Anda di halaman 1dari 67

2.2.

Persalinan

2.2.1 Konsep Dasar Persalinan

1. Pengertian

a. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada

kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala

yang berlangsung dalam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin

(Saifuddin, 2014: 100).

b. Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup

bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan

bantuan atau tanpa bantuan (Manuaba, 2010: 164).

Jadi dapat disimpulkan bahwa persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang

dapat hidup dari dalam uterus melalui vagina ke dunia luar baik dengan bantuan atau tanpa

bantuan.

2. Fisiologi Persalinan

Menurut Saifuddin (2010: 296) menjelang persalinan, otot polos uterus mulai menunjukkan

aktivitas kontraksi secara terkoordinasi, diselingi dengan suatu periode relaksasi dan mencapai

puncaknya menjelang persalinan, serta secara berangsur menghilang pada periode postpartum.

Sedangkan menurut Manuaba (2010: 167) dengan penurunan hormon progesteron menjelang

persalinan dapat terjadi kontraksi. Kontraksi otot rahim menyebabkan turunnya kepala sehingga

masuk pintu atas panggul, perut lebih melebar karena fundus uteri turun, dan muncul nyeri di

daerah pinggang.

a. Tahapan Persalinan
Kala persalinan dibagi menjadi empat kala yaitu Kala 1 (Kala Pembukaan), Kala II (Kala

Pengeluaran Janin), Kala III (Kala pengeluaran Uri), dan Kala IV (Kala Pengawasan) (Sofian,

2012: 71). Kala dalam persalinan diantaranya adalah:

1) Kala I

Kala I persalinan dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus yang teratur dan

meningkat (frekuensi dan kekuatannya) hingga serviks membuka lengkap (10 cm)

(Wiknjosastro, 2008: 40). Menurut Sofian (2012: 71) Kala I persalinan atau kala

pembukaan ditandai dengan keluarnya lendir bercampur darah (bloody show) karena

serviks mulai membuka (dilatasi) dan mendatar (efficement). Darah berasal dari pecahnya

pembuluh darah kapiler di sekitar kanalis servisis akibat pergeseran ketika serviks

mendatar dan membuka. Kala pembukaan dibagi atas 2 fase yaitu:

(1) Fase laten: pembukaan serviks yang berlangsung lambat sampai pembukaan 3 cm,

lamanya 7-8 jam. Menurut Varney (2008: 677) pada fase laten ini kontraksi menjadi

lebih stabil selama fase laten seiring dengan peningkatan frekuensi, durasi, dan

intensitas mulai terjadi setiap 10 sampai 20 menit, berlangsung 15 sampai 20 detik,

dengan intensitas ringan hingga intensitas sedang (rata-rata 40 mmHg pada puncak

kontraksi dari tonus uterus dasar sebesar 10 mmHg) yang terjadi lima sampai tujuh

menit berlangsung 30 sampai 40 detik.

(2) Fase aktif adalah periode waktu dari awal kemajuan aktif pembukaan hingga

pembukaan menjadi lengkap dan mencakup fase transisi. Pembukaaan dimulai dari

tiga sampai empat sentimeter hingga sepuluh sentimeter. Kontraksi selama fase aktif

menjadi lebih sering, dengan durasi yang lebih panjang dan intensitas yang lebih

kuat. Menjelang akhir fase aktif, kontraksi biasanya muncul setiap dua sampai tiga
menit, berlangsung sekitar 60 detik, dan mencapai intensitas yang kuat (lebih dari 40

mmHg) (Varney, Kriebs dan Gegor, 2008 :678). Frekuensi dan lama kontraksi uterus

akan meningkat secara bertahap (kontraksi dianggap adekuat atau memadai jika

terjadi 3 kali atau lebih dalam waktu 10 menit dan berlangsung 40 detik atau lebih).

Dari pembukaan 4 cm hingga mencapai pembukaan 10 cm, akan terjadi dengan

kecepatan rata-rata 1 cm per jam (nulipara atau primigravida) atau lebih dari 1 cm

hingga 2 cm (multigravida). Terjadi penurunan bagian terbawah janin (Wiknjosastro,

2008: 40). Fase aktif berlangsung selama 6 jam dan dibagi atas 3 subfase.

a) Periode akselerasi: berlangsung 2 jam, pembukaan menjadi 4 cm.

b) Periode dilatasi maksimal: selama 2 jam, pembukaan berlangsung cepat menjadi

9 cm.

c) Periode deselarasi: berlangsung lambat, dalam waktu 2 jam pembukaan menjadi

10 cm (lengkap).

