penyabunan diperoleh cukup besar, yaitu sebesar 196,2 mg KOH/g lemak. Menurut
Jacobs (1951), besarnya bilangan penyabunan ditentukan oleh berat molekul minyak. Minyak yang
mempunyai berat molekul yang rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi
25
daripada minyak yang berat molekulnya tinggi. Bilangan penyabunan merupakan ciri khas suatu
minyak atau lemak.
Bilangan iod menunjukkan banyaknya gram iodin yang terserap oleh 100 gram minyak
atau lemak. Tinggi atau rendahnya bilangan iod tergantung pada komposisi asam lemak
penyusunnya. Besarnya jumlah iod yang diserap menunjukkan banyaknya ikatan rangkap tidak
jenuh (Ketaren, 1986). Lebih lanjut, Hambali et al. (2006) menjelaskan bahwa jenis asam
lemak dominan pada minyak jarak adalah asam lemak oleat dan linoleat yang merupakan
asam lemak tidak jenuh. Berdasarkan analisis, diperoleh bilangan iod sebesar 71,46 mg I2/g
minyak. Bilangan iod yang diperoleh ini lebih rendah dari bilangan iod berdasarkan literatur
yakni 96,5 mg I2/g minyak (Hambali et al.,2006). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya
reaksi oksidasi selama proses penyimpanan minyak setelah ekstraksi dan mengakibatkan
terbentuknya senyawa peroksida yang akan mengurangi jumlah ikatan rangkap dalam minyak
sehingga nilai bilangan iod minyak jarak mengalami penurunan.
Hasil minyak jarak yang diperoleh kemudian diproses menjadi metil ester dengan proses
pembuatan pada Gambar 20. Metil ester hasil proses esterifikasi-transesterifikasi minyak jarak pagar
selanjutnya dianalisis guna mengetahui sifat fisiko kimia metil ester yang akan diolah menjadi metil
ester sulfonat melalui proses sulfonasi sehingga dapat ditentukan jalur proses produksi metil ester
jarak pagar menjadi metil ester sulfonat.
Berikut adalah tabel hasil analisis metil ester hasil pengolahan minyak jarak pagar di
laboratorium:
Tabel 8. Hasil Analisis Metil Ester Jarak Pagar
No. Parameter Satuan Nilai
1 Kadar Air % 0,024
2 Bilangan Asam mg KOH/g lemak 1,44
3 Bilangan Iod mg Iod/g lemak 94,917
4 Bilangan Penyabunan mg KOH/g lemak 198,125
5 Gliserol Total % 0,918
6 Kadar Ester % 97,660
Sebagian besar hasil di atas sesuai dengan literatur dan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh MacArthur (1998). Perubahan mencolok yang terjadi dengan proses trans-esterifikasi adalah
adanya perubahan pada parameter bilangan asam dan FFA. Bilangan asam metil ester jarak pagar
(0,44 mg KOH/g minyak) jauh lebih rendah dari bilangan asam jarak pagar (63,86 mg KOH/g
minyak). Terjadinya fenomena tersebut menunjukkan bahwa reaksi transesterifikasi bersifat
menurunkan bilangan asam. Asam lemak merupakan komponen penyusun minyak dan terdeteksi
sebagai bilangan asam. Dengan terjadinya penurunan bilangan asam tersebut maka asam lemak telah
mengalami konversi menjadi ester (dalam hal ini metil ester). Oleh karena itu, metil ester ini dapat
digunakan untuk diproses lebih lanjut sebagai bahan baku MESA.
26
Pembuatan larutan Penuangan larutan Reaksi esterifikasi /
metoksida (Metanol + Asam metoksida transesterifikasi
Sulfat)
Proses evaporasi Metil Ester/Biodiesel
27
Tabel 9. Hasil Analisis MESA Jarak Pagar setelah Sulfonasi.
