Anda di halaman 1dari 17

ESENSI PENDIDIKAN MORAL DALAM PENDIDIKAN

Oleh: Ahmad Susanto

(ahm.susanto@gmail.com)

Abstrak

Moral adalah serangkaian nilai yang dapat diterima dalam


konteks kebudayaan yang berlaku.
Nilai-nilai individual dan standar moral itulah yang akan
mendorong komitmen seseorang untuk melakukan tindakan,
sehingga terjadinya perubahan perilaku. Pendidikan akan dapat
membantu siswa untuk memiliki moral yang baik, sehingga
mereka bertindak dengan cara-cara yang lebih diterima dan
lebih produktif baik secara personal maupun sosial. Perubahan
yang terjadi pada perilaku individu ini karena diperkenalkannya
informasi baru yang menyebabkan perubahan dalam dasar-
dasar kepercayaan, nilai dan sikapnya. Kepercayaan adalah
sekumpulan fakta atau opini mengenai kebenaran, keindaan,
dan kebaikan. Sedangkan sikap adalah serangkaian
kepercayaan yang menentukan pilihan terhadap objek atau
situasi tertentu.

Definisi Moral

Kata moral berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang
berarti kebiasaan atau adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa
lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih dipakai dalam arti
yang sama. Moral dapat dimaknai sebagai nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Misalnya, perbuatan seseorang tidak
bermoral. Hal itu dimaksudkan bahwa perbuatan orang tersebut
melanggar nilai-nilai dan norma-norma etis yang berlaku dalam
masyarakat.

Menurut Kohlberg dalam Djahiri moral diartikan sebagai segala hal


yang mengikat,membatasi, dan menentukan serta harus dianut, diyakini,
dilaksanakan atau diharapkan dalam kehidupan dinamika kita berada.[1]
Moral ada dalam kehidupan serta menuntut dianut, diyakini akan menjadi
moralitas sendiri. Djahiri mengatakan lebih lanjut, bahwa moral itu
mengikat seseorang karena: (1) dianut orang atau kelompok atau
masyarakat di mana kita berada, (2) diyakini orang atau kelompok atau
masyarakat di mana kita berada, (3) dilaksanakan orang atau kelompok
atau masyarakat di mana kita berada, dan (4) merupakan nilai yang
diinginkan atau diharapkan atau dicita-citakan kelompok atau masyarakat
di dalam kehidupan kita[2].
Selanjutnya, Kama Abdul Hakam mengatakan bahwa berbicara soal
moral berarti berbicara soal perbuatan manusia dan juga pemikiran dan
pendirian mereka mengenai apa yang baik dan apa yang tidak baik,
mengenai apa yang patut dan tidak patut dilakukan[3].

Dari beberapa pendapat di atas, dipahami bahwa moral adalah


keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah dan
larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat di mana
manusia itu berada. Dalam perkembangannya kemudian, kata mos,
mores dan moral ini menjadi “moralis-moralitas”. Moralitas dipergunakan
untuk menyebut sebuah perbuatan yang memiliki makna lebih abstrak.
Apabila ditanyakan, apakah moralitas tersebut? Moralitas adalah segi
moral baik maupun buruknya suatu perbuatan. Moralitas menunjuk pada
suatu konsep yang keseluruhannya memaknai suatu perbuatan itu
berkenaan dengan hakekat nilai, terkait dengan kualitas perbuatan
manusiawi. Dengan demikian pada dasarnya perbuatan moralitas
manusia hanyalah dirasakan relevan apabila dikaitkan dengan eksistensi
manusia seutuhnya.[4]

Kata moralitas, yang berasal dari kata sifat Latin moralis. Ini
mempunyai arti yang mirip sama dengan moral, hanya lebih abstrak. Kita
berbicara tentang moralitas suatu perbuatan, artinya memandang baik
buruknya perbuatan dari segi moral. Moralitas adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.

Menurut Sumantri, istilah moral dan moralitas itu tidak sekedar


menunjukkan tingkah laku atau sikap semata, akan tetapi lebih kepada
kompleks komponen yang menyangkut keduanya.[5] Dari asumsi ini,
pernyataan moral dan moralitas tidak saja meliputi komponen sikap, akan
tetapi sekaligus tingkah lakunya. Ini berarti bahwa moral sangat erat
kaitannya dengan performasi dari tingkah laku tertentu. Lebih dari itu,
ruang lingkup moral juga meliputi tipe-tipe motivasi, disposisi, dan intensi
tertentu yang merupakan pra kondisi mutlak bagi tingkah laku moral.
Konsep Sumantri mengenai moral dan moralitas tidak semata menyangkut
tingkah laku dan sikap semata yang dapat diartikan secara terpisah, tetapi
keduanya merupakan satu kesatuan yang dapat terewujud melalui
performasi dan komponen kompleksitas antara tingkah laku dan sikap
dalam bentuk motivasi, disposisi, dan intensi tertentu.

