Anda di halaman 1dari 15

KEPERAWATAN ANAK

“Laporan Pendahuluan Penyakit Diare”

Disusun Oleh:
Keperawatan B
Kelompok 2
Ulfa Wildana Hasan
70300116051

PRODI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2018
BAB I
KONSEP MEDIS

A. Definisi

Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau

tidak sepert, dan frekuensi dengan atau tanpa lender darah, seperti lebih dari 3

kali/hari dan pada neonates lebih dari 4 kali/hari (Hidayat, 2009)

Diare adalah kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan terjadi

karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang

encer dan cair (Suriadi & Yuliani, 2006).

B. Klasifikasi Diare

Menurut Depkes RI (2005), berdasarkan jenisnya diare dibagi empat yaitu:

1. Diare Akut

Diare akut yaitu, Diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (umumnya

kurang dari 7 hari). Akibatnya adalah dehidrasi, sedangkan dehidrasi merupakan

penyebab utama kematian bagi penderita diare.

2. Disentri

Disentri yaitu, diare yang disertai darah dalam tinjanya. Akibat disentri

adalah anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat, dan kemungkinan

terjadinya komplikasi pada mukosa.

3. Diare persisten

Diare persisten, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari secara

terus menerus. Akibat diare persisten adalah penurunan berat badan dan

gangguan metabolism.

4. Diare dengan masalah lain

Anak yang menderita diare (diare akut dan diare persisten) mungkin juga

disertai dengan penyakit lain, seperti demam, gangguan gizi atau penyakit

lainnya.
C. Etiologi

Menurut Suraatmaja (2005) dalam bukunya yang berjudul “Gastroenterologi

Anak” menyebutkan bahwa etiologi diare dibagi menjadi beberapa faktor, yaitu :

1. Faktor infeksi

a. Infeksi lateral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan

penyebab utama diare pada anak.

1) Infeksi virus: Rotavirus, Enteroovirus, Norwalk, Astrovirus,

Calcivirus, Coronavirus, Minirotavirus.

2) Infeksi bakteri: Aeromonas hydrophila, Bacillus cereus,

Campylobakter jejuni, Clostridium defficile, Clostridium

perfringens, E. Coli, Plesiomonas, Shigelloides, Salmonella spp,

Staphylococcus aureus, Vibrio cholerae dan Yersinia

enterocoliticia.

3) Infeksi parasit: Balantidium coli, Capillaria philippinensis,

Cryptosporodium, Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia,

Isospora billi, Fasiolopsis buski, Sarcocystis suihominis,

Strongiloides strecoralis, dan Trichuris trichiura (Suraatmaja,

2005).

b. Infeksi parenteral yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat

pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), Tonsilofaringitis,

Bronchopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya keadaan ini terutama

terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun (Suraatmaja,

2005).
2. Faktor malabsorbsi:

a. Malabsorbsi karbohidrat; Disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan

sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa dan galaktosa).

Pada bayi dan anak terpenting dan sering ialah intoleransi laktosa.

b. Malabsorbsi lemak

c. Malabsorbsi protein (Uripi, 2004).

3. Faktor makanan, seperti makan basi, beracun, alergi terhadap makanan.

4. Faktor psikologis, seperti rasa takut dan cemas. Namun hal ini jarang

dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar (Uripi,

2004).

E. Patofisiologi

Menurut RSCM (2007), Patofisiologi penyakit diare dimulai dari virus

yang dapat secara lansung merusak vili usus halus sehingga mengurangi luas dan

mempengaruhi mekanisme enzimatik. Rotavirus menghasilkan enterotoksin yang

menginduksi sekresi dan menyebabkan diare yang cair. Bakteri mengakibtkan

diare melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Bakteri invasif mengakibatkan

ulserasi mukosa dan pembentukan abses yang diikuti oleh respon inflamasi.

Toksin bakteri dapat mempengaruhi proses selular baik di dalam usus maupun

diluar usus. Enterotoksin Eschercia coli yang tahan panas akan mengaktifkan

guanilat siklase E. Coli enterohemoragik dan Shigella menghasilkan verotoksin

yang menyebabkan kelainan sistemik seperti kejang dan sindrom hemolitik

uremik. Bakteri noninvasif dan protozoa lainnya dapat melekat pada dinding usus

dan menyebabkan peradangan.


F. Manifestasi Klinik

Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya

meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja

cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna tinja makin lama berubah

menjadi kehijau-hijauan karena tercampur dengan empedu. Anus dan

daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan tinja makin lama makin

asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat yang berasal dari laktosa yang

tidak dapat diabsorbsi usus selama diare. Gejala muntah dapat terjadi sebelum

atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau

akibat gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah

banyak kehilangan cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi makin tampak.

Berat badan menurun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun membesar

menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.

Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi ringan,

sedang, dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma dapat dibagi menjadi

dehidrasi hipotonik, isotonik, dan hipertonik (Mansjoer, 2009).