Karakteristik Satuan Nilai Rata-rata
Bilangan Asam mg KOH/g MESA 15,12
Bahan Aktif % 32,64
Bilangan Iod mg iod/g MESA 42,42
Ph 1,01
Warna Klett 5% aktif (MES + di-salt) 877
Dari hasil analisis di atas, diperoleh nilai bilangan iod yang lebih rendah dari metil ester sebelum
sulfonasi. Penurunan nilai bilangan iod ini dapat terjadi akibat adanya proses adisi ikatan rangkap
metil ester oleh gas SO3 membentuk molekul-molekul surfaktan dengan gugus sulfonat. Semakin
tinggi suhu reaksi akan menurunkan nilai bilangan iod yang dikarenakan oleh proses sulfonasi yang
semakin sempurna. Hal ini diperkuat oleh Jungermann (1979) yang mengemukakan bahwa ikatan
rangkap pada metil ester merupakan salah satu tempat terjadinya reaksi sulfonasi. Reaksi
pembentukan MESA melalui reaksi sulfonasi pada ikatan rangkap metil ester dapat dilihat pada
gambar berikut:
O O
CH3‐(CH2)7‐CH=CH‐(CH2)7‐C‐OCH3 + SO3 CH3‐(CH2)7‐CH2‐CH‐(CH2)6‐CH‐C‐OCH3
Terikat pada ikatan
SO3H rangkap
Metil Ester Sulfur trioksida Metil Ester Sulfonat
Gambar 21. Reaksi sulfonasi yang terjadi pada ikatan rangkap metil ester
Dari data juga diperoleh nilai bahan aktif yang cukup tinggi yaitu sebesar 32,64% yang
berbanding lurus dengan bilangan asamnya sehingga bilangan asam yang diperoleh juga tergolong
tinggi yaitu sekitar 15,12 mg KOH/g MESA. Surfaktan MESA yang dihasilkan masih bersifat sangat
asam dengan nilai pH sebesar 1,01. Dalam aplikasinya, surfaktan yang masih asam belum bisa
digunakan karena MESA yang bersifat asam masih bersifat reaktif dan tidak stabil sehingga lama-
kelamaaan akan mengurangi kualitas surfaktan tersebut. Dengan demikian perlu dilakukan suatu
proses pemurnian berupa netralisasi untuk menghasilkan surfaktan dengan pH netral. Tujuan lain
proses netralisasi adalah untuk mencegah terbentuknya disalt (garam) sebagai produk samping. Akan
tetapi, proses netralisasi yang melewati batas netral (pH>7) justru akan menyebabkan terbentuknya
disalt. Produk samping ini terbentuk karena proses sulfonasi dari metil ester yang kurang sempurna
sehingga tidak semua metil ester terkonversi menjadi metil ester sulfonat. Sebenarnya kehadiran
garam ini tidak diinginkan pada pembentukan MES karena mampu menurunkan kelarutan MES dalam
air dingin, lebih sensitif terhadap air sadah, memiliki deterjensi 50% lebih rendah dan menurunkan
daya simpan produk.
Adapun nilai dari warna diperoleh dengan menggunakan alat spectrophotometer (metode Klett
dengan 5% MESA) sehingga diperoleh tingkat warna sebesar 0,88 % (absorbansi) yang menunjukkan
warna yang tidak jernih atau hitam pekat dan cukup kental. Hal ini dikarenakan oleh proses sulfonasi
dengan suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi sehingga menimbulkan warna gelap
pada produk serta belum dilakukannya proses pemucatan dan netralisasi pada surfaktan MESA
tersebut.
28
4.5. ANALISIS SIFAT FISIKO KIMIA METHYL ESTER SULFONATE (MES
HASIL PROSES PEMURNIAN)
Metil ester sulfonat yang dihasilkan dari reaktor cukup kental dan berwarna gelap dengan
viskositas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan metil ester. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan kualitas surfaktan MES perlu dilakukan pemurnian yang meliputi pemucatan
(bleaching) dan netralisasi. Melalui proses pemucatan, surfaktan akan berwarna lebih cerah sehingga
memenuhi kriteria untuk diaplikasikan dalam pembuatan deterjen. Kondisi proses ini merujuk pada
penelitian sebelumnya serta penelitian tentang MES oleh Chemiton, Amerika Serikat. Tabel analisis
masing-masing perlakuan proses pemurnian surfaktan disajikan pada lampiran 5. Setelah melakukan
proses pemucatan surfaktan MESA, selanjutnya dilakukan analisis sifat fisiko kimia MESA yang
dihasilkan dari masing-masing proses pemurnian. Analisis yang dimaksud adalah: pH, FFA, warna
produk (% warna Klett), kadar bahan aktif dan bilangan iod.
Gambar 22. Histogram Pengaruh Proses Pemucatan terhadap Nilai pH Surfaktan MESA.
29
4.5.2. Tingkat Warna (% Absorbansi)
Warna gelap yang diperoleh pada produk surfaktan ini berasal dari proses sulfonasi
pembuatan MESA dengan suhu tinggi yang menyebabkan terjadinya proses oksidasi. Hasil analisis
tingkat warna surfaktan MES yang telah dimurnikan disajikan pada lampiran 5. Nilai kekeruhan
surfaktan MESA sample awal adalah sebesar 0,88%. Nilai kekeruhan surfaktan MES setelah proses
pemucatan mengalami penurunan atau nilainya lebih rendah dari kondisi awal. Dengan demikian,
proses pemucatan yang dilakukan mampu menurunkan tingkat kekeruhan warna MES sekitar 62,5 -
69,3% dari tingkat kekeruhan surfaktan awal.