Norma-norma Moral

Norma-norma moral adalah tolok ukur yang dipakai sebagai dasar


oleh masyarakat untuk mengukur sejauh mana kebaikan seseorang itu
dalam rangka interaksi sosialnya. Dengan norma-norma moral itulah kita
sebagai manusia akan betul-betul dinilai. Dengan kerangka berpikir
demikian, maka tidaklah berlebihan apabila dinyatakan bahwa penilaian
moral selalu mempunyai bobot lebih bila dibandingkan dengan berbagai
model penilaian lainnya. Manusia dilihat sebagau sesuatu wujud yang
utuh, bukan sebatas, misalnya dia sebagai wajib pajak telah menyetorkan
nominal pajak sebagai wajib pajak yang tinggi sekaligus karena harta
kekayaan melimpah. Sama sekali bukan, sebab mungkin saja perilakunya
tidak terpuji karena ia menetapkan keuntungan tinggi dengan jual pada
produk barang dan jasa. Orang seperti ini pantas dan layak disebut
munafik.

Sebuah tindakan yang baik dari segi moral ialah tindakan bebas
manusia yang mengafirmasi nilai moral objektif dan mengafirmasi hukum
moral, buruk secara moral ialah sesuatu yang bertentangan dengan nilai
moral dan hukum moral. Sumber dari kepatutan dan ketidakpatutan
moral terletak pada keputusn bebas kehendak, sikap bijak yang timbul
dari keputusan bebas tersebut dan pribadi atau subjek moral.

Walaupun moralitas dihubungkan dengan sikap dan perilaku


individu, namun individu-individu hanya bisa bersikap dalam konteks
masyarakat yang memiliki budaya, struktur sosial, politik dan ekonomi
tertentu. Moralitas juga akan berkaitan dengan struktur tersebut. itu
berarti moralitas individu mendapat ruang gerak dalam wilayah moralitas
masyarakat (publik), yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik
juga. Moralitas publik yang dilatarbelakangi oleh moralitas individu akan
menghasilkan suatu kepatuhan untuk kepentingan bersama jika kebijakan
moralitas mengutamakan kepentingan publik dan bukan semata-mata
kepentingan pribadi tertentu maupun golongan. Dalam konsekuensinya
kehidupan serba multi, baik etnis, pola pemikiran, sosial budaya dan latar
belakang yang berbeda tidak jarang kita kesulitan untuk mencapai
kesatuan pendapat moral.

Manusia memang makhluk yang dihadapkan pada suatu dilema


moral. Makin kompleks kehidupan yang dimilikinya, maka makin besar
kemungkinannya menghadapi dilema yang demikian. Magnis Suseno,
menyebutkan ada tiga alasan mengapa hal itu terjadi, adalah sebagai
berikut: (1) masalah moral yang dihadapi oleh berbagai bidang yang
seringkali sangat kompleks, (2) kita sering menghadapi masalah tersebut
secara tidak rasional dan objektif, tetapi secara emosional dan hanya dari
segi kepentingan pribadi, (3) kita sering tidak bersedia untuk bertindak
dengan baik, adil, dan jujur.[6]

Dari tiga alasan tersebut di atas, tampak bahwa hanya orang yang
memiliki kepribadian kuat dan matang serta mapan yang dapat
mengambil suatu keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Keputusan demikian itu baru akan lahir apabila ada kebebasan. Kesatuan
pendapat moral hanya mungkin dicapai apabila kita memutuskannya
berdasarkan suara hati nurani. Memang suara hati nurani ada peluang
untuk salah dalam pengambilan keputusan. Kesalahan atau kekeliruan itu
terjadi karena tidak ada dukungan oleh pandangan-pandangan moral
yang baik dan benar. Oleh karena itu, suatu hati perlu untuk dididik dan
ditumbuhkembangkan dengan cara terbuka dan mau belajar untuk
memahami seluk beluk permasalahan yang sedang dihadapi.

Berkaitan dengan pengenalan suara hati sebagai dasar dari moral,


maka perlu dicermati beberapa hal sebagai berikut:

1. Unsur rasional suara hati; suara hati adalah kesadaran


akan kewajiban manusia dalam situasi konkrit atau faktual. Hati
nurani adalah penilai yang tidak pernah bohong dalam
mengungkap situasi meskipun tidak pernah dapat dibuktikan
secara konkrit. Seharusnya suara hati muncul apa adanya di dalam
sebuah penilaian, tetapi ketika melewati pemikiran dan ucapan
yang terkuat dalam perilaku, ditambah pengaruh lingkungan dan
modifikasi lainnya, muncul bisikan-bisikan lain. Dengan demikian
tidak jarang kebenaran sebagai suara hati termodifikasi menjadi
jahat.

