Anda di halaman 1dari 15

TOPIK

Topik : Skrining Fitokimia pada Rimpang Temu Putih (Curcuma zedoaria)


TUJUAN
Tujuan dari parktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui kandungan flavonoid pada Rimpang Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
2. Untuk mengetahui kandungan terpenoid pada Rimpang Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
3. Untuk mengetahui kandungan alkaloid pada Rimpang Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
4. Untuk mengetahui kandungan fenolik pada Rimpang Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
5. Untuk mengetahui kandungan saponin pada Rimpang Temu Putih (Curcuma
zedoaria)
DASAR TEORI
Temu putih merupakan tanaman semusim dengan karakteristik daun berbentuk
bundar berwarna hijau muda, bunga tumbuh bergerombol di atas batang semu
setinggi 30–70 cm, akarnya berdaging membentuk umbi seukuran telur puyuh,
rimpang kunyit putih tumbuh pendek, berwarna pucat, banyak serat, berbau khas, dan
memiliki rasa pahit (Hutapea, 1993). Temu putih (C. zedoaria) merupakan salah satu
tanaman dari keluarga temu-temuan (Zingiberaceae). Tanaman ini telah banyak
digunakan sebagai salah satu obat tradisional terutama di negara Cina dan Asia
Tenggara lainnya untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit (Ranjani, et al,
2012). Rimpang tanaman temu putih mengandung senyawa kimia seperti
kurkuminoid, minyak atsiri, astringensia, flavonoid, sulfur, gum, resin, tepung, sedikit
lemak. Selain itu Curcuma zedoaria mengandung alkaloid, phenol, saponin,
glikosida, steroid, terpenoid, dan kandungan lain yang diduga dapat digunakan
sebagai antimikroba, antifungal, antikanker, antialergi, antioksidan, dan analgesik
(Lobo, dkk., 2009).
Pelarut etanol 97% dapat melarutkan minyak menguap, kurkumin yang
merupakan zat yang terkandung dalam rimpang temu putih yang memiliki khasiat
sebagai antiinflamasi. Keuntungan lainnya dari pelarut adalah tidak beracun, kapang
dan kuman sulit tumbuh, mudah diuapkan (Robinson, 1995) dalam (Lestari, 2010).
Etanol merupakan pelarut universal yang biasa digunakan dalam ekstraksi.
Penggunaan etanol sebagai pelarut karena mampu mengisolat senyawa yang
diinginkan, baik senyawa yang bersifat polar, semi polar, maupun non polar (lestari,
2010). Metanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan
analit yang bersifat polar dan nonpolar. Metanol dapat menarik alkaloid, steroid,
saponin, dan flavonoid dari tanaman (Thompson, 1985).
Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan simplisia yang
digunakan dihaluskan dan disatukan dengan bahan pengekstraksi (Voigt, 1995) dalam
(Lestari, 2010). Selama proses maserasi, bahan direndam dalam wadah bermulut
besar, ditutup rapat, disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang
dikatalis cahaya atau perubahan warna) dan isinya diaduk berulang-ulang selama 5
hari. Pengocokan ini bertujuan memberikan suatu keseimbangan konsentrasi bahan
ekstraktif yang lebih cepat ke dalam cairan penyari (Ansel, 1989) dalam (Lestari,
2010).
Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar ditemukan di
alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan
sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavonoid
merupakan senyawa polar karena memiliki sejumlah gugus hidroksil yang tidak
tersubstitusi. Senyawa flavonoid ini dapat dimanfaatkan sebagai anti mikroba, obat
infeksi pada luka, anti virus, anti kanker, dan anti tumor, anti alergi dan anti
hipertensi (Sriningsih, 2008). Senyawa flavonoid bersifat polar sehingga dibutuhkan
pelarut yang bersifat polar (Gillespie dan Paul, 2001). Pelarut yang bersifat polar
diantaranya adalah etanol, metanol, aseton dan air (Sudarmadji et al., 1997).
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon yang
tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan
oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Golongan
flavonoid memiliki kerangka karbon terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena
tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).
Beberapa golongan flavonoid antara lain, antosianin, proantosianidin, flavonol,
flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, isoflavon. Keberadaan
senyawa flavonoid dalam ramuan herbal rimpang temu putih dapat diuji dengan
metode Wilstater yaitu dengan menambahkan HCl pekat dan logam Mg.
Septyaningsing (2010) menjelaskan bahwa jika ekstrak sampel positif mengandung
senyawa flavonoid akan terbentuk garam flavilium yang berwarna merah atau jingga
setelah penambahan logam Mg dan HCI. Reduksi dengan Mg dan HCI pekat ini
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah jingga pada flavonol,
flavanon, flavanonol dan xanton (Mariana, 2013). Hasil positif flavonoid jika reaksi
yang terjadi menghasilkan warna merah, kuning atau jingga (Harbone, 1987).
Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa organik metabolit sekunder yang terdapat di alam
bersifat basa (alkali), dan sifat basa ini disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen)
dalam molekul senyawa tersebut, biasanya dalam bentuk cincin heterosiklik. Alkaloid
terdistribusi secara luas pada tanaman, (Padnawinata, 1995).
Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteri, fungi (jamur),
tumbuhan, dan hewan. Alkaloid memiliki rasa pahit atau getir karena sifatnya yang
basa, (Padmawinata, 1995). Alkaloid memiliki sifat: (1) mengandung atom nitrogen
yang umumnya berasal dari asam amino, (2) umumnya berupa kristal atau serbuk
amorf, (3) alkaloid yang berbentuk cair yaitu konini, nikotin, dan spartein, (4)
umumnya mempunyai rasa yang pahit, (5) alkaloid dalam bentuk bebas larut dalam
pelarut organik, (6) alkaloid dalam bentuk garamnya mudah larut dalam air, (7)
alkaloid bebas bersifat basa, (8) alkaloid dapat membentuk endapan dengan bentuk
iodide dari Hg, Au, dan logam berat lainnya, (Cordell, 1981).
Kandungan alkaloid pada tanaman dapat diuji dengan menggunkan pereaksi
mayer yang prinsipnya diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion
logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) dalam pereaksi mayer membentuk
kompleks kalium-alkaloid yang mengendap., dragendorf yang prinsipnya reagen
dragendorf mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam nitrit berair. Dalam
bismut nitrat terdapat garam-garam bismut mudah terhidrolisis membentuk ion
bismutil (BiO+). Selanjutnya ion Bi3+ dari bismut nitrat bereaksi dengan kalium
iodide membentuk endapan hitam Bismut (III) iodida yang kemudian melarut dalam
kalium iodida berlebih membentuk kalium tetraiodobismutat dan wagner yang
prinsipnya iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan ion I-3 yang
berwarna coklat. Pada uji Wagner ion logam K+ akan membentuk ikatan kovalen
koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium alkaloid yang
mengendap.
Terpenoid
Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen dan oksigen yang bersifat aromatis, sebagian terpenoid mengandung
atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima (Achmad, 1986). Terpenoid
umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
Kebanyakan terpenoid alam mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus
pungsi atau lebih (Harborne, 1987). Beberapa hasil penelitian menunjukkan
senyawa terpenoid memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Grayson, 2000).
Untuk mengetahui adanya senyawa terpenoid dalam suatu sampel dapat
digunakan pereaksi lieberman-burchard (anhidrida asam asetat dan H2SO4 pekat)
senyawa terpenoid akan menunjukan warna merah sampai ungu jika direaksikan
dengan pereaksi liebermann-burchard (Aliunir, 2000). Uji kandungan senyawa
terpenoid dilakukan dengan meraksikan sampel dengan asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat. Hasil uji positif pada terpenoid ditunjukkan dengan perubahan
warna sampel menjadi warna biru, hijau, atau merah ungu. Warna biru atau hijau
untuk steroid dan merah ungu untuk terpenoid (Yurleni, 2018).

