ASMA BRONCHIALE
Oleh:
dr. Galih Yogo Cahya Adhi
Pembimbing:
dr. Rita Diahastuti
RS TK IV KOTA KEDIRI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan(GINA, 2016).
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi
pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala
dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi(GINA, 2016).
Asma juga merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang ditandai
oleh inflamasi, peningkatan reaktivitas terhadap berbagai stimulus, dan sumbatan
saluran napas yang bisa kembali spontan atau dengan pengobatan yang sesuai.
Meskipun pengobatan efektif telah dilakukan untuk menurunkan morbiditas
karena asma, keefektifan hanya tercapai jika penggunaan obat telah sesuai.
Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta
individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma, terutama di negara-negara
maju dan berkembang. di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea
Selatan kenaikan prevalensi asma sangat mencolok. Kasus asma ini meningkat
insidennya secara dramatis selama lebih dari dua puluh tahun, Beban global dari
dampak buruk penyakit asma juga semakin meningkat yang meliputi, penurunan
kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah,
peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan bisa
menyebabkan kematian.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. S
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 68 tahun
Status : Menikah
Agama : Kristen
Alamat : Semampir- Kediri
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pemeriksaan : 5 Desember 2018
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas. Keluhan muncul sejak 1 jam
sebelum mrs. Keluhan menetap dan bertambah. Keluhan dirasakan saat
beraktivitas setelah mandi. Pasien juga mengeluh batuk dan dahak sulit
keluar . Pasien tidak mengeluh panas, pilek, nyeri dada dan mual muntah.
Makan dan minum dalam batas normal serta bab dan bak dalam batas
normal. Tidak ditemukan keluhan lainnya dan pasien tidak mengkonsumsi
obat apapun.
B. Kepala Leher
Umum
Anemis (-), ikterus (-), sianosis (-), dyspnea (+)
Mata
Alis : normal
Bola mata : normal
Kelopak : normal
Konjungtiva : normal
Sclera : normal
Pupil : bulat, isokor, refleks cahaya +/+
Lensa : normal
Telinga
Bentuk : normal
Procesus mastoideus : tidak nyeri
Lubang telinga : tidak ada kelainan
Can.audit.ext : tidak ada kelainan
Pendengaran : tidak ada kelainan
Hidung
Penyumbatan : tidak ditemukan penyumbatan
Daya penciuman : normal
Cuping Hidung : pernapasan cuping hidung -
Mulut
Bibir : tidak ada tanda sianosis
Gusi : tidak didapat perdarahan
Lidah : tidak kotor
Mukosa : normal
Palatum : normal
Leher
Kel.limfe : tidak didapatkan pembesaran
Trakea : deviasi -
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena Jugularis : tidak terdapat distensi
Arteri Carotis : teraba pulsasi
C. Thorax
Umum
Bentuk : normal
Kulit : normal
Axilla : tidak ditemukan kelainan, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening
Paru
Dextra Sinistra
I: simetris,retraksi - I: simetris,retraksi -
P:fremitus raba + normal P: fremitus raba + normal
P: sonor + P: sonor +
A: Vesikuler +,Rhonki -, A: Vesikuler +,Rhonki -, Wheezing
Wheezing (+diseluruh (+ diseluruh lapangan paru)
lapangan paru)
Jantung
Inspeksi Iktus tampak di axilaris anterior line sinistra ICS V
Palpasi Iktus teraba di axillaris anterior line sinistra ICS V,
tidak didapatkan thrill
Perkusi Batas jantung kanan: parasternal line dextra ICS V
Batas jantung kiri: axillaris anterior line sinistra ICS V
Auskultasi S1, S2: normal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -
D. Abdomen
Inspeksi Bentuk:
Supel, taktampakmassa, umbilicus masuk
kedalam
Kulit: turgor normal
Auskultasi Bising usus: positif, normal
Palpasi Tugor normal, tonus normal.