Perbedaan pembukaan serviks pada primigravida dengan multigravida adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.9
Pembukaan serviks pada primigravida dan multigravida

Primi Multi
Serviks mendatar Mendatar dan membuka dapat
(effacement) dulu, baru terjadi bersamaan
berdilatasi
Berlangsung 13–14 jam Berlangsung 6–7 jam
Sumber: Sofian, Amru, dan Loi Indra (ed), 2012. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri, Jakarta,
halaman 71.
Gambar proses dilatasi dan pembukaan servik dapat dilihat pada gambar 2.5:

Gambar 2.5
Proses
pembukaan
servik
Sumber : Saifuddin,
2002. Buku
Panduan Praktis
Pelayanan
Kesehatan Maternal
dan Neonatal,
Jakarta,halaman N-
7

Sifat kontraksi otot rahim (his) kala I menurut Manuaba (2012: 170–171) adalah:

a) Kontraksi bersifat simetris.

b) Fundal dominan, artinya bagian fundus uteri sebagai pusat dan mempunyai

kekuatan yang paling besar.

c) Involunter artinya tidak dapat diatur oleh parturien (ibu).

d) Intervalnya makin lama makin pendek.

e) Kekuatannya makin besar dan pada kala II diikuti dengan refleks mengejan.

f) Diikuti retraksi, artinya panjang otot rahim yang telah berkontraksi tidak akan

kembali ke panjang semula.

g) Setiap kontraksi mulai dari pace maker yang terletak di sekitar insersi tuba, dengan

arah penjalaran ke daerah serviks uteri dengan kecepatan 2cm per detik.

h) Kontraksi rahim menimbulkan rasa sakit pada pinggang, daerah perut, dan dapat

menjalar ke arah paha.

Distribusi susunan otot rahim ke arah serviks yang semakin berkurang

menyebabkan serviks bersifat pasif, sehingga terjadi keregangan (penipisan), seolah-

olah janin terdorong ke arah jalan lahir. Bagian rahim yang berkontraksi dengan yang
menipis dapat diraba atau terlihat, tetapi tidak melebihi batas setengah pusat-simfisis.

Pada kala I, amplitudo sebesar 40 mmHg menyebabkan pembukaan serviks, interval

3–4 menit dan lamanya berkisar antara 40–60 detik. Akhir kala I ditetapkan dengan

kriteria yaitu pembukaan lengkap, ketuban pecah, dan dapat disertai refleks mengejan.

2) Kala II

Menurut Saifuddin (2014:100) kala II persalinan dimulai dari pembukaan lengkap

(10 cm) sampai bayi lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1 jam

pada multi. Pada kala II dibagi menjadi dua yaitu nonekspulsif dan ekspulsif. Fase

nonekspulsi merupakan fase awal kala II dengan tanda gejala serviks membuka lengkap

(10 cm), penurunan kepala berlanjut, belum ada keinginan untuk meneran. Sedangkan fase

ekspulsif merupakan fase akhir kala II dengan tanda gejala diantaranya serviks membuka

lengkap (10 cm), bagian terbawah telah mencapai dasar panggul, dan ibu meneran

(Saifuddin, 2011: N7).

Menurut Manuaba (2010: 173-174) gejala utama kala II adalah:

a) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit, dengan durasi 50 sampai 100 detik.

b) Menjelang akhir kala I, ketuban pecah yang ditandai dengan keluarnya cairan secara

mendadak.

c) Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap, diikuti keinginan mengejan, karena

tertekannya Pleksus Frankenhauser.

d) Kedua kekuatan, his dan megejan lebih mendorong kepala bayi sehingga terjadi kepala

membuka pintu, suboksiput bertindak sebagai hipomoglion berturut-turut lahir ubun-

ubun besar, dahi, hidung, muka, dan kepala seluruhnya.


e) Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar, yaitu penyesuaian kepala

terhadap punggung.

f) Setelah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan bayi ditolong dengan jalan:

Kepala dipegang pada os oksiput dan di bawah dagu, ditarik curam ke bawah untuk

melahirkan bahu depan, dan curam ke atas untuk melahirkan bahu belakang, setelah

kedua bahu lahir, ketika dikait untuk melahirkan sisa badan bayi, bayi lahir diikuti oleh

air sisa ketuban.

3) Kala III

Kala III persalinan dimulai setelah kelahiran janin dan melibatkan pelepasan dan

ekspulsi plasenta. Setelah kelahiran plasenta dan selaput janin, persalinan aktif selesai

(Saifuddin, 2010: 307).

Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang

berlangsung tidak lebih dari 30 menit (Saifuddin, 2014: 101). Sedangkan menurut

Wiknjosastro (2008: 99), persalinan kala tiga dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir

dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban. Sofian (2012: 80) membagi Kala III terdiri

dari 2 fase yaitu:

1) Fase pelepasan uri.

Mekanisme pelepasan uri adalah kontraksi rahim akan mengurangi area uri karena rahim

bertambah kecil dan dindingnya bertambah tebal beberapa sentimeter. Kontraksi tadi

akan menyebabkan bagian uri yang longgar dan lemah pada dinding rahim terlepas, mula-

mula sebagian kemudian seluruhnya, dan terdapat bebas dalam kavum uteri. Cara

lepasnya uri ada beberapa macam yaitu:

a) Schultze
Cara ini paling sering terjadi (80%) plasenta terlepas seperti jika kita menutup

payung. Yang pertama terlepas adalah bagian tengah, lalu terjadi hematoma

retroplasenta yang menolak uri, mula-mula bagian tengah, kemudian seluruhnya.

Menurut cara Schultze, perdarahan biasanya tidak ada sebelum uri lahir dan banyak

setelah uri lahir.

b) Duncan

Lepasnya uri mulai dari pinggir. Jadi bagian pinggir uri lahir lebih dahulu. Darah

akan mengalir keluar di antara selaput ketuban. Cara ini terjadi pada 20% kasus.