G. Komplikasi

Akibat kehilangan cairan dan elektrolit dari dalam tubuh secara mendadak

sehingga dapat terjadi komplikasi sebagai berikut:

1. Hipokalemia (Gejalanya meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi,

perubahan pada elektrokardiogram).

2. Hipoglikemia (Kadar glukosa dalam darah rendah)

3. Cardiak dysrhythmias akibat hipokalemi dan hipokalsemi

4. Hiponatremia
5. Syok hipovolemik

6. Asidosi

7. Dehidrasi (ringan, sedang, berat) (Suriadi & Yuliani, 2006).


BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data, analisa data dan

penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara intervensi,

observasi, pemeriksaan fisik. Pengkaji data menurut Cyndi Smith Greenberg,

1992 adalah

1. Identitas klien.

2. Riwayat keperawatan.

3. Awalan serangan : Awalnya anak cengeng,gelisah,suhu tubuh meningkat,

anoreksia kemudian timbul diare.

4. Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air

dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi

ubun-ubun besar cekung, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir

mulut dan bibir kering, frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan

konsistensi encer.

5. Riwayat kesehatan masa lalu.

6. Riwayat penyakit yang diderita, riwayat pemberian imunisasi.

7. Riwayat psikososial keluarga.

Hospitalisasi akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun

bagi keluarga, kecemasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui

prosedur dan pengobatan anak, setelah menyadari penyakit anaknya,

mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.

8. Kebutuhan dasar.

a. Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4

kali sehari, BAK sedikit atau jarang.


b. Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anopreksia, menyebabkan

penurunan berat badan pasien.

c. Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi

abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.

d. Pola hygiene : kebiasaan mandi setiap harinya.

e. Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan

adanya nyeri akibat distensi abdomen.

9. Pemerikasaan fisik.

a. Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah, kesadaran

composmentis sampai koma, suhu tubuh tinggi, nadi cepat dan lemah,

pernapasan agak cepat.

b. Pemeriksaan sistematik :

1) Inspeksi : mata cekung, ubun-ubun besar, selaput lendir, mulut dan

bibir kering, berat badan menurun, anus kemerahan.

2) Palpasi : Turgor kulit kurang elastis

3) Perkusi : adanya distensi abdomen.

4) Auskultasi : terdengarnya bising usus.


c. Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.

d. Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi

sehingga berat badan menurun.

e. Pemeriksaan penunjang.

1) Diare akut Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:

a) Tes darah: hitung darah lengkap; anemia atau trombositosis

mengarahkan dengan adanya penyakit kronis. Albumin yang

rendah bisa menjadi patokan untuk tingkat keparahan penyakit

namun tidak spesifik. - Kultur tinja bisa mengidentifikasi

organisme penyebab. Bakteri C. Difficile ditemukan pada 5%


orang sehat; oleh karenanya diagnosis ditegakkan berdasarkan

adanya gejala disertai ditemukannya toksin, bukan berdasarkan

ditemukannya organisme saja.

b) Foto polos abdomen: bisa menunjukkan gambaran kolitis akut.

2) Diare kronis

Pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan harus dipilih

berdasarkan prioritas diagnosis klinis yang paling mungkin:

a) Tes darah: secara umum dilakukan hitung darah lengkap, LED,

biokimiawi darah, tes khusus dilakukan untuk mengukur

albumin serum, vitamin B12 dan folat. Fungsi tiroid. Antibodi

endomisial untuk penyakit siliaka.

b) Mikroskopik dan kultur tinja (x3): hasil kultur negatif belum

menyingkirkan giardiasis.

c) Lemak dan tinja: cara paling sederhana adalah pewarnaan

sampel tinja dengan Sudan black kemudian diperiksa di bawah

mikroskop. Pada kasus yang lebih sulit, kadar lemak tinja harus

diukur, walaupun untuk pengukuran ini dibutuhkan diet yang


terstandardisasi.

d) Foto polos abdomen: pada foto polos abdomen bisa terlihat

klasifikasi pankras, sebainya diperiksa dengan endoscopic

retrograde cholangiopancreatography (ERCP) dan/atau CT

pankreas.

e) Endoskopi, aspirasi duodenum, dan biopsi: untuk

menyingkirkan penyakit seliaka dan giardiasis.

f) Kolonoskopi dan biopsi: endoskopi saluran pencernaan bagian

bawah lebih menguntungkan dari pada pencitraan radiologi

dengan kontras karena, bahkan ketika mukosa terlihat normal


pada biopsi bisa ditemukan kolitis mikroskopik (misalnya

kolistik limfositik, kolitis kolagenosa).

g) Hydrogen breath test: untuk hipolaktasia (laktosa) atau

pertumbuhan berlebihan bakteri pada usus halus (laktulosa).

h) Pencitraan usus halus: bisa menunjukkan divertikulum jejuni,

penyakit Crohn atau bahkan struktur usus halus.

i) Berat tinja 24 jam (diulang saat puasa): walaupun sering ditulis

di urutan terakhir daftar pemeriksaan penunjang pemeriksaan

ini tetap merupakan cara paling tepat untuk membedakan diare

osmotik dan diare sekretorik.

j) Hormon usus puasa: jika ada dugaan tumor yang mensekresi

hormonharus dilakukan pengukuran kadar hormon puasa.

