Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun1999 tentang


pemerintahan daerah merupakan kebijakan yang lahir dalam rangkamenjawab dan memenuhi tuntutan
reformasi akan demokratisasi hubungan Pusatdan daerah serta upaya pemberdayaan daerah. Otonomi
daerah menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk
mengatur danmengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkanaspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Jadi, dapatdipahami
disini bahwa inti dari otonomi daerah adalah demokratisasi danpemberdayaan. Otonomi daerah sebagai
demokratisasi maksudnya adalah adanyakesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah
mempunyaikewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan dan
aspirasimasyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapatkan perhatiandalam setiap
pengambilan kebijakan oleh pusat.Adanya otonomi daerah merupakan upaya dari good governance
yangberjalan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Apa pengertian Good Governance?

2. Bagaimana prinsipdan pilarGood Governance?

3. Bagaimana hubungan antara Good Governance dengan otonomi daerah?

4. Bagaimana optimalisasi pelaksanaan otonomi daerah melalui Good Governance?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah berjudul “Good Governance dalam Otonomi Daerah” ini
adalah:

Ø Sebagai pemenuhan tugas (UTS Take Home) mata kuliah Otonomi Daerah dan Desentralisasi yang
diberikan oleh Bapak Dr.H.Hidayat Atori, M.Si
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Good Governance

kata ‘good’ pada Good Governance bermakna:

1. Berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

2. Keberdayaan masyarakat dan swasta.

3. Pemerintahan yang bekerja sesuai dengan hukum positif negara.

4. Pemerintahan yang produktif, efektif dan efisien.

Sementara ‘governance’ nya bermakna:

1. Penyelenggaraan pemerintah.

2. Aktivitas pemerintah melalui fasilitas publik dan pelayanan publik.

Good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Terkandung substansi nilai:

· Bagaimana pemerintah memimpin negara dengan bersih

· Bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri secara mandiri

· Bagaimana pemerintah dan masyarakat menyelenggarakan pemerintahan secara


bertanggungjawab.

istilah Good Governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank
dan UNDP. World Bank mendefinisikan kata governance the way state power is used in managing
economic and social resources for development society. Pengertian ini menggambarkan bahwa
governance adalah cara, yakni cara kekuasaan negara untuk mengelola sumber-sumber daya ekonomi
dan sosial guna pembangunan masyarakat. Cara ini lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.

Sejalan dengan pendapat World Bank, UNDP (United Nation Development Program) mengemukakan
definisi governance sebagai the exercise of political, economic and administrative authority to manage a
nation’s affair at all levels. Kata governance berarti penggunaan atau pelaksanaan, yaitu penggunaan
kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua
tingkatan. Disini, titik tekannya pada kewenangan, kekuasaan yang sah, atau kekuasaan yang memiliki
legitimasi. Berdasarkan pengertian tersebut, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah
mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan
UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi dan administratif dalam pengelolaan negara.
Menurut Pierre Landell-Mills &Ismael Seregeldin mendefinisikan good governance sebagai penggunaan
otoritas politik dan kekuasaan untuk mengelola sumber daya demi pembangunan sosial ekonomi.
Sedangkan menurut Robert Charlick mengartikan ggo governance sebagai pengelolaan segala macam
urusan publik secara efektif melalui pembuatan peraturan dan/atau kebijakan yang absah demi untuk
mempromosikan nilai-nilai kemasyarakatan.

Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan
pemerintahan yang baik. Kata ‘’baik’’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

B. Prinsip dan Pilar Good Governance

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip didalamnya. Bertolak
dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya
pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good
governance. Prinsip-prinsip itu diantaranya adalah:

1. Partisipasi (Participation)

Sebagai pemilik kedaulatan, setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban untuk mengambil
bagian dalam proses bernegara, berpemerintahan, serta bermasyarakat. Partisipasi tersebut dapat
dilakukan secara langsung ataupun melalui institusi intermediasi, seperti DPRD, LSM, dan lainnya.
Partisipasi yang diberikan dapat berbentuk buah pikiran, dana, tenaga, ataupun bentuk-bentuk lainnya
yang bermanfaat. Partisipasi warga negara dilakukan tidak hanya pada tahapan implementasi, tetapi
secara menyeluruh, mulai tahapan penyusunan kebijakan, pelaksanaan, evaluasi, serta pemanfaatan
hasil-hasilnya.

Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan berbangsa, bernegara, dan
berpemerintahan, yaitu:

a. Ada rasa kesukarelaan.

b. Ada keterlibatan secara emosional.

c. Memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari keterlibatannya.

2. Penegakan hukum (Rule of Law)

Good governance dilaksanakan dalam rangka demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah
satu syarat kehidupan demokrasi adalah adanya penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, tidak akan tercipta kehidupan yang demokratis, tetapi anarki.
Tanpa penegakan hukum, orang secara bebas berupaya mencapai tujuannya sendiri tanpa
mengindahkan kepentingan orang lain dengan menghalalkan segala cara. Oleh karena itu, langkah awal
penciptaan good governance adalah membangun sistem hukum yang sehat, baik perangkat lunaknya,
perangkat kerasnya maupun sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya.
3. Transparansi (Transparancy)

Salah satu karakteristik good governance adalah keterbukaan. Karakteristik ini sesuai dengan semangat
zaman yang serba terbuka adanya revolusi informasi. Keterbukaan tersebut mencakup semua aspek
aktivitas yang menyangkut kepentingan publik, dari proses pengambilan keputusan, penggunaan dana-
dana publik, sampai pada tahapan evaluasi.

4. Daya tanggap (responsiveness)

Sebagai konsekuensi logis dari keterbukaan, setiap komponen yang terlibat dalam proses pembangunan
good governance harus memiliki daya tanggap terhadap keinginan atau keluhan para pemegang saham
(stake holder). Upaya peningkatan daya tanggap tersebut, terutama ditujukan pada sektor publik yang
selama ini cenderung tertutup, arogan, serta berorientasi pada kekuasaan. Untuk mengetahui kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh sektor publik, secara periodik perlu dilakukan
survei untuk mengetahui tingkat kepuasan konsumen (customer satisfaction).

5. Berorientasi pada konsensus (consensus orientation)

Kegiatan bernegara, berpemerintahan, dan bermasyarakat pada dasarnya merupakan aktivitas politik,
yang berisi dua hal utama, yaitu konflik dan konsensus. Dalam good governance, pengambilan
keputusan ataupun pemecahan masalah bersama lebih diutamakan berdasarkan konsensus, yang
dilanjutkan dengan kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan bersama.
Konsensus bagi bangsa indonesia sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena nilai dasar kita dalam
memecahkan persoalan bangsa adalah melalui musyawarah untuk mufakat.

6. Keadilan (equity)

Melalui prinsip good governance, setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk
memperoleh kesejahteraan. Akan tetapi, karena kemampuan masing-masing warga negara berbeda-
beda, sektor publik harus memainkan peranan agar kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan seiring
sejalan.

7. Efektif dan efisien (efectiveness and efficiency)

Agar mampu berkompetisi secara sehat dalam percaturan dunia, kegiatan ketiga domain dan
governance harus mengutamakan efektivitas dan efisiensi dalam setiap kegiatan. Tekanan perlunya
efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor publik karena sektor ini menjalankan
aktivitasnya secara monopolistik. Tanpa kompetisi, tidak akan ada efisiensi.

8. Akuntabilitas (accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu mempertanggungjawabkan kepada
publik. Tanggung gugat dan tanggung jawab tidak hanya diberikan kepada atasan saja, tetapi juga pada
para pemegang saham yaitu masyarakat luas. Secara teoritis, akuntabilitas dapat dibedakan menjadi
lima macam, yaitu:
a. Akuntabilitas organisasi

b. Akuntabilitas legal

c. Akuntabilitas politik

d. Akuntabilitas profesional

e. Akuntabilitas moral

9. Visi strategis (strategic vision)[1]

Dalam era yang berubah secara dinamis, setiap domain dalam good governance harus memiliki visi yang
strategis. Tanpa visi semacam itu, suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan. Visi itu,
dapat dibedakan antara visi jangka panjangm (long time vision) antara 20 sampai 25 tahun serta visi
jangka pendek (short time vision) sekitar 5 tahun.

