Positivisme 1
Positivisme 1
A. Pengertian
Positivisme merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang
dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah.1
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern yang berpangkal dari fakta yang positif,
sesuatu yang di luar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Filsafat positivisme lahir pada abad ke-19. Titik tolak pemikirannya, apa yang
diketahui adalah yang factual dan yang positif, sehingga metefisikanya ditolak.
Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala dan segala yang tampak seperti apa
adanya, sebatas pengalaman objektif. Jadi, setelah fakta diperolehnya, fakta-fakta tersebut kita atur
sehingga dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.
Positivisme (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-
positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an.
Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains.
Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan
adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali.1
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Tidak
mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Positivisme merupakan
empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena
pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada
spekulasi dapat menjadi pengetahuan.1
Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz
Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung
dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-
positivis ini.1
Secara umum, para penganut paham positivisme memiliki minat kuat terhadap sains dan
mempunyai sikap skeptis terhadap ilmu agama dan hal-hal yang berbau metafisika. Mereka
meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan haruslah berdasarkan inferensi logis yang berdasarkan
fakta yang jelas. Sehingga, penganut paham ini mendukung teori-teori paham realisme,
materialisme , naturalisme, filsafat dan empirisme.1
B. Sejarah Muncul
Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang menyakini bahwa satu-satunya
pengetahuan yang benar adalah yang didasarkan pada pengalaman aktualfisikal. Pengetahuan
demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori melalui metode saintifik yang ketat,
yang karenanya spekulasi metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian di atas dan sebagai
pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno. Terminologi positivisme dicetuskan pada
pertengahan abad ke-19 oleh salah satu pendiri ilmu sosiologi yaitu Auguste Comte.
Comte percaya bahwa dalam alam pikiran manusia melewati tiga tahapan historis yaitu
teologi, metadisik, dan ilmiah. Dalam tahap teologi, fenomena alam dan sosial dapat dijelaskan
berdasarkan kekuatan spiritual. Pada tahap metafisik manusia akan mencari penyebab akhir
(ultimate causes) dari setiap fenomena yang terjadi. Dalam tahapan ilmiah usaha untuk
menjelasakn fenomena akan ditinggalkan dan ilmuan hanya akan mencari korelasi antarfenomena.
Pengembangan penting dalam paham positivisme klasik dilakukan oleh ahli ilmu alam Ernst
Mach yang mengusulkan pendekatan teori secara fiksi. Teori ilmiah bermanfaat sebagai alat untuk
menghafal, tetapi perkembangan ilmu hanya terjadi bila fiksi yang bermanfaat digantikan dengan
pernyataan yang mengandung hal yang dapat diobservasi. Meskipun Comte dan Mach mempunyai
pengaruh yang besar dalam penulisan ilmu ekonomi (Comte mempengaruhi pemikiran J.S. Mill
dan Pareto sedangkan pandangan Mach diteruskan oleh Samuelson dan Machlup). Pengaruh yang
paling utama adalah ide dalam pembentukan filosofi ilmiah pada abad 20 yang disebt logika
positivisme (logical positivism).1