Anda di halaman 1dari 22

PAPER

“SCRUB TYPHUS”

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengendalian Vektor

Dosen Pengampu : drh. Dyah Mahendrasari S., M.Sc

Disusun Oleh :
1. Chinta Lola Yuliana (6411412043)
2. Sulastri (6411212044)
3. Nana Marlina E (6411412045)
4. Rizqi Amalia (6411412067)
5. Rosyidayanti Pratiwi (6411412075)
6. Fika Akmalia F (6411412076)
7. Siska Yunita Arsula (6411412183)
8. Suyarmi (6411412224)
Rombel 2

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2014
JOB DESCRIBTION

Chinta Lola Yuliana : Pengobatan, Pengendalian


Sulastri : Penularan, Faktor Utama
Nana Marlina E : Epidemiologi, Reservoir
Rizqi Amalia : Gejala, Diagnosis Laboratorium
Rosyidayanti Pratiwi : Definisi, Morfologi
Fika Akmalia F : Prognosis, Pencegahan
Siska Yunita Arsula : Manifestasi Klinis
Suyarmi : Patogenesis
A. Definisi
Scrub typhus adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh infeksi
Orientia tsutsugamushi (Rickettsia tsutsugamushi) hal ini juga dikenal sebagai
penyakit tsutsugamushi. Infeksi scrub typhus terpelihara dialam sebagai “typhus
island” dalam sklus yang melibatkan tungau dan rodensia kecil. Pada tungau
terjadi penularan transovarial dengan infeksi awal pada fase larva. Manusia adalah
host pada penyakit zoonosis ini. Manusia memasuki habitat terinfeksi yang
bervariasi sebagai contoh semi padang pasir, hutan hujan yang rusak, tepi sungai,
pantai dan daerah pertumbuhan sekunder. Inang sekunder adalah tikus, mencit,
cecurut, dan voles. Larva dari beberapa spesies tungau seperti Leptotrobidium
(Trombicula) akamushi dan Leptrombidium deliensis menginfeksi mereka sendiri
dengan menyerang tikus dan akhirnya manusia bertindak sebagai inang
aksidental.
Istilah scrub digunakan karena jenis vegetasi (medan antara hutan dan
pembukaan). Namun , nama ini tidak sepenuhnya benar karena daerah endemis
tertentu juga dapat berpasir , semi-kering dan gurun gunung . Penyakit scrub
typhus selalu dikaitkan dengan habitat semak belukar karena gejala penyakit
pada umumnya timbul setelah seseorang memasuki daerah semak. (Kohls et al.,
1945). Hal tersebut di atas terjadi karena mikrohabitat tungau trombiculid yang
bertindak sebagai vektor scrub typhus berada di daerah seinak belukar (Audy
1961). Daerah transmigrasi pada umumnya merupakan hutan yang baru dibuka
dan ditumbuhi oleh semak belukar. Di daerah-daerah semacam itu sering
dilaporkan kasus sakit demam yang secara diagnostik bukan merupakan penyakit
malaria. Kasus tersebut digolongkan ke dalam kelompok penyakit demam yang
asalnya belum diketahui (fever of unknown origin). Salah satu penyakit yang
diduga sebagai penyebab demam tersebut adalah scrub typhus. Mengingat hal
tersebut di atas dan dengan kenyataan bahwa :
1. Daerah yang dikerjakan oleh para transmigran kebanyakan berupa bekas
hutan yang sudah ditumbuhi semak belukar.
2. Pada waktu mengerjakan sawah/ladangnya para transmigran harus melalui
semak belukar.
3. Para transmigran sering terserang demam setelah pulang dari hutan.

B. Morfologi
Perubahan morfologi berurutan dari permukaan sel L setelah infeksi
Rickettsia tsutsugamushi (Gilliam strain) telah diperiksa dengan memindai
mikroskop elektron dan ruthenium teknik pewarnaan merah. Pemeriksaan
rickettsiae diinokulasikan pada permukaan sel inang selama 30 menit dan masih
akan berjalan / terlihat pada 24 jam pasca infeksi (pi). Progeni rickettsiae yang
mengangkat membran sel inang oleh pemula diamati pada permukaan sel pada 48
jam pi, bibit/tunas rickettsiae meningkat secara bertahap dalam beberapa waktu,
pada 96 jam setelah infeksi, meliputi hampir semua host-sel permukaan kecuali
sel margin. Mikrovili banyak diamati pada permukaan sel L yang tidak terinfeksi
yang menurun secara bertahap pasca infeksi, mereka hampir menghilang ketika
keturunan rickettsiae terbentuk. Pewarnaan spesimen Rutenium merah jelas
menunjukkan bahwa tunas rickettsiae dikelilingi dengan membran sel inang.
Lapisan berikutnya dibedakan dari luar yaitu pada :
1. rutenium merah mantel berbulu positif (tebal 25 nm)
2. triple lapis membran sel (5-6 nm)
3. leaflet luar dan dalam sel dinding rickettsial (masing- masing 7-8 nm dan 2-
2.5 nm)
4. ruang periplasmic (15-20 nm)
5. membran sitoplasma triple-layered rickettsial (5-6 nm).

