Anda di halaman 1dari 14

Nama Peserta : dr.

Immanuel Michael Hadinata


Nama Wahana : RS PTPN X Jember Klinik
TOPIK : Gullian Barre Syndrome
Tanggal (kasus) : No. RM: 233907
Nama Pasien : Sdra. L Nama Pendamping: dr. Anita Fadhillah MMRS
Nama Pendamping II : dr. Rizky Imansari Nama Pembimbing: dr. Usman Sp.S
Objektif Presentasi
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran o Tinjauan Pustaka
o Diagnostik o Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :

o Tujuan:
1. Menegakkan diagnosis Gullian Barre Syndrome
2. Manajemen dan tatalaksana awal Gullian Barre Syndrome
Bahan Bahasan: Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit
Cara Membahas: Diskusi Presentasi dan Diskusi E-mail 244
Data Pasien Nama : Sdra. L No Registrasi : 233907

1
Nama fasilitas kesehatan: RS PTPN X Jember Klinik Telp : 0852xx Terdaftar sejak : 30/1/2018
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis/Gambaran Klinis :
Keluhan Utama : Muntah darah merah dan BAB hitam
Riwayat Penyakit Sekarang
2. Pasien datang ke IGD RSJK dengan mual muntah sejak 4 hari, demam tinggi, tidak membaik dengan obat, BAB cair ampas lendir, minum
banyak, nafsu makan turun, rewel
3. Riwayat Pengobatan: Obat demam sirup
Riwayat Kesehatan/Penyakit Dahulu: Tidak ada
4. Riwayat Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang punya keluhan sama seperti pasien
5. Riwayat Imunisasi : Pasien tidak pernah diimunisasi sejak lahir
6. Riwayat Tumbuh Kembang : Pasien berkembang sesuai dengan usianya
7. Riwayat Psikososial : Pasien merupakan anakyang aktif dan berinteraksi baik dengan lingkungan sekitarnya
8. Pemeriksaan Fisik (dilakukan tanggal 11/4/2018 di IGD)
Status Generalis
 vital sign GCS CM, napas 30x/menit, nadi 134x/menit, suhu 39,4C,berat badan 6,4kg
 kepala anemis - / icterus - / cyanosis - / dyspneu -, mata cowong +, ubun-ubun besar cekung
 thorax simetris, retraksi - , vesikuler/vesikuler, ronkhi -, wheezing -, s1s2 tunggal, murmur -, gallop -

2
 abdomen soepel, hepar-lien tidak teraba. nyeri -, bising usus + meningkat
 extremitas akral hangat kering pucat, capillary refill time<2, edema -,
9. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (30/1/18)
Darah lengkap
Hb 11
WBC 9.900
PLT 844.000
PCV 33,1%
Diff
Sedimen 36
Monosit 4
Lymfosit 60
Urin lengkap
pH & BJ 5,5/1,000
Sedimen urin lengkap
Leukosit 4-6
Epitel 7-10

3
DAFTAR PUSTAKA
1. Handryastuti S, 2007. Sari Pediatri. 9(2); 112-120. Jakarta
2. Nuri A, 2010. Workshop dan Simposium Tatalaksana Muktahir Kasus Demam pada Anak. IDAI Jatim. Jember.
3. Soetomenggolo T S, 2000. Buku Ajar Neurologi Anak. Cetakan 2. PB IDAI. Jakarta.
4. Ismael S, dkk. 2016. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. IDAI. Jakarta.
5. Arief RF. 2015. Penatalaksanaan kejang demam. IDAI. Jakarta.
6. Pudjiadi, dlkk. 2010. Pedoman pelayanan medis. IDAI. Surya. Jakarta
7. Gunawan PI, Suharso D.2012. Faktor risiko kejang demam berulang pada anak. Media Medika Indonesia. 42(2): 75-79.
8. Gunawan W, Kari K, Soetjiningsih. 2014. Knowledge, and practices of parents with children of first time and reccurent febrile seizure.
Pediatrica Indonesiana. 48: 193-198.
9. Marwan R, 2017. Faktor Yang Berhubungan Dengan Penanganan Pertama Kejadian Kejang Demam Pada Anak Usia 6 Bulan – 5 Tahun Di
Puskesmas. Universitas Muhammadiah Banjarmasin. CNJ. Banjarmasin.
10. Irdawati, 2012. Kejang Demam dan Penatalaksanaannya. FKI UMS. Surakarta
11. Arianti, 2010. Perbandingan efektivitas pemberian kompres hangat antara daerah dahi dengan axilla terhadap penurunan suhu tubuh
pada anak di RSUD Lanto Daeng Pasewang Kabupaten Jeneponto. FIK UIN. Makasar
12. Ismael, dkk, 2016. Pedoman Penatalaksanaan Status Epileptikus. IDAI. Jakarta
13. Rofiqoh, 2014. Tingkat Kecemasan Ibu dan Anak. Stikes Muhammadiyah Pekajangan. JIK. Pekalongan.
14. Redjeki,S. 2014. Kejang Demam. RSUD Blambangan. Bayuwangi.