Untuk mengetahui pengaruh masing-masing konsentrasi hidrogen peroksida (sebesar 2, 4 dan
6%) yang ditambahkan pada proses pemucatan dalam pengaruhnya terhadap tingkat warna surfaktan
yang dihasilkan, dilakukan uji statistik dengan rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan dua kali
pengulangan. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan
bahwa konsentrasi H2O2 sebesar 2, 4 dan 6% tidak berpengaruh terhadap nilai kekeruhan surfaktan
MES yang dihasilkan (Lampiran 7). Dengan demikian, kondisi proses pemurnian pada masing-masing
konsentrasi H2O2 yang digunakan belum mampu untuk memberikan perbedaan yang nyata pada
tingkat warna atau kualitas surfaktan MES yang dihasilkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
penambahan H2O2 pada konsentrasi rendah (2%) dalam proses pemucatan MESA dinilai dapat
menurunkan tingkat kekeruhan MESA sampai pada tingkat tertentu sama seperti pada penambahan
H2O2 dengan konsentrasi yang lebih tinggi, serta dinilai lebih bersifat ekonomis karena dapat
mengurangi biaya proses produksi. Gambar 23 menunjukkan histogram kekeruhan surfaktan MESA
akibat pengaruh penambahan konsentrasi H2O2. Sedangkan gambar 24 menunjukkan surfaktan hasil
pemurnian dari setiap perlakuan.
(a) Tahap I
(b) Tahap II
Gambar 23. Pengaruh Proses Pemurnian Terhadap Tingkat Warna Surfaktan MESA
30
Perlakuan Awal :
MESA sebelum pemucatan
Perlakuan Tahap I:
(a) : MESA bleaching dengan
H2O2 2%
(b) : MESA bleaching dengan
H2O2 4%
(c) : MESA bleaching dengan
H2O2 6%
31
O O
|| ||
R – CH – C – O - CH3 + NaOH R – CH – C – O - CH3 + H2O
| |
SO3 SO3Na
MESA Basa MES Air
Gambar 25. Reaksi Netralisasi MESA
Namun demikian, setelah dilakukan analisis keragaman pada tingkat kepercayaan 95%
(α=0,05) diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa konsentrasi H2O2 sebesar 2, 4 dan 6% pada proses
pemurnian tahap I dan II tidak berpengaruh terhadap bilangan iod yang dihasilkan (Lampiran 8).
Dengan demikian, kondisi proses pemurnian pada masing-masing konsentrasi H2O2 yang digunakan
belum mampu untuk memberikan perbedaan yang nyata pada nilai bilangan iod surfaktan MES yang
dihasilkan, sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah iodin yang diserap selama proses pemurnian dari
setiap perlakuan masih tergolong hampir sama. Histogram pengaruh tahapan proses terhadap bilangan
iod dapat dilihat pada Gambar 26.
(a) Tahap I
(b) Tahap II
Gambar 26. Pengaruh proses pemurnian terhadap bilangan iod surfaktan MESA
32
32,64%. Hasil pengukuran nilai bahan aktif surfaktan MESA setelah pemurnian pada tahap I adalah
sekitar 19,43 - 23,25% sedangkan pada tahap II sekitar 22,40 - 23,47%. Dari gambar 27 menunjukkan
adanya penurunan nilai bahan aktif surfaktan MESA setelah pemurnian dengan tingkat penurunan
sekitar 28,09 - 40,47% dari nilai bahan aktif surfaktan awal. Penurunan nilai bahan aktif ini dapat
dipengaruhi oleh metanol yang belum teruapkan secara sempurna sebelum proses netralisasi serta
adanya penurunan nilai bilangan iod surfaktan MES setelah pemurnian akibat proses oksidasi dari
bahan pemucat (hidrogen peroksida) yang mempunyai sifat oksidator sekaligus reduktor kuat dengan
tingkat potensial oksidasi sebesar 1,8V (Shafii, 2008) sehingga jika mengalami penguraian menjadi air
dan oksigen selama proses pemucatan akan menimbulkan reaksi eksoterm.
Namun demikian, untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan H2O2 pada beberap
konsentrasi (sebesar 2, 4 dan 6%) terhadap kadar bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan,
dillakukan uji statistik dengan rancangan acak lengkap faktor tunggal dengan dua kali pengulangan.
Dari hasil analisa keragaman (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95% (α=0,05) menunjukkan
bahwa konsentrasi H2O2 tidak berpengaruh terhadap nilai bahan aktif surfaktan MES baik pada proses
pemurnian tahap I maupun tahap II (Lampiran 9). Dengan demikian, kondisi proses pemurnian
dengan konsentrasi H2O2 sebesar 2, 4 dan 6% yang digunakan belum mampu untuk memberikan
perbedaan yang nyata pada tingkat kualitas dari segi nilai bahan aktif surfaktan MES yang dihasilkan.
Histogram pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA dapat dilhat pada
Gambar 27.
(a) Tahap I
(b) Tahap II
Gambar 27. Pengaruh proses pemurnian terhadap kadar bahan aktif surfaktan MESA.
33
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada sifat fisiko kimia surfaktan MES yang dihasilkan,
dimana dengan penambahan H2O2 sebesar 2% mampu menghasilkan sifat fisiko kimia yang tidak
berbeda jauh dengan proses pemucatan dengan penambahan konsentrasi H2O2 sebesar 4 dan 6%.