Prinsip-prinsip good governance pada dasarnya mengandung nilai yang bersifat objektif dan universal
yang menjadi acuan dalam menentukan tolak ukur atau indikator dan ciri-ciri/karakteritik
penyelenggaraan pemrintahan negara yang baik. Prinsip-prinsip good governance dalam praktik
penyelenggaraan negara dituangkan dalam tujuh asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Berih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Prinsip atau asas umum dalam penyelenggaraan negara yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 meliputi sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan enyelenggaraan negara.

2. Asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara.

3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
aspiratif, akomodatif, dan selektif.

4. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh
informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif, tentang penyelenggaraan negara dengan tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara.

5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
penyelenggaraan negara.

6. Asas profersionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari
kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Disamping itu, juga terdapat pilar-pilar good governance diantaranya:

1) Negara atau pemerintahan (state), berfungsi dalam hal:

a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil

b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable

d. Menegakkan HAM

e. Melindungi lingkungan hidup

f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.

2) Sektor swasta atau dunia usaha (private sector), berfungsi dalam hal:

a. Menjalankan industri

b. Menciptakan lapangan kerja

c. Menyediakan insentif bagi karyawan

d. Meningkatkan standar hidup masyarakat

e. Memelihara lingkungan hidup

f. Menaati peraturan

g. Transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat

h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM

3) Masyarakat (society), berfungsi dalam hal:

a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi

b. Mempengaruhi kebijakan public

c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah

d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah

e. Mengembangkan SDM
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat

pada negara yang sedang berkembang yang sektor swasta dan sektor masyarakat relatif belum maju,
sektor pemerintah memegang peranan yang sangat menentukan. Sektor pemerintah harus bertindak
sebagai promotor pembangunan. Pada saatnya apabila sektor swasta dan sektor masyarakat semakin
maju karena pembangunan, peranan sektor pemerintah secara bertahap mulai berkurang. Tarik-
menarik peranan antara sektor pemerintah dan sektor swasta dan sektor masyarakat apabila tidak
dikelola secara bijak akan dapat menimbulkan berbagai ketegangan sosial. Dalam hal ini diperlukan
pimpinan nasional yang memiliki dukungan legitimasi politik yang kuat, memiliki kharisma, serta
kemampuan mnajerial untuk mengendalikan perubahan.

C. Hubungan antara Good Governance dengan Otonomi Daerah

Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata
pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari
indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan
hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara
pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.

Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan


pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :

1. Urusan Pemerintahan

2. Kelembagaan

3 Personil

4. Keuangan

5. Perwakilan

6. Pelayanan Publik

7. Pengawasan.

Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi
dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas,
terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia
secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah
perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan
langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari
mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat
ini.

Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan
rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang
bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam
masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan
menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang
memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi
kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan
kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun
telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang - undangan nasional (UU no 10 tahun 2004),
Pengawasan oleh masyarakat.

Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur
dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban
Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada
Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta
menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.

Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas
lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis
sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan
pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator
yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan
keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau
diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.

Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan


daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai
perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya
korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat
dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.

Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang
terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi
perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut
berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan
demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen
yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.
D. Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah melalui Good Governance

Good governance dapat ditinjau sebagai bentuk pergeseran paradigma konsep goverment
(pemerintah) menjadi governance (kepemerintahan). Secara epistemologis, perubahan paradigma
goverment berwujud pada pergeseran mindset dan orientasi birokrasi sebagai unit pelaksana dan
penyedia layanan bagi masyarakat, yang semula birokrat melayani kepentingan kekuasaan menjadi
birokrat yang berorientasi pada pelayanan publik.

Salah satu bentuk layanan tersebut adalah penertiban regulasi yang dapat menciptakan suasana
yang kondusif bagi masyarakat. Akan tetapi, sebelum lebih jauh kita menelaah kiat-kiat dalam
menciptakan regulasi yang kondusif, tidak ada salahnya apabila kita memulainya dengan memahami
terlebih dahulu beberapa konsep dasar dalam kebijakan publik.