ALAT DAN BAHAN


Alat: Bahan:
 Tabung reaksi  Reagen Dragendorf
 Rak tabung reaksi  Reagen Mayer
 Gelas ukur 10 ml  Reagen Wagner
 Beaker glass  Serbuk Mg
 Pipet  Aquades
 Lampus spiritus  HCl pekat
 Neraca analitik  Asam asetat anhidrat
 Batang pengaduk  Asam sulfat pekat
 Spatula  FeCl3 1%
 Corong kaca  Larutan asam klorida 2N
 Labu Erlenmeyer  Alumunium foil
 Shaker  Polybag
 Waterbath  Kertas label
 Etanol 96%
 Metanol
 Kertas saring
 Karet dan plastik

Cara Kerja:
 Membuat ekstrak sampel
1. Hari pertama
 Sampel ditimbang 50 gr dan dimasukkan erlenmayer 250 ml
 Ditambahkan etanol / metanol 250 ml
 Dishaker 3x24 jam
2. Hari kedua
 Sampel hasil shaker hari Jumat disaring dan dituang pada botol baru /
botol A dan disimpan dalam lemari pendingin dan botol ditutup
dengan alumunium foil. Sedangkan Ampas /rseidu ditambahkan
etanol /metanol 150 ml pada erlenmayer/botol
 Dishaker 1x24 jam
3. Hari ketiga
 Sampel hasil shaker hari senin disaring dan dituang pada botol A dan
disimpan pada lemari pendingin. Sedangkan ampas/residu ditambah
etanol/metanol 150 ml pada erlenmayer/botol.
 Di shaker 1x24 jam
4. Hari keempat
 Sampel hasil shaker hari selasa di saring dan dituang pada botol A
lalu disimpan pada lemari pendingin.
 Sebagian hasil filtrat pada botol A dipindahkan ke botol baru lalu
diuapkan diwaterbath.
 Setiap 3 jam sekali ekstrak pada waterbath di cek dan ditambahkan
ekstrak dari botol A apabila dirasa sudah mulai berkurang.
 NB : ekstrak yang berada di waterbath diusahakan tidak boleh sampai
kering dan penambahan tidak boleh sampai penuh.
 Penambahan terus dilakukan hingga ekstrak sampel dalam lemari
pendingin habis
5. Hari kelima
 Setiap 3 jam sekali ekstrak pada waterbath di cek dan ditambahkan
ekstrak dari botol A apabila dirasa sudah mulai berkurang.
 Penambahan terus dilakukan hingga ekstrak sampel dalam lemari
pendingin habis.
 Hasilnya larutan menjadi pasta dan ekstak pada botol ditutup
alumunium foil sampai tertutup sepenuhnya
 Sampel disimpan dalam lemari pendingin