Serempak dari tengah dan pinggir plasenta.

2) Fase pengeluaran uri.

Menurut Sofian (2012: 80) uri yang sudah terlepas oleh kntraksi rahim akan didorong ke

bawah karena sekarang dianggap sebagai benda asing. Pengeluaran uri dibantu pula oleh

tekanan abdominal atau mengedan. Uri akan dilahirkan secara spontan pada 20% pasien,

dan selebihnya memerlukan pertolongan.

3) Tanda-tanda lepasnya plasenta

Menurut Wiknjosastro (2008: 100), tanda-tanda lepasnya plasenta mencakup beberapa

atau semua hal-hal di bawah ini:

(1) Perubahan bentuk dan tinggi fundus uteri.

(2) Tali pusat memanjang.

(3) Semburan darah mendadak dan singkat

4) Kala IV

Menurut Wiknjosastro (2008: 114-116) dua jam pertama setelah persalinan merupakan

waktu yang kritis bagi ibu dan bayi serta rawan perdarahan. Kala IV dimaksudkan untuk
melakukan observasi perdarahan post partum, paling sering terjadi 2 jam pertama.

Aktivitas yang sering dilakukan selama 2 jam pertama pasca persalinan.

b. Mekanisme persalinan normal

1) Engagement (penurunan)

Terjadi ketika diameter biparietal kepala janin telah melalui pintu atas panggul. Menurut

Varney, Kriebs, & Gegor (2007: 684-685) terdapat hubungan antara pelvis ibu dengan

janin saat engagement, yaitu

a) Sinklitismus

Merupakan istilah yang dipakai ketika sutura sagitalis berada di garis tengah antara

simfisis pubis dan tonjolan sakrum.

Gambar 2.6 Proses Terjadinya Sinklitismus


Sumber : Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta, halaman 310.

b) Asinklitismus

Menunjukkan bahwa sutura sagitalis mengarah ke depan simfisis pubis atau depan

promontorium sakrum.
c) Asinklitismus posterior

Terjadi ketika tulang parietal posterior (bagian yang terdekat dengan promontorium

sakrum) menjadi bagian terbawah pada bagian presentasi janin sebagai akibat defleksi

kepala ke arah simfisis pubis.

Hal ini menyebabkan sutura sagitalis lebih dekat dengan simfisis pubis.

Gambar 2.7 Asinklitismus posterior


Sumber : Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta. halaman 311.

d) Asinklitismus anterior

Terjadi ketika tulang parietal anterior (bagian yang terdekat dengan simfisis pubis)

menjadi bagian yang paling bawah pada bagian presentasi akibat defleksi kepala ke

arah promontorium sakrum, yang menyebabkan sutura sagitalis berada lebih dekat ke

promontorium sakrum.
Gambar 2.8 Asinklitismus anterior
Sumber : Saifuddin, Abdul Bari. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta. halaman 311.

2) Penurunan lengkap

Terjadi selama persalinan dan oleh karena itu keduanya diperlukan untuk dan

terjadi bersamaan dengan mekanisme lainya. Penurunan merupakan hasil dari

sejumlah kekuatan, termasuk kontraksi, dan pada kala II dorongan yang dapat

dilakukan ibu karena kontraksi otot-otot abdomennya.

3) Fleksi

Merupakan hal yang sangat penting untuk penurunan lebih lanjut. Melalui

mekanisme ini, diameter sub oksiput bregmatika yang lebih kecil digantikan dengan

diameter kepala janin yang lebih besar yang terjadi ketika kepala janin tidak dalam

keadaan fleksi sempurna, atau tidak dalam keadaan beberapa derajat ekstensi.

4) Rotasi internal

Gerakan berputarnya kepala sehingga oksiput secara bertahap bergerak dari posisi

semula ke arah anterior menuju simfisis pubis atau yang lebih jarang, ke arah

posterior menuju cekungan sakrum (Leveno, 2009: 150–152).

5) Defleksi

Ketika kepala mengadakan rotasi internal ubun-ubun kecil akan berputar ke arah

depan, sehingga di dasar panggul ubun-ubun kecil di bawah simfisis dan dengan

suboksiput sebagai hipomoklion, kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat

dilahirkan (Saifuddin, 2010: 312).

6) Rotasi eksternal (putaran paksi luar)

Kepala yang lahir kemudian mengalami restitusi. Jika semula mengarah ke kiri,

oksiput berputar ke arah tuberositas iskiadika, jika semula mengarah ke kanan,


oksiput berputar ke kanan. Restitusi kepala ke posisi oblik diikuti oleh tuntasnya

putaran paksi luar ke posisi transversal, yaitu suatu gerakan yang sesuai dengan rotasi

tubuh janin, berfungsi membawa garis tengah biakromion menjadi berhubungan

dengan garis tengah anteroposterior pintu bawah panggul.

7) Ekspulsi

Hampir segera setelah putaran paksi luar, bahu anterior muncul di bawah simfisis

pubis, dan perineum segera mengalami peregangan oleh bahu posterior. Setelah bahu

keluar, bagian tubuh janin lainnya dengan cepat lahir.

c. Partograf

Menurut Wiknjosastro (2008: 57), Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan

kala satu persalinan dan informasi untuk membuat keputusan klinik. Tujuan utamanya:

1) Mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan menilai pembukaan serviks

melalui pemeriksaan dalam.