Dalam kacamata awam, pemerintahan yang baik identik dengan pemerintahan yang mampu
memberikan pendidikan gratis, membuka banyak lapangan kerja, mengayomi fakir miskin, menyediakan
sembako murah, memberikan iklik investasi yang kondusif dan bermacam kebaikan lainnya. Dengan
kata lain, pemerintah dianggap baik apabila ia mampu melindungi dan melayani masyarakatnya. Jadi
dapat disimpulkan bahwa pelayanan umum yang berkualitas merupakan ukuran untuk menilai sebuah
pemerintahan yang baik, sedangkan pelayanan umum yang buruk lebih mencerminkan pemerintahan
yang miskin inovasi dan tidak memiliki keinginan untuk menyejahterakan masyarakatnya (bad
governance).

Berbicara tentang good governance biasanya lebih dekat dengan masalah pengelolaan
manajemen pemerintahan dalam membangun kemitraan dengan stake holder (pemangku kepentingan).
Oleh karena itu, good governance menjadi sebuah kerangka konseptual tentang cara memperkuat
hubungan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat dalam nuansa kesetaraan. Hubungan yang
harmonis dalam nuansa kesetaraan merupakan prasyarat yang harus ada. Sebab, hubungan yang tidak
harmonis antara ketiga pilar tersebut dapat menghambat kelancaran proses pembangunan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep good governance yang dijelaskan tersebut berlaku untuk semua jenjang pemerintahan,
baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Mau tidak mau, mampu ataupun tidak mampu,
dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk menerapkan prinsip-
prinsip good governance karena prinsip tersebut telah menjadi paradigma baru didalam
menyelenggarakan kepemerintahan yang digunakan secara universal.

Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancangan undang-undang
yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa
memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan. Pada sisi lain, pemerintah pusat
memiliki kewajiban untuk menyebarluaskan konsep good governance kepada seluruh jajaran
pemerintahan karena konsep tersebut menjadi salah satu ukuran keberhasilan birokrasi pemerintahan.

DAFTAR PUSTAKA

Rosidin utang. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Bandung: Pustaka Setia.2010.

Mardiasmo. Otnonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Penerbit Andi.2004.

Santosa Pandji. Administrasi Publik, Teori dan Aplikasi Good Governance. PT Refika Aditama.2008.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Good Governance diperkenalkan oleh Bank Dunia dalam publikasinya Sub Saharan Africa : From Crisis to
Sustainable Growth pada tahun 1989. Wacana ini memiliki tujuan untuk “memberdayakan masyarakat
umum” yang ada di Benua Afrika. Wacana Good Governance sendiri yang bergulir pada dekade tahun
90-an tentunya tidak lepas dari perubahan peta politik dunia yang begitu dinamis kala itu. Adapun
perubahan – perubahan tersebut disinyalir disebabkan oleh tiga faktor antara lain hilangnya legitimasi,
keruntuhan ekonomi, dan protes rakyat. Pemikiran tentang good governance ini pertama kali
dikembangkan oleh lembaga dana internasional seperti world bank, UNDP dan IMF dalam rangka
menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara sasaran bantuan.
Penyandang dana bantuan memandang bahwa setiap bantuan untuk negar-negara didunia terutama
negara berkembang, sulit berhasil tanpa adanya Good Governance. Karena itu Good Governance
menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut bersama negara sasaran,
disisi lain memaknai Good Governance sebagai aplikasian kongkrit dari pemerintahan demokrasi dengan
demikian Good Governance adalah pemerintahan yang baik dalam standar proses dan maupun hasil-
hasilnya semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan,
memperoleh dukungan dari rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat
proses pembangunan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian dari Good Governance?