2. Tanggung jawab Penilaian; ketika berbicara persoalan


moral, yang dikedepankan adalah unsur baik buruk dan benar
salah. Tidak ada pertimbangan setengah baik dan setengah buruk.
Tidak pula persoalan perasaan semata, jadi, berbicara moral
semua unsur subjektif harus dilepaskan dan jangan dijadikan salah
satu alasan pembenarnya. Moral menuntut adanya unsur objektif.

3. Sifatnya Universal; ciri khas kesadaran hukum moral


adalah adanya sifat dasar yang universal. Baik buruk serta benar
salah penilaian moral dalam berbagai masyarakat suku bangsa
merupakan unsur yang bersifat dan bernilai universe. Jadi
kebenaran dan kebaikan diakui tidak hanya pada suatu kelompok
manusia, tetapi pada berbagai suku bangsa.

Etika dan Moral

Makna etika secara etimologis berasal dari kata ‘ethos’, yang


berarti watak, kesusilaan, atau adat. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh Bertens perkataan etika berasal dari bahasa Yunani, ‘ethos’ yang
berarti adat kebiasaan[7]. Secara terminologis dari perspektif filosofis
dan teoritis, Endang Sumantri mengatakan bahwa:

Etika adalah suatu ilmu yang mengadakan ukuran yang dapat dipakai
untuk menanggapi atau menilai perbuatan manusia yang berhubungan
dengan perbuatan kesusilaan yang – normatif --, secara filosofis, etika
adalah analisis tentang apa yang orang maksudkan bilamana
mempergunakan predikat kesusilaan. Secara praktis, etika (Frans Magnis
Suseno) adalah suatu keputusan yang tepat manusiawi dan layak diambil
dari suatu dilema yang dihadapi seseorang setelah berjuang mengatasi
kesulitan. Jadi secara ringkas etika adalah hal yanag menunjukkan sifat
manusia, sebagai ilmu akhlak, sebagai pengkajian sistem nilai yang ada
pada diri manusia/masyarakat[8].

Pendapat-pendapat lain dari beberapa ahli tentang etika,


menyebutkan bahwa:

1. Etika ialah ilmu tentang tingkah laku manusia, prinsip-prinsip


yang disistematisasi tentang tindakan moral yang betul.

2. Etika ialah bagian filsafat yang memperkembangkan teori


tentang tindakan, hujjah-hujjah, dan tujuan yang diarahkan
kepada makna tindakan.

3. Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta,


tetapi tentang idenya, bukan yang positif tetapi ilmu yang
normatif.

4. Etika ialah ilmu tentang moral, dan prinsip-prinsip/kaidah-


kaidah moral tentang tindakan dan kelakukan[9].
Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara dalam Achmad Charris
Zubair mengatakan, bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari segala
soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya,
teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat
merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuannya
yang dapat merupakan perbuatan.[10] Jadi bisa dikatakan bahwa etika
ibarat suatu pelampung yang dapat membantu nakhoda kapal dalam
pelayarannya sehingga tahu kemana harus berlayar.

Menurut Magnis Suseno dalam Zubair bahwa objek etika adalah


pernyataan moral, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan
pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang unsur-unsur
kepribadian manusia, seperti motif-motif, maksud dan watak[11].

Bila dihubungkan dengan moral, maka etika menempati ruang yang


lebih sempit atau menempati suatu komponen dari berbagai macam
komponen atau sistem kehidupan yang banyak. Karena moral merupakan
gagasan yang disepakati umum dan diterima oleh manusia, mana yang
baik dan wajar, dan mana yang tidak. Perbedaannya etika bersifat teoritis
sedangkan moral bersifat praktis, maksudnya moral dan moralitas dipakai
untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Dengan kata lain, susila,
kesusilaan, tata susila, budi pekerti, kesopanan, sopan santun, tata
krama, adab, perangai, tingkah laku, perilaku, dan kelakuan.

Akhlak dan Moral

Secara etimologi kata akhlak dimaknai sebagai perangai, budi


pekerti, tingkah laku atau tabiat seseorang. Kata akhlak berasal dari
bahasa Arab dari kata al-akhlaaqu, dalam bentuk jamak kata akhlak
berasal dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku
atau tabiat[12]. Menurut Sofyan Sauri kata al-khalqu bisa pula berati
kejadian, ciptaan, atau kejadian yang indah dan baik. Apabila dirujuk
kepada kejadian manusia, ia berarti struktur tubuh yang badannya indah
dan seimbang[13]. Jika dirujuk kepada kejadian alam semesta, ia juga
membawa arti kejadian atau ciptaan yang indah, tersusun rapi, menurut
undang-undang yang tepat.

Secara istilah, kata akhlak menurut Ramayulis (2001: 87)


merupakan fondasi (dasar) yang utama dalam pembentukan pribadi
manusia yang seutuhnya. Pendidikan yang mengarah pada terbentuknya
pribadi yang berakhlak, merupakan hal pertama yang harus dilakukan,
sebab akan melandasi kestabilan kepribadian manusia secara
keseluruhan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, yang artinya:
“Sesungguhnya orang yang disebut kaya itu bukan karena banyaknya
harta semata-mata, tetapi yang kaya adalah karena hatinya.