2) Mendeteksi apakah proses persalinan berjalan secara normal.

3) Data pelengkap yang terkait dengan pemantauan kondisi ibu, kondisi bayi, grafik

laboratorium, membuat keputusan klinik atau asuhan dan tindakan yang diberikan,

dimana semua itu dicatat secara rinci pada status atau rekam medik ibu bersalin dan bayi

baru lahir.

Manfaat partograf diantaranya adalah:

1) Mencatat kemajuan persalinan

2) Mencatat kondisi ibu dan janinnya

3) Mencatat semua asuhan yang diberikan selama persalinan dan kelahiran


4) Menggunakan informasi yang tercatat untuk deteksi dini penyulit persalinan.

5) Menggunakan informasi yang tersedia untuk membuat keputusan klinik yang sesuai dan

tepat waktu.

Menurut Wiknjosastro (2008: 58) kondisi ibu dan bayi juga harus dinilai dan dicatat secara

seksama, yaitu:

1) Denyut jantung janin setiap ½ jam

2) Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus setiap ½ jam

3) Nadi setiap ½ jam

4) Pembukaan serviks setiap 4 jam

5) Penurunan bagian terbawah janin setiap 4 jam

6) Tekanan darah dan suhu setiap 4 jam

7) Produksi urine dan aseton dan protein setiap 2 sampai 4 jam.

Pencatatan selama fase aktif persalinan menurut Wiknjosastro (2008: 58-59): Halaman

depan partograf berisi kolom dn lajur untuk mencatat hasil pemeriksaan selama fase aktif

persalinan, yaitu:

1) Informasi tentang ibu

a) Nama, umur

b) Gravida, para, abortus (keguguran)

c) Nomor catatan medik/nomor puskesmas

d) Tanggal dan waktu mulai dirawat

e) Waktu pecahnya selaput ketuban

2) Kondisi janin

a) DJJ
b) Warna dan adanya cairan ketuban

c) Penyusupan (molase) kepala janin

3) Kemajuan persalinan

a) Pembukaan serviks

b) Penurunan bagian terbawah atau presentasi janin

c) Garis waspada dan garis bertindak

4) Jam dan waktu

a) Waktu mulainya fase aktif persalinan

b) Waktu aktual saat pemeriksaan atau persalinan

5) Kontraksi uterus

a) Frekuensi kontraksi dalam waktu 10 menit

b) Lama kontraksi (dalam detik)

6) Obat-obatan dn cairan yang diberikan

a) Oksitosin

b) Obat-obatan lainnya dan cairan IV yang diberikan

7) Kondisi ibu

a) Nadi, tekanan darah, dan temperatur suhu

b) Urin (volume, aseton, atau protein)

Asuhan, pengamatan dan keputusan klinik lainnya (dicatat dalam kolom yang tersedia di sisi

Partograf atau di catatan kemajuan persalinan). Contoh lembar Partograf dapat dilihat pada

lampiran.

2.2.2 Asuhan Kebidanan Persalinan


1. Pengkajian Data

a. Data Subyektif

1) Usia

Usia ibu bersalin paling aman adalah 20-34 tahun. Ibu yang berusia 13-19 tahun

memiliki peluang untuk melahirkan bayi prematur (Wheeler, 2004: 5). Anak perempuan

berusia 15 tahun atau kurang lebih rentan terhadap terjadinya preeklampsi dan eklampsi,

mereka juga lebih mungkin melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau bayi kurang

gizi (Romauli, 2011: 117). Usia di atas 35 tahun meningkatkan insiden persalinan yang

lama pada nulipara, seksio sesaria, kelahiran preterm, IUGR, anomali kromosom, dan

kematian janin (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 691).

2) Keluhan utama

Menurut Manuaba (2010: 173) tanda-tanda persalinan adalah:

a) Terjadinya his persalinan. His persalinan mempunyai ciri khas pinggang terasa

nyeri yang menjalar ke depan, sifatnya teratur, interval makin pendek, dan

kekuatannya makin besar, mempunyai pengaruh terhadap pembukaan serviks,

makin beraktivitas (jalan) makin bertambah. Pada kala pertama, his menyebabkan

pembukaan serviks, interval 3-4 menit dan lamanya berkisar antara 40-60 detik

(Saifuddin, 2010: 171).

b) Pengeluaran lendir dan darah (blood show). Dimulai dengan adanya his persalinan

terjadi perubahan pada serviks yang menimbulkan pendataran dan pembukaan.

Pembukaan menyebabkan lendir yang terdapat pada kanalis servikalis lepas.

Terjadi perdarahan karena kapiler pembuluh darah pecah.


c) Pengeluaran cairan. Pada beberapa kasus terjadi ketuban pecah yang menimbulkan

pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru pecah menjelang pembukaan

lengkap. Dengan pecahnya ketuban diharapkan persalinan berlangsung dalam

waktu 24 jam.