 Uji kandungan senyawa


1. Uji Flavonoid
 Ekstrak sampel berupa pasta diambil 0,5 g dan ditambahkan 10 ml
aquades
 Diambil larutan diatas sebanyak 1 ml
 Dimasukkan ke tabung reaksi
 Ditetesi dengan 2-4 tetes HCl pekat
 Diberi serbuk Mg secukupnya
 Hasil positif ditunjukkan dengan adanya warna merah bata sampai
merah tua
2. Uji Terpenoid
 Ekstrak sampel berupa pasta diambil 0,5 g dan ditambahkan 10 ml
aquades
 Diambil larutan diatas sebanyak 1 ml
 Dimasukkan ke tabung reaksi
 Ditambahkan 0,5 ml asam asetat anhidrat dan ditambahkan 2 ml asam
sulfat pekat
 Diteteskan melalui dinding tabung
 Hasil positif berwarna jingga (triterpenoid) atau berwarna hijau
kebiruan (steroid)
3. Uji Alkaloid
 Ekstrak sampel berupa pasta diambil 0,5 g dan ditambahkan 10 ml
aquades
 Diambil larutan diatas sebanyak 1 ml
 Dimasukkan ke dalam tiga tabung reaksi
 Tabung A ditetesi dengan 3 tetes reagen mayer (+) endapan putih
 Tabung B ditetesi dengan 3 tetes reagen dragendorf (+) endapan jingga
 Tabung C ditetesi dengan 3 tetes reagen wagner (+) endapan coklat
4. Uji Fenolik
 Ekstrak sampel berupa pasta diambil 0,5 g dan ditambahkan 10 ml
aquades
 Diambil larutan diatas sebanyak 1 ml
 Dimasukkan ke dalam tabung reaksi
 Ditambahakan FeCl3 1% sebanyak 3 tetes
 Hasil positif terbentuk warna hijau kehitaman
5. Uji Saponin
 Ekstrak sampel berupa pasta diambil 0,5 g dan ditambahkan 10 ml
aquades
 Diambil larutan diatas sebanyak 1 ml
 Dimasukkan ke dalam tabung reaksi
 Ditambahkan 2 ml air panas
 Dikocok dan ditambhakan 1 tetes larutan asam klorida 2N
 Didiamkan dan diperhatikan ada atau tidaknya busa stabil
DATA PENGAMATAN
Hasil
No. Senyawa
Ekstrak Metanol Ekstrak Etanol
1. Flavonoid

(-) Negatif (-) Negatif


Tetap berwarna kuning Tetap berwarna kuning
2. Terpenoid

Hijau kehitaman Hijau kehitaman (positif,


(positif, jenis steroid) jenis steroid)
3. Alkaloid
- Reagen Mayer

Warna kuning (negatif) Warna kuning (negatif)


- Reagen Dragendorf

Endapan jingga (positif) Endapan jingga (positif)


- Reagen Wagner

Warna jingga (negatif) Warna jingga (negatif)


4. Fenolik Warna coklat muda Warna coklat muda
(negatif) (negatif)
5. Saponin Tidak terbentuk busa Tidak terbentuk busa
(negatif) (negatif)

ANALISIS DATA
Uji Flavonoid
Sampel yang sudah diektraksi diambil sebanyak 0,5 g kemudian dilarutkan
dalm 10 ml aquades, setelah larut diambil 1 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi.
Kemudian ditetesi 2-4 tetes HCl pekat dan diberi serbuk Mg secukupnya. Hasil
positif ditunjukkan dengan adanya warna merah bata sampai merah tua, tetapi pada
hasil uji kami menandakan hasil yang negatif (-) mengandung flavonoid baik yang
menggunakan pelarut etanol maupun metanol.
Uji alkaloid
Sampel yang sudah diektraksi diambil sebanyak 0,5 g kemudian dilarutkan
dalm 10 ml aquades, setelah larut diambil 1 ml dimasukkan dalam 3 tabung reaksi
dan masing-masing diuji dengan reagen yang berebeda. Tabung A ditetesi dengan 3
tetes reagen mayer didapatkan hasil untuk pelarut metanol maupun etanol terjadi
reaksi negatif yaitu terbentuk larutan berwarna kuning dan tanpa endapan. Tabung B
ditetesi dengan 3 tetes reagen dragendorf dan terjadi reaksi positif (+) endapan jingga
dan tabung C ditetesi dengan 3 tetes reagen wagner, reaksi negatif larutan berwarna
jingga.

Uji terpenoid
Uji kandungan senyawa terpenoid pada sampel dilakukan dengan mereaksikan
sampel dengan larutan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat. Setelah
direaksikan dengan larutan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat sampel
berubah menjadi berwarna hijau kehitaman.

PEMBAHASAN
Uji Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon yang
tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan
oleh 3 atom karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Senyawa
ini merupakan turunan dari 2- fenil kromon atau 2-fenil benzopiron. Golongan
flavonoid memiliki kerangka karbon terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena
tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).
Beberapa golongan flavonoid antara lain, antosianin, proantosianidin, flavonol,
flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, isoflavon.