C. Epidemiologi
Scrub tifus adalah penyakit infeksi akut dari ringan sampai berat dan
dapat membahayakan hidup disebabkan oleh Orientia (Rickettsia) tsutsugamushi
yang belum dewasa yang dikenal sebagai "chigger". Scrub tifus pertama kali
ditemukan di Jepang pada tahun 1899 yang ditularkan oleh tungau. Diperkirakan
satu miliar orang beresiko terkena skcrub tifus dan diperkirakan satu juta kasus
terjadi setiap tahunnya. Tingkat mortalitas pada pasien yang tidak diobati berkisar
0-30% tergantung pada wilayah geografis, strain rickettsia dan waktu intervensi.
Kematian biasanya terjadi dari infeksi primer atau dari komplikasi sekunder
seperti pneumonitis, ARDS, ensefalitis, kegagalan peredaran darah.
Distribusi scrub typhus meliputi wilayah yang sangat luas yaitu 13 juta km
persegi dari batas sebelah timur Jepang yang melalui Cina, Filipina, Australia
tropis di sebelah selatan dan barat melalui India, Pakistan, Tibet, Afghanistan dan
bagian selatan Uni Soviet. Distribusi penyakit scrub typhus mengikuti distribusi
Rattus rattus. Vektor scrub typhus hadir di sebagian besar negara-negara Asia
Tenggara dan sangat endemis di wilayah geografis tertentu seperti di India,
Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Sri Lanka dan Thailand.
Berdasarkan data WHO, beberapa studi serologis dan entomologis yang
dilakukan di tahun delapan puluhan tergambar jelas adanya vektor di pedesaan. L.
deliense diidentifikasi di Sulawesi Tengah sebagai vektor scrub typhus dan
prevalensi antibodi terhadap antigen O. tsutsugamushi adalah 23% di sampel tikus
sera. Demikian pula, survei serologis awal yang dilakukan di Sumatera pada 1982
mengungkapkan bahwa sampel manusia dan hewan pengerat yang seropositif
terhadap scrub tifus masing-masing 12% dan 43%. Dua spesies vektor chigger, L.
deliense dan L. fletcheri ditemukan di daerah penelitian. O. tsutsugamushi
diisolasi dari L. Arenicola chiggers dan tiga spesies tikus di daerah semak belukar
dan alang sepanjang teluk Jakarta. Ini adalah satu-satunya temuan di Indonesia
dari siklus agen scrub tifus terkait dengan L. Arenicola. Sebuah survei mamalia
kecil dan ektoparasit dilakukan di pulau Biak dan Owi pada bulan Agustus 1976
ditemukan L. deliense dan L. flectcheri sebagai vektor dan O. tsutsugamushi
diisolasi dari tikus lokal.
Scrub tifus sering dianggap sebagai penyakit pedesaan di kawasan Asia-
Pasifik. Penyakit tropis ini umumnya ditemukan pada individu yang melintasi
atau bekerja di daerah yang banyak terdapat tumbuh-tumbuhan seperti daerah
hutan maupun di perkebunan. Berdasarkan pada jurnal penelitian “Rickettsial
Diseases: Risk For Indonesia” Terdapat laporan kasus scrub tifus di daerah
perkotaan dari Hong Kong, Jepang dan Korea Selatan akibat aktifitas berkebun di
daerah perkotaan. Kasus Scrub typhus telah dilaporkan di Jakarta Selatan oleh
Gispen at al. Di Jakarta Utara R. tsutsugamushi telah diisolasi dari tungau
trombiculid dan tiga tikus telah dikumpulkan dengan spesies berbeda. Penelitian
terakhit telah diidentifikasi scrub tifus pada individu yang berada di Jakarta Pusat.

D. Reservoir
Reservoir penyebab infeksi adalah tungau trombiculid (Leptotrombidium
delinese dan L. akamushi). Tungau Chigger bertindak sebagai reservoir utama
untuk O. tsutsugamushi. Setelah tungau terinfeksi di alam karena makan pada
cairan tubuh mamalia kecil termasuk tikus, tungan akan mempertahankan infeksi
sepanjang tahapan hidup mereka, tungau dewasa menularkan infeksi tersebut ke
telur yang diproses disebut transmisi transovarial. Demikian pula, infeksi dari
telur ke larva atau tungau dewasa dalam proses yang disebut transmisi transtadial.
Jadi populasi tungau secara mandiri dapat mempertahankan infektivitas dalam
jangka waktu yang lama. Larva (chigger) memakan host vertebrata dan
mengambil riketsia tersebut. Tahap Larva tersebut berfungsi baik sebagai
reservoir, melalui ovarium transmisi, dan sebagai vektor untuk menginfeksi
manusia dan hewan pengerat. Pada stadium ini tungau hidup dari darah tikus.
Berdasarkan jurnal “Ekologi Penyakit Scrub Typhus di Unit Desa
Transmigrasi Mulyorejo, Way Abung 111, Lampung Utara”, seropositivitas pada
binatang pengerat cukup tinggi (429%). Jenis tikus yang mengandung antibody
terhadap scrub typhus adalah tikus huma (R. Exulans) dan tikus kebun/belukar (R.
tiomanicus). Infestasi oleh kedua jenis tungau vektor, L. (L.) deliensis dan L. (L.)
fletcheri, terbanyak ditemukan pada R. exulans dan R. tiomanicus. Mengingat
akan kedua hal ini dan juga bahwa kedua jenis tikus tersebut diatas merupakan
tikus yang dominan di daerah tersebut, rnaka diduga bahwa R. exulans dan R.
tiomanicus berperan di dalam pelestarian siklus penyakit scrub typhus di alam.