3) Riwayat kesehatan

Kondisi medis tertentu berpotensi mempengaruhi ibu atau bayi atau keduanya. Calon

ibu mengetahui bahwa penyakitnya dapat memperburuk atau berpeluang menyebabkan

bayi sakit atau meninggal. Berikut ini adalah beberapa kondisi medis pada kategori ini:

a) Epilepsi

Dibandingkan wanita bukan epilepsi, wanita epilepsi memiliki resiko melahirkan

bayi malformasi dua sampai tiga kali lebih tinggi dan resiko memiliki anak dengan

gangguan kejang 2% sampai 3%. Mereka juga beresiko mengalami preeklamsia dan

persalinan prematur (Wheeler, 2004:7).

b) Penyakit Jantung

Ibu yang menderita penyakit jantung membutuhkan asupan yang berhubungan

dengan keseimbangan cairan selama persalinan. Penggunaan cairan kristaloid

intravena yang tidak tepat akan menyebabkan peningkatan volume darah yang

bersirkulasi, padahal penderita penyakit jantung sulit untuk beradaptasi dengan

perubahan tersebut dan mereka dapat dengan mudah mengalami edema pulmonal.

Curah jantung dipengaruhi oleh posisi ibu selama persalinan. Posisi terlentang

menurunkan curah jantung karena menghambat aliran balik vena ke jantung sehingga

mengakibatkan hipotensi maternal dan bradikardi janin. Oleh karena itu akan lebih

baik jika semua wanita bersalin termasuk yang menderita penyakit jantung,
menggunakan posisi tegak atau miring kiri (Fraser & Cooper, 2009: 321). Apabila

penderita mengalami dekompensasi kordis pada pembukaan yang belum lengkap akan

tetapi sudah cukup lebar (8-9 cm) dan tidak ada disproporsi cefalo-pelvik (CPD), maka

setelah pemberian digitalis dan hasilnya sudah tampak persalinan segera dapat

diselesaikan dengan ekstraktor vakum oleh dokter yang sudah banyak pengalaman

(Wiknjosastro, 2005: 435).

c) Asma

Wanita yang menderita asma berat dan mereka yang tidak mengendalikan asmanya

tampak mengalami peningkatan insiden hasil maternal dan janin yang buruk, termasuk

kelahiran dan persalinan prematur, penyakit hipertensi pada kehamilan, bayi terlalu

kecil, untuk usia gestasinya, abruptio plasenta, korioamnionitis, dan kelahiran seksio

sesarea (Fraser & Cooper, 2009: 322).

d) Anemia

Bahaya anemia terhadap persalinan yaitu adanya gangguan his (kekuatan

mengejan), kala pertama dapat berlangsung lama, dan terjadi partus terlantar, kala dua

berlangsung lama sehingga dapat melelahkan dan sering memerlukan tindakan operasi

kebidanan, kala uri dapat diikuti retensio plasenta, dan perdarahan postpartum karena

atonia uteri, kala empat dapat terjadi perdarahan postpartum sekunder dan atonia uteri

(Manuaba, 2010: 240).

e) Hipertensi

Pada ibu dengan penyakit hipertensi, janin bertumbuh kurang wajar (dismaturitas),

dilahirkan premature atau mati dalam kandungan. Sering pula terjadi solusio plasenta
yang mempunyai akibat buruk, baik bagi ibu maupun anak. Angka kematian anak kira-

kira 20% (Wiknjosastro, 2005: 446).

f) Hepatitis

Penularan kepada anak yang terjadi saat lahir dan setelah lahir adalah melalui

pencernaan yang menelan darah dari perlukaan jalan lahir. Abortus dan partus

prematurus biasanya terjadi pada wanita yang menderita penyakit hepatitis berat.

Apabila partus berlangsung spontan, maka kelahiran pervaginam dapat diharapkan,

kecuali ada indikasi lain untuk seksio sesaria (Wiknjosastro, 2005: 560).

g) Pneumonia

Penyakit pneumonia yang terjadi saat persalinan perlu pertolongan yang tepat

dengan mempercepat persalinan kala II. Keadaan ini sering dijumpai pada persalinan

terlantar sehingga membahayakan jiwa janin maupun ibunya. Dalam mengahadapi

keadaan penyakit pneumonia pada saat persalinan, bidan sebaiknya merujuk penderita

sehingga mendapat pertolongan yang cepat dan tepat di tempat dengan fasilitas yang

cukup (Manuaba, 2012: 337).

h) Gonorrhea

Dapat terjadi abortus spontan, berat badan lahir sangat rendah, ketuban pecah dini,

korioamnionitis, persalinan prematur (Fraser & Cooper, 2009: 371). Bayi yang

dilahirkan dari ibu penderita gonorrhoe dapat menderita konjungtivitis, gonorrhoe

neonatorum atau disebut juga blenore neonatorum (Wiknjosastro, 2005: 407)

i) Diabetes melitus
Pengaruh diabetes dalam persalinan antara lain inertia uteri dan atonia uteri, distosia

bahu karena anak besar, kelahiran mati, lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan

termasuk sectio sesarea, lebih mudah terjadi infeksi, angka kematian maternal lebih

tinggi (Winkjosastro, 2005: 521).

j) HIV- AIDS

Ibu yang terinfeksi HIV dianjurkan untuk tidak menyusui bayinya karena dapat

meningkatkan risiko penularan vertikal dua kali lebih besar. Waspada jangan sampai

terluka saat memberikan pertolongan persalinan, semua perlukaan kulit baru harus

terlindung dari cairan tubuh pengidap, bayi segera dilakukan isolasi sehingga tidak

menjadi sumber infeksi lainnya. Ruangan pertolongan harus terisolasi dengan baik

sehingga semua alat dan bahan dapat diisolasi dan dimusnahkan. Setelah memberikan

pertolongan penolong harus segera mencuci diri dan membilasnya dengan bahan

antiseptik. Virus HIV tidak tahan dengan kekeringan atau sabun (Manuaba, 2010: 343).