Sedangkan menurut Ibn Miskawaih dalam Sofyan Sauri secara


istilah akhlak ialah sifat yang tertanam di dalam diri yang dapat
mengeluarkan sesuatu perbuatan dengan senang dan mudah tanpa
pemikiran, penelitian, dan paksaan.[14] Pengertian di atas sejalan
dengan definisi yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali yang menyatakan
bahwa akhlak ialah suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa yang
menampilkan perbuatan-perbuatan dengan senang tanpa memerlukan
pemikiran dan penelitian[15]. Apabila perbuatan yang keluar itu baik dan
terpuji menurut syara’ dan akal, maka perbuatan itu dinamakan akhlak
yang mulia. Sebaliknya apabila keluar perbuatan yang buruk, ia
dinamakan akhlak yang buruk.

Jadi, akhlak itu sebenarnya adalah bentuk batin seseorang, ada


yang baik dan ada yang jahat, ada yang terpuji dan ada pula yang
tercela. Bila tingkah laku yang ditimbulkan oleh akhlak itu sesuai dengan
ajaran agama, maka itu dianggap baik; tetapi bila tidak sesuai atau
bertentangan dengan ajaran agama, maka itu dianggap jahat atau
tercela.

Aspek akhlak bagi anak usia dini meliputi pembiasaan bertingkah


laku yang baik, baik di sekolah maupun di luar sekolah, seperti berbicara
sopan santun, berpakaian rapi dan bersih. Menurut Burhanuddin aspek
pendidikan akhlak berupa contoh-contoh, latihan-latihan, dan
pembiasaan-pembiasaan yang mempunyai peranan sangat penting dalam
pembinaan pribadi anak[16].

Secara umum tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk


manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan
perbuatan, mulia dalam tingkah laku, perangai, bersifat bijaksana,
sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain,
pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki
keutamaan (fadhilah). Pendidikan akhlak dalam Islam telah dimulai sejak
anak dilahirkan, bahkan sejak dalam kandungan. Pendidikan akhlak ini
terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan,
pendengaran, dan pengalaman atau perlakuan yang diterima.
Pembentukan akhlak dilakukan setahap demi setahap sesuai dengan
irama pertumbuhan dan perkembangan, dengan mengikuti proses yang
alami.

Model Pendidikan Moral

Moral pun merupakan pengetahuan yang menyangkut budi pekerti


manusia yang beradab. Demikian pula, bisa dipakai sebagai ajaran
tentang baik dan buruk perbuatan serta kelakuan (akhlak). Moralisasi
berarti uraian (pandangan, ajaran) tentang perbuatan dan kelakuan yang
baik, sedangkan demoralisasi berarti kerusakan moral. Jadi moral adalah
aturan kesusilaan yang meliputi semua norma kelakuan dan perbuatan
untuk bertingkah laku yang baik. Adapun kata susila berasal dari bahasa
Sansekerta, su artinya lebih baik, sila berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip
atau peraturan-peraturan hidup. Jadi, susila berarti peraturan-peraturan
untuk mengatur hidup agar lebih baik.

Dalam pandangan para ahli istilah moral mendapat sorotan yang


cukup menarik dan panjang. Piaget misalnya, merumuskan moral
sebagai:

...view about good and bad, right or wrong, what ought to not to
do.... A set of belief current in society abaout character or conduct
and what people should try to be or try to do.... A ort of belief about
people and their actions.... A system of conduct assesment which is
objectives in that and it reflect the condition of social existence....
Rule of conduct actually accepted in society....[17]
Demikian halnya Here yang menyatakan bahwa moral pada
dasarnya bersifat prescriptive, directive, imperative and commanding
(derived from some rule or principle of action) serta obligue[18]. Begitu
juga Higgins dalamHoward mengemukakan tentang ciri-ciri orang yang
bermoral ialah selalu merasakan adalah moral based (tuntutan dan
keharusan moral) untuk selalu bertanggung jawab terhadap adanya 1)
needs and welfare of the individual and other; 2) the involement and
implication of the self and consequences of authers, dan 3) instrinsic
value or sosial relationships[19].

Berdasarkan hal tersebut, nilai moral baru mencapai tahap kognitif


apabila berhasil dipahami dan tersimpan dalam sistem nilai (value
system). Menurut Kohlberg nilai moral tersebut baru mempribadi dan
bersatu raga menjadi sistem organik dan personal apabila sudah
mencapai tahap sebagai keyakinan diri atau prinsip serta tersusun
sebagai sistem keyakinan (belief system) yang benar-benar diyakini serta
akan menjadi kiblet pola berpikir meupun perilakunya dan bahkan dirinya
bukan mustahil akan terus dibina, diyakini dan menjadi jati dirinya sendiri
yang dipertahankan sepanjang hayatnya sebelum ada keyakinan lain
yang mampu menggoyahkan atau menggantikannya[20]. Dan apabila ini
terjadi, maka sebagaimana diungkapkan Fraenkel akan menjadi sistem
keyakinan dan menjadi tenaga yang maha dahsyat melebihi kekuatan
bom nuklir[21].