4
15. Erny. 2015. Teknik Resusitasi Neonatus, Bayi, Dan Anak. FK UWKS. Surabaya.

HASIL PEMBELAJARAN:
1. Pengetahuan tentang penegakan diagnosis dari Gullian Barre Syndrome (GBS)
2. Patogenesis Gullian Barre Syndrome (GBS)
3. Pengetahuan tentang tatalaksana awal Gullian Barre Syndrome (GBS)
4. Edukasi tentang epidemiologi Gullian Barre Syndrome (GBS)

5
TINJAUAN PUSTAKA

1. Pendahuluan
Gullian Barre Syndrome ialah polyneuropathy yang dapa berlangsung akut
maupun sub-akut, dapat terjadi spontan atau sesudah terjadi infeksi. Pada
pemeriksaan patologis, belum pernah ditemukan di dalam penderita
mikroorganisme penyebab.
Gullian Barre Syndrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup
sering terjadi pada usia dewasa muda. GBS sering mencemaskan penderita dan
keluarga karena terjadi pada usia produktif , terkadang dalam beberapa kasus
dapat menimbulkan kematian,meskipun pada umumnya mempunyai prognosa
yang baik.

2. Epidemiologi
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum
banyak.Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di
Indonesia adalaj decade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki - laki dan wanita hamper sama. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki – laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata
– rata 23,5 tahun. Insiden Tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.

3. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti
penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya GBS, antara lain :
 Infeksi :
o Chlamydia
o Campylobacter jejuni
o Hepatitis B
o Micoplasma pneumoniae

6
o Cytomegalovirus
o Epstei – barr virus
o Human immunodeficiency virus (HIV)
 Vaksinasi
o Group A streptococci
o Rabies
o Influenza
 Penyakit sistemik
o Keganasan
o Systemic lupus erythematosus
o Tiroiditis
o Penyakit Addison
 Kehamilan atau dalam masa nifas
Gullian Barre Syndrome (GBS) sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar 56%
- 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi
saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal

7
Kejang demam sederhana
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang
umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang
demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam (Arief RF,
2015).
Keterangan:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang
demam
2.Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan
berhenti sendiri (IDAI, 2016).
Kejang demam kompleks
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
1. Kejang lama (>15 menit)

8
2.Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
3.Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
1. Patofisiologi
Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial membran.
Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel.
Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam keadaan
istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial
membrane ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan.
Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion
terutama ion Na+, K + dan Ca++. Keseimbangan potensial membran dijaga atau
diatur melalui mekanisme pompa Na-K ATPase yang membutuhkan ATP dari
sintesa glukosa dan oksigen.
Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya pada kondisi demam. Dimana
kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan O2 meningkat 20%. Pada seorang anak berumur kurang dari
enam tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan
dengan orang dewasa (hanya 15%) oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh pada
anak mudah terjadi hipoksia sehingga terjadi metabolisme anaerob yang
mengakibatkan penurunan produksi ATP (Irdawati, 2012). Hal ini
mengakibatakan terjadi perubahan keseimbangan membran sel neuron dan
dalam waktu singkat, yang ditandai dengan penurunan potensial membran yang
akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat,
sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel dan K+ keluar. Tejadi
depolarisasi berlebihan yang akan menimbulkan suatu potensial aksi ini akan
dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia
yang dikenal dengan neurotransmiter sehingga terjadilah kejang.
Menurut Arief RF, 2015 Peningkatan temperatur tubuh juga mengakibatakan
sekresi sitokin yang merupakan pirogen endogen meningkat seiring kejadian
demam dan respons inflamasi akut. Respons terhadap demam biasanya
dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan pirogen endogen atau
lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif sebagai pirogen eksogen. LPS
menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan anti-inflamasi sitokin