4) Riwayat kesehatan keluarga

Bila keluarga salah satu keluarga ada yang menderita beberapa penyakit dibawah ini,

maka ibu bersalin tersebut dapat mempunyai resiko yang mempengaruhi persalinannya.

(a) Pengaruh diabetes dalam persalinan antara lain: inertia uteri dan atonia uteri, distosia

bahu karena anak besar, kelahiran mati, lebih sering pengakhiran partus dengan

tindakan termasuk sectio caesarea, lebih mudah terjadi infeksi, angka kematian

maternal lebih tinggi (Wiknjosastro, 2006: 521).

(b) Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya

serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen atau hipoksia. Keadaan

hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi
keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan

(gangguan pertumbuhan janin) (Wiknjosastro, 2006: 490).

(c) Kehamilan dan persalinan membawa resiko bagi janin. Bahaya bagi ibu tidak sebegitu

besar, tetapi wanita dengan kehamilan kembar memerlukan pengawasan dan perhatian

khusus bila diinginkan hasil yang memuaskan bagi ibu dan janin (Wiknjosastro, 2006:

386).

5) Riwayat kebidanan

a) Haid

Pada ibu bersalin perlu diketahui HPHT untuk menentukan usia kehamilan, usia

persalinan normal 37-40 minggu (Varney, 2007: 512). Data yang harus ditanyakan

tentang haid meliputi siklusnya, nyeri haid, dan kapan haid terakhirnya yang akurat

membantu penetapan tanggal perkiraan kelahiran. Penetapan tanggal perkiraan kelahiran

dengan menggunakan rumus Neagle h+7 b-3 th+1 untuk siklus 28 hari, sedangkan untuk

siklus 35 hari dengan menggunakan rumus h+14 b-3 th+1 (Marmi, 2011: 157).

b) Kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu

Informasi esensial tentang kehamilan terdahulu mencakup bulan dan tahun

kehamilan berakhir, usia gestasi pada saat itu, tipe persalinan (spontan, forsep, ekstraksi

vakum, atau bedah sesar), lama persalinan (lebih baik dihitung dari kontraksi pertama),

berat lahir, jenis kelamin, dan komplikasi lain, kesehatan fisik dan emosi terakhir harus

diperhatikan (Romauli, 2011: 165).

Usia gestasi saat bayi yang terdahulu lahir harus diketahui karena kelahiran preterm

cenderung terjadi lagi dan karena beberapa wanita mengalami kesulitan

mengembangkan ikatan dengan bayi yang dihospitalisasi dalam waktu yang lama
(Romauli, 2011: 165). Aborsi spontan berulang dapat mengindikasikan adanya kondisi,

seperti abnormalitas genetik, ketidakseimbangan hormon, atau inkompetensi seviks

(Fraser, 2009: 252).

Tipe kelahiran perlu dicatat kelahiran terdahulu apakah pervaginam, melalui bedah

sesar, dibantu forsep atau vakum. Jika wanita pada kelahiran terdahulu menjalani bedah

sesar, untuk kelahiran saat ini ia mungkin melahirkan pervaginam. Keputusan ini di

uterus, kemampuan unit persalinan di rumah sakit untuk berespon segera bila rupture

uteri terjadi, dan keinginan calon ibu. Jika insisi uterus ada dibagian bawah dan

melintang, bukan vertikal maka bayi diupayakan untuk dikeluarkan pervaginam

(Romauli, 2011: 165).

Lama persalinan merupakan faktor yang penting karena persalinan yang lama juga

mencerminkan suatu masalah dapat berulang. Kemungkinan ini semakin kuat jika

persalinan yang lama merupakan pola yang berulang pada persalinan berikutnya

(Romauli, 2011: 165-166).

Berat lahir sangat penting untuk mengidentifikasi apakah bayi kecil untuk masa

kehamilan (BKMK) atau bayi besar untuk masa kehamilan (BBMK), suatu kondisi yang

biasanya berulang, apabila persalinan pervaginam, berat lahir mencerminkan bahwa

bayi dengan ukuran tertentu berhasil memotong pelvis maternal (Romauli, 2011: 166).

Wanita yang mempunyai riwayat melahirkan bayi kecil cenderung memiliki bayi yang

kecil juga pada kehamilan berikutnya (Varney, 2008: 692).