Untuk mencapai tahap tersebut memerlukan rekayasa dan upaya


pendidikan yang khusus, yakni melalui proses pembiasaan (habituasi)
nilai moral tersebut. Dengan demikian segala nilai moral dan norma
normatif yang semula hanya bersifat is to... (keharusan) berubah menjadi
ought to...(kelayakan) dan mantap mempribadi menjadi belief/keyakinan
(Kohlberg).

Setiap orang mempunyai suatu atau seperangkat nilai objektif-ideal


yang kemudian disesuaikan dengan keadaan nyata atau waktu atau
kepentingan atau kemampuan dirinya. Tetapi tidak selalu orang yang
menganut atau meyakini atau melaksanakan suatu/sejumlah nilai
subjektif/khusus memahami dan meyakini nilai objektif-idealnya atau nilai
instrinsik yang termuat di dalamnya. Dalam kehidupan nilai moral agama,
budaya dan hukum masalah ini sangat banyak terjadi. Sebagai contoh,
banyak orang sembahyang setiap waktu, membaca bacaan wajibnya
namun tidak pernah tahu makna-isinya. Demikian pula banyak orang
yang memasang bendera pada hari nasional tertentu, dan tidak pernah
tahu makna dan pesannya. Pendidikan nilai moral yang baik tidak
berharap seperti itu, namun melalui pendidikan nilai moral orang akan
berbuat sesuatu secara nalar dan penuh keyakinan.

Dalam upaya pendidikan atau membina nilai moral hendaknya


menggunakan asas atau pendekatan manusiawi atau humanistik serta
meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik secara utuh dan bulat
(aspek fisik-non fisik, emosi-intelektual, kognitif-apektif, dan
psikomotorik). Menurut Abdul Aziz pendidikan yang memanusiakan
manusia, yaitu pendidikan yang menyentuh unsur dalam manusia, yaitu
ruhani[22]. Ruhani seseorang juga memerlukan nutrisi dan gizi. Kalau
kebutuhan ruhani ini terpenuhi dalam diri seseorang dengan sangat baik,
maka orang itu bisa disebut sebagai orang beriman dan bertakwa. Dan
orang-orang yang kebutuhan otak serta ruhaninya terpenuhi secara
melimpah ruah, maka mereka bisa disebut sebagai orang-orang yang
mempunyai kecerdasan paripurna, yaitu kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual.

Adapun pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak


didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial (mempunyai
kemampuan, kelebihan dan kekurangannya) diperlakukan dengan penuh
kasih sayang, hangat, kekeluargaan, terbuka, objektif, dan penuh
kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan atau
paksaan apapun juga.

Melalui penerapan pendekatan humanistik maka pendidikan ini


benar-benar akan merupakan upaya bantuan bagi anak untuk menggali
dan mengembangkan potensi diri serta dunia kehidupan dari segala
aspeknya. Menurut Tilaar ada tiga hal yang perlu dikaji kembali dalam
pendidikan[23]. Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai
schooling belaka. Dengan membatasi pendidikan sebagai schooling maka
pendidikan akan terasing dari kehidupan yang nyata dan masyarakat
terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan. Oleh sebab itu,
rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya
membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu
disempurnakan lagi dengan menempatkan pendidikan informal yang
justeru akan semakin memegang peranan penting di dalam pembentukan
tingkah laku manusia dalam kehidupan global yang terbuka. Kedua,
pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan intelegensi akademik
peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi manusia, baik
jasmani maupun rohaninya perlu diberikan kesempatan di dalam program
kurikulum yang luas dan fleksibel, baik di dalam pendidikan formal, non
formal, dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat
manusia pintar tetapi lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan
menyadari hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sindhunata bahwa tujuan pendidikan bukan hanya menjadikan manusia
yang terpelajar, tetapi menjadi manusia yang berbudaya (educated and
civized human being)[24].

Dengan demikian, proses pendidikan hendaknya dijadikan sebagai


proses humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral, agama, yang
berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga,
masyarakat, bangsa, baik pada masa kini dan masa yang akan datang.
Untuk itu, hendaknya pula pendidikan bersendikan agama, kebutuhan
dunia, dan tradisi bangsa. Sehingga, pendidikan sebagai proses
humanisasi, pendidikan berkepentingan untuk memposisikan manusia
sebagai makhluk yang memiliki keserasian dengan habitat ekologinya.
Manusia diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan
biologis seperti makan, minum, pekerjaan, sandang, tempat tinggal,
berkeluarga, dan kebutuhan biologis lainnya dengan cara-cara yang baik
dan benar. Dalam proses humanisasi seperti itu, maka pendidikan
dituntut untuk mampu mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan
dan pemilahan nilai sesuai dengan kodrat biologis manusia.