Menurut (Rubebsten dkk, 2007) jika merupakan episode akut

tunggal dan belum mereda setelah 5-7 hari, maka harus dilakukan

pemeriksaan berikut:

1) Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari anemia dan kultur darah

untuk Salminella typhi, S. Paratyphi, dan S. Enteritidid, khususnya


bila ada riwayat perjalanan ke luar negeri.

2) Pemeriksaan laboratorium tinja untuk mencari kista, telur, dan

parasit (ameba, Giardia) dan kultur (tifoid dan paratifoid,

Campylobacter, Clostridium difficile).

3) Sigmoidoskopi, khususnya pada dugaan kolistis ulseratif atau

kangkaer (atau kolitis ameba). Biopsi dan histologi bisa memiliki

nilai diasnostik.

b. Pemeriksaan tinja, darah lengkap dan duodenum intubation yaitu untuk

mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif (Nurarif &

Hardhi, 2013).
B. Diagnosa Keperawatan

1. Kekurangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan kehilangan cairan

skunder terhadap diare.

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan diare atau output berlebihan dan intake yang kurang

3. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan

frekwensi diare (Wong, D.L, 2009).

C. Intervensi Keperawatan

1. Diagnosa 1: Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan

dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal

Kriteria hasil :

a. Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR :

< 40 x/mnt )

b. Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong,

UUB tidak cekung.


c. Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari

Intervensi :

a. Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit

R/ Penurunan sisrkulasi volume cairan menyebabkan kekeringan

mukosa dan pemekataj urin. Deteksi dini memungkinkan terapi

pergantian cairan segera untuk memperbaiki defisit

b. Pantau intake dan output

R/ Dehidrasi dapat meningkatkan laju filtrasi glomerulus membuat

keluaran tak aadekuat untuk membersihkan sisa metabolisme.

c. Timbang berat badan setiap hari


R/ Mendeteksi kehilangan cairan , penurunan 1 kg BB sama dengan

kehilangan cairan 1 lt

d. Anjurkan keluarga untuk memberi minum banyak pada kien, 2-3 lt/hr

R/ Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang secara oral

e. Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca, BUN)

R/ koreksi keseimbang cairan dan elektrolit, BUN untuk mengetahui

faal ginjal (kompensasi).

f. Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur

R/ Mengganti cairan dan elektrolit secara adekuat dan cepat.

g. Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik

R/ anti sekresi untuk menurunkan sekresi cairan dan elektrolit agar

simbang, antispasmolitik untuk proses absorbsi normal, antibiotik

sebagai anti bakteri berspektrum luas untuk menghambat endotoksin

(Wong, D.L, 2009).

2. Diagnosa 2 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan out put

Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di


RS kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria Hasil:

a. Nafsu makan meningkat

b. BB meningkat atau normal sesuai umur

Intervensi :

a. Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat

tinggi, berlemak dan air terlalu panas atau dingin)

R/ Serat tinggi, lemak,air terlalu panas / dingin dapat merangsang

mengiritasi lambung dan sluran usus.


b. Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau

sampah, sajikan makanan dalam keadaan hangat

R/ situasi yang nyaman, rileks akan merangsang nafsu makan.

c. Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan

R/ Mengurangi pemakaian energi yang berlebihan

d. Monitor intake dan out put dalam 24 jam

R/ Mengetahui jumlah output dapat merencenakan jumlah makanan.

e. Kolaborasi dengan tim kesehtaan lain :

1) terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu

2) obat-obatan atau vitamin ( A)

R/ Mengandung zat yang diperlukan , untuk proses pertumbuhan

(Wong, D.L, 2009).

3. Diagnosa 3 : Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan

dengan peningkatan frekwensi BAB (diare)

Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama di rumah

sakit integritas kulit tidak terganggu

Kriteria Hasil :
a. Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga

b. Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik

dan benar

Intervensi :

a. Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur

R/ Kebersihan mencegah perkembang biakan kuman

b. Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila

basah dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)

R/ Mencegah terjadinya iritassi kulit yang tak diharapkan oleh karena

kelebaban dan keasaman feces


c. Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam

R/ Melancarkan vaskulerisasi, mengurangi penekanan yang lama

sehingga tak terjadi iskemi dan irirtasi (Wong, D.L, 2009) .


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. A. A. (2009). Pengantar Ilmu: Keperawatan Anak 1. Jakarta:


Salemba Medika.
Mansjoer. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aescalapius.
Nurarif, A. H., & Hardhi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan Nanda NIC NOC Jilid 2 (2nd ed.). Yogyakarta:
MediAction Publishing.
Suraatmaja. (2005). Kapita Selekta Gastroenterologi. Jakarta: CV Sagung Seto.
Suriadi, & Yuliani, R. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:
Sagung Setia.
Uripi, V. (2004). Menu Sehat Untuk Balita. Jakarta: Puspa Suara.
Wong, D.L, et all. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatric. Mosby: Missouri.

Anda mungkin juga menyukai