2. Apa saja prinsip-prinsip Good Governance ?

3. Apa yang menjadi penyebab Good Governance masuk ke Indonesia?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi tugas mata kuliah Pancasila

2. Memberikan pemahaman mengenai pengertian dari Good Governance

3. Memberikan gambaran bagaimana penerapannya di Indonesia


4. Menelusuri bagaimana Governance menjadi jalan keluar yang di gembar-gemborkan pada masa
orde baru ke reformasi.

BAB II

GOOD GOVERNANCE

A. Pengertian Good Governance

Administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public
Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan
government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu New Public
Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance
diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik
di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin
kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good
Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat.
Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar
dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas
pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik
good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi
menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga
(Dwiyanto, 2005). Lalu bagaimana sebenarnya asal usul ide Good Governance itu muncul? Bagaimana
pula Konsep yang menjadi landasan untuk terwujudnya Good Governance? Kritik apa saja yang muncul
akibat adanya Paradigma Good Governance?. Makalah ini menjelaskan tentang pengertian good
governance, kronologi munculnya ide good governance, dan kritik yang muncul terhadap good
governance.

ood Governance bisa diartikan juga sebagai kinerja suatu lembaga baik itu pemerintahan, perusahaan,
dan organisasi kemasyarakatan. Pemerintahan yang baik, citra negara berdasarkan hukum, dimana
masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintahan sudah dapat
mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh
sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan
menindak lanjuti keluahan-keluahan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan
pengembangan informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel,
karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat.[1]

Menurut bahasa Good Governance diartikan dengan “pemerintahan yang baik”. Sedangkan menurut
istilah Good Governance adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan
bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor suasta. Kesepakatan tersebut
mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, kepentingan, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban, dan menjembatani perbedaan diantara mereka (ICCE UIN Syahid Jakarta, 2003:181).[2]

Konsep good governance yang dimajukan di atas menggambarkan bahwa sistem pemerintahan yang
baik menekankan kepada kesepakatan pengaturan negara yang diciptakan bersama pemerintah,
lembaga-lembaga negara yang baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, masyarakat
madani.[3]
Dengan demikian Good governance dikategorikan pemerintahan yang baik, dalam standar proses dan
maupun hasil-hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling
berbenturan, memperoleh dukungan dar rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat
menghambat proses pembangunan. Dapat di kategorikan pemerintahan yang baik, jika pembangunan
itu dapat dilakukan dengan biaya sangat minimal menuju cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran,
memperlihatkan hasil indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat, kesejahteraan spiritualisasinya
meningkat dengan indikator masyarakat rasa aman, tenang, bahagia dan penuh dengan kedamaian.[4]

B. Prinsip dan Pilar Good Governance di Indonesia

Berikut adalah prinsip-prinsip Good Governance :

a. Partisipasi masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung
maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas
untuk berpartisipasi secara konstruktif.

b. Tegaknya supremasi hukum

Menurut Asep Sulaiman (2012:156) kerangka hukum harus adil dan di berlakukan tanpa pandang bulu,
termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. Karna prinsip penegakan
hukum menunjukan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa kecuali, menjungjung
tinggi HAM dan memperhatikan nilai-nilai hidup masyarakat.[5]

c. Transparansi

Tranparansi di bangun atas darsar arus informasi yang bebas, dengan

adanya transparansi maka pemerintahan menunjukan kinerjanya sebagai tolak ukur dan informasi bagi
masyarakat dipemerintahan.[6]

d. Peduli pada stakeholder

Maksud dari peduli pada stakeholder lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus
berusaha mngayomi semua pihak yang berkepentingan.

e. Berorientasi pada konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi


terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaikbagi kelompok-kelopok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.[7]

f. Kesetaraan
Kesetaraan adalah perlakuan yang sama kepada semua unsur tanpa memandang atribut yang
menempel pada subyek tersebut (prasetya,2001:78). Dalam hal ini jelas bahwa setiap warga juga
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahtraan mereka.[8]

g. Efektifitas dan Efesien

Proses-proses pemerintahan lembaga –lembaga membuahkan hasil seseuai kebutuhan warga


masyarakat dan dengan menggunaka sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.[9]

h. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat


bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan.[10]

i. Visi strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan
yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas
kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.[11]

Berikut adalah pilar-pilar Good Governance :

Good governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan
kepentingan publik . jenis lembaga tersebut adalah :

a. Negara

1. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil.

2. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

3. Menyediakan public service yang efektifdan accountable

4. Menegakkan HAM

5. Melindungi lingkungan hidup

6. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik [12]

b. Sektor Swasta

1. Menjalankan industri

2. Menceiptakan lapangan kerja


3. Menyediakan insentif bagi karyawan

4. Meningkatkan standar hidup masyarakat

5. Memilahara lingkungan hidup

6. Menaati peraturan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat

7. Menyediakan kredit bagi pengembangan HAM[13]

c. Masyarakat Madani

1. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi

2. Mempengaruhi kebijakan publik

3. Sebagai sarana cheks dan balances pemerintah

4. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah

5. Mengembangkan SDM

6. Sarana berkomunikasi antara anggota masyarakat[14]

C. Latar belakang Good Governance di Indonesia

Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai dengan konsolidasi
pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca
Perang Dunia I, diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil
dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-
ruang politik dalam masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat dominan untuk membawa
perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi tahun 1960-an sampai
1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut
merupakan perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di
Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada periode tersebut, pendalaman
kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika
Latin dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang semakin
rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang
merupakan asumsi perspektif Barat yang dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini
kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh
meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan
masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial
negara yang melanda dunia memasuki dekade 1980-an. Krisis ekonomi juga dihadapi Indonesia yang
ditandai dengan anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode 1980-an
mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai
solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada
masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi,
debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini
menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara
minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek
demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini
muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good
governance. Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah
lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru
memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.

Sebagai reaksi terhadap krisis pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker
menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasis
pada Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan
utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan
dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-
led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi (good governance), dan privatisasi sector-
sektor publik (Gilpin, 2001 :314).

Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu yaitu CGI
(Consultative Group on Indonesia), Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for
Governance Reform) dan Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan
memiliki kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan
perundang-undangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga
prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja
secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance
Reform. Melalui forum kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif
dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for development), seperti
pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga pemerintahan baru. Pengaruh
besar kemitraan ini adalah justru peran hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek
governance yang dijalankan oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah.
Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia dalam
mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi pemberdayaan
untuk kaum miskin melalui bantuan hukum.

Bagi Bank Dunia, program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal
penting dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank
Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang didanainya sendiri, semacam
Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan ketatapemerintahan melalui good
governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya
dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di titik ini, diskursus
dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah
yang disebut “market friendly human rights paradigm‟ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah
pasar). Muncul dan berperannya Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan
program global dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs
telah mengaplikasikan proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara
ketiga. PRSPs yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman.
Berdasarkan laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan
kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan
mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman 2006:
67). Kritik Good Governance Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance
hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu
sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka
membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.

Prinsip Good Governance sebenarnya sudah ditanamkan pada saat Undang – Undang Dasar (UUD) 1945
pertama kali lahir. Prinsip ini dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 alenia IV. Namun pada
perkembangannya Good Governance mulai urgent dibicarakan pasca tumbangnya rezim orde baru.

Tumbangnya rezim orde baru (atau populer disebut masa reformasi) membuat supremasi terhadap
sistem demokrasi semakin santer. Demokrasi menjadi menjadi kata kunci dalam Good Governance.

Prinsip dasar yang kami maksud adalah tentang prinsip musyawarah mufakat, menjunjung moralitas,
bersikap terbuka, tanggap, menjaga persatuan, berkeadilan social, bergotong-royong, bertanggung
jawab, dan berkeinginan luhur.

Hal ini sejalan dengan sembilan nilai prinsipil dalam Good Governance. Misalnya, prinsip transparansi
yang sudah terkandung dalam prinsip musyawarah mufakat. Dimana pengambilan keputusan dalam
musyawarah mufakat lebih mengutamakan unsur maslahat dibanding politis. Pengambilan keputusan
dalam musyawarah mufakat pun dapat diakses oleh keseluruhan stakeholder terkait.

Prinsip lain adalah akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas sudah terkandung dalam nilai bertanggung jawab.