Demikian pula, pendidikan sebagai proses humanisasi


mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral, karena
manusia hakikatnya adalah makhluk yang bermoral. Moral manusia
berkaitan dengan tuhan, sesama manusia, dan lingkungan. Dalam hal ini
pendidikan seyogyanya tidak mereduksi proses pembelajaran hanya
semata-mata untuk kepentingan salah satu segi kemampuan saja,
melainkan harus mampu menyeimbangkan kebutuhan moral
danintelektual.

Dengan demikian, nilai dan pendidikan merupakan dua hal yang


satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika pendidikan
cenderung diperlakukan sebagai wahana transfer ilmu pengetahuan
seperti yang diyakini oleh sebagian besar penganut aliran kognitivisme, di
sana telah terjadi perambatan nilai yang setidaknya bermuara pada nilai-
nilai kebenaran intelektual. Demikian pula, ketika peristiwa pendidikan
sangat syarat dengan pembelajaran keterampilan baik formal maupun
non-formal, di dalamnya terdapat proses pembelajaran nilai yang
mengandung bobot benar-salah, baik-buruk, atau indah-tidak indah.

Dalam kaitan tersebut, Sumantri (2006: 7) mengemukakan bahwa


“cita rasa dan karsa yang tumbuh dalam masyarakat akan mewarnai
dinamika kehidupan yang mempunyai makna kondusif bila perilaku yang
lahir dari suasana lingkungan masyarakat tersebut dilandasi nilai-nilai
keteladanan”[25]. Yang dimaksud dengan suasana lingkungan di sini
adalah orang (manusia) sebagai makhluk individu dan sebagai anggota
masyarakat, segala benda, budaya, adat istiadat, perangai, dan bahasa
masyarakat, sekolah, manusia muda-tua, rumah tangga, keluarga,
lingkungan, pemerintah, dan segala bentuk kebutuhan hidup manusia
yang melekat dengan makna kehidupan tersebut. Tentang manusianya
yang paling penting dihiasi oleh pancaran cahaya lahir batin, intelekm
spirit, dan emosi yang tumbuh dalam pergaulan yang harmonis, dinamis,
dan produktif.

Selanjutnya, menurut Sumantri, hal-hal yang dapat mengangkat


suasana lahir batin tersebut dapat bersumber dari 14 butir nilai budi
pekerti bagi perekat dan penguat suasana batin seluruh aspek lingkungan
dan keteladanan masyarakat. Adapun ke-14 butir aspek tersebut ialah:

1) Ketaqwaan; perilaku yang terwujud dari iman, 2)


keimanan; berbudi pekerti luhur, 3) kejujuran; tidak bohong dan
berkorban demi kebenaran, 4) keteladanan; memberi contoh
dengan perbuatannya, 5) suasana demokratis; sikap saling
menghargai orang lain, 6) kepedulian; sikap empati dan saling
menasehati, 7) keterbukaan; sikap transparansi untuk tidak buruk
sangka, 8) kebersamaan; persaudaraan dengan tata hubungan
yang harmonis, 9) keamanan; kenyamanan yang lepas dari
gangguan, 10) ketertiban; kondisi yang mencerminkan ketertiban
dan keharmonisan, 11) kebersihan; suasana sehat dan rapi, 12)
keindahan; suasana sehat dan rapi, 13) keindahan; suasana yang
terkesan rapi dan bersih, dan 14) sopan santun; suasana dalam
cara tindak dan tutur kata yang baik.

Jadi, jelaslah bahwa moral sangat penting bagi manusia. Banyak


perbuatan manusia berkaitan dengan baik dan buruk, hal tersebut bukan
hanya terjadi saat ini saja, tetapi sudah sejak masa lampau. Sejarah telah
membuktikan bahwa dalam segala zaman ditemukan keinsyafan manusia
tentang baik dan buruk, tentang yang harus dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan, tetapi tidak semua bangsa dan tidak semua zaman
mempunyai pengertian baik dan buruk merupakan sesuatu yang umum
pada kehidupan manusia. Dengan kata lain, moralitas merupakan
fenomena kemanusiaan yang universal.

Banyak orang berpendapat (termasuk para filosof) bahwa


perbedaan khas antara manusia dengan binatang adalah karena manusia
memiliki rasio, atau bakat untuk menggunakan bahasa atau lebih luas
menggunakan simbol. Akan tetapi, ada lagi perbedaan manusia dengan
binatang adalah bahwa manusia memiliki kesadaran moral. Oleh karena
itu Magnis-Suseno mengatakan bahwa:

“Kata moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai


manusia.... Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat
dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma moral adalah tolok
ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia
dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai
pelaku peran tertentu dan terbatas.”[26]

Bahkan Bartens mengatakan bahwa moralitas merupakan ciri khas


manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk lain di bawah tingkat
manusiawi.[27] Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan
buruk, tentang yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus
dilakukan dan tidak pantas dilakukan.