9
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor antagonist (IL-
1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2)
yang akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian
menstimulus pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan
suhu tubuh. Demam juga akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus.
Pirogen endogen, yakni interleukin 1ß, akan meningkatkan eksitabilitas
neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABA, peningkatan eksitabilitas
neuronal ini yang menimbulkan kejang.
Bila perangsangan karena demam telah teratasi, maka kebutuhan ATP terpenuhi
sehingga permiabilitas membran kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+
akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa
Na-K ATPase.
2. Klinis dan diagnosis
Anamnesis
1. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, dan lama kejang
2. Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala infeksi
saluran napas akut (ISPA), infeksi saluran kemih (ISK), otitis media akut (OMA),
dll)
2. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga.
2. Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang mengakibat
gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia, asupan kurang
dapat menyebabkan hipoglikemia, atau adanya suatu infeksi pada sistem saraf
pusat) (PPM IDAI, 2010)
Pemeriksaan fisik
1. Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh: apakah
terdapat demam
2. Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, bruzinski I dan II, kernique, dan
laseque
3. Pemeriksaan nervus kranial
4.Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun-ubun besar (UUB) membonjol,

10
papile edema
5.Tanda infeksi diluar SSP : ISPA, ISK, OMA, dll
6.Pemeriksaan neurologis : tonus, motorik, reflex fisiologis, dan reflex patologis
(PPM IDAI, 2010).
Pemeriksaan Penunjang

MRI diketahui memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi


dibandingkan CT scan, namun belum tersedia secara luas di unit gawat darurat.
CT scan dan MRI dapat mendeteksi perubahan fokal yang terjadi baik yang
bersifat sementara maupun kejang fokal sekunder. Foto X-ray kepala dan
pencitraan seperti Computed Tomography scan (CT-scan) atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI) tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papil edema
3. Manajemen dan terapi
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital) maupun di rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam
rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan

11
berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg
(IDAI, 2016). Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulangi lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit. Sedangkan bila dirumah pasien baru diberikan
diazepam rectal 1 kali, maka saat tiba di rumah sakit dan anak masih kejang
boleh diberikan diazepam rektal 1 kali lagi. Apabila dirumah sakit tersebut tidak
tersedia diazepam rektal maka boleh menggunakan diazepam sediaan IV, ambil
sesuai dosis diatas yang dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang
jarumnya lalu diberikan per rektal.
Di rumah sakit evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation
(ABC) harus dilakukan sebelum dan seiring dengan pemberian obat anti-
konvulsan yaitu diazepam intravena dengan cara sebagai berikut :
a. Airway
Pastikan jalan nafas bebas dengan cara mengajak komunikasi pasien,
kemudian nilai apakah pasien dapat berbicara dan bernapas dengan bebas.
Jika terjadi obsruksi misalnya pasien muntah, posisikan anak miring dan
bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung dengan kassa, kemudian
lakukan suction. Pertahankan stabilitas airway dengan memposisikan pasien
terlentang dengan sedikit menengadah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
mengganjal bahu dengan linen atau bantal hingga bahu terangkat 2-3 cm dari
permukaan kasur.
b. Breathing
Menilai pernafasan pasien baik, berikan oksigen sesuai kebutuhan
c. Sirkulasi
Pasang IV line untuk pemberian cairan infus dan terapi secara parenteral
Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10
mg. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvulsan profilaksis. (IDAI, 2016).

12
Untuk terapi rumatan diberikan selektf pada kasus-kasus tertentu, diantaranya
a. Kejang fokal, dimana Kejang fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak
mempunyai fokus organik yang bersifat fokal.
b. Kejang lama >15 menit
c. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. Sedangkan Kelainan neurologis tidak nyata,
misalnya keterlambatan perkembangan, bukan merupakan indikasi pengobatan
rumat (IDAI, 2016)
Obat yang digunakan adalah asam valproat 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis
atau fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis setiap hari efektif selama 1 tahun,
dapat mencegah terjadinya kejang berulang. Penghentian pengobatan dapat
dilakukan secara langsung tanpa tappering-off namun dilakukan saat anak sedang
tidak demam

13
14

Anda mungkin juga menyukai