Dengan demikian, pada penelitian kali ini telah terbukti bahwa dengan penambahan konsentrasi H2O2
yang lebih rendah mampu memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penambahan konsentrasi
yang lebih tinggi sehingga berdasarkan pertimbangan nilai ekonominya, proses pemurnian dengan
penambahan H2O2 sebesar 2% dinilai lebih efisien. Pada kondisi proses pemurnian (pemucatan dan
netralisasi) ini diperoleh nilai pH sebesar 7,15, bilangan iod 31,02 mg I2/g MES, kadar bahan aktif
23,47 % dan persen absorbansi sebesar 0,52 %. Proses pemucatan dengan penambahan H2O2 sebesar
2% ini bersifat lebih ekonomis dibandingkan dengan pemucatan dengan penambahan H2O2 sebesar 4
dan 6% karena biaya yang dibutuhkan lebih murah.
34
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. KESIMPULAN
Penambahan hidrogen peroksida (H2O2) pada konsentrasi 2, 4 dan 6% sebagai bahan pemucat
pada proses pemurnian surfaktan MESA jarak pagar tidak berpengaruh terhadap sifat fisiko kimia
surfaktan MES yang dihasilkan. Dari hasil analisa sifat fisiko kimia MESA, MESA yang di bleaching
dan MESA yang di bleaching-netralisasi, diperoleh nilai bahan aktif antara 18,94 % sampai 23,47 %,
bilangan iod antara 29,75 sampai 32,82 mg Iod/mg MES, tingkat warna antara 0,27 % A - 0,52 % A
dan pH antara 1,11 sampai 7,15.
Tahapan proses terbaik untuk produksi MES didapat pada kondisi proses pemucatan yang
diikuti oleh proses netralisasi. Proses pemurnian dengan penambahan H2O2 sebesar 2% mampu
menghasilkan sifat fisiko kimia yang tidak berbeda jauh dengan proses pemucatan dengan
penambahan konsentrasi H2O2 sebesar 4 dan 6%. Kondisi ini dinilai lebih ekonomis karena biaya
yang dibutuhkan dalam proses lebih murah dibandingkan dengan proses pemurnian dengan
penambahan konsentrasi H2O2 yang lebih besar. Pada kondisi proses pemurnian (pemucatan dan
netralisasi) ini diperoleh nilai pH sebesar 7,15, bilangan iod 31,02 mg I2/g MES, kadar bahan aktif
23,47 % dan persen absorbansi sebesar 0,52 %.
5.2. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang perbaikan proses pemucatan (bleaching)
surfaktan MESA yang optimal dengan perlakuan penguapan metanol sebelum proses netralisasi serta
perbedaan konsentrasi metanol yang digunakan pada proses pemucatan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agung, N. P. 2008. Potensi Jarak Pagar Sebagai Tanaman Energi di Indonesia. www. Chem-Is-
Try.Org [23Agustus 2010]
Bernardini, E. 1983. Vegetable Oils and Fats Processing. Di dalam M. Rivai, A. Suryani, L. Hartoto,
dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi Untuk Menghasilkan MES
Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum Pascasarjana Vol.27 No.3:
281-291
Djatmiko, B dan S. Ketaren. 1985. Pemurnian Minyak Makan. Agroindustri Press, Jurusan Teknologi
Industri Pertanian. FATETA. IPB. Bogor
Durrant, P. J. 1960. General and Inorganic Chemistry. Di dalam Priyanto, H. Pengaruh Konsentrasi
dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H2O2) Terhadap Kualitas Pemutihan
Rotan Sega (Calamus caesius BI) (1990). Fakultas Teknologi Pertanian. FATETA IPB. Bogor
Elefani, D. 2008. Produksi Metil Ester Sulfonat untuk Surfaktan dari Chemithon Corporation, US
Patent 5587500; www.wikipedia.com [2 September 2010]
Gubitz, G.M., M. Mittelbach., dan M. Trabi. 1999. Exploitation of The Tropical Seed Plant
Jatropha curcas L. Di dalam Hambali, E., D. Setyaningsih, N. Haryanto, dan H. Kusbudiarto.