E. Penularan
Infeksi scrub thypus terpelihara di alam sebagai ”typhus islands” dalam
siklus yang melibatkan tungau dan rodensia kecil. Pada tungau terjadi penularan
transovarial dengan infeksi awal pada fase larva. Larva tungau ini tidak
menghisap darah arthropoda. Sebaliknya, mereka memakan sel-sel kulit yang
terlarut secara enzimatis dari inangnya. Mereka melakukannya dengan terlebih
dahulu melekatkan dan menusuk kulit kemudian menyuntikkan suatu campuran
bahan enzim, yang sekaligus membius (anesthetizes ) dan melarutkan jaringan
pada tubuh inang. Kemudian mengisap jaringan inang yang terlarut melalui
stylostome tersebut. Stylostome sebenarnya adalah tabung hampa larva yang telah
terbentuk dari sel-sel kulit mati dari inangnya. Berikut adalah gambar mekanisme
transmisinya:

Setelah O. tsutsugamushi ditransmisikan secara


transovarial antara kutu betina dewasa dan
telurnya, larva ini tidak perlu menemukan inang
yang terinfeksi untuk menjadi terinfeksi. Jika
induk betina terinfeksi, larva akan muncul
terinfeksi dan, setelah menemukan inang pertama
mereka, bisa langsung menularkan infeksi.

Selain itu juga, dapat ditularkan kepada manusia melalui gigitan tungau
yang belum dewasa yang dikenal sebagai “chigger”. Larva dari beberapa spesies
tungau terutama Leptotrobidium (Trombicula) akamushi dan Leptrombidium
deliensis, menginfeksi mereka sendiri dengan menyerang tikus liar terinfeksi dan
akhirnya kepada manusia yang bertindak sebagai inang aksidental. Disamping itu,
transmisinya juga dapat melalui gigitan larva dari ngengat yang terinfeksi stadium
nimfe dan ngengat dewasa tidak hidup dari hospes vertebrata. Secara teoritis,
sebuah laporan kasus menyatakan bahwa transmisi scrub typus dapat melalui
transfuse darah, tetapi bukti yang ada masih belum memadai.
F. Faktor Utama
Penyebab utama penyakit scrub typus adalah R. tsutsugamushi.

O. tsutsugamushi (R. tsutsugamushi) Leptrombidium deliensis,

Leptotrobidium (Trombicula) akamushi

G. Patogenesis
Patogenesis respon awal host lokal imunn inokulasi dan modus
penyebaran awal obligat intraseluler Orientia tsutsugamushi selalu diperdebatkan.
Juga, kemungkinan kerusakan miokard dan insufisiensi jantung berpotensi akut
dan kronis karena peradangan interstitial histologis terbukti selalu ada. Penemuan
terbaru yang Orientia tsutsugamamushi menginfeksi sel endotel terutama dalam
semua organ dengan makrofag yang terinfeksi dan miosit jantung merupakan
pemahaman tentang patofisiologi scrub tipus.
Dalam studi lain, yang berfokus pada pemeriksaan mikroskopis dari
jantung dalam 31 kasus, ditemukan bahwa enam adalah normal, dan 13 dengan
infiltrat inflamasi menunjukkan serat otot jantung utuh. Dua belas kasus
menunjukkan cedera miosit jantung, termasuk beberapa dengan nekrosis fokal
yang tidak parah. Berdasarkan temuan post-mortem dan dalam percobaan in vitro,
Orientia tsutsugamushi dapat menargetkan endotelium tetapi data vivo kurang.
Orientia tsutsugamushi juga telah dijelaskan dalam sel mononuklear darah perifer
pasien dengan scrub tifus. Telah dihipotesiskan bahwa penanda aktivasi endotel
yang dibesarkan di scrub tipus, dan pengukuran kedua EC dan leukosit penanda
aktivasi memungkinkan kita untuk membedakan antara umum respon inflamasi
sistemik atau tropisme endotel Orientia tsutsugamushi. Hasil ini menjelaskan
bahwa kedua EC dan aktivasi leukosit terjadi di awal perjalanan scrub tipus,
melepaskan E-selektin dan sL-selektin ke sirkulasi sistemik. Hal ini dapat
menunjukkan infeksi langsung dari kedua jenis sel oleh Orientia tsutsugamushi.
infeksi endotel neutrophill dan limfosit dari Escher akan mendorong peradangan
lokal dan memberikan kontribusi berpotensi penyebaran berikutnya, berdasarkan
lokal peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan menyebar hematogen
langsung, berdasarkan peredaran preapoptotic terinfeksi EC, atau oleh infeksi
limfosit, yang bisa kembali beredar ke sistem limfatik. Selain itu, tingginya
tingkat sL-selektin juga bisa mencerminkan potensi homing limfosit ke kelenjar
getah bening perifer dan/ atau modulasi kekebalan tubuh melalui penghambatan
endotel leukosit. Mengidentifikasi situs seluler replikasi di eschar, seperti
endothelium, leukosit atau fibroblas intrinsik/ sel dendritik, akan menjadi penting
dalam menentukan mana yang potensial rute organisme diperlukan untuk
menyebarkan dari inokulasi awal. Informasi yang mereka berikan pada aktivasi
sel dan tropisme agen rickettsial menunjukkan peran untuk leukosit awal dan
aktivasi endotel dalam respon imun dan penyebaran selanjutnya dari bakteri.