hepatomegali (-), Lien tidak teraba
Nyeri tekan(+) regio epigastrium
Ginjal tidak teraba
Nyeri ketok ginjal (-)
Perkusi Timpani, Meteorismus (-), Shifting dullness (-)
F. Ekstremitas
Atas Akral hangat dan kering
Tidak didapatkan petechiae, purpura dan echimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak didapatkan nyeri sendi
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema: tidak didapatkan
Tidak didapatkan kelumpuhan
Bawah Akral hangat dan kering
Tidak didapatkan petechiae, purpura dan echimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema: tidak didapatkan
Tidak didapatkan kelumpuhan
III. DIAGNOSIS
Asma Bronchiale derajat serangan ringan
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Tidak dilakukan
V. TATALAKSANA
- Nebul salbutamol 1 amp + bromhexine 4 cc + PZ 2 cc
- Pasien posisi duduk
- PO Salbutamol 2x4 mg
- PO Ambroxol 3x30mg
- PO Methylprednisolon 3 x 4mg
VI. EDUKASI
Menyarankan pasien untuk menghindari alergen,pencetus, pemicu
penyebab serangan asma
Menyarankan pasien untuk beristirahat.
Menyarankan pasien untuk berolahraga dan menurunkan berat badan.
BAB III
PEMBAHASAN
Asma merupakan salah satu masalah di dunia, diperkirakan 300 juta
individu di dunia memiliki penyakit ini. Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi
peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma, terutama di negara-negara
maju dan berkembang. di Asia. Kasus asma ini meningkat insidennya secara
dramatis selama lebih dari dua puluh tahun.
Pasien tersebut didiagnosis asma bronchiale berdasarkan anamnesis yang
menunjukkan kalau pasien merupakan penderita asma dan sering berobat di
rumah sakit maupun faskes pertama. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kelainan
wheezing di seluruh lapangan paru bilateral dan bentuk thorax yang normal serta
tidak ditemukan kelainan jantung seperti S3 gallop maupun rhonci yang
mengarahkan ke dispneu karena penyakit jantung. Pada pasien ini dapat di DD
dengan PPOK karena memiliki usia yang lanjut (60 tahun) dan memiliki riwayat
sesak tetapi tidak ditemukan kelainan seperti melebarnya ICS maupun rhonchi
dan tidak ditemukan riwayat perokok.
Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan penunjang seperti spirometri,
foto thorax maupun darah lengkap dan ecg dikarenakan keterbatasan IGD RS TK
iV Kediri dan efisiensi pembiayaan BPJS. Pasien ini mendapat terapi nebul
salbutamol untuk bronkodilatornya dan mendapat terapi per oral untuk di rumah
yang terdiri atas salbutamol sebagai bronkodilator, bromhexin sebagai
ekspektoran dan methylprednisolon sebagai antiinflamasi (pasien diduga aman
karena tidak menderita DM atau hipertensi).
Prognosis pada pasien ini dubia et bonam dan ada kemungkinan
eksaserbasi jika mendapat paparan alergen atau obat habis. Pada pasien ini
dirawatjalankan karena setelah mendapat terapi, pasien tidak memiliki keluhan.
Pada kasus ini saya menyarankan untuk dilakukannya pemeriksaan
penunjang seperti spirometri untuk membedakan dengan kelainan paru obstruktif
dan dilakukan foto thorax juga serta dilakukan pemeriksaan EKG untuk
membedakan dengan kelainan lain yang berasal dari jantung. Perlu dicari
penyebab yang menjadi bahan pemicu dari serangan asma pada pasien ini. Pasien
harus mengingat bahan apa yang menyebabkan asma jika terjadi serangan
selanjutnya . Pasien disarankan untuk mencegah alergen dan menurunkan berat
badan.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
(GINA, 2016)
Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, faktor keturunan dan faktor lingkungan. Pada masa
kanak-kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan
1,5:1, tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan masa
menopause perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi anak
lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih
tinggi dari anak. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5-7% (GINA,
2008).
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah
penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orangdan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita pada tahun 2025.
Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies
inChildhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di
Indonesia prevalensi penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4% (GINA,
2008).
Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai teori
sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Faktor Resiko
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya asma dibedakan menjadi dua
yaitu faktor yang menyebabkan terjadinya asma dan faktor yang memicu
munculnya gejala asma. Yang menyebabkan terjadinya asma termasuk di dalam
faktor dari host (faktor primer yaitu genetic) dan faktor yang memicu terjadinya
gejala asma biasanya adalah faktor lingkungan
Faktor Penjamu
Genetik.
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan
dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena
kompleksnya gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari
dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara
objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari
kondisi tersebut tidak khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam
patogenesis asma, dan beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi
menimbulkan asma, antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1,
reseptor agonis beta2, GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam
menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9,
CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD, TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD
dan sebagainya.
Obesitas
Asma lebih sering terjadi pada individu dengan obesitas ( BMI >30 kg /
m2) dan pada individu dengan obesitas lebih sulit dikontrol. Asma pada
pasien dengan obesitas memiliki fungsi paru yang lebih rendah dan
morbiditas biasanya lebih meningkat pada pasien dengan obesitas daripada
pasien asma dengan berat badan normal. penggunaan glukokortikosteroid
sistemik dan gaya hidup yang kurang aktivitas dapat mengakibatkan
obesitas pada pasien asma berat, tapi lebih banyak obesitas menyebabkan
terjadinya asma. Bagaimana obesitas menyebabkan terjadinya asma masih
belum jelas, tetapi hal ini terjadi mungkin karena kombinasi dari beberapa
faktor. Telah diteliti bahwa obesiras dapat mempengaruhi fungsi dari jalan
napas dan efeknya mempengaruhi mekanisme dari paru itu sendiri,
berkembangnya pro-inflammatory state, ditambah dengan genetik, dan
pengaruh dari hormon atau nerogenik. Sehingga pada pasien obesitas
terjadi penurunan volume ekspirasi, perubahan pola pernapasan ini dapat
menyebabkan perubahan dari elastisitas dan fungsi dari otot polos saluran
pernapasan. Dilepaskannya sitokin dan mediator inflamasi melalui
adiposit seperti interleukin-6, (TNF)- ά, eotaxin, dan leptin, kombinasi
dengan adipokines anti inflamasi level rendah pada individu obesitas dapat
menyebabkan status inflamasi walaupun masih tidak diketahui bagaimana
mekanisme sehingga mempengaruhi saluran napas.
Faktor Lingkungan
Allergen
Baik alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang, seperti anjing, kucing, dan lain-lain) dan luar rumah (serbuk
sari, spora jamur) dapat menyebabkan eksaserbasi asma, namun peranan
khususnya dalam perkembangan asma masih belum sepenuhnya dapat
dijelaskan.
Infeksi
Ketika dalam kandungan, beberapa virus dihubungkan dengan permulaan
fenotip asmatik. Respiratory syncytial virus (RSV) dan parainfluenza virus
memproduksi pola gejala termasuk bronkiolitis yang berhubungan dengan
asma pada masa kanak-kanak. Beberapa studi prospektif pada anak dengan
RSV menunjukkan bahwa 40 % akan berlanjut menjadi wheezing atau
memiliki asma pada masa anak-anak nantinya. Namun pada penelitian
lainnya mengatakan beberapa infeksi saluran pernapasan di kehidupan
sebelumnya, termasuk campak dan RSV, mungkin dapat melindungi diri dari
perkembangan terjadinya asma. Data yang ada tidak memberikan konklusi
yang jelas. Infeksi parasit tidak melindungi dari asma pada umumnya, tetapi
infeksi dari cacing tambang dapat mengurangi risiko asma pada kehidupan
selanjutnya.(Iris R,2008)
Asap Rokok.
Asap rokok dihubungkan dengan peningkatan penurunan fungsi pary pada
individu dengan asma, meningkatkan derajat keparahan asma, kurang responsif
terhadap pengobatan inhalasi dan glukokortikoid sistemik dan mengurangi
terkontrolnya gejala asma. Terpapar dengan asap rokok baik prenatal maupun
setelah melahirkan meningkatkan perkembangan terjadinya asma pada usia
dini. Namun bukti dapat meningkatkan penyakit alergi masih belum jelas.