Pengembangan Material Cleaning Agent untuk Mempercepat Proses Pemurnian Biodiesel
Jarak Pagar (2007). Proposal. Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga
Pengembangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) -IPB. Bogor
Haryanto, B. 2007. Bahan Bakar Alternatif Biodiesel (Pengenalan I). USU Digital Library. Fakultas
Teknik. Jurusan Teknik Kimia. Universitas Sumatera Utara
Hendra, H. Y. C. 1980. Pengaruh Tahap-Tahap Proses Pemurnian yang dilakukan “PT UVOCRINE”
Terhadap Sifat-Sifat Minyak Kelapa Sawit Yang Dihasilkan. Fakultas Mekanisasi dan
Teknologi Hasil Pertanian. IPB. Bogor
36
Hernani dan Tri M. 2007. Peningkatan Mutu Minyak Atsiri Melalui Proses Pemurnian. Balai Besar
Litbang Pascapanen Pertanian, Bogor
Jacobs, M.B. 1951. The Chemistry and Technology of Food and Food Products. Interscience. New
York
Jungermann, E. 1979. Fat-Based Surface-Active Agent. Di dalam Efrat, N. Kajian Pengaruh Laju Alir
Gas SO3 dan Suhu Reaksi Sulfonasi Pada Karakteristik Surfaktan MESA dari Jarak pagar
(Jatropha curcas L.) dengan Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (2010).
Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA IPB. Bogor
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta
Kirk, R.E. dan D.F. Othmer. 1964. Encyclopedia of Chemical Technology, Vol.4, 2nd ed. The
Interscience Encyclopedia Inc., New York
MacArthur, B.W., B. Brooks, W.B. Sheats, and N.C Foster. 2002. Meeting the Challenge of Methyl
Ester Sulfonation. Chemiton
Peace, O.E.O dan O. Aladesanmi. 2008. Effect of Fermentation on Some Chemical and
Nutritive Properties of Berlandier Nettle Spurge (Jatropha cathartica) and Physic Nut
(Jatropha curcas). Di dalam Efrat, N. Kajian Pengaruh Laju Alir Gas SO3 dan Suhu Reaksi
Sulfonasi Pada Karakteristik Surfaktan MESA dari Jarak pagar (Jatropha curcas L.) dengan
Menggunakan Single Tube Falling Film Reactor (2010). Departemen Teknologi Industri
Pertanian, FATETA IPB, Bogo
Pore, J. 1976. Sulfated and Sulfonated Oils. In: Karlenskind, A. (Ed.). Oil and Fats. Manual
Intercept Ltd., New York
Prasetyo, C. 2008. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan
Fatty Alcohol dari Minyak Kelapa. FATETA IPB. Bogor
Priatna et al. 1990. Studi Pendahuluan Kemungkinan Pemanfaatan Diatome Asal Solo Sebagai
Penjernih Minyak Sawit. Di dalam Prasetyo, C. Pemurnian Surfaktan Nonionik Alkil
Poliglikosida (APG) Berbasis Pati Sagu dan Fatty Alcohol dari Minyak Kelapa (2008).
FATETA IPB. Bogor
Priyanto, H. 1990. Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H2O2)
Terhadap Kualitas Pemutihan Rotan Sega (Calamus caesius BI). Fakultas Teknologi
Pertanian. FATETA IPB. Bogor
Shafii, Salimah. 2008. The Removal of Zinc and Plumbum (Lead) by Using Hydrogen Peroxide.
Faculty of Chemical Engineering and Natural Resources Universiti, Malaysia, Pahang
37
Sheats, W. B. dan B. W. MacArthur. 2002. Methyl Ester Sulfonate Products.
http://www.chemithon.com
Suryani, A., Dadang M., Setyadjid M., A. Sudirman. 2008. Rekayasa Proses Produksi, Karakterisasi
dan Aplikasi Alkyl Polyglycosides (APG) Berbasis Fatty Alcohol Minyak Kelapa dan Pati
Sagu sebagai Surfaktan dalam Formulasi Herbisida. Laporan Akhir Hasil Penelitian.
Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI.
LPPM-IPB
th
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Vol I 4 edition. Chichester. Brisbane. New York
Waldhoff and Rudiger, 2005. Handbook of Detergents. Part C: Analysis. Madison Avenue. New York
Watkins, C. 2001. Surfactant and Detergent : All Eye Are on Texas. Di dalam M. Rivai, A.
Suryani, L. Hartoto, dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi Untuk
Menghasilkan MES Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum
Pascasarjana Vol.27 No.3: 281-291
Winkler, E., N. Foidl., G.M. Gubitz., R. Staubmann., dan W. Steiner. 1997. Enzyme-
Supported Oil Extraction from Jatropha curcas Seeds. Di dalam Hambali, E., D.