H. Manifestasi Klinis
Scrub tifus, juga dikenal sebagai penyakit tsutsugamushi, adalah penyakit
demam akut yang disebabkan oleh infeksi Orientia tsutsugamushi dan ditandai
dengan adanya vaskulitis (peradangan pembuluh darah) dan perivaskulitis karena
rusaknya sel endotel dan infiltrasi perivaskular dari leukosit. Dapat juga sampai
menyerang paru-paru, jantung, hati, limpa, dan sistem saraf pusat. Gejala biasanya
ringan dengan pemulihan yang cepat setelah beberapa hari. Namun, beberapa
kasus yang lebih parah dan berkelanjutan, penyakit ini dapat berakibat fatal.

1. Fase Perjalanan Klinis Penyakit


Masa inkubasi setelah terjadinya infeksi Orientia tsutsugamushi berkisar
6-21 hari (biasanya paling sering terjadi 10-12 hari). Timbulnya penyakit scrub
tifus ditandai dengan demam, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), batuk, dan gejala
gastrointestinal. Tingkat keparahan gejala sangat bervariasi, tergantung pada
kerentanan host itu sendiri, virulensi dari strain bakteri, atau keduanya.
2. Fase Perubahan Fisik Penyakit
Penyakit ini dapat menyebabkan individu yang terinfeksi menggigil
dengan tiba-tiba, demam tinggi (104-105° F)/(40-41°C), mialgia, infeksi
konjungtiva dan eschar (menyerupai membakar rokok) dengan adanya
limfadenopati regional. Bahkan sering terjadi mata nyeri, batuk basah, malaise
dan munculnya ruam berbintik pada tubuh. Pasien dapat mengalami serangan
sakit kepala parah dengan tiba-tiba sampai kehilangan nafsu makan. Gigitannya
menyakitkan dan dapat menyebabkan gatal. Gigitan tersebut sering ditemukan di
permukaan kulit atau tempat dimana melakatnya pakaian, seperti ketiak, pangkal
paha, leher, dan pinggang. Menjelang akhir minggu pertama, sekitar 35% pasien
mengalami ruam makulopapular pada tubuhnya, yang mungkin menjadi
papula/lesi. Kemudian dapan meluas ke lengan dan kaki. Biasanya ada
limfadenopati di wilayah luka gigitan atau eschar. Sebuah eschar pada luka
gigitan merupakan salah satu langkah diagnosa yang penting untuk mengetahui
terjadinya scrub tifus. Sebuah eschar biasanya ditemukan pada pasien Kaukasia
dan Asia Timur, namun kurang sering terjadi pada orang Asia Selatan, terutama
mereka yang berkulit gelap. Eschar dimulai dengan adanya papula kecil yang
membesar, kemudian mengalami nekrosis sentral, dan akhirnya menjadi kerak
hitam dengan bentuk seperti cincin dengan warna kemerahan pada kulit seperti
rokok yang terbakar. Terjadinya limfadenopati dan hepatosplenomegali yang
umum pada pemeriksaan fisik. Pada sebagian kecil pasien, tremor, delirium,
gugup, atau kaku kuduk dapat berkembang pada ke-2 minggu penyakit.

Gambar. Echar pada luka gigitan

3. Fase Terjadinya Komplikasi Penyakit

a. Manifestasi pada paru-paru

Proses keterlibatan paru-paru dalam dasar patologis scrub tipus adalah


Pneumonia Interstitial dengan atau tanpa vaskulitis (peradangan
pembuluh darah). Pada otopsi, pneumonia interstitial telah ditemukan di
hampir semua pasien dengan scrub tifus. Pada mikroskop, pembuluh
darah, dalam spesimen dari dinding alveolar muncul padat dan
dikelilingi oleh infiltrat seluler mononuklear. Sindrom gangguan
pernapasan akut dapat berkembang pada scrub tipus. Kasus ini jarang
dilaporkan namun apabila terjadi ini merupakan komplikasi serius. Usia
yang lebih tua, trombositopenia, dan pneumonitis merupakan faktor
risiko untuk pengembangan gangguan pernapasan akut ini. Dengan
terapi antibiotik yang sesuai, pasien biasanya sembuh tanpa gejala yang
serius.

b. Manifestasi jantung

Lesi miokard diamati pada 80% pasien pada otopsi. Infiltrasi seluler
sering diamati dalam endocardium dan pericardium. Vaskulitis dan
perivasculitis di miokardium menginduksi infiltrasi seluler bersama
dengan perdarahan dan edema jaringan interstisial. Kardiomegali
mungkin terjadi karena keterlibatan miokard atau perikardial pada
infeksi, biasanya reversibel. Komplikasi kardiovaskular scrub tipus
sering dilaporkan sebelum diberikan antibiotik. Namun, komplikasi
seperti palpitasi merupakan kasus yang langka selama fase akut scrub
tipus dan biasanya berkembang selama minggu kedua atau ketiga
penyakit pada pasien yang tidak diobati.