Keberadaan moralitas pada manusia bisa ditelusuri sejak dalam


kandungan, bayi telah bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang ada di
sekitarnya, khususnya yang telah berusia 7 bulan dalam kandungan bila
diperdengarkan bunyi terjadilah gerakan seperti pindah dari sebelah kiri
ke kanan, bahkan setelah bayi lahir yang normal akan menangis. Ketika
mulai usia 17 sampai 20 bulan bayi telah mampu memberikan perhatian
terhadap gerakan objek dan perilaku seseorang. Ketika telah bisa
berjalan mulai bisa mengeksplor lingkungan sekitar, seperti merambat di
sekitar dinding kamar, dan bahkan mampu memperlihatkan reaksi
kegelisahan dengan ungkapan “uh, ah”. Dan bagi anak yang berusia 2
tahun, bahasa dipergunakan sebagai referensi standar atau perbuatan,
seperti kotor, basah, dan selanjutnya muncul kemampuan mengevaluasi
seseorang atau kegiatan orang lain, seperti “baik”, “buruk”, “jahat”, dan
sebagainya.

Sementara anak yang lebih besar mulai menghubungkan persoalan


moralitas dengan persoalan-persoalan praktis yang menyangkut dirinya,
bahkan mulai muncul keinginan unutk berhubungan dengan orang lain
yang benar-benar esensial untuk melanjutkan kelompok manusia.
Kesadaran dan kemampuan baru seperti ini, menunjukkan adanya
kapasitas untuk menjadi manusia yang bermoral. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Poespoprojo (1999: 13), dalam kehidupan manusia,
moral itu adalah sesuatu yang benar-benar ada dan tidak dapat
dipungkiri.

Selanjutnya, Kohlber mengatakan bahwa orientasi moral seseorang


yang dijadikan dasar pertimbangan nuraninya berbeda-beda bagi setiap
orang. Ada empat orientasi moral yang dikemukakan Kohlberg, yaitu[28]:

1. Orientasi normatif, yaitu mempertahankan hak dan kewajiban dan


taat pada aturan yang berlaku.

2. Orientasi kejujuran, yaitu menekankan pada keadilan dengan


fokus pada kebebasan, kesamaan, pertukaran hak, dan
kesepakatan.

3. Orientasi utilitarisme, yaitu menekankan konsekwensi


kesejahteraan dan kebahagiaan tindakan moral seseorang pada
orang lain.

4. Orientasi perpeksionis, yaitu menekankan pencapaian a) martabat


dan otonomi, b) kesadaran dan motif yang baik, c) keharmonisan
dengan orang lain.

Orientasi moral ini dipandang penting karena akan menentukan


arah keputusan dan tindakan seseorang. Sehingga Magnis mengatakan
bahwa salah satu kebutuhan manusia yang paling fundamental adalah
orientasi; tujuannya agar kita tidak ikut-ikutan terhadap pihak yang mau
menetapkan bagaimana kita harus hidup, melainkan agar kita dapat
mengerti sendiri mengapa kita harus bersikap dan berbuat[29]. Oleh
karena itu, orientasi moral akan sangat berpengaruh terhadap moralitas
dan pertimbangan moral seseorang, karena pertimbangan moral
merupakan hasil proses penalaran yang dalam proses penalaran tersebut
ada upaya memprioritaskan nilai-nilai tertentu berdasarkan orientasi
moral serta pertimbangan konsekuensinya.

Agar dapat menyadarkan peran moral dan orientasi moral ini pada
setiap orang diperlukan adanya pendidikan nilai, baik secara formal,
informal, dan non formal. Secara formal diberikan pada lembaga-lembaga
pendidikan formal di sekolah, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi (PT).
Secara non formal dilakukan pada institusi keluarga, di mana keluarga
secara terus menerus mewariskan nilai-nilai yang diyakini kepada
anggota keluarganya. Secara in-formal pendidikan nilai diberikan pada
tempat-tempat pendidikan seperti majelis taklim, tempat pengajian,
pesantren, dan tempat-tempat lain yang memberikan perhatian pada
pendidikan nilai ini. Namun upaya sungguh-sungguh untuk mempertegas
kehadiran pendidikan nilai dalam setiap pendidikan formal baru terlihat
secara jelas pada abad ke-20, dimana pendidikan nilai telah dipelajari
sebagai suatu “disiplin”[30]. Sejak itulah banyak literatur dan penelitian
yang mengkaji secara serius bidang pendidikan nilai ini.