Setyaningsih, N. Haryanto, dan H. Kusbudiarto. Pengembangan Material Cleaning Agent
untuk Mempercepat Proses Pemurnian Biodiesel Jarak Pagar (2007). Proposal. Pusat
Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Lembaga Pengembangan dan Pengabdian kepada
Masyarakat (LPPM) -IPB. Bogor
Wood, J. H., C.W. Keenan and W. E. Bull Bowman. 1966. Fundamental of College Chemistry. Di
dalam M. Rivai, A. Suryani, L. Hartoto, dan W.S. Rahayu. Rekayasa Kondisi Proses Sulfonasi
Untuk Menghasilkan MES Menggunakan Metil Ester dari Minyak Inti Sawit (2004). Forum
Pascasarjana Vol.27 No.3: 281-291
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisis Proksimat Biji Jarak Pagar
Perhitungan:
Kadar Air 100%
Perhitungan:
Perhitungan:
w
%Lemak 100%
w
W = bobot contoh (gram)
W1 = bobot lemak sebelum ekstraksi (gram)
W2 = bobot labu lemak sesudah ekstraksi (gram)
40
Lampiran 2. Prosedur Analisis Minyak Jarak Pagar
Perhitungan:
Kadar Abu 100%
W = bobot contoh sebelum diabukan (gram)
W1 = bobot contoh + cawan sesudah diabukan (gram)
W2 = bobot cawan kosong (gram)
N ,
Bilangan Iod
G
Keterangan :
B = ml Na2S2O3 blanko
S = ml Na2S2O3 contoh
N = normalitas Na2S2O3
G = berat contoh (gram)
12,69 = berat atom iod/10
Perhitungan :
, T
Bilangan Iod
41
Keterangan :
V0 = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran blanko (ml)
V1 = volume HCL 0,5 N yang diperlukan pada peniteran contoh (ml)
m = bobot contoh (gram)
Tambahkan 50 ml pelarut yang sudah dinetralkan. Panaskan di atas penangas air atau
pemanas dan atur suhunya pada 40°C sampai contoh minyak larut semuanya. Tambahkan larutan
indikator fenolftalein sebanyak 1-2 tetes. Titrasi dengan larutan titar sambil digoyang-goyang hingga
mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda (merah
jambu) yang stabil untuk minimal selama 30 detik. Catat pengunaan ml larutan titar. Lakukan analisa
sekurang-kurangnya duplo, perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh melebihi 0,05 %. Persentase
asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan rumus di bawah ini dan dinyatakan dalam 2
desimal.
, N V
% Asam Lemak Bebas 100%
W
Perhitungan:
Densitas
42
6. Bilangan Asam / Asam Lemak Bebas / Derajat Asam (SNI 01-2891-1992)
Sebanyak 2 – 5 gram contoh ditimbang dan kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 250
ml, kemudian ditambahkan dengan 50 ml etanol 95% netral. Larutan dikocok lalu ditambahkan 3 -5
tetes indikator PP dan dititer dengan larutan standard NaOH 0,1 N hingga warna merah muda tetap
(tidak berubah selama 15 detik). Lakukan pekerjaan untuk blanko.
Perhitungan :
V T ,
a. Bilangan Asam
M V T
b. Asam Lemak Bebas (FFA)
V T
c. Derajat Asam
Keterangan :
V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran (ml)
T = normalitas NaOH
m = bobot contoh (gram)
M = bobot molekul asam lemak
43
Lampiran 3. Prosedur Analisis Metil Ester (Biodiesel)
Perhitungan
V N ,
Angka asam mg KOH/g biodiesel
V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml)
N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol.
M = berat contoh biodiesel ester alkil (gram)
Nilai angka asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka di belakang
koma).
2. Metode Analisis Standar Untuk Angka Penyabunan dan Kadar Ester Biodiesel
Ester Alkil (FBI-A03-03)
Timbang 4 – 5 ± 0,005 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah labu Erlenmeyer
250 ml. Tambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan pipet yang dibiarkan terkosongkan
secara alami. Siapkan dan lakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis contoh
biodiesel. Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang tertulis untuk di dalam “prosedur
analisis” ini, tetapi tidak mengikut-sertakan contoh biodiesel. Sambungkan labu Erlenmeyer
dengan kondensor berpendingin udara dan didihkan pelahan tetapi mantap, sampai contoh
tersabunkan sempurna. Ini biasanya membutuhkan waktu 1 jam.
Larutan yang diperoleh pada akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak,
perpanjang waktu penyabunannya. Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu
dingin hingga membentuk jeli), bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah kecil akuades.
Lepaskan kondfensor dari labu, tambahkan 1 ml larutan indikator fenolftalein ke dalam labu, dan
titrasi isi labu dengan HCl 0,5 N sampai warna merah jambu persis sirna. Catat volume asam
khlorida 0,5 N yang dihabiskan dalam titrasi.
Perhitungan
Angka penyabunan (As) = mCN - 56,1(B mg KOH/g biodiesel)
dengan :
B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko (ml)
C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh (ml)
N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N
m = berat contoh biodiesel ester alkil (gram)
Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal (dua angka
di belakang koma).
Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus berikut :
, G
Kadar Ester (%-b)
44
dengan :
As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel.
Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel.
Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b.
N ,
Bilangan Iod
G
4. Metode Analisis Standar Untuk Kadar Gliserol Total, Bebas, Dan Terikat Di
Dalam Biodiesel (FBI-A02-03)
45
cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari. Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium
tiosulfat yang sudah distandarkan (diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna coklat
iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan titrasi
sampai warna biru kompleks iodium-pati persis sirna. Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01
ml dengan bantuan pembesar meniskus. Ulangi langkah 08 s/d 11 untuk mendapatkan data duplo
dan (jika mungkin) triplo. Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah 09 s/d 11 pada dua
gelas piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada no. 07.