Metode maserasi dapat dilakukan dengan bebagai jenis pelarut. Pemilihan


pelarut dalam maserasi memperhatikan selektivitas, toksisitas, kepolaran, kemudahan
untuk diuapkan dan harga pelarut (Akbar, 2010). Larutan pengekstraksi yang
digunakan disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang diinginkan. Pelarut polar
akan melarutkan senyawa polar dan sebaliknya. Pelarut polar yang biasa digunakan
untuk ekstraksi flavonoid adalah metanol, aseton, etanol, air dan isopropanol
(Suryani, 2016). Efektivitas ekstraksi suatu senyawa oleh pelarut sangat tergantung
kepada kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut, sesuai dengan prinsip “like dissolve
like” yaitu suatu senyawa akan terlarut pada pelarut dengan sifat yang sama.
Terdistribusinya pelarut organik yang terus menerus ke dalam sel tumbuhan
mengakibatkan perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel. Sehingga,
pemecahan dinding dan membran sel dan metabolit sekunder yang berada dalam
sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik. Hal ini membuat ekstraksi senyawa
berlangsung sempurna karena lama perendaman yang dilakukan (Baraja, 2008)

Penggunaan jenis pelarut atau kekuatan ion pelarut dapat memberikan


pengaruh terhadap rendemen dan senyawa fitokimia yang dihasilkan (Anggitha,
2012). Metanol merupakan pelarut yang bersifat universal sehingga dapat melarutkan
analit yang bersifat polar dan nonpolar. Metanol dapat menarik alkaloid, steroid,
saponin, dan flavonoid dari tanaman (Astarina, 2013). Senyawa metabolit sekunder
diekstrak menggunakan pelarut etanol 96%, etanol dipilih sebagai cairan penyari
karena merupakan pelarut universal. Etanol dapat melarutkan hampir semua
metabolit sekunder karena sifat kepolarannya yang tinggi, memiliki titik didih cukup
rendah sehingga mudah diuapkan, inert, dan memiliki toksisitas yang lebih rendah
dibandingkan dengan metanol (Patonah, 2014). Nilai toksisitas etanol dibanding
sebesar LC50 7060 mg/kg (Guenther, 2006) sehingga tidak berbahaya. Waktu
maserasi yang tepat akan menghasilkan rendemen dan total senyawa aktif yang
tinggi. Waktu maserasi yang terlalu singkat akan mengakibatkan tidak semua
senyawa fitokimia larut dalam pelarut yang digunakan, dan apabila waktu ekstraksi
terlalu lama maka senyawa fitokimia yang diekstrak akan rusak (Utami, 2009).

Keberadaan senyawa flavonoid dalam rimpang temu putih dapat diuji dengan
metode Wilstater yaitu dengan menambahkan HCl pekat dan logam Mg.
Septyaningsing (2010) menjelaskan bahwa jika ekstrak sampel positif mengandung
senyawa flavonoid akan terbentuk garam flavilium yang berwarna merah atau jingga
setelah penambahan logam Mg dan HCI. Reduksi dengan Mg dan HCI pekat ini
menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah jingga pada flavonol,
flavanon, flavanonol dan xanton (Mariana, 2013). Hasil positif flavonoid jika reaksi
yang terjadi menghasilkan warna merah, kuning atau jingga (Harbone, 1987).
Penambahan HCl pekat dalam uji flavonoid pada metode Wilstater dimaksudkan
untuk menghidrolisis flavonoid menjadi aglikonnya yaitu dengan menghidrolisis O-
glikosil. Glikosil akan tergantikan oleh H+ dari asam karena sifatnya yang
elektrofilik. Glikosida berupa gula yang biasa dijumpai yaitu glukosa, galaktosa dan
ramnosa (Gillespie, R.J. Paul , 2001).