Orientasi ideal Good Governance diarahkan pada pencapaian tujuan nasional danpemerintahan yang
berfungsi ideal apabila melakukan upaya mencapai tujuan nasional secara efektif dan efisien.

Pada Pembukaan Alenia IV UUD 1945 dinyatakan Tujuan Nasional adalah sebagai berikut;

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

2) Memajukan kesejahteraan umum;

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa,

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.

Dengan demikian maka Good Governance di Indonesia, dapat didefinisikan sebagai praktek
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dengan kemampuan mengelola berbagai sumberdaya
sosial dan ekonomi dengan baik untuk kepentingan rakyat Indonesia berdasarkan asas musyawarah dan
mufakat.

Sedangkan wujudnya di Indonesia berupa Penyelenggaraan tata pemerintahan yang bersih dan
berwibawa, efisien dan efektif, tanggap dan bertanggungjawab, bertindak dan berpihak pada
kepentingan rakyat, serta mampu menjaga keselarasan hubungan kemitraan melalui proses interaksi
yang dinamis dan konstruktif antara pemerintah, rakyat, dan berbagai kelompok kepentingan di dalam
tata kehidupan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila.

Kemasan wujud good governance dalam paradigma dalam negeri, terefleksi dari penekanan pokok-
pokok kebijakan yang mencakup tiga bidang, yaitu :

1) Politik: memposisikan pemerintah sebagai fasilitator, mendorong dialogis yang interaktif, dan
dorongan untuk berkembangnya lembaga politik dan tradisi;

2) Partisipasi masyarakat: mendorong prakarsa lokal terus berkembang dan mendorong peranan
maksimal lembaga kemasyarakatan;

3) Pembangunan Daerah : pengakuan kewenangan daerah (kecuali yang dipusatkan), pemisahaan


eksekutif dan legislatif daerah, serta mengawal berkembangnya dinamika Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Memberikan tekanan orientasi regional/local, menjawab masalah kunci daerah/wilayah, dan
memperkuat kerja sama wilayah/antar daerah.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian–uraian dari bab–bab sebelumnya maka penulis mengambil kesimpulan yaitu:

1. Pemerintahan yang baik tidak di lihat dari sistem yang berbuat atau rancanggan undang-undang
yang di rumuskan, melainkan suatu sikap yang pasti dalam menangani suatu permasalahn tanpa
memandang siapa serta mengapa hal tersebut harus di lakukan.

2. Good Governance merupakan pengertian dalam hal yang luas sehingga untuk memberikan arti
serta defenisi tidak semudah mengartikan kata perkata melainkan perlunya aspek –aspek serta
pemikiran yang luas menyangkut bidang tersebut.

3. Perlunya pengertian menggenai aspek-aspek dalam Good Governance sehingga tidak ada
kesalahan dalam aplikasinya.

4. Penerapan Good Governance dalam sistem kepemerintahan saat ini sangat di perlukan karena
peranan perintah dalam memajukan suatu negara sangatlah besar.

B. Saran

Atas kesimpulan di atas, penulis mengemukakan beberapa saran untuk membenahi kelemahan-
kelemahan dalam penegakkan prinsip good governance di Indonesia yaitu:

1. Integritas dan nilai etika perlu ditingkatkan atau dikomunikasikan dengan perilaku yang terbaik dan
melibatkan pihak terkait. Karena sebaik apapun desain sebuah pengawasan tidak akan terlaksana
dengan efektif, efisien dan ekonomis jika dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki integritas dan
nilai etika yang rendah.

2. Kinerja Inspektorat atau pengendalian intern perlu terus ditingkatkan meskipun penulis
mengusulkan sektor publik, namun itu bukan berarti mengabaikan sektor pengawasan intern.

DAFTAR PUSTAKA

· Saepuloh Aep dan Tarsono, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Islam, Bandung:Batic
Press, 2012.

· Sofhian Subhan dan Sahid Gatara Asep, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education),
Bandung:Fokusmedia, 2012.
· Sulaiman Asep, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Civic Education), Bandung:Asman
Press, 2012

Anda mungkin juga menyukai