Anda di halaman 1dari 4

Migas Indonesia dan Imperialisme

Sabtu, 06 April 2013


Ted Sprague

Hari ini hampir 85% migas Indonesia ada di tangan asing. Kendati kekayaan migas yang besar, negeri kita tetap
tidak mampu mensejahterakan rakyatnya. Banyak pihak, dari berbagai spektrum politik, yang hari ini mengutuk
dominasi modal asing di sektor migas dan kebijakan migas pemerintahan Indonesia yang memungkinkan semakin
kuatnya dominasi asing ini.

Maka dari itu, berbicara mengenai sumber daya alam, terutama minyak dan gas bumi, mustahil untuk tidak
berbicara mengenai dominasi modal asing di sumur-sumur migas yang tersebar di seluruh penjuru bangsa ini.
Bukan kerakusan semata yang mendorong modal asing untuk, seperti ujar Marx, “bersarang dimana-mana,
bertempat dimana-mana, mengadakan hubungan-hubungan dimana-mana”. Di balik kerakusan tersebut adalah
gerak ekonomi kapitalisme imperialis, dimana ekspor kapital menjadi keharusan dan konsekuensi dari akumulasi
kapital. Oleh karenanya untuk memahami dominasi modal asing di Indonesia, dan terlebih lagi bagaimana kita
dapat menghadapi mereka, kita harus meneliti gerak perkembangan kapitalisme. Terlebih lagi kalau kita ingin
melawan dominasi ini. Dominasi modal asing tidak bisa dilawan hanya dengan menolak modal asing dengan
seruan “Go to hell with your aid!”

Kapitalisme lahir sebagai sebuah sistem ekonomi yang menjunjung tinggi persaingan bebas. Gebrakan pertama
mereka adalah Revolusi Belanda pada abad ke-16, yang lalu disusul dengan Revolusi Inggris 1648 dan Revolusi
Prancis yang megah pada 1789. Kompetisi bebas inilah yang membuat kapitalisme lebih progresif daripada sistem
feodalisme yang otokratik dan konservatif. Kompetisi bebas dari kapitalisme awal adalah sebuah kemajuan bagi
peradaban manusia saat itu. Dengan kompetisi bebas, kapitalisme dapat terus merevolusionerkan alat-alat
produksi dan teknologi. Ia membebaskan manusia dari kegelapan sistem feodalisme yang sudah membusuk.

Seperti halnya seorang bayi yang beranjak dewasa, begitu juga kapitalisme. Proses persaingan bebas dalam
kapitalisme melahirkan monopoli. Setiap kali sebuah perusahaan menang dalam persaingan bebas, ia bertambah
kuat. Modal dan pasarnya semakin luas. Misalnya pada 1830 perusahaan terbesar di dunia adapah pabrik besi-baja
Cyfartha dengan jumlah pekerja 5000 orang dan aset total 2 juta dolar. Hari ini Walmart memperkerjakan 2,2 juta
pekerja dan memiliki aset 190 milyar dolar. Proses konsentrasi ini terus berlangsung hingga akhirnya hanya
tersisa segelintir pengusaha besar dengan kapital dan pasar raksasa di tangannya. Dengan cara ini kompetisi
berubah menjadi monopoli, dan bisa dikatakan proses ini selesai kira-kira pada awal abad ke-20. Sejak itu,
monopoli telah menjadi fitur utama kapitalisme hari ini. Persaingan bebas, walaupun masih ada, sudah bukan lagi
fitur dominan.

Tidak hanya monopoli, kita juga saksikan pembentukan kartel dan konglomerasi. Monopoli-monopoli besar
bekerja sama membentuk kartel dimana mereka mengatur harga, membagi-bagi pasar, menentukan jumlah
produksi, dan lain sebagainya. Dengan cara ini mereka mengeruk keuntungan sebesar mungkin. Tahun ini saja
misalnya, LG, Samsung, dan 4 perusahaan lain tertangkap basah mengatur harga panel LCD; Dow Chemical,
perusahaan kimia terbesar dunia, didenda 400 juta dolar karena mengatur harga produk urethane; Apple sedang
diperiksa karena diduga terlibat dalam pengaturan harga ebook. Kita lihat bahwa harga sudah bukan lagi
ditentukan semata oleh hukum permintaan dan penawaran, sudah bukan lagi ditentukan oleh siapa yang bisa
memproduksi lebih efisien dan lebih murah, tetapi oleh monopoli dan kartel.