Gambar : Reaksi Uji Flavonoid dengan Logam Mg dan HCl pekat

Berdasarkan hasil praktikum, temu putih negatif mengandung flavonoid baik


yang menggunakan pelarut etanol maupun metanol. Hal ini tidak sesuai dengan
pendapat Rita (2010) yang menyebutkan bahwa komponen utama senyawa metabolit
sekunder rimpang temu putih termasuk kedalam golongan flavonoid, polifenol dan
triterpenoid. Tidak sesuainya hasil praktikum dengan literature mungkin disebabkan
karena kesalahan praktikan pada saat praktikum yaitu belum memahami prosedur
kerja dan teori mengenai uji flavonoid, serta saat melarutkan ekstrak temu putih
dengan menggunakan aquades, larutan yang dihasilkan belum homogen sehingga
dapat mempengaruhi hasil uji flavonoid.

Uji alkaloid
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang
terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan Campuran (Sirait, 2007 dalam Wardana,
2016:25). Alkaloid terdapat sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat
tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid bersifat basa (adanya
gugus amino) dan mengandung atau satu lebih atau nitrogen, biasanya dalam
gabungan sebagai bagian dari siklik, (Harborne, 1987). Alkaloid biasanya digunakan
sebagai bahan dasar untuk pembuatan obat, misalnya morpin, atropine, dan codein.
Alkaloid dapat menembus barrier darah otak (blood-brain barrier), apabila kandungan
alkaloid berlebihan dalam tubuh maka alkaloid dapat menyebabkan kerusakan hati.
Pada tumbuhan senyawa alkaloid terkandung dalam akar, biji, kayu maupun
daun. Alkaloid merupakan senyawa hasil metabolisme yang digunakan tumbuhan
sebagai cadangan dalam sintesis protein. Kegunaan alkaloid bagi tumbuhan adalah
sebagai pelindung dari serangan hama, penguat tumbuhan, dan pengatur kerja
hormon (Wardana, 2016:26)
Pada pengujian adanya zat alkaloid yang terkandung dalam rimpang temu
putih, dgunakan reagen mayer yang prinsipnya diperkirakan nitrogen pada alkaloid
akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II) dalam pereaksi
mayer membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap., dragendorf yang
prinsipnya reagen dragendorf mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam
nitrit berair. Dalam bismut nitrat terdapat garam-garam bismut mudah terhidrolisis
membentuk ion bismutil (BiO+). Selanjutnya ion Bi3+ dari bismut nitrat bereaksi
dengan kalium iodide membentuk endapan hitam Bismut (III) iodida yang kemudian
melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium tetraiodobismutat dan
wagner yang prinsipnya iodin bereaksi dengan ion I- dari kalium iodide menghasilkan
ion I-3 yang berwarna coklat. Pada uji Wagner ion logam K+ akan membentuk ikatan
kovalen koordinat dengan nitrogen pada alkaloid membentuk kompleks kalium
alkaloid yang mengendap, (Melinda, dkk. 2000).
Pada hasil praktikum simplisia temu putih didapatkan hasil reasksi positif pada
pereaksi dragendorf dan reaksi negatif pada pereaksi mayer dan wagner, sedangkan
menurut hasil penelitian Nurdin dan Susanty (2009) menunjukkan bahwa hasil
penapisan fitokimia diperoleh simplisisa serbuk rimpang temu putih mengandung
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterfenoid dan minyak atsiri. Hal ini
dikarenakan kandungan alkaloid dalam jumlah sedikit, sehingga diperlukan
konsentrasi yang lebih pekat untuk dapat mengendapkan alkaloid dan juga pelarut
ekstak sampel merupakan larutan yang memilki polaritas tinggi yaitu aquades
sehingga alkaloid tersebut tidak terlarut dan tidak dapat dideteksi jika di uji
menggunkan reagen Mayer dan Wagner.
Uji terpenoid
Terpenoid adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan hidrogen, atau
karbon, hidrogen dan oksigen yang bersifat aromatis, sebagian terpenoid mengandung
atom karbon yang jumlahnya merupakan kelipatan lima (Achmad, 1986). Terpenoid
umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan.
Kebanyakan terpenoid alam mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus
pungsi atau lebih (Harborne, 1987).
Berdasarkan uji kandungan senyawa terpenoid pada sampel ekstrak rimpang
temu putih (Curcuma zedoaria) mengalami perubahan warna menjadi hijau
kehitaman yang menunjukkan hasil positif jenis steroid. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Berdasarkan hasil penelitian Eff (2018) bahwa Curcuma zedoaria
mengandung senyawa tanning, flavonoid, saponin, alkaloid, terpen, dan steroid. Uji
positif adanya steroid apabila terjadi perubahan warna menjadi hijau atau biru, hal ini
berdasarkan reaksi Liebermann-Buchard yang menyatakan bila suatu steroid
direaksikan dengan asam asetat anhidrat dan setetes asam sulfat pekat akan
menghasilkan warna hijau atau biru (Robinson, 1995). Reaksi yang terjadi antara
steroid dengan asam asetat anhidrat adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid.
Sebagai contoh, senyawa 5- Kolestan-3, 6-diol yang mengalami asetilasi pada
gugus –OH pada C3, sehingga dihasilkan senyawa 3- asetoksi-5-Kolestan-6-ol
(Ahmad, 1986). Beberapa hasil penelitian menunjukkan senyawa terpenoid
memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Grayson, 2000).
Daftar Rujukan