Menurut Manuaba (2012: 399, 243), persalinan dahulu perlu dikaji riwayat

perdarahan postpartum dan retensio plasenta (plasenta tidak lahir setengah jam seletah

bayi lahir) karena kejadian tersebut kemungkinan dapat berulang pada persalinan yang
akan datang. Faktor risiko yang perlu diperhatikan terhadap riwayat persalinan dengan

BBLR, persalinan lahir mati, persalinan dengan induksi, persalinan dengan plasenta

manual, persalinan dengan perdarahan post partum, persalinan dengan tindakan

ekstraksi forceps, ekstraksi versi, operasi sesar. Pada ibu yang saat persalinan anak

pertama dengan sesar karena Cephalo Pelvic Disporpotion (CPD), kemungkinan untuk

persalinan berikutnya juga sesar.

c) Riwayat kehamilan

Riwayat yang perlu dikaji adalah usia ibu, hari pertama haid terakhir, siklus haid,

perdarahan pervaginam, keputihan, mual muntah (hiperemesis), masalah atau kelainan

pada kehamilan sekarang dan riwayat pemakaian obat-obatan termasuk jamu-jamuan

(Saifuddin, 2009: 91-92).

d) Riwayat persalinan sekarang

Kala I adalah kala pembukaan yang berlangsung antara pembukaan nol sampai

pembukaan lengkap. Pada permulaan his, kala pembukaan tidak begitu kuat sehingga ibu

masih dapat berjalan-jalan. Lamanya kala I untuk primigravida berlangsung 12 jam,

sedangkan multigravida 8 jam. Gejala utama kala II adalah his semakin kuat, dengan

interval 2-3 menit, dengan durasi 50 sampai 100 detik. Menjelang akhir kala I, ketuban

pecah dan ditandai dengan pengeluaran cairan secara mendadak. Ketuban pecah pada

pembukaan mendekati lengkap diikuti keinginan mengejan. Lama kala II untuk

primigravida 50 menit dan multigravida 30 menit. Setelah kala II, kontraksi uterus

berhenti sekitar 5-10 menit. Lama kala III untuk primi maupun multigravida adalah 10

menit. Kala IV dimaksudkan untuk mengobservasi perdarahan paska partum pada 2 jam
pertama. Perdarahan dianggap masih normal bila jumlahnya tidak melebihi 400 sampai

500 cc (Manuaba, 2012: 173-175).

e) Riwayat KB

Menurut Romauli (2011: 170) perencanaan pemakaian alat kontrasepsi lebih awal dapat

membantu klien memilih kondisi dan keinginan pasien.

6) Pola kehidupan sehari-hari

a. Nutrisi

Kalori yang dibutuhkan saat persalinan sekitar 285- 300 kkal setara dengan sandwich

isi daging, sosis atau telur dadar ditambah dengan ½ lembar keju dan sayuran segar

(Fraser & Cooper, 2009: 483). Makanan ringan dan asupan cairan yang cukup selama

persalinan akan memberi lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi. Dehidrasi bisa

memperlambat kontraksi atau membuat kontraksi menjadi tidak teratur dan kurang efektif

(Wiknjosastro, 2008: 53).

Sebagian ibu masih ingin makan selama fase laten persalinan tetapi setelah

memasuki fase aktif, mereka hanya ingin mengkonsumsi cairan saja (Wiknjosastro,

2008: 55). Makanan padat tidak boleh diberikan selama persalinan aktif, karena

makanan ini akan lebih lama tinggal dalam lambung ketimbang cairan diakibatkan

pencernaan menjadi sangat lambat selama persalinan (Manuaba, 2010: 156).

b. Eliminasi

Saat janin mulai turun ke pelvis, kandung kemih rentan terhadap kerusakan akibat

tekanan kepala. Dasar kandung kemih dapat terkompresi diantara gelang pelvik dan

kepala janin. Risiko trauma semakin besar jika kandung kemih mengalami distensi. Ibu
harus dianjurkan untuk berkemih diawal kala II (Fraser & Cooper, 2009: 485). Anjurkan

ibu untuk mengosongkan kandung kemih secara rutin selama persalinan, ibu harus

berkemih sedikitnya setiap 2 jam, atau lebih sering jika ibu merasa ingin berkemih atau

jika kandung kemih terasa penuh. Periksa kandung kemih sebelum memeriksa denyut

jantung janin (Wiknjosastro, 2008: 53). Anjurkan ibu untuk buang air besar jika perlu.

Jika ibu ingin buang besar saat fase aktif, lakukan periksa dalam untuk memastikan

bahwa apa yang dirasakan ibu bukan disebabkan oleh tekanan bayi pada rektum

(Wiknjosastro, 2008: 54).

c. Aktivitas

Ibu yang menggunakan posisi tegak selama persalinan akan mengalami nyeri yang

lebih ringan dan lebih sedikit menderita trauma perineal. Posisi lateral dan posterior

bagian presentasi dapat berkaitan dengan persalinan yang nyeri, lama, atau terobstruksi,

serta kelahiran yang sulit (Fraser & Cooper, 2009: 450). Menganjurkan ibu untuk

mencoba posisi-posisi yang nyaman selama persalinan dan melahirkan bayi serta

menganjurkan suami dan pendamping lainnya untuk membantu ibu berganti posisi. Ibu

boleh berjalan, berdiri atau jongkok, berbaring miring atau merangkak. Posisi tegak

seperti berjalan, berdiri atau jongkok dapat membantu turunnya kepala bayi dan

seringkali memperpendek waktu persalinan. Membantu ibu untuk sering berganti posisi

selama persalinan (Wiknjosastro, 2008: 55).