Perhitungan
, N
Gttl (%-b)
W
dengan :
C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh (ml)
B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko (ml)
N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat
46
Lampiran 4. Prosedur Analisis Karakteristik MESA dan MES
Perhitungan:
Densitas
Keterangan :
W0 = bobot piknometer kosong
W1 = bobot piknometer beserta air
W2 = bobot piknometer beserta sampel
3. Pengukuran Viskositas
Pengukuran viskositas atau kekentalan sampel dilakukan dengan pengisian sampel ke dalam gelas
piala 250 ml. Penentuan nilai viskositas menggunakan viskometer Brookfield dengan spindel nomor 1
pada putaran 50 rpm jika menggunakan Model RV atau 30 rpm jika menggunakan Model LV viskometer.
Pastikan steker telah dipasang pada power supply. Tombol hitam pada viskometer digunakan sebagai
pengontrol on (ke kanan) untuk menyalakan, off untuk mematikan (ke kiri), atau pause (tengah).
Viskometer LV dapat diset untuk 4 macam spindel dengan kaki penahan yang lebih sempit; viskometer
RV diset untuk 7 macam spindel dengan wadah dengan kaki penahan yang lebih lebar; HA dan HB
47
viskometer diset untuk 7 macam spindel tanpa kaki. Kecepatan (dalam rpm) diatur dengan tombol di
bagian atas viskometer pada kecepatan yang diinginkan.
Viskometer yang digunakan adalah viskometer LV dengan kecepatan 30 rpm. Jarum merah untuk
membaca skala dipastikan di titik nol. Gunakan tuas di belakang viskometer untuk mengatur kemiringan
sehingga jarum merah berhimpit pada titik nol. Spindel dipasang sesuai kekentalan sampel. Makin kental
sampel, makin kecil nomor spindel yang digunakan. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml.
Kaki penahan diturunkan tetapi tidak sampai menyentuh dasar gelas piala. Tombol kontrol ditekan on.
Saat piringan skala berputar, skala yang ditunjuk jarum merah dibaca pada putaran pertama. Tombol
kontrol off setelah pembacaan dan ditepatkan agar jarum merah dapat terhimpit kembali ke angka nol.
48
kemudian dititrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1 N sampai warna biru larutan tidak terlalu pekat.
Selanjutnya ditambahkan larutan kanji satu persen dan titrasi kembali sampai warna biru hilang.
Blanko dibuat dengan cara yang sama tanpa menggunakan minyak
N ,
Bilangan Iod
G
Keterangan : B = ml Na2S2O3 blanko
S = ml Na2S2O3 contoh
N = normalitas Na2S2O3
G = berat contoh (gram
12,69 = berat atom iod/10
Perhitungan :
V T ,
a. Bilangan Asam
M V T
b. Asam Lemak Bebas (FFA)
V T
c. Derajat Asam
Keterangan :
V = volume NaOH yang diperlukan dalam peniteran (ml)
T = normalitas NaOH
m = bobot contoh (gram)
M = bobot molekul asam lemak
49
Lampiran 6. Data Hasil Analisa Nilai pH
Lampiran 6.1. Rekapitulasi data nilai pH pada proses Bleaching pada konsentrasi
H2O2 2, 4 dan 6%.
pH
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
B (H2O2 2%) 1,11 1,12 1,11
B (H2O2 4%) 1,20 1,05 1,12
B(H2O2 6%) 1,23 1,20 1,21
Analisa keragaman variabel respon nilai pH pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
Keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 7,958 7,95 2,032E3 10,13 ,000
Proses (Ai) 2 0,012 0,006 1,549 9,55 ,345
Kekeliruan 3 0,012 0,004
Jumlah 6 7,982
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
pH
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
BN(H2O2 2%) 5,78 8,53 7,15
BN (H2O2 4%) 8,00 5,67 6,84
BN (H2O2 6%) 6,62 6,68 6,65
Analisa keragaman variabel respon nilai pH pada proses Bleaching-Netralisasi pada konsentrasi H2O2 2, 4
dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
Keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 284,006 284,006 131,130 10,13 ,001
Proses (Ai) 2 0,261 0,131 0,060 9,55 ,943
Kekeliruan 3 6,497 2,166
Jumlah 6 290.765
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
51
Lampiran 7. Data Hasil Analisa Tingkat Warn
Lampiran 7.1. Rekapitulasi data tingkat warna pada proses Bleaching pada
konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Warna
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
B (H2O2 2%) 0,43 0,47 0,45
B (H2O2 4%) 0,26 0,42 0,34
B (H2O2 6%) 0,22 0,45 0,33
Analisa keragaman variabel respon tingkat warna pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan
6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
Keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 0,844 0,844 63,202 10,13 ,004
Proses (Ai) 2 0,017 0,008 0,633 9,55 ,590
Kekeliruan 3 0,040 0,013
Jumlah 6 0,901
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
Warna
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
BN (H2O2 2%) 0,50 0,54 0,52
BN (H2O2 4%) 0,15 0,38 0,27
BN (H2O2 6%) 0,34 0,60 0,47
Analisa keragaman variabel respon tingkat warna pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan
6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
Keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 1,050 1,050 51,598 10,13 ,006
Proses (Ai) 2 0,073 0,037 1,794 9,55 ,307
Kekeliruan 3 0,061 0,020
Jumlah 6 1,184
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
52
Lampiran 8. Data Hasil Analisa Nilai Bilangan Iod
Lampiran 8.1. Rekapitulasi data nilai bilangan iod pada proses Bleaching pada
konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Bilangan Iod
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
B (H2O2 2%) 31,38 34,25 32,82
B (H2O2 4%) 31,69 28,36 30,02
B (H2O2 6%) 30,62 32,53 31,57
Analisa keragaman variabel respon nilai bilangan iod pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2 2, 4
dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 5942,795 5942,795 1,552E3 10,13 ,000
Proses (Ai) 2 7,816 3,908 1,021 9,55 ,459
Kekeliruan 3 11,487 3,829
Jumlah 6 5962,098
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
Lampiran 8.2. Rekapitulasi data nilai bilangan iod pada proses Bleaching-
Netralisasi pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Bilangan Iod
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
BN (H2O2 2%) 39,42 22,62 31,02
BN (H2O2 4%) 32,07 27,43 29,75
BN (H2O2 6%) 32,11 28,90 30,50
Analisa keragaman variabel respon nilai pH pada proses Bleaching-Netralisasi pada konsentrasi H2O2 2, 4
dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 5554,084 5554,084 106,104 10,13 ,002
Proses (Ai) 2 1,632 0,816 0,016 9,55 ,985
Kekeliruan 3 157,037 52,346
Jumlah 6 5712,753
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
53
Lampiran 9. Data Hasil Analisa Kadar Bahan Aktif
Lampiran 9.1. Rekapitulasi data nilai kadar bahan aktif pada proses Bleaching
pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Bahan Aktif
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
B (H2O2 2%) 20,50 26,01 23,25
B (H2O2 4%) 18,12 20,74 19,43
B(H2O2 6%) 16,96 20,94 18,94
Analisa keragaman variabel respon nilai kadar bahan aktif pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2
2, 4 dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 2532,582 2532,582 286,357 10,13 ,000
Proses (Ai) 2 22,263 11,131 1,259 9,55 ,401
Kekeliruan 3 26,532 8,844
Jumlah 6 2581,377
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
Lampiran 9.2. Rekapitulasi data nilai kadar bahan aktif pada proses Bleaching-
Netralisasi pada konsentrasi H2O2 2, 4 dan 6%.
Bahan Aktif
Proses Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata
BN (H2O2 2%) 19,76 27,18 23,47
BN (H2O2 4%) 18,41 26,39 22,40
BN (H2O2 6%) 20,44 26,11 23,27
Analisa keragaman variabel respon nilai kadar bahan aktif pada proses Bleaching pada konsentrasi H2O2
2, 4 dan 6%.
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F-hitung F-Tabel Signifikansi
keragaman bebas Kuadrat Tengah (0,05)
Intersep (µ) 1 3187,354 3187,354 126,746 10,13 ,002
Proses (Ai) 2 1,299 0,650 0,026 9,55 ,975
Kekeliruan 3 75,443 25,148
Jumlah 6 3264,096
Keterangan: nilai signifikansi ≥ nilai α (0,05) = tidak berpengaruh nyata
54
Lampiran 5. Data Hasil Analisa MESA dan MES Hasil Pemurnian.
Nilai (Rata-rata)
No. Parameter Metode Satuan MESA N B (H2O2 2%) B(H2O2 4%) B (H2O2 6%) BN (H2O2 2%) BN (H2O2 4%)BN (H2O2 6%)
1 Bilangan Asam SNI 01-2891-1992 mg KOH/g MES 15.12 0.00 11.83 12.00 11.74 0.00 0.00 0.00
2 FFA SNI 01-2891-1992 % 7.60 0.00 5.95 5.65 5.79 0.00 0.00 0.00
3 Bahan Aktif Ephton % 32.64 30.79 23.25 19.43 18.94 23.47 22.4 23.27
4 pH ASTM D 1172-95 1.01 6.71 1.11 1.12 1.21 7.15 6.84 6.65
5 Bilangan Iod AOAC mg Iod/g MES 42.42 34.73 32.82 30.02 31.57 31.02 29.75 30.5
6 Warna Klett Klett(5% aktif (MES + di-salt) 877 550 448 339 334 522 266 466
7 Densitas SNI 01-2891-1992 g/ml 1.01 1.08 0.98 0.98 0.98 1.01 1.01 1.02
50