Beberapa studi menjelaskan bahwa ibu yang merokok pada saat kehamilan
dapat mempengaruhi perkembangan paru. Bayi dengan ibu perokok memiliki
faktor risiko 4 kali lebih besar untuk berkembang memiliki penyakit dengan
gejala wheezing pada tahun pertama kehidupan. Terpapar dengan asap rokok
(perokok pasif) meningkatkan risiko penyakit saluran pernapasan pada bayi
dan usia dini.(Anthony et al,2008)
Exercise-Induced Asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas atau
olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paing mudah
menimbulkan serangan asma. Seangan asma karena aktivitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktivitas tersebut. (Iris,2008)
Perubahan Cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim
hujan, kemarau, bunga (serbuk sari berterbangan).
Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.
Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma.
Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma (Bel, 2004; Moore, 2010; Wenzel,
2012):
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya
muncul pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya
rhinitis alergi, eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada
pasien tersebut sebelum terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas
eosinofilik. Pasien dengan asma tipe ini biasanya berespon baik terhadap
terapi kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri
sputumnya dapat ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung
beberapa sel inflamasi. Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap
kortikosteroid inhalasi.
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma
pertama kali pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan
dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih tinggi
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan
yang sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik
Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah
banyak diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali
mengemukakan teori hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan
infeksi dan kontak dengan lingkungan yang tak higienis dapat melindungi
diri dari perkembangan alergi (Sohn, 2008) Hipotesis tersebut berdasarkan
pemikiran bahwa sistem imun pada bayi didominasi oleh sitokin T helper
(Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan mengaktifkan respons Th1
sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2. Beberapa bukti
menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi tertentu (M.
tuberkulosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan
antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2
menetap. Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang
produksi antibodi IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu
rumah dan bulu kucing (Alfven, 2006).
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.
Produksi IgE pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi
keseimbangan Th2dan Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4.
Sitokin ini dihasilkan olehplasenta untuk mencegah penolakan imunologis
janin. Menetapnya Th2 plasentaberhubungan dengan perubahan nutrisi
sehingga tidak terbentuk Th1, inimerupakan faktor utama peningkatan
prevalensi penyakit alergi dalam 30 – 40tahun terahir. Faktor lain adalah
turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksiantara alergen dan polusi
udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksiakan menyebabkan
peningkatan respons Th1 dan akan menurunkankecenderungan
perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12Sel Th2 akan
meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnyaakan menaikkan
produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferongama
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk
lebihjelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah (Demoly, 2008).
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi
alergi baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan
eosinofil. Setelahseseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian
melekat ke target sel.Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan
melibatkan sel-sel tersebut diatas. Sitokin atau kemokin yang berperan
dalam perkembangan, recruitment danaktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4,
IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage colony stimulating factor (GM-
CSF), kemotaksin dan regulation on activation normal T cell expressed
and secreted (RANTES) (Alan, 2009).
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi
dan asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel
dan mediator yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi
antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan
tersebut akan merangsang produksi mediator inflamasi seperti histamin
dan leukotrien dan sitokin seperti IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju
ke sumsum tulang menyebabkan deferensiasi eosinofil (Busse, 2001).
Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan mulai mengalami
migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh darah
daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan
kemotaksis (Kamen, 2006) Eosinofil berinteraksi dengan selektin
kemudian menempel di endotel melalui perlekatannya dengan integrin di
superfamili immunoglobulin protein adesi yaitu vascular-cell adhesion
molecule(VCAM)-1 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1
(Bussen, 2001).
Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan
seperti wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan
udara ekspirasi yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang
diagnosis asma(GINA, 2016):
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada
terasa berat), terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen,
perubahan musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas
yang paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi,
tapi kadang tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang
dipaksa. Wheezing juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat,
karena penurunan aluran udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi
biasanya tanda-tanda patologis lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan
pada disfungsi jalan nafas atas, misalnya pada PPOK, infeksi saluran
nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum. Crackles atau wheezing
inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga dilakukan pemeriksaan
hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip nasal(GINA,
2016).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory
volume in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak
expiratory flow (PEF). Jika PEF dilakukan, maka alat yang sama harus
digunakan tiap saat pemeriksaan, karena perbedaan sebesar 20% bisa
terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau alat (GINA, 2016).