Ahmad, S.A. 1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Penerbit Karunika
Universitas Terbuka.
Aliunir, dkk, 2000. Penuntun Praktikum Kimia Organik II. Jurusan Kimia FMIPA.
UNP.
Chitra V, Shrinivas S, Nandu K. 2009. Evaluation of Anticancer Activity of Vitex
Negudo In Experimental Animals: An In Vitro & In Vivo Study. International
Journal of Pharmatech Research. 1(4): 1485-1489
Eff, A.R.Y. 2018. Efek Anti-tifoid Minyak Atsiri Temu Putih (Curcuma zedoaria
Rosc.) pada Tikus (Rattus norvegicus L) yang Terinfeksi Salmonella
typhy.Pharmaceutical Sciences and Research. 5(3): 116-122.
Grayson, D. H. 2000. Monoterpenoid. University Chemical Laboratory, Trinity
College, Dublin 2, Ireland.
Hutapea, JR. 1993. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Edisi ke–2. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Lobo, R., Prabhua, K. S., Shriwaikara, A. & Shirwaikarb, A. 2009. Curcuma
zedoaria rosc. (white tumeric): A review of its Chemical, Pharmalogical and
Ethnomedicinal Properties. Journal of Pharmacy and Pharmacology. 61: 13-
21.
Ranjani R, Ayya Raju. 2012. Anticancer Properties of Allium sativum–A Review.
Asian Journal of Biochemical and Pharmaceutical Research. 3(2): 19.
Yurleni. 2018. Penggunaan Beberapa Metode Ekstraksi pada Rimpang Curcuma
untuk Memperoleh Komponen Aktif Secara Kualitatif. Biospecies. 11(1): 48-
56.
Thompson, E. B. 1985. Drug Bioscreening. America: Graceway Publishing
Company, Inc. Pp. 40, 118.
Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan
oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.