c. Manifestasi abdominopelvik

Keterlibatan perut pada pasien dengan scrub tifus merupakan kasus


yang sering ditemui. Temuan patologis dilaporkan dalam hati pada
otopsi telah terjadi kongesti hepar, inflamasi periportal, dan nekrosis
perifer. Kongesti pada hati diduga disebabkan oleh gagal jantung
karena miokarditis, peradangan periportal, atau keduanya. Penebalan
dinding kandung empedu pada pasien scrub tifus mungkin disebabkan
oleh vaskulitis akut dengan perivaskulitis yang mirip dengan yang
terlihat pada hati dan organ lainnya. Peradangan akut limpa dengan
ditandai kongesti pada limpa dan pembesaran yang diamati pada 96%
pasien dengan scrub tifus dalam satu seri otopsi. Scrub tipus juga dapat
melibatkan organ abdominopelvic lainnya, termasuk saluran
pencernaan dan ginjal. Hal itu dapat menyebabkan perdarahan
gastrointestinal dan gagal ginjal akut. Pada endoskopi utama dapat
diketahui pada scrub tipus adalah adanya perdarahan mukosa
superfisial, beberapa erosi dan ulkus, dan perdarahan gastrointestinal
vascular yang tidak biasa. Itu merupakan cara endoskopi yang
berhubungan dengan lesi kulit dan keparahan penyakit. Endoskopi
berguna untuk diagnosis dan peanganan gastrointestinal vaskulitis yang
berhubungan dengan scrub tipus.

d. Manifestasi Sistem saraf pusat

Studi pada otopsi telah mengungkapkan keterlibatan pengaruh sistem


saraf pusat pada pasien. Meskipun dengan tingkat keparahan yang
bervariasi. Keterlibatan sistem saraf pusat tersebut biasanya
mengakibatkan meningoencephalitis. Temuan patologis keterlibatan
sistem saraf pusat pada scrub tipus termasuk difus atau fokal
mononuklear seluler dan pendarahan otak. Meskipun manifestasi sistem
saraf pusat adalah umum di scrub tipus, hanya satu laporan kasus tifus
encephalomyelitis yang didiagnosis pada MRI otak yang telah
diterbitkan dalam literatur. Sejumlah kecil pasien memiliki keterlibatan
SSP, dengan tremor, gugup, bicara cadel, kaku kuduk, atau tuli selama
minggu kedua penyakit tersebut. Namun, hasil dari Pemeriksaan cairan
serebrospinal baik normal atau menunjukkan rendahnya jumlah
monosit.

e. Manifestasi hematologi

Strain (bentuk khusus bakteri) lebih ganas dari O. tsutsugamushi dapat


menyebabkan pendarahan dan koagulasi intravaskular. Pasien mungkin
muncul dengan koagulasi intravaskular (DIC). Pasien dengan scrub
tifus sering menunjukkan leukopenia.

4. Fase Mortalitas

Dalam waktu sebelum diberikan antibiotik, angka kematian pada kasus


scrub tipus dengan pneumonitis luas dan sianosis, adalah 100% pada penderita
penyakit. Tingkat mortalitas pada pasien yang tidak diobati berkisar dari 0-30%,
tergantung pada virulensi dari strain menginfeksi, faktor host, dan pengobatan.
Tidak ada mortalitas yang terjadi secara signifikan pada pasien yang menerima
perawatan yang tepat.

I. Gejala
Gigitan tungau (chigger) biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, namun
terasa gatal dan menjadi perhatian sebagai gatal lokal sementara kemudian
vaskulitis sistemik. Tempat gigitan sering terjadi ulserasi dan menjadi merah
dengan keropeng hitam pusat yang disebut escar. Escar ini sering ditemukan pada
tempat gigitan tungau, seperti lipat paha, ketiak, genetalia dan leher, dan
peradangan pembuluh darah (vaskuler) menyebar ke seluruh pembuluh darah
tubuh melibatkan berbagai organ.
Gejala biasanya terjadi dalam 1-2 minggu setelah digigit oleh tungau
(chigger). Gejala tersebut diantaranya demam, menggigil, sakit kepala, myalgia,
keringat berlebihan, malaise, infeksi membran mukosa mata (konjungtiva), nyeri
otot, dan limfadenopati (pembengkakan kelenjar getah bening). Seminggu setelah
demam muncul erupsi pada kulit yang berbentuk makulopapuler berwarna merah
gelap pada bagian tubuh yang berlangsung selama 3-7 hari. Tempat bercak
makulopapuler antara lain pada dada, perut, lengan atas ataupun bawah, kemudian
menyebar ke tungkai dan menghilang dalam beberapa hari. Gejala lainnya sering
disertai dengan batuk dan pada pemeriksaan radiologis pada paru ditemukan
pneumonitis.