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain,
atau pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan
rasio FEV1/FVC menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas.
Rasio FEV1/FVC normal adalah 0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada
anak-anak, dan nilai di bawah batas normal tersebut menandakan
hambatan aliran udara (GINA, 2016).
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi
paru. Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu
dalam satu hari (variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari
sebuah tes reversibilitas. Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau
PEF secara cepat setelah penggunaan bronkodilator kerja cepat seperti
200-400 mikrogram salbutamol, atau peningkatan yang konsisten hari
ke hari sampai minggu ke minggu setelah diberikan terapi kendali
asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS). Peningkatan
atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat
diterima sebagai asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas
normal saat pasien sedang mengalami gejala asma, maka
kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan penyakitnya adalah asma.
Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi dengan
bronkodilator (GINA, 2016).
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas
jalan nafas. Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi
metakolin dan histamin, hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol
inhalasi. Tes ini cukup sensitif untuk diagnosis asma tapi kurang
spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit lain, misalnya rinitis
alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan PPOK. Jadi,
hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan
bahwa penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu
diperhatikan (GINA, 2016).
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala
pernapasan menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik.
Riwayat atopik dapat diperiksa dengan skin prick test dan pengukuran
serum IgE. Skin prick test dengan bahan yang mudah ditemui di
lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan sensitif jika
dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan
pasien tidak kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan
pengukuran sIgE positif, hal ini tidak selalu menghasilkan gejala,
karena itu perlu anamnesis yang cermat (GINA, 2016).
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat
diperiksa di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma
eosinofilik dan pada keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan
belum dipastikan bermanfaat untuk diagnosis asma. FENO menurun
pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi, dan meningkata jika
terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait dengan
respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan
FENO belum bisa direkomendasikan (GINA, 2016).
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya(GINA, 2016):
Usia 6-11 tahun
C. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya seharusnya menilai pula pengendalian asma
(pengendalian gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi
terutama dalam hal teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat
berkontribusi terhadap keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk
memprediksi risiko di masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai.
Penilaian asma meliputi pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko
untuk eksaserbasi dan prognosis yang buruk.
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontro
pasien memiliki : Penuh Sebagian
l
1. Gejala asma
Ya (1 poin)
harian lebih dari
Tidak ( 0
dua kali dalam 1
poin)
minggu
2. Terbangun di Ya (1 poin)
malam hari karena Tidak ( 0 Tidak terdapat Terdapat
Terdapat 1-2
asma poin) satupun 3-4
kriteria
3. Penggunaaan obat kriteria kriteria
pelega untuk
Ya (1 poin)
mengatasi gejala*
Tidak ( 0
lebih dari dari dua
poin)
kali dalam 1
minggu
4. Keterbatasan Ya (1 poin)
aktifitas fisik Tidak ( 0
karena asma poin)
* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin
Tatalaksana
1. Nonfarmakologis(GINA, 2016)
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi alergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis (GINA, 2016)
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan
asma secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas,
mengendalikan gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol
4. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen(GINA, 2016)
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi
memerankan peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan
rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1)
subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual immunotherapy
(SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan
responsivitas terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah
reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak.
Sebuah setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien
dengan asma dan rinitis alergi menunjukan penurunan bermakna
penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang terjadi
akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal
ringan.
b. Vaksinasi(GINA, 2016)
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma,
dan pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat
menurunkan frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2016)
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan
asma yang tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang
optimal. Terapi ini dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan
gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up jangka waktu sedang
memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama
lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D(GINA, 2016)
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar
serum vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru,
peningkatan frekuensi eksaserbasi dan penurunan respons
kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D
belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau
penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih
lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis
sedang dengan teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
DAFTAR PUSTAKA
A, Price Sylvia, Lorraine M,Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta:EGC
Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-50.
Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-62.