Pengertian Perikatan
Menurut para sarjana pengertian perikatan diartikan berbeda-beda, yaitu:
1. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H. Hukum perikatan ialah
kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang
bersumber pada tindakannya dalam lingungan hukum kekayaan.
2. Menurut Prof. Subekti, S.H. Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara
dua orang pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal
dari pihak lain.
3. Menurut Abdulkadir Muhammad, S.H. Perikatan ialah hubungan hukum yang
terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan perikatan
adalah hubungan hukum antara dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut
sesuatu dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban memenuhi tuntutan
tersebut.
Di dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang
bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak,
dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum,
sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan
perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan
perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.
Macam-macam Perikatan
Perikatan Bersyarat mengandung arti bahwa suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu
akan terjadi. Perikatan bersyarat terdiri dari:
1. Perikatan dengan syarat tangguh. Ialah perikatan lahir jika peristiwa tersebut telah
terjadi pada detik terjadinya peristiwa tersebut (1263 KUHPer).
2. Perikatan dengan suatu syarat batal. Ialah perikatan yang sudah lahir akan berakhir
atau batal jika peristiwa tersebut terjadi. Perikatan juga batal apabila (1). Syarat itu
bertentangan dengan susila atau yang dilarang UU. (2). Pelaksanaan
digantungkan pada kemauan debitur (Pasal 1256 KUHPer)
Dalam perikatan mana suka, si debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah satu dari
dua barang yang disebutkan dalam perjanjian, tapi ia tidak dapat memaksa kreditur untuk
menerima sebagian dari barang yang lainnya (Pasal 1272 KUHper).
Jika dalam suatu perjanjian secara teas kepada masing-masing pihak diberikan hak untuk
menuntut pemenuhan seluruh utang, sedang pembayaran yang dilakukan kepada salah
seorang membebaskan pihak yang berutang. Misalnya, dalam Firma, jika salah satu pihak
dalam firma tersebut utang kepada bank atas nama firma, maka semua anggota yang
terdapat dalam firma akan menanggung utang dari pihak yang berutang kepada bank tadi
(tanggung-renteng).
Pada hakekatnya perikatan ini tergantung pada kehendak kedua belah pihak, tentang
memenuhi prestasi (kewajiban yang diperjanjikan).
Perikatan ini bertujuan untuk mecegah jangan sampai orang (si berhutang/kreditur)
melalaikan kewajibannya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah tertentu
(uang), yang merupakan pembayaran kerugian atas wanprestasi yang sejak semula
ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuta perjanjian itu.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah
sebagai berikut :
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
Perikatan yang timbul dari undang-undang.
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwaarneming).
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian
apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk:
Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori
leisbet fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan
jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan
intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme
memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai
golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah.
Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap
dalam exploitation de homme par l’homme.
2. Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada
pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa
perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan
pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal
dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu
perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara
kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang
telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan
dengan bentuk perjanjian.
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan
asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt.
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya
dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata
sepakat saja
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para
pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik
mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang
nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan
serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak)
menurut norma-norma yang objektif.
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
3. Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar
kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai
dengan Pasal 1237 KUH Perdata.
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada
kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga
dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Novasi
Novasi adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan
sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli.
Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna
orang yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini
dinamakan novasi subjektif pasif).
3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang
dibebaskan dari perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Konfusio