J. Diagnosis Laboratorium
1. Uji serologi
Uji serologi biasanya digunakan untuk mendiagnosis infeksi riketsia akut.
Kriteria yang paling penting dalam uji serologi adalah sensitivitas dan lama
penundaan antara onset dan munculnya titer antibodi yang terdeteksi. Sebaliknya,
ketika uji ini digunakan dalam penelitian seroepidemiologi harus sangat spesifik
untuk mencegah hasil positif palsu karena reaksi silang antibodi. Pada infeksi
awal O. tsutsugamushi, titer antibodi yang signifikan diamati pada akhir minggu
pertama, bersamaan dengan munculnya antibodi IgM, sedangkan antibodi IgG
muncul pada akhir minggu kedua. Dalam kasus reinfeksi O. tsutsugamushi,
antibodi IgG terdeteksi pada hari ke 6, dengan titer antibodi IgM yang menjadi
variabel. Sehingga, prinsip dasar dari uji serologi adalah pembentukan antibodi.
Adapun uji serologi yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis Scrub Typhus,
antara lain:
a. Tes Weil-Felix
Tes Weil-Felix merupakan uji serologi yang paling murah dan paling
mudah didapatkan tetapi kurang dapat diandalkan. Lima puluh persen
pasien memiliki hasil tes positif pada minggu kedua. Tes Weil-Felix
menggunakan prinsip bahwa beberapa strains dari Proteus bereaksi
dengan species Rickettsia tertentu. Suspensi proteus antigen yang
digunakan dalam tes Weil-Felix untuk mendiagnosis infeksi
Rickettsiae dan mendiagnosis pasien tersebut termasuk demam yang
mana. Suspensi Proteus vulgaris OX19 akan bereaksi sangat keras
dengan darah dari pasien yang terkena typhus yang dibabkan infeksi
Rickettsiae dan demam Rocky Mountain Spotted. Suspensi Proteus
vulgaris OX2 akan bereaksi sangat keras dengan darah dari pasien
yang terkena infeksi demam spotted, sedangkan suspensi Proteus
mirabilis OXK bereaksi keras dengan darah dari pasien yang terinfeksi
oleh Scrub Typhus.
Darah dari pasien yang terinfeksi oleh Orientia tsutsugamushi akan
terjadi aglutinasi dengan suspensi proteus antigen yakni suspensi
Proteus mirabilis OXK. Penggumpalan ini mudah dilihat di bawah
mikroskop. Antibodi teraglutinasi setelah 5-10 hari setelah timbulnya
gejala, kemudian muncullah antibodi IgM. Lima puluh persen pasien
memiliki hasil tes positif pada minggu kedua dengan titer 1:1000
sampai 1:1500 yang menurun dengan cepat selama masa pemulihan.
Akan tetapi, Tes Weil-Felix memiliki kelemahan yakni sensitivitas
yang rendah. Selain itu, penggumpalan sering tidak terdeteksi sampai
minggu kedua setelah timbulnya gejala. Hal ini membatasi kegunaan
tes Weil-Felix untuk diagnosis dini Scrub Typhus.
b. Tes Antibodi Imunofluoresensi Tidak Langsung (Indirect
Immunofluorescence Antibody/IFA)
IFA merupakan standar emas dan digunakan sebagai teknik referensi
di sebagian besar laboratorium. IFA digunakan untuk mendeteksi
antibodi IgM dan IgG terhadap Rickettsia. Deteksi riketsia dengan
menggunakan imunofluoresensi memungkinkan konfirmasi infeksi
pada pasien sebelum perubahan darah. Sampel dapat diuji setelah
fiksasi formalin dan pelekatan/penempelan parafin. Biopsi spesimen
kulit dengan ruam sekitar lesi, terutama lesi petechial merupakan
sampel yang paling umum digunakan. Pada hewan atau pasien dengan
kasus infeksi yang dapat menimbulkan kematian, bakteri yang
terdeteksi saat pemeriksaan di jaringan berbagai organ seperti hati,
limpa, ginjal, jantung, membran meningeal, atau kulit. IFA
menunjukkan hasil tes positif pada akhir minggu pertama.
c. Tes Immunoperoxidase Tidak Langsung (Indirect
Immunoperoxidase/IIP)
IIP merupakan modifikasi dari metode IFA yang standar dan dapat
digunakan dengan mikroskop cahaya. IIP telah dikembangkan sebagai
alternatif IFA untuk mendiagnosis Scrub Typhus. IIP merupakan
metode serologi yang paling dapat diandalkan ketika kenaikan empat
kali lipat titer antibodi. Prosedur IIP sama seperti IFA, tapi fluoresens
digantikan dengan peroksidase. Hasil tes IIP sebanding dengan tes
IFA. Keuntungan dari IIP adalah hasil dapat dibaca dengan mikroskop
cahaya biasa.
2. Biakan Sel
Pengembangan sistem biakan sel untuk isolasi virus telah menyebabkan
peningkatan jumlah laboratorium yang sesuai dan dilengkapi untuk mengisolasi
riketsia. Karena penyakit riketsia yang berbeda mungkin memiliki manifestasi
klinis yang sulit dibedakan. Biakan sel merupakan metode yang paling banyak
digunakan untuk mengisolasi riketsia dari sampel klinis. Verocells, sel MRC5
sering digunakan tapi sel fibroblast tikus L929 monolayer dalam biakan tabung
paling cocok untuk isolasi R. rickettsii dan O. tsutsugamushi dari darah. Isolasi
riketsia dapat dicoba dengan beberapa sampel, seperti gumpalan beku triturated,
plasma, jaringan nekropsi, biopsi kulit, dan sampel arthropoda. Identifikasi isolasi
riketsia dapat dicapai dengan pemeriksaan mikroskopis setelah pewarnaan.
Riketsia muncul seperti batang pendek, tidak terwarnai dengan pewarnaan Gram
tapi terlihat setelah pewarnaan Giemsa atau Gimenez.
3. Identifikasi Berdasarkan Biologi Molekular
Deteksi molekuler menggunakan reaksi rantai polymerase (PCR) yang
berasal dari biopsi ruam kulit, biopsi kelenjar getah bening atau darah asam
ethylenediaminetetraacetic (EDTA). O. tsutsugamushi dapat ditunjukkan dengan
kumpulan PCR. PCR memiliki kelebihan yaitu hasilnya lebih cepat dan dapat
memberikan hasil kuantitatif pula.

