Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

ASMA BRONCHIALE

Oleh:
dr. Galih Yogo Cahya Adhi

Pembimbing:
dr. Rita Diahastuti

RS TK IV KOTA KEDIRI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan(GINA, 2016).
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi
pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala
dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi(GINA, 2016).
Asma juga merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai
oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan
saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai.
Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas
karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai.
Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta
individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma, terutama di negara-negara
maju dan berkembang. di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea
Selatan kenaikan prevalensi asma sangat mencolok. Kasus asma ini meningkat
insidennya secara dramatis selama lebih dari dua puluh tahun, Beban global dari
dampak buruk penyakit asma juga semakin meningkat yang meliputi, penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan bisa
menyebabkan kematian.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
 Nama : Ny. S
 Jenis kelamin : Perempuan
 Umur : 68 tahun
 Status : Menikah
 Agama : Kristen
 Alamat : Semampir- Kediri
 Pekerjaan : Ibu rumah tangga
 Pemeriksaan : 5 Desember 2018

II. ANAMNESIS
 Keluhan utama : Sesak
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Keluhan muncul sejak 1 jam
sebelum mrs. Keluhan menetap dan bertambah. Keluhan dirasakan saat
beraktivitas setelah mandi. Pasien juga mengeluh batuk dan dahak sulit
keluar . Pasien tidak mengeluh panas, pilek, nyeri dada dan mual muntah.
Makan dan minum dalam batas normal serta bab dan bak dalam batas
normal. Tidak ditemukan keluhan lainnya dan pasien tidak mengkonsumsi
obat apapun.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


Asma (serangan terakhir 3 minggu sebelum mrs),HT (disangkal), DM
(disangkal), Penyakit jantung (disangkal), Trauma (disangkal).
 Riwayat Penyakit Keluarga :
HT(disangkal) DM(disangkal)
 Riwayat Pengobatan : pernah pengobatan asma tetapi berhenti
 Riwayat Sosial:merokok (-), lingkungan berpolusi (-)
II.PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum : cukup
Kesadaran : kompos mentis
GCS : 456
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x/menit, reguler
Pernafasan : 28x/menit,dispneu
Suhu : 36,5o C

B. Kepala Leher
 Umum
Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dyspnea (+)
 Mata
Alis : normal
Bola mata : normal
Kelopak : normal
Konjungtiva : normal
Sclera : normal
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+
Lensa : normal

 Telinga
Bentuk : normal
Procesus mastoideus : tidak nyeri
Lubang telinga : tidak ada kelainan
Can.audit.ext : tidak ada kelainan
Pendengaran : tidak ada kelainan

 Hidung
Penyumbatan : tidak ditemukan penyumbatan
Daya penciuman : normal
Cuping Hidung : pernapasan cuping hidung -
 Mulut
Bibir : tidak ada tanda sianosis
Gusi : tidak didapat perdarahan
Lidah : tidak kotor
Mukosa : normal
Palatum : normal

 Leher
Kel.limfe : tidak didapatkan pembesaran
Trakea : deviasi -
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena Jugularis : tidak terdapat distensi
Arteri Carotis : teraba pulsasi

C. Thorax
 Umum
Bentuk : normal
Kulit : normal
Axilla : tidak ditemukan kelainan, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening

 Paru
Dextra Sinistra

I: simetris,retraksi - I: simetris,retraksi -
P:fremitus raba + normal P: fremitus raba + normal
P: sonor + P: sonor +
A: Vesikuler +,Rhonki -, A: Vesikuler +,Rhonki -, Wheezing
Wheezing (+diseluruh (+ diseluruh lapangan paru)
lapangan paru)

 Jantung
Inspeksi Iktus tampak di axilaris anterior line sinistra ICS V
Palpasi Iktus teraba di axillaris anterior line sinistra ICS V,
tidak didapatkan thrill
Perkusi Batas jantung kanan: parasternal line dextra ICS V
Batas jantung kiri: axillaris anterior line sinistra ICS V
Auskultasi S1, S2: normal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -

D. Abdomen
Inspeksi Bentuk:
 Supel, taktampakmassa, umbilicus masuk
kedalam
 Kulit: turgor normal
Auskultasi Bising usus: positif, normal
Palpasi Tugor normal, tonus normal.
hepatomegali (-), Lien tidak teraba
Nyeri tekan(+) regio epigastrium
Ginjal tidak teraba
Nyeri ketok ginjal (-)
Perkusi Timpani, Meteorismus (-), Shifting dullness (-)

E. Inguinal – Genitalia – Anus


Tidak didapatkan kelainan

F. Ekstremitas
Atas Akral hangat dan kering
Tidak didapatkan petechiae, purpura dan echimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak didapatkan nyeri sendi
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema: tidak didapatkan
Tidak didapatkan kelumpuhan
Bawah Akral hangat dan kering
Tidak didapatkan petechiae, purpura dan echimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema: tidak didapatkan
Tidak didapatkan kelumpuhan

III. DIAGNOSIS
Asma Bronchiale derajat serangan ringan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Tidak dilakukan

V. TATALAKSANA
- Nebul salbutamol 1 amp + bromhexine 4 cc + PZ 2 cc
- Pasien posisi duduk
- PO Salbutamol 2x4 mg
- PO Ambroxol 3x30mg
- PO Methylprednisolon 3 x 4mg
VI. EDUKASI
 Menyarankan pasien untuk menghindari alergen,pencetus, pemicu
penyebab serangan asma
 Menyarankan pasien untuk beristirahat.
 Menyarankan pasien untuk berolahraga dan menurunkan berat badan.
BAB III
PEMBAHASAN
Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta
individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma, terutama di negara-negara
maju dan berkembang. di Asia. Kasus asma ini meningkat insidennya secara
dramatis selama lebih dari dua puluh tahun.
Pasien tersebut didiagnosis asma bronchiale berdasarkan anamnesis yang
menunjukkan kalau pasien merupakan penderita asma dan sering berobat di
rumah sakit maupun faskes pertama. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan
wheezing di seluruh lapangan paru bilateral dan bentuk thorax yang normal serta
tidak ditemukan kelainan jantung seperti S3 gallop maupun rhonci yang
mengarahkan ke dispneu karena penyakit jantung. Pada pasien ini dapat di DD
dengan PPOK karena memiliki usia yang lanjut (60 tahun) dan memiliki riwayat
sesak tetapi tidak ditemukan kelainan seperti melebarnya ICS maupun rhonchi
dan tidak ditemukan riwayat perokok.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti spirometri,
foto thorax maupun darah lengkap dan ecg dikarenakan keterbatasan IGD RS TK
iV Kediri dan efisiensi pembiayaan BPJS. Pasien ini mendapat terapi nebul
salbutamol untuk bronkodilatornya dan mendapat terapi per oral untuk di rumah
yang terdiri atas salbutamol sebagai bronkodilator, bromhexin sebagai
ekspektoran dan methylprednisolon sebagai antiinflamasi (pasien diduga aman
karena tidak menderita DM atau hipertensi).
Prognosis pada pasien ini dubia et bonam dan ada kemungkinan
eksaserbasi jika mendapat paparan alergen atau obat habis. Pada pasien ini
dirawatjalankan karena setelah mendapat terapi, pasien tidak memiliki keluhan.
Pada kasus ini saya menyarankan untuk dilakukannya pemeriksaan
penunjang seperti spirometri untuk membedakan dengan kelainan paru obstruktif
dan dilakukan foto thorax juga serta dilakukan pemeriksaan EKG untuk
membedakan dengan kelainan lain yang berasal dari jantung. Perlu dicari
penyebab yang menjadi bahan pemicu dari serangan asma pada pasien ini. Pasien
harus mengingat bahan apa yang menyebabkan asma jika terjadi serangan
selanjutnya . Pasien disarankan untuk mencegah alergen dan menurunkan berat
badan.
BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(GINA, 2016)

Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan masa
menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak
lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih
tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7% (GINA,
2008).

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orangdan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies
inChildhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di
Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% (GINA,
2008).

Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua
yaitu faktor yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu
munculnya gejala asma. Yang menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam
faktor dari host (faktor primer yaitu genetic) dan faktor yang memicu terjadinya
gejala asma biasanya adalah faktor lingkungan

 Faktor Penjamu
 Genetik.
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan
dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari
dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari
kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam
patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam
menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9,
CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD
dan sebagainya.
 Obesitas
Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas ( BMI >30 kg /
m2) dan pada individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada
pasien dengan obesitas memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan
morbiditas biasanya lebih meningkat pada pasien dengan obesitas daripada
pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan glukokortikosteroid
sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat mengakibatkan
obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas menyebabkan
terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma masih
belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa
faktor. Telah diteliti bahwa obesiras dapat mempengaruhi fungsi dari jalan
napas dan efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri,
berkembangnya pro-inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan
pengaruh dari hormon atau nerogenik. Sehingga pada pasien obesitas
terjadi penurunan volume ekspirasi, perubahan pola pernapasan ini dapat
menyebabkan perubahan dari elastisitas dan fungsi dari otot polos saluran
pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator inflamasi melalui
adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- ά, eotaxin, dan leptin, kombinasi
dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat
menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana
mekanisme sehingga mempengaruhi saluran napas.

 Faktor Lingkungan
 Allergen

Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk
sari, spora jamur) dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan
khususnya dalam perkembangan asma masih belum sepenuhnya dapat
dijelaskan.
 Infeksi
Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan
fenotip asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus
memproduksi pola gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan
asma pada masa kanak-kanak. Beberapa studi prospektif pada anak dengan
RSV menunjukkan bahwa 40 % akan berlanjut menjadi wheezing atau
memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun pada penelitian
lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan
sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari
perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi
yang jelas. Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi
infeksi dari cacing tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan
selanjutnya.(Iris R,2008)

 Bahan di Lingkungan Kerja


Lebih dari 300 substansi telah dihubungkan dengan asma akibat kerja. Yang
diartikan sebagai asma yang disebabkan oleh paparan dari agen yang ada
dilingkungan kerja. Substansi ini termasuk molekul kecil dengan reaktivitas
tinggi seperti isocyanate, iritan yang dapat menyebabkan respon dari saluran
napas, imunogen seperti garam platinum, dan tumbuhan dan produk biologi
hewan yang menstimulasi di produksinya IgE. Pekerjaan dengan tingkat risiko
tinggi untuk terjadi asma termasuk pertanian dan agrikultur, mengecat
(termasuk cat semprot), bersih-bersih, dan pabrik plastik. Kebanyakan asma
akibat kerja memiliki periode laten dari bulan hingga tahunan setelah onset
terpapar. (Eric,2010)

 Asap Rokok.
Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi pary pada
individu dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif
terhadap pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi
terkontrolnya gejala asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun
setelah melahirkan meningkatkan perkembangan terjadinya asma pada usia
dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit alergi masih belum jelas.
Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat kehamilan
dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki
faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan
gejala wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok
(perokok pasif) meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi
dan usia dini.(Anthony et al,2008)

 Polusi udara dari dalam dan luar ruangan


 Makanan .
Bayi dengan susu formula dari susu sapi atau protein kedelai memiliki insiden
lebih tinggi terkena penyakit dengan wheezing daripada bayi dengan ASI.
Peningkatan konsumsi makanan pengawet dan mengurangi anti oksidan (
dalam bentuk buah dan sayur), meningkatkan n-6 polyunsaturated asam lemak
( margarine dan minyak sayur), dan mengurangi asam lemak n-3
polyunsaturated (minyak ikan) memeliki kontribusi meningkatnya penyakit
atopi dan asma.

 Exercise-Induced Asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau
olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paing mudah
menimbulkan serangan asma. Seangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Iris,2008)

 Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, kemarau, bunga (serbuk sari berterbangan).

Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.
Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma.
Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010; Wenzel,
2012):
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya
rhinitis alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada
pasien tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas
eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap
terapi kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri
sputumnya dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung
beberapa sel inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap
kortikosteroid inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma
pertama kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan
dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan
yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
Patogenesis

1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan
infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi
diri dari perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper
(Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M.
tuberkulosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan
antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2
menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang
produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu
rumah dan bulu kucing (Alfven, 2006).
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4.
Sitokin ini dihasilkan olehplasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasentaberhubungan dengan perubahan nutrisi
sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksiantara alergen dan polusi
udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksiakan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkankecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnyaakan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferongama
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk
lebihjelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan
eosinofil. Setelahseseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian
melekat ke target sel.Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan
melibatkan sel-sel tersebut diatas. Sitokin atau kemokin yang berperan
dalam perkembangan, recruitment danaktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4,
IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-
CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed
and secreted (RANTES) (Alan, 2009).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi
dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel
dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi
antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan
tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin
dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju
ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami
migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan
kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin
kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di
superfamili immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion
molecule(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1
(Bussen, 2001).

Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi


Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke
saluran napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti
RANTES,eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag
inflamatory protein (MIP)-1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil
teraktivasi melepaskanmediator inflamasi seperti leukotrien dan protein
granul untuk menciderai salurannapas. Survival eosinofil diperlama oleh
IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkaninflamasi saluran napas yang
persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentangproses inflamasi saluran
napas dapat dilihat pada gambar di bawah (Price, 2005).

Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas


Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons
inflamasi yangdimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi
dengan atau tanpaasma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk
menentukan mengapalebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis
dan asma masih belumdiketahui secara pasti (Shaver, 1995)
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi
pentingbaik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat
degranulasisel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah.
Sedangkan efekfisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang
dimediasi oleh sel mastterjadi baik di saluran napas atas maupun bawah,
akan menyebabkan obstruksi.Sedangkan kontraksi otot polos saluran
napas bawah lebih berat dalammerespons inflamasi dibanding saluran
napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam menyebabkan
bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan bawah
berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi
daripada asma (Alan, 1999).
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil
sirkulasimelalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh
permukaan sel.Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang
aktivasi sel denganmelepas beberapa mediator seperti histamin, leukotrien,
prostaglandin dankinins. Hal tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis
dan asma melaluipengaruh langsung terhadap reseptor syaraf dan
pembuluh darah pada salurannapas dan juga pada reseptor otot polos
(Peter, 1998)
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan
akanmenyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit.
Gejala padasaluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan
rinorea.Sedangkan gejala pada saluran napas bawah meliputi
bronkokonstriksi,hipersekresi kelenjar mukus, sesak napas, batuk dan
mengi (Peter, 1998) Gejala rinitismaupun asma yang timbul akibat
terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi


antigen disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan
bawah, responstipe lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase
lambat diawalidengan pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC)
ke sel Th2CD4,selanjutnya terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan
GM-CSF. Interleukin 5dan GM-CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi
eosinofil. Eosinofil yangteraktivasi mengeluarkan berbagai growth factor,
enzim elastase danmetaloproteinase, kemokin (RANTES, MIP-1ά,
eotaksin), mediator lipid dansitokin. Akibatnya terjadi edema submukosa
dan hiperreaktivitas bronkus (Jay, 2000).
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid,
sitokin dankemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan
kemokin mempunyaiperan dalam patogenesis asma fase lambat. Untuk
lebih jelasnya peran darimasing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil
dapat dilihat dalam gambar 6 (Sohn, 2008).

Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini


padasaluran napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun
demikianrespons tipe lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah
diwujudkanoleh masuknya sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam
saluran napas danpeningkatan reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil
pada rinitis alergi danasma dapat timbul akibat pelepasan berbagai
mediator dan sitokin dari sel mast,limfosit T, sel epitel dan kalau dari
saluran napas dari sel otot polos. Kerusakanjaringan baik pada rinitis
maupun asma dimediasi oleh eosinophil (Kroegel, 1998)
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan
mediatoryang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien
mempunyai banyakcara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan
patofisiologi asma danrinitis. Salah satunya adalah mempunyai
kemampuan menyebabkan ataumeningkatkan kontraksi otot polos, sekresi
mukus, permeabilitas pembuluhdarah dan infiltrasi sel. Enzim 5-
Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim pentingdalam menghasikan
leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl leukotrien
pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermaknapada
penderita rinitis dan asma (Alan, 1998).
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah
masih belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama
danberhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat
meningkatkanproses sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi
matriks dan rangkaianutama saluran napas atas dan bawah adalah sama.
Rangkaian utamanya adalahakibat melekatnya sel inflamasi pada endotel
maupun protein matriks melaluimatriks spesifik yang akan menyebabkan
proses inflamasi seperti sekresi leukotriene (Alan, 1999).
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan
menyebabkan refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk
mendefinisikan secara pastiapakah airway remodelling merupakan proses
fisiologis, farmakologis atauanatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada
proses remodeling asma alergi tetapibukan merupakan proses analog pada
rinitis alergi. Hal tersebut akibat dariperbedaan respons end organ.21
Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin,mediator lipid dan growth factor
dan mampu menyebabkan peningkatan sekresimukus, menyebabkan
fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan proteintoksik yang
mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan
syaraf, eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan
mediatorlipid (Flood, 2003).
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis
danangiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang
sintesisprotein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan
oleh IL-4, IL-6, IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin
tersebut akan menyebabkan diferensiasi dan migrasi fibroblast (Flood,
2003).
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor
(FGF)-2mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas.
Eosinofilmenghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel
endoteldiaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi
sel epitel,sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin
derivat eosinofilyakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά (Flood, 2003).
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan
paruadalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan
lingkungan.Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi,
mediator dan sitokintinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses
inflamasi. Terdapatwaktu tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan
epitel yang lebih lama padasaluran napas bawah dibanding atas setelah
terpajan antigen (Alan, 1999).
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam
halepithelial shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada
asma lebihsering terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah
menghasilkanzat yang menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator
lipid, endotelin dansitokin yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal
tersebut tidak terjadipada saluran napas atas. Heterogenitas epitel saluran
napas bawah yang lebihbesar daripada atas akan menyebabkan durasi
inflamasi yang lebih lama (Alan, 1999).
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot
polossaluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari
prosesautokrin. Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat
terdapatperbedaan gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas
dapatmenghasilkan RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2
(PGE2) yangbisa berperan dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi
(Alan, 1999).
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan
alergen daniritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan
mekanisme molekulefektor seperti histamin dan leukotrien yang
menghasilkan efek patologis padahidung dibandingkan pada paru.23 Jadi
dapat disimpulkan bahwa terdapatpersamaan dan juga perbedaan dalam
hal tipe dan peran sel efektor danmediator dalam patogenesis rinitis alergi
dan asma. Hal tersebut akanmenyebabkan persamaan dan perbedaan dalam
hal tanda dan gejala rinitis alergi dan asma (Alan, 1999).
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons
terhadap rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai
mediator pada reaksi imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek
langsung dan tidak langsung. Efek langsung lebih dari satu efek terhadap
berbagai jenis sel (pleitropi), autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel
yang letaknya tidak jauh (fungsi parakrin). Efek tidak langsung yaitu
menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin lain dalam merangsang sel
(sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau produksi sitokin
(antagonisme) (Kamen, 2006).
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering
pleitropik (satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang
menimbulkanberbagai efek) dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan
efek yang sama).Oleh karena itu efek antagonis satu sitokin tidak akan
menunjukkan hasil nyatakarena ada kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat
sitokin dapat dilihat pada gambar 8 (Kips, 2001)
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang
lain. Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur
ekspresi reseptorsitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin
terjadi melalui ikatandengan reseptornya pada membran sel sasaran.
Respons seluler terhadapkebanyakan sitokin terdiri atas perubahan
ekspresi gen terhadap sel sasaranyang menimbulkan ekspresi fungsi baru
dan kadang proliferasi sel sasaran (Kamen, 2006).
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan
growthfactor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh
komponenjaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos.
Secara keseluruhan sitokin dapat dikelompokkan sebagai (Kips, 2001).
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan
IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal
growth factor.

Diagnosis

1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan
udara ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang
diagnosis asma(GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada
terasa berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.

Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan


bahwa seseorang menderita penyakit asma(GINA, 2016):
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan
parestesia perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga

Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)


Fitur diagnosa Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran
nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal(GINA,
2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak
expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus
digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa
terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain,
atau pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan
rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas.
Rasio FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada
anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan
hambatan aliran udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu
dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari
sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau
PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti
200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari
ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali
asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan
atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat
diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas
normal saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka
kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma.
Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas
jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi
metakolin dan histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol
inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis
alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi,
hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan
bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu
diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik.
Riwayat atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran
serum IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di
lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika
dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan
pasien tidak kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan
pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala,
karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA, 2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan
belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun
pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika
terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan
respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).

B. Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus


1. Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang
diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome,
sinusitis kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant
asthma memiliki gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala
tersebut terkait dengan hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi
pada anak-anak dan memberat saat malam hari dengan fungsi paru normal.
Untuk pasien ini, penting untuk dicatat variablitis fungsi paru. Penyakit
cough variant asthma harus dibedakan dengan bronkitis eosinofilik pada
pasien yang batuk, hasil pemeriksaan sputum didapatkan eosinophil akan
tetapi fungsi paru dan responsitivitas jalan nafas normal (GINA, 2016).
2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan
diperberat oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan
kerja, kadang paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional
biasanya mendahului asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan
yang berlanjut terkait dengan prognosis yang lebih buruk (GINA, 2016).
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang
cermat pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu
ditanyakan tentang apakah keluhan membaik jika pasien saati tidak
bekerja. Pertanyaan tersebut penting dan mengarahkan kepada anjuran
agar pasien mengganti tempat kerja atau pekerjaannya, yang tentunya akan
berpengaruh pada aspek sosioekonomis pasien. Pada kondisi ini perujukan
ke dokter spesialis penting, dan monitoring PEF di tempat kerja dan jauh
dari tempat kerja perlu dilakukan (GINA, 2016).
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi
paru, biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan
asma, misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara),
gangguan pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus
disingkirkan (GINA, 2016).
4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika
pemeriksaan objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak
dianjurkan untuk melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan
terapi controller sampai selesai persalinan (GINA, 2016).
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi
orang tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan
bahwa sesak nafas adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya
aktivitas. Keberadaan penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis.
Keluhan mengi, sesak nafas, dan batuk yang memberat dengan olahraga
atau memberat saat malam juga bisa disebabkan oleh adanya penyakit
jantung atau kegagalan ventrikel kiri. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang cermat, ditambah dengna pemeriksaan EKG dan foto thorax dapat
membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic polypeptide (BNP)
dan pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga dapat
membantu. Pada orang tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan
bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS) perlu
disingkikan (GINA, 2016).
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang
berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling
bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The
Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD
(GOLD) mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik,
paparan terhadap faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska
bronkodilator <0.7. Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml)
dapat ditemukan dalam PPOK. Kapasitas difusi yang rendah biasanya
ditemukan pada Asma. Riwayat penyakit dan pola gejala di masa lalu bisa
membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis membuat pasien dengan
kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis yang lebih buruk
(GINA, 2016).
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu
dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas
kesehatan tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi
diagnosis asma tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa
pasien, bisa disertakan percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis
controller. Jika diagnosis tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu
dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi (GINA, 2016).
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala
respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada
pasien obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi
diagnosis dengan pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay
hambatan jalan nafas (GINA, 2016).
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses
penggalian gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk,
menggigil, penurunan berat badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk
darah yang membedakannya dengan infeksi kronik paru seberti TBC,
HIV/AIDS dan infeksi parasite atau jamur. Variabilitas jalan nafas dapat
dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa sebelum diberikan
terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan pemberian 1
minggu kortikosteroid oral (GINA, 2016).
Diagnosis Banding

Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya(GINA, 2016):
Usia 6-11 tahun

a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas


b. Inhalasi benda asing
c. Bronkiektasis
d. Diskinesia silier primer
e. Penyakit jantung kongenital
f. Displasia bronkopulmoner
g. Kistik fibrosis

Usia 12-39 tahun

a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas


b. Disfungsi pita suara
c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
d. Bronkiektasis
e. Kistik fibrosis
f. Penyakit jantung kongenital
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Inhalasi benda asing

Usia 40 tahun ke atas

a. Disfungsi pita suara


b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
c. PPOK
d. Bronkiektasis
e. Gagal jantung
f. Batuk terkait obat
g. Penyakit parenkim paru
h. Embolisme pulmonary
i. Obstruksi saluran nafas sentral

C. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi
terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat
berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk
memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai.
Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko
untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontro
pasien memiliki : Penuh Sebagian
l
1. Gejala asma
Ya (1 poin)
harian lebih dari
Tidak ( 0
dua kali dalam 1
poin)
minggu
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari karena Tidak ( 0 Tidak terdapat Terdapat
Terdapat 1-2
asma poin) satupun 3-4
kriteria
3. Penggunaaan obat kriteria kriteria
pelega untuk
Ya (1 poin)
mengatasi gejala*
Tidak ( 0
lebih dari dari dua
poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin

B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk


• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala
• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan
penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang
sedang dimiliki oleh pasien
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat
dimodifikasi:
• Asma yang tidak terkontrol Bila
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat terdapat 1
jika >1x200 dosis canister/month) atau lebih
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, faktor risiko
kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak maka risiko
tepat eksaserbasi
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi akan
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor meningkat
• Paparan: merokok, paparan allergen walaupun
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan gejala asma
• Eosinophilia sputum atau darah terkontrol
• Kehamilan
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir

Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap


• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau
darah
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi
dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat

Tatalaksana

1. Nonfarmakologis(GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol

b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk


meredakan gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi,
atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.
Tabel 5. Obat Reliever asma
Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan β-agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenalin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan santin
Teofilin Sirup, tablet

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai


dipertimbangkan jika pasien mengalami gejala persisten dan
eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan terapi
secara optimal.
3. Terapi pemeliharaan asma awal(GINA, 2016)
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus
dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti
klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan
meningkatkan fungsi paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya
dilakukan sudah muncul gejala selama 2-4 tahun. Jika telah
berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan,
sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien
yang telah mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen
iritan dan terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)

4. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen(GINA, 2016)
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan
rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1)
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah
reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien
dengan asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna
penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi
akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal
ringan.
b. Vaksinasi(GINA, 2016)
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma,
dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016)
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan
asma yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang
memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama
lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D(GINA, 2016)
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons
kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D
belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau
penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih
lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
DAFTAR PUSTAKA
A, Price Sylvia, Lorraine M,Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta:EGC

Alan, R. 1999. Immunobiology ofAsthma and Rhinitis : Pathogenic Factors and


Therapeutic Options. Am J Respir Crit Care Med: 160: 1778–87
Alfven, T. 2006. A, et al.Allergic diseases and atopic sensitization in children
related to farming and anthroposophiclifestyle – the PARSIFAL study.
Allergy 2006; 61: 414–21.
Barner, Pieter dkk. Asthma and COPD Basic Mrchanism and Clinical
Management. e-book

Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50.
Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.

Chung, Kian Fan. Clinical Guides to Asthma. London: Arnold

Danususantoso, Halim.2000. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Penerbit


Hipokrates.

Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.


Depkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced.
Allergy; 63: 251–4.
Flood PT. Role of eosinophil and asthma airway remodeling. Am J Respir Crit
Care Med; 167: 199-204.
Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma Management
Reference. Available at: www.ginasthma.org
Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org
Jay, W.H. 2000. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of asthma.
J Clinic Invest; 105: 1331-2.
Johnson, E. Kurt. 1994. Histologi dan Biologi Sel. Jakarta : Binarupa Aksara.

Karnen, G.B. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI.


Kips, J. 2001. Cytokines in asthma. Eur Respir J; 18: 24–33.
Kroegel C. 1998. Pulmonary immune cells inhealth and disease: the eosinophil
leukocyte. Eur Respir J; 7: 519–43.
Moore, W.C. 2010.. Identification of asthma phenotypes using cluster analysis in
the Severe Asthma Research Program.Am J Respir Crit Care Med. 181:315-
23.
Peter, H. 1998. ABC of allergies of pathogenic mechanisms: a rational basis for
treatment. BMJ; 316: 758-61.
Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on asthma
related health care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282–
Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia Edisi November 2008.
Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbit Ilmu Penyakit Dalam

Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokinemRNA in induced sputum from patients


with allergic rhinitis: relationship to airwayhyperresponsivenes. Allergy; 63:
268–73.
Wenzel, S.E. 2012. Asthma phenotypes: the evolution from clinical to molecular
approaches. Nat Med;18:716-25.

Anda mungkin juga menyukai