Dalam sejumlah literatur, istilah pendidikan nilai dan pendidikan


moral sering digunakan untuk kepentingan yang sama, hal ini didasarkan
karena eratnya hubungan kedua bidang tersebut. Akan tetapi, menurut
Winecoff, bahwa pendidikan nilai adalah pendidikan yang
mempertimbangkan objek dari sudut pandang moral dan non-moral, yang
meliputi estetika yang menilai objek dari sudut pandang keindahan dan
selera pribadi, serta etika yang menilai benar atau salah dalam hubungan
antar pribadi[31]. Sedangkan pendidikan moral merupakan pendidikan
yang mempertanyakan benar dan salah dalam hubungan antar pribadi,
yang melibatkan konsep-konsep seperti hak manusia, kehormatan
manusia, kegunaan manusia, keadilan, pertimbangan, kesamaan, dan
hubungan timbal balik. Dengan demikian pendidikan nilai lebih luas dari
pada pendidikan moral, dan pendidikan moral merupakan bagian dari
pendidikan nilai yang membahas kawasan etika.
Pendidikan nilai dalam pemikiran konstruktivisme digunakan
sebagai proses membantu siswa dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang
ada melalui pengujian kritis sehingga siswa dimungkinkan untuk
meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir dan perasaannya. Oleh
karena itu Winescoff menyatakan bahwa proses pendidikan nilai
sedikitnya akan melibatkan proses sebagai berikut:[32]

1. Identifikasi (bisa juga sebagai akulturasi) inti nilai personal dan


nilai sosial.

2. Inquiry rasional dan filosofis terhadap inti nilai tersebut.

3. Respon afektif dan respon emotif terhadap inti nilai tersebut;

4. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan inti nilai


berdasarkan penyelidikan dan respon-respon tersebut.

Penutup

Etika, akhlak, dan moral merupakan sesuatu yang sangat urgent


dalam dunia pendidikan. Sehingga pendidikan atau sekolah perlu
memperhatikan aspek moral tersebut. Dengan adanya pendidikan moral
akan dapat membantu siswa agar berubah sikap dan perilakunya yang
mengarah kepada sikap dan perilaku yang baik.Dengan pendidikan moral
ini,merekaakan bertindak dengan cara-cara yang lebih diterima dan lebih
produktif baik secara personal maupun sosial. Perubahan yang terjadi
pada perilaku individu ini karena diperkenalkannya pada informasi baru
yang menyebabkan perubahan dalam dasar-dasar kepercayaan, nilai dan
sikapnya. Kepercayaan adalah sekumpulan fakta atau opini mengenai
kebenaran, keindaan, dan kebaikan. Sedangkan sikap adalah serangkaian
kepercayaan yang menentukan pilihan terhadap objek atau situasi
tertentu.

Nilai adalah serangkaian sikap yang menyebabkan atau


membangkitkan suatu pertimbangan yang harus dibuat sehingga
menghasilkan suatu standar atau serangkaian prinsip yang bisa dijadikan
alat ukur suatu aksi. Sedangkan moral adalah serangkaian nilai (standar
atau prinsip) yang dapat diterima dalam konteks kebudayaan yang
berlaku. Nilai-nilai individual dan standar moral itulah yang akan
mendorong komitmen seseorang untuk melakukan tindakan, sehingga
terjadinya perubahan perilaku.

Referensi

Asyafa, Abbas, dkk. (2010), Menjelajah Perkembangan dan Esesnsi Nilai


Moral di Era Global, Bandung: CV. Maulana

Aziz, Hamka Abdul, (2011), Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati;


Akhlak Mulia Pondasi Membangun Karakter Bangsa, Jakarta: Al-
Mawardi Prima

Bartens, K. (2000). Etika, Cet. Kelima. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka


Utama

Fraenkel, Jack R. (1981), How to Teach About Value; An Analytic


Approach, New Jersey: Prentice Hill-Book Inc.

Hakam, Kama Abdul (2010), Pengembangan Model Pembudayaan Nilai


Moral di Sekolah Dasar, Disertasi SPS-UPI Bandung, tidak diterbitkan,

Here (1963). Developing A Moral Science, Yale University Experts


Opinion, Familiy Matters,

Howard, Craig C. (1994). Theories of General Education; A Critical


Approach. London: Mc-Millan Academic and Profesional Ltd.,

Kosasih A. Djahiri, 2004, Hand Out; Dimensi Nilai Moral dan Norma,
Bandung: PPs-UPI

Kohlberg, Lawrence (1972). Cognitive Development Theory The Practice


of Collective Moral Education, New York: Gordon & Breach,

Piaget, Jean (1979), The Moral Judgement of The Child, London: Kegan
Paul, Trebner & Co., Ltd.

Salam, Burhanuddin (1997), Etika Sosial Asas Moral dalam Kehidupan


Manusia, Jakarta: Rineka Cipta,

Anda mungkin juga menyukai