K. Pengobatan
Doxycycline dosis tunggal (loading dose), diikuti dengan dosis
terbagi setiap hari sampai dengan penderita tidak demam lagi (rata-rata selama 30
jam). Kloramfenikol juga cukup efektif dan hanya diberikan jika ada indikasi
kontra pemberian tetrasiklin. Jika pengobatan baru dimulai 3 hari setelah sakit
maka kemungkinan kambuh kembali besar sekali kecuali jika diberikan segera
dosis kedua dengan interval 6 hari.
Di Malaysia pemberian doxycycline dosis tunggal (5 mg/kg/BB) cukup
efektif jika diberikan pada hari ke tujuh, sedangkan di Pulau Pescadores (Taiwan)
diberikan pada hari ke lima. Jika dosis kedua ini diberikan lebih awal dari lima
hari diperkirakan dapat terjadi relaps. Azithromycin berhasil baik digunakan pada
penderita yang sedang hamil. Antibiotik tidak membebaskan tubuh dari rickettsia,
tetapi mereka menekan laju pertumbuhannya. Pemulihan tergantung pada
mekanisme kekebalan pasien.

L. Prognosis
Mengingat gejala sisa yang signifikan dari infeksi, awal identifikasi
indikator untuk prognosis yang lebih buruk akan membantu dalam
manajemen. Dalam suatu penelitian oleh Lai et al adanya perbandingan 18
pasien dengan tertunda penurunan suhu badan sampai yg normal terhadap 88
pasien dengan pemulihan sistem yang cepat, dilihat dari tidak adanya sakit
kepala, relatif bradikardia dan penyakit kuning sebagai prediktor tertunda
penurunan suhu badan sampai yg normal.Namun, penelitian ini pasien dianalisis
dengan scrub tifus, tifus murine dan Q fever bersama-sama dan hanya pasien
dengan scrub tifus memiliki tertunda penurunan suhu badan sampai yg
normal.Tidak jelas apakah ini prediktor berbeda untuk infeksi individu. Selain itu,
demam tertunda dapat dikaitkan dengan banyak faktor lain seperti sebagai strain
resisten dan pilihan antibiotik (semua ini pasien diobati dengan
doksisiklin). Temuan ini memiliki belum dikonfirmasi oleh peneliti lain.
Namun pada penelitian Sonthayanon et al telah menunjukkan bahwa lebih
tinggi bakteri saat masuk berkorelasi positif dengan kematian dan durasi yang
lebih lama penyakit Sementara ini adalah sebuah konsep menarik langsung
menghubungkan jumlah bakteri dengan hasil klinis, penerapannya dalam sumber
daya rangkaian terbatas diragukan karena faktor biaya.
Dalam studi epidemiologi retrospektif , Lee menggambarkan tidak adanya
eschar , skor APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation)
lebih tinggi diterima sebagai faktor risiko independen terkait dengan kematian .
Ini menunjukkan konflik pada bukti dengan penelitian sebelumnya oleh
Sonthayanon, yang menunjukkan bahwa kehadiran sebuah eschar positif dimana
Eschara dalah adalah jaringan yang berwarna coklat, hitam,atau kecoklatan yang
menempel secara kuat ke dasar luka atau tepi luka. Jaringan nekrotik ini mungkin
lebih keras atau lebih lembut daripada jaringan sekitarnya. Dan signifikan
berkorelasi dengan beban DNA atau bakteri yang lebih tinggi saat masuk yang
pada gilirannya dikaitkan dengan hasil yang fatal . Jadi dapat disimpulkan bhawa
scrub typus jika dirawat dengan segera dapat disembuhkan atau dapat pulih
sepenuhnya. Namun jika terjadi keterlambatan perawatan akan berisiko pada
kematian. Selain tergantung dari perawatan juga tergantung dari bagaimana status
imunisasi penderita.

M. Pencegahan
Cara yang cukup efektif untuk mencegah tifus adalah :
1. Hindari kontak dengan tungau yang terinfeksi dengan upaya profilaktis
yaitu dengan mengenakan pakaian dan selimut yang telah diberi mitisida
(permethrin dan benzyl benzoate), memakai repelan (diethyltoluamide,
Deet®) pada kulit yang tidak tertutup pakaian.
2. Basmilah agen penyakit dari tempat-tempat tertentu dengan cara
menaburkan bahan kimia dengan komposisi hidrokarbon klorida seperti
lindane, dieldrin atau chlordane ditanah serta vegetasi disekitar habitatnya,
bangunan dipertambangan dan disekitar dearah yang dihuni banyak orang
didaerah endemis.
3. Pemberian doxycycline selama 7 minggu dengan dosis tunggal sebanyak
200 mg/minggu untuk mencegah terjadinya infeksi tifus scrub. Dan
inokulasi dengan seri vaksin tifus sebelum bepergian ke daerah endemis ,
dan untuk menghindari kontak dengan kutu.