OPEC, Organization of the Petroleum Exporting Countries, juga adalah bentuk kartel, dimana negara-negara
produsen minyak bersama-sama mengatur jumlah produksi mereka agar harga minyak tetap menguntungkan bagi
mereka. Ironisnya, pembentukan kartel OPEC ini adalah respon terhadap dominasi perusahaan-perusahaan
minyak raksasa saat itu (tahun 1950an) yang membentuk kartel “Seven Sisters”, yang terdiri dari Exxon, Mobil,
Chevron, Texaco, Gulf Oil, Shell and BP. Kartel “Seven Sisters” ini pada masa kejayaannya tahun mengontrol
sekitar 85% cadangan minyak dan mampu mendikte banyak negara-negara produsen minyak dari Dunia Ketiga.
Paska Perang Dunia Kedua, “Seven Sisters” menguasai sumur-sumur minyak di Timur Tengah dan dengan
kekuatan kartelnya mengontrol harga minyak dunia. Pada tahun akhir 1950an dan 1960an, gelombang
nasionalisme menyapu Dunia Ketiga dan negara-negara produsen minyak akhirnya bersatu dan mengatakan
“Tidak” kepada kartel “Seven Sisters” dengan membentuk kartel minyak mereka sendiri. Seperti yang dikatakan
oleh seorang delegasi OPEC, OPEC dibentuk “sebagai sebuah kartel untuk melawan sebuah kartel”.

Akan keliru kalau kita mengatakan bahwa pembentukan OPEC adalah kemenangan kekuatan anti-imperialis
hanya karena OPEC menentang kartel minyak Barat. Kendati retorika-retorika anti-imperialis dari para pemimpin
anggota OPEC, pada kenyataannya negara-negara ini hanya menjaga kepentingan mereka sendiri. Harga minyak
yang tinggi hanya mengutungkan 12 negara OPEC dan merugikan banyak negeri miskin lainnya yang tergantung
pada minyak. Terlebih lagi, keuntungan besar yang didapati oleh 12 negara OPEC ini hanya menguntungkan
kelas atas di negeri-negeri tersebut, dan sedikit sekali yang mengalir ke rakyat jelata. Pada analisa terakhir,
perseteruan antara OPEC dan kartel Barat “Seven Sisters” adalah perseteruan antara borjuasi nasional dan
borjuasi asing untuk kue jarahan “migas” yang lebih besar.

Dengan semakin terkonsentrasikannya kapital, semakin terkonsentrasi juga produksi. Perusahaan-perusahaan


besar tidak lagi hanya aktif di satu bidang saja tetapi juga melakukan bisnis di banyak sektor. Mereka menemukan
bahwa dengan mengkontrol berbagai sektor industri, dari hulu hingga hilir, dari suplai bahan mentah sampai ke
pemasaran produk akhir, mereka bisa mendapatkan dominasi absolut. Dalam industri minyak, perusahaan-
perusahaan minyak besar seperti ExxonMobile, Chevron, BP, dan Dutch Shell menguasai industri minyak dari
hulu hingga hilir, sehingga walaupun mereka hanya memproduksi 10% migas di dunia mereka masih punya
kontrol luar biasa besar atas seluruh industri migas dunia.

Inilah wajah kapitalisme hari ini, yakni kapitalisme yang bersifat monopoli yang terus mengkonsentrasikan
kapital, dengan kartel dan konglomerasi yang mengikat seluruh ekonomi dunia ke tangan segelintir perusahaan
raksasa. Inilah yang disebut oleh Lenin sebagai Imperialisme, yakni tahapan tertinggi kapitalisme.

Hari ini, hampir 85% minyak dan gas Indonesia dikuasai oleh asing. Investasi asing di sektor migas juga semakin
meningkat, dari 11 milyar dolar AS pada 2010 menjadi 13,7 milyar pada 2011, yakni peningkatan hampir 20%.
Kenaikan investasi ini menunjukkan bahwa modal asing semakin mendominasi di sektor migas Indonesia.
Kenaikan ini juga dipicu oleh kebijakan pemerintahan yang bertujuan menarik investasi asing, dengan menaikkan
pembagian hasil produksi untuk perusahaan asing. Pada saat yang sama, di tengah membanjirnya investasi asing
untuk produksi migas, Indonesia justru telah menjadi net importer minyak bumi. Tidak mengherankan kalau
banyak pihak hari ini, dari berbagai spektrum politik, mengeluh mengenai hilangnya kedaulatan migas negeri ini.