Cordell, G.A. (1981). Introduction to Alkaloids : A Biogenetic Approach, A Willey


Interscience Publication, New York.
Deni, Wirawan; Maulida Agustinawati; Refiko Nuning R; Lintang Nur; Irrine Aulia;
Maryantul; Fitri Valentina; Yogi Prabasari; Siti Nurrosyid; Yuvita Dian; Hilma
Imaniar; Sutatik; Tsulsiyah Zahroh’ Mijil Emas; dan Widyaning Dwi. 2016.
Laporan Praktikum Fitokimia. Jember: Universitas Jember)
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan, Edisi kedua. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang
Soedira. Bandung: ITB Press.
Melinda, Ayu; Nur Rezky Khairun Nisaa. 2000. Skrining Fitokimia. Makassar:
Universitas Muslim Indonesia
Padmawinata, K. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit
ITB (Terjemahan dari Robinson, T. 1991. The Organic Constituens of Higher
Plant, 6th ed).
Wardana, Andika Pramudya. 2016. Elusidasi Struktur Senyawa Hasil Isolasi dari
Eksrtak Kloroform Kulit Batang Tumbuhan Gowok (Syzygius polycephalum)
dan Uji Aktivitas Antioksidan. Skripsi. Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Negeri Surabaya.
Akbar, H. Rizki. (2010). isolasi dan identifikasi golongan flavonoid daun dandang
gendis (Clinacanthus nutans) berpotensi sebagai antioksidan. (Skripsi).
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Anggitha, I. 2012. Performa Flokulasi Bioflokulan DYT pada Beragam Keasaman


dan Kekuatan Ion terhadap Turbiditas Larutan Kaolin. Universitas Pendidikan
Indonesia: Jakarta.

Astarina, N. W. G., K. W. Astuti, N. K. Warditiani. (2013). skrining fitokimia ekstrak


methanol rimpang bangle (Zingiber purpureum Roxb.)
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jfu/article/download/7399/5649

Baraja, M. 2008. Uji Toksisitas Ekstrak Daun Ficus elastic nois ex lume Terhadap
Artemia salina Leach dan Profil Kromatografi Lapis Tipis. Skripsi Surakarta:
Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Gillespie, R.J. Paul , 2001. Chemical Bonding and Molecular Geometry. Oxford
University Press, London.

Guenther, E. 2006. Minyak Atsiri. Jakarta: UI Press.

Harborne, J. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan. Cetakan Kedua. Penerjemah: Padmawinata, K. Dan I. Soediro.
Bandung: ITB.
Mariana, L., Yayuk A., dan Erin R. G. 2013. Analisis Senyawa Flavonoid Hasil
Fraksinasi Ekstrak Diklorometana Daun Keluwih (Artocarpus camansi). Jurnal.
Universitas Mataram.

Patonah, Ari Y., dan Cica N. 2014. Antivitas Antihipertrigliseridemia Ekstrak Kunyit
(Crucuma longa L.) dan Bangle (Zingiber cassumunar Roxb.) serta
Kombinasinya pada Hewan Hipertrigliseridemia. Jurnal Farmasi Galenika. Vol.
I No. 2. ISSN: 2406-9299.

Rita W S. 2010. Isolasi, identifikasi dan uji aktivitas antibakteri senyawa golongan
triterpenoid pada rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.)Roscoe).Jurnal
kimia.

Robinson, T. 1995. Kandungan Senyawa Organik Tumbuhan Tinggi. Diterjemahkan


oleh Prof. Dr. Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.

Septyaningsih, D., Anton A., dan Maya P. S. 2010. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press.

Sriningsih. 2008. Analisa Senyawa Golongan Flavonoid Herba Tempuyung


(Sonchusarvensis L): www.indomedia.com/intisari/1999/juni/tempuyung.htm.
Diakses tanggal 28 Maret 2019.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suharji. 1997. Prosedur Analisis untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberti, Yogyakarta.

Suryani, N. Citra, D. G. M. Permana, A. A. G. N. Anom Jambe. (2016). pengaruh


jenis pelarut terhadap kandungan total flavonoid dan aktivitas antioksidan
ekstrak daun matoa (Pometia pinnata).
http://ojs.unud.ac.id/index.php/itepa/article/download/22645/14872

Utami. 2009. Potensi Daun Alpukat (Persea americana Mill) Sebagai Sumber
Antioksidan Alami. Jurnal Teknik Kimia UPN Jawa Timur. Vol 2 (1) : 58-64.

Anda mungkin juga menyukai