N. Pengendalian
Dalam upaya mengatasi wabah, terapkan secara ketat apa yang diuraikan
pada pencegahan pada point 1 dan 2 diatas di daerah terjangkit. Lakukan
pengamatan yang ketat terhadap setiap penduduk dengan risiko tinggi, cari
mereka yang demam dan yang dengan lesi primer; lakukan pengobatan segera
begitu ditemukan ada yang sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. http://www.rightdiagnosis.com/s/scrub_typhus/intro.htm diakses pada


tanggal 07/11/2014
Chogle. 2010. Diagnosis and Treatment of Scrub Typhus - The Indian Scenario.
Volume 58. http://meghealth.nic.in/diseases/scrubtyphus.pdf diakses pada
tanggal 08/11/2014
Darwin, et al. 2012. Scrub Typhus. Centre for Disease Control.
http://health.nt.gov.au/library/scripts/objectifyMedia.aspx?file=pdf/45/28.p
df&siteID=1&str_title=Scrub%20Typhus.pdf diakses pada tanggal
07/11/2014
Dong, Min Kim, et al. 2010. Clinical And Laboratory Findings Associated With
Severe Scrub Typhus. Volume 10:108.
http://download.springer.com/static/pdf/485/art%253A10.1186%252F147
1-2334-10-
108.pdf?auth66=1415419260_114f5320b4016c7e946ba1842f3e5951&ext
=.pdf diakses tanggal 08/11/2014
Hadi Tuti R, dkk. 1984. Ekologi Penyakit Scrub Typhus Di Unit Desa
Transmigrasi Mulyorejo, Way Abung 111, Lampung Utara. Vol. XI1 No.
2.http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/viewFile/602/
1234 diakses tanggal 06/11/2014
Jean B. Nachega , Emmanuel Bottieau Francis Zech , and Alfons Van Gompel .
2007. Travel-Acquired Scrub Typhus: Emphasis on the Differential
Diagnosis, Treatment, and Prevention Strategies. Volume 14, Issue 5,
2007, 352–355. http:// pubfacts.com/detail/17883470/Travel-acquired-
scrub-typhus:-emphasis-on-the-differential-diagnosis-treatment-and-
prevention-strate diakses pada tanggal 08/10/2014
Kaore. 2012. JK Science : Laboratory Diagnosis of Scrub Typhus. Volume 12 No.
2.
http://www.jkscience.org/archive/volume122/Laboratory%20Diagnosis%2
0of%20Scrub%20Typhus8.pdf diakses tanggal 08/11/2014
Kumar Dinesh, dkk. 2010. Epidemiology of Scrub Typhus. Vol. 12 No. 2, April-
June.http://www.jkscience.org/archive/volume122/Epidemiology%20of%
20Scrub%20Typhus3.pdf diakses tanggal 06/11/2014
Nurisa Ima dan Ristiyanto. Desember 2005. Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus
dan Mencit) di Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Voume 4, No. 3,
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3
&cad=rja&uact=8&ved=0CDYQFjAC&url=http%3A%2F%2Fejournal.lit
bang.depkes.go.id%2Findex.php%2Fjek%2Farticle%2Fdownload%2F163
7%2Fpdf&ei=iLZaVMmwHIXgmAX4xoLgDA&usg=AFQjCNGypVxmx
tT_y0PxcpEiqCRY9EAJ2w&sig2=GO6POFF24BWtYUojM9vqzA&bvm
=bv.78677474,d.dGY , diakses pada tanggal 05/10/2014
Rahardjo, Eko dkk. September 1995. Rickettsial Diseases: Risk For Indonesia.
Penelitian Kesehatan. Volume 23, No.3,
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/236/251,
diakses pada tanggal 05/10/2014
_______. 2010. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Bakti Husada.
https://yumizone.files.wordpress.com/2008/12/buku-penyakit-menular.pdf
, diakses pada tanggal 05/10/2014
______. Agustus 2009. Orientia tsutsugamushi. Transfussion. Volume 49,
http://www.aabb.org/tm/eid/Documents/178s.pdf , diakses pada tanggal
05/10/2014
Rajapakse, Chaturaka, Deepika. 2012. Scrub typhus: pathophysiology, clinical
manifestations and prognosis. Volume 5, Issue 4, April 2012, Pages 261–
264. http://.sciencedirect.com/science/.../S1995764512600364 diakses
pada tanggal 08/10/2014
Richards, Allen L, et al. 1995. Rickettsial Diseases: Risk For Indonesia. Buletin
Penelitian Kesehatan 23 (3).
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/BPK/article/view/236/251
diakses pada tanggal 07/11/2014
Singh, Rakendra. Clinical Manifestations & Complications of Scrub Typhus. Vol.
12 No. 2, April-June 2010
Sutanto, Inge. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta : FKUI,
Halaman 270
Thakur, Anil,dkk.2014. A Review On Causes Spreading And Other Hazards Of
Scrub Typhus. Int.J.Inv.Pharm.Sci.,2(3)2014;753-758
Walsh, Michael. Thypus. 15 Juni 2014.
http://www.infectionlandscapes.org/2011/06/typhus.html, diakses pada
tanggal 05/11/2014
WHO. Scrub Typhus Scrub Typhus Frequently Asked Questions. Regional Office
For South-East Asia.
http://www.searo.who.int/entity/emerging_diseases/CDS_faq_Scrub_Typh
us.pdf diakses pada tanggal 07/11/2014
Yuwono. 2012. Mikrobiologi Kedokteran.
http://eprints.unsri.ac.id/1786/2/Mikrobiol2012_OK.pdf diakses pada
tanggal 08/11/2014

Anda mungkin juga menyukai