Sejak awal Indonesia tidak pernah punya kedaulatan terhadap sumber daya alamnya sendiri. Kapitalisme
imperialis yang global telah mengikat kaki dan tangan negeri ini dan menjadikannya hamba modal asing. Hanya
pada periode singkat di bawah kepemimpinan Soekarno negeri ini memiliki kedaulatan atas ekonomi dan sumber
dayanya. Namun kedaulatan di bawah rejim Soekarno ini pun kalau kita teliti ternyata bersifat sementara, rapuh,
dan ilusif. Segera setelah Soekarno menentang kepentingan modal asing, maka berhenti pula kucuran modal dari
asing, yang lalu menciptakan kesulitan ekonomi di negeri ini. Walau Indonesia memiliki kekayaan alam yang
sangat beragam dan kaya, Indonesia tidak memiliki kapasitas teknologi untuk mengolahnya. Bahkan bila
Indonesia mampu mengolahnya, ia masih tergantung pada pasar dunia. Negeri-negeri kapitalis Barat dengan
kendalinya terhadap kapital dan pasar dunia dapat dengan mudah melakukan boikot dan meluluhlantakkan
ekonomi Indonesia atau negeri-negeri yang menentangnya. Inilah yang dilakukan oleh kekuatan imperialisme
terhadap pemerintahan Soekarno, Fidel Castro, almarhum Hugo Chavez, dan lainnya.

Setelah Fidel Castro beserta rakyat Kuba menumbangkan kediktatoran Batista yang adalah pelayan imperialisme
AS, pemerintahan Paman Sam ini segera melakukan boikot kapital dan embargo ekonomi terhadap pemerintahan
baru ini karena politiknya yang pro-rakyat. Karena keberadaan Uni Soviet, ekonomi Kuba dapat selamat dari
boikot kapital dan embargo ekonomi dari seluruh negeri kapitalis. Akan tetapi setelah runtuhnya Uni Soviet dan
blok Timur pada akhir 1980an, Kuba akhirnya terisolasi. 80 persen perdagangan Kuba adalah dengan Uni Soviet
dan negeri-negeri blok Timur. Dari tahun 1989 hingga 1993, GDPnya menyusut 35 persen, ekspor menyusut
79%, dan impor 75%. Revolusi Kuba mengalami cobaan terbesarnya pada periode ini dan pemerintahan Castro
perlahan-lahan terpaksa melaksanakan serangkaian kebijakan yang mengerus sistem ekonomi sosialis mereka, di
antaranya adalah membuka dirinya untuk investasi asing, promosi turisme sebagai sumber devisa asing, legalisasi
dolar AS, desentralisasi perdagangan luar negeri, legalisasi bisnis-bisnis kecil, dsb. Kebijakan-kebijakan ini
didikte oleh keharusan mereka untuk bisa selamat di tengah lautan kapitalisme. Namun kebijakan-kebijakan ini
telah menciptakan kontradiksi di dalam masyarakat sosialis Kuba. Mereka telah menciptakan elemen-elemen pro-
kapitalis di dalam masyarakat Kuba, terutama birokrat-birokrat pemerintah dan Partai Komunis Kuba yang
mendapatkan keuntungan darinya. Mereka punya kepentingan untuk mendorong proses restorasi kapitalisme di
Kuba, dalam kata lain mendorong proses kembalinya dominasi kapital asing di Kuba. Kuba sangatlah tergantung
pada pasar dunia.

