Anda di halaman 1dari 2

Bab 1.

Ulama Dalam Pelembagaan Indonesia Di Nusantara

Bukti sejarah menunjukkan hubungan erat antara Islam dan politik, menjadikan ulama
memiliki peran penting di kerajaan. Islam sejak awal menjadi satu unsur penting baik dalam
pembentukan maupun perkembangan kerajaan. Dalam kondisi demikian, ‘ulama menjadi
bagian dari elit politik kerajaan. Di samping soal agama, ulama kerap ikut andil dalam
persoalan politik dan sosial. Dengan berpusat di kerajaan, ‘ulama menjadi agen terdepan yang
bertanggungjawab dalam penterjemahan Islam di dunia Melayu- Indonesia, yang melahirkan
perumusan “dimensi Islam Indonesia yang orisinal” (Hooker 1983: 3). Kerajaan telah
memberi ruang bagi suatu proses sejarah di mana ulama tampil sebagai peletak dasar dari
pelembagaan Islam di Nusantara.

Sampai pada perkembangan keberadaan ulama Melayu-Nusantara pada abad ke-17,


dan juga pada awal abad ke-18, lebih memperlihatkan gejala kota (city), di mana para ulama
menjadi bagian dari elit kerajaan. Hal ini tentu saja seiring dengan fakta bahwa
perkembangan Islam di Melayu-Nusantara, khususnya pada masa-masa awal, memang
memperlihatkan gejala kota.

Lembaga penghulu di Jawa memiliki basis historis yang kuat. Keberadaannya telah
ada sejak Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Raden Patah, raja
pertama Kesultanan Demak, mengangkat Pangeran Bonang (salah seorang walisanga yang
menyebaran Islam di Jawa) sebagai penghulu kesultanan pada sekitar 1490.

Berakhirnya kekuasaan ulama-plus-raja di pantai utara Jawa kerap kali dilihat sebagai
akhir dari keberadaan Islam pesisir yang kosmopolit, dan sekaligus awal dari proses
pembentukan Islam tradisional di pedalaman yang berbasis pesantren. Para pelajar Melayu-
Nusantara di Mekah, ‘komunitas Jawi’, telah membentuk satu kelompok sosial tersendiri
yang, meski terbagi ke dalam berbagai etnis, telah membawa mereka terlibat dalam interaksi
intensif dan diskusi mengenai topik-topik yang berkenaan dengan perkembangan Islam di
Melayu- Nusantara. Komunitas Jawi inilah yang kemudian menjadi aktor terkemuka dan
menentukan dalam perkembangan Islam Melayu-Indonesia. Mereka, seperti telah disinggung
sebelumnya, menjadi pendiri dan sekaligus pemimpin pendidikan pesantren.

Kasus Nawawi al-Bantani (1913-1897) memberi bukti kuat terhadap berlakunya


kecenderungan meningkatkanya komunitas Jawi di Mekah. Dia adalah seorang seorang ulama
Indonesia di Mekah yang meperoleh penghargaan tinggi dari murid-muridnya dari komunitas Jawi,
seorang yang karyakaryanya digunakan secara luas di dunia pesantren di Indonesia, salah seorang
arsitek pesantren; dia pada saat yang sama adalah seorang yang memiliki hubungan dekat dengan
tradisi intelektual di Mesir.

Peran sentral surau sebagai pusat penyebaran dan perkembangan Islam ke daerah-daerah
pedalaman didukung oleh fakta bahwa sufisme menjadi satu elemen penting dalam berdirinya surau
khususnya di daerahdaerah pedalaman. Ajaran-ajaran dan praktik-praktik Islam di surau-surau dengan
mudah disesuaikan dengan adat lokal, sehingga dapat menawarkan semangat yang dekat dengan
sistem budaya kaum petani di desa-desa di Minangkabau.
Legitimasi Islam untuk Kekuasaan Politik: Beberapa Isu Seputar Ulama dan Kerajaan

Raja tidak hanya diyakini sebagai pemilik wilayah dan rakyat kerajaan, tapi juga sebagai
pribadi yang tercerahkan (boddhisatva), yang membawa warganya ke arah kemajuan dan peningkatan
spiritual. Dengan demikian, kerajaan diartikan sebagai “kondisi memiliki raja”. Raja dianggap sebagai
penjelmaan dari eksistensi kerajaan, dan rakyat hidup di bawah sang raja. Daulat di dunia Islam
digunakan mengacu pada eksistensi kekuasaan suatu negara. Berasal dari bahasa Arab, d-w-l, berarti “
berputar atau mengganti”, istilah daulat telah berkembang menjadi sebuah konsep politik yang jelas
mengacu pada kekuasaan seorang penguasa di suatu dinasti, dan akhirnya suatu Negara di dunia
Muslim.

Anda mungkin juga menyukai