Sementara di Venezuela, Revolusi Bolivarian telah memberikan dorongan besar pada gerakan anti-imperialisme.
Hugo Chavez dengan berani terus menentang kepentingan modal asing di Venezuela, terutama di sektor migas
dimana Venezuela adalah eksportir minyak bumi kedua terbesar di dunia (15,2% produksi minyak di dunia).
Kontrak-kontrak dengan perusahaan minyak asing direnegosiasi dimana pemerintah menuntut pembagian hasil
yang lebih besar. Dengan laba minyak ini Chavez mendanai program-program sosial yang menyediakan
pendidikan gratis, kesehatan gratis, subsidi makanan untuk rakyat miskin, pembangunan perumahan rakyat, dsb.
Jutaan rakyat Venezuela terangkat dari lembah kemiskinan. Karena kebijakan pro-rakyat miskin Chavez selama
14 tahun terakhir, Venezuela adalah negara dengan koefisien Gini – indeks kesenjangan pendapatan dan kekayaan
– terendah di Amerika Latin, yakni 0,39. Merespon ini, kaum oposisi, dari dalam dan dari luar, telah melakukan
boikot kapital dan sabotase ekonomi. Investasi dari swasta, nasional dan asing, telah menukik tajam. Kapitalis
Venezuela yang masih menguasai berbagai sektor industri melakukan berbagai sabotase ekonomi, terutama
sabotase dalam produksi dan distribusi bahan makanan sehingga menciptakan kelangkaan bahan makanan.
Sabotase ekonomi dengan menggunakan kekuatan modal besar yang mereka miliki adalah taktik yang biasa
dilakukan oleh kekuatan kapitalis. “Buat ekonominya menjerit,” begitu tulis Presiden Herry Kissinger kepada
CIA dalam usaha AS untuk menumbangkan Presiden Salvador Allende di Chile pada awal 1970an. Kendati
Chavez dan Revolusi Bolivarian telah mulai merenggut kedaulatan nasional mereka dari cengkraman asing,
kedaulatan ini masih rapuh dan belum teramankan secara pasti karena Revolusi yang belum selesai.

Kedaulatan nasional di bawah kerangka sistem kapitalisme imperialis yang global adalah sebuah kedaulatan yang
sangatlah rapuh. Apa ini berarti kedaulatan nasional atas migas adalah sesuatu yang mustahil? Tidak. Ini hanya
berarti bahwa selama kita masih berada di bawah kapitalisme imperialis global, maka kemerdekaan apapun yang
telah kita raih akan terus berada di bawah tekanan. Ia akan terus tergerus. Oleh karenanya untuk meraih
kedaulatan nasional atas migas kita harus memukul kapitalisme imperialis secara keseluruhan. Tidak cukup hanya
dengan menolak modal asing. Tidak cukup hanya dengan re-negosiasi kontrak atau nasionalisasi migas.
Seluruh sendi-sendi kapitalisme harus diserang, dan sendi utama dari kapitalisme adalah kepemilikan
pribadi atas alat-alat produksi dan pasar bebas.

Di poin inilah kebanyakan kritik terhadap dominasi modal asing kebablasan. Para kritikus ini menolak dominasi
modal asing tanpa menolak sistem ekonomi yang menjadi dasar dari dominasi modal asing tersebut. Mereka
menolak kapital asing tanpa menolak kapitalisme, yakni sistem penindasan ekonomi yang dilakukan oleh kapital
terhadap buruh di atas dasar kepemilikan pribadi alat-alat produksi. Pada akhirnya para kritikus ini bermimpi
kembali ke jaman kapitalisme awal, dimana tidak ada monopoli dan korporasi multinasional dengan modalnya
yang bersarang dimana-mana. Mereka menginginkan kapitalisme yang adil, dimana setiap pengusaha punya
kesempatan yang sama untuk berhasil. Mereka ingin memutar balik roda sejarah. Akan tetapi siapa yang mencoba
memutar balik roda sejarah biasanya akan berakhir tergilas olehnya. Kita hanya bisa bergerak maju dalam roda
sejarah. Marx dan Engels telah menulis panjang lebar dan dengan detil sistem ekonomi apa yang akan
menyongsong kapitalisme, yang akan menjadi keniscayaan untuk menjawab semua kontradiksi di dalam
kapitalisme. Ia adalah sosialisme.

Nasionalisasi adalah jawaban untuk menghancurkan dominasi asing di dalam sektor migas. Namun ini harus juga
disertai dengan nasionalisasi semua sektor ekonomi penting, termasuk perbankan, dan perubahan sistem ekonomi
pasar bebas menjadi sistem ekonomi terencana. Rantai kapital harus dipatahkan dengan merebut alat-alat produksi
– yakni alat-alat yang memungkinkan akumulasi dan ekspansi kapital – dan membuatnya menjadi milik publik.
Aktor utama dalam gerakan nasionalisasi ini adalah kelas yang secara fundamental bertentangan dengan kelas
kapitalis, yakni kelas buruh. Proses ini yang dimulai di arena nasional harus pada akhirnya diselesaikan di arena
internasional. Seperti yang telah dikemukan di atas, kedaulatan nasional yang sejati tidak dapat diraih di tengah
lautan sistem kapitalisme imperialis global.

Anda mungkin juga menyukai