Pijat perineum juga bisa dilaksanakan untuk persiapan persalinan. Pijat perineum

adalah teknik pemijatan, pengurutan dan penepukan yang dilakukan secara sistematik

pada perineum yang membantu untuk meregangkan kulit dan jaringan di sekitar vagina
dan perineum secara perlahan dan lembut. Metode ini merupakan cara mempersiapkan

jaringan perineum untuk proses kelahiran (Irianti, Halida dkk, 2014: 323).

d. Personal hygiene

Pencukuran perianal rutin tidak dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Riset

menunjukkan bahwa pencukuran perianal tidak perlu dilakukan dan tidak meningkatkan

angka terjadinya infeksi. Bagi ibu yang sedang berada pada proses persalinan normal,

mandi air hangat (birthing pool) dapat menjadi pereda nyeri efektif yang dapat

meningkatkan mobilitas tanpa peningkatan efek samping bagi ibu atau bayinya (Fraser

& Cooper, 2009: 442). Mandi dapat merangsang sirkulasi, menyegarkan dan

menghilangkan kotoran tubuh. Perawatan gigi dilakukan lebih awal untuk mencegah

karies. Pakaian disesuaikan dengan perubahan cuaca, longgar sehingga tidak

menyebabkan sesak. Perawatan payudara selama hamil dipersiapkan untuk fungsi

uniknya dalam menghasilkan ASI bagi bayi yang menetek segera setelah lahir

(Manuaba, 2010: 83). Vulva merupakan bagian dari jalan lahir yang akan terbuka untuk

melahirkan anak, sehingga akan terjadi hubungan bagian dalam dan luar kandungan.

Jadi, kegunaan utama pembersihan vulva adalah untuk pencegahan infeksi (Manuaba,

2010: 92-94).

e. Istirahat

Umumnya wanita lebih suka berbaring karena sakit ketika ada his (Wiknjosastro,

2005: 192). Keletihan dan penurunan fisik pada wanita dipengaruhi oleh tingkat

keletihannya saat memasuki persalinan, perawatan hidrasi selama persalinan, lama

persalinan, dan kemampuan menghadapi tuntutan kondisi dan situasi yang terjadi.

Kehilangan kemampuan koping dapat meningkatkan keletihan dan keletihan dapat


menurunkan kemampuan koping wanita, atau semakin lama persalinan, wanita

merasakan keletihan yang lebih besar, sebaliknya keletihan juga dapat mengakibatkan

persalinan berlangsung lama (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 709).

f. Riwayat ketergantungan

Wanita yang banyak merokok dapat melahirkan anak yang lebih kecil dan mengalami

partus prematurus. Ketergantungan pada obat tertentu dapat menyebabkan his sehingga

menyebabkan partus prematurus (Winkjosastro, 2005: 162). Kopi mengandung kafein

yang dapat menyebabkan bayi lahir prematur, BBLR (Kusyanti dkk, 2012: 99).

g. Latar belakang sosial budaya

Kebiasaan yang lazim dilakukan namun tidak menolong atau bahkan dapat

membahayakan menurut Saifuddin (2006:110) yaitu berupa memisahkan ibu dengan

orang-orang yang berarti dan pemberi dukungan, mendorong abdomen, tidak

memberikan makanan dan minuman, mengedan sebelum pembukaan serviks lengkap.

Menurut Tino (2009: 31), minum air rumput fatimah saat melahirkan diperbolehkan,

asal pembukaan 3-5 cm, kepala sudah masuk panggul, servik lembek, dan posisi UUK

(ubun-ubun kecil) normal.

h. Riwayat psikososial

Menurut Fraser & Cooper (2009: 453) sebagian ibu mungkin memandang kontraksi

yang dialami sebagai kekuatan positif yang memotivasi dan memberikan kehidupan.

Sebagian lain mungkin merasakan kontraksi ini sebagai rasa nyeri dan melawan

kontraksi tersebut. Seorang ibu dapat menyambut peristiwa ini dengan perasaan senang

karena sebentar lagi ia akan melihat bayinya, ibu yang lain mungkin merasa gembira
karena pada akhirnya kehamilannya ini akan berakhir dan ia mengalami berbagai

kesukaran. Ibu dapat merasa cemas membayangkan bahwa melahirkan seorang anak

akan terasa sangat sakit dan khawatir tentang kemampuaannya mengendalikan rasa

nyeri. Sejalan dengan kemajuan persalinan, ibu dapat merasa kurang percaya diri

terhadap kemampuan kopingnya menghadapi sifat kontraksi yang kuat yang

mengendalikan tubuhnya.

b. Data Obyektif

1) Pemeriksaan Umum

a) Keadaan umum

Keadaan umum baik, kesadaran komposmetis, postur tubuh, pada saat ini diperhatikan

bagaimana sikap tubuh, keadaan punggung, dan cara berjalan (cenderung membungkuk,

terdapat lordosis, kifosis, skoliosis, atau berjalan pincang) (Romauli, 2011: 172).

b) Tanda-tanda vital

(1) Tekanan darah

Tekanan darah meningkat selama kontraksi disertai peningkatan sistolik rata-rata 15

(10-20) mmHg dan diastolik rata-rata 5-10 mmHg. Pada waktu-waktu diawal

kontraksi tekanan darah kembali ketingkat sebelum persalinan. Dengan mengubah

posisi tubuh dari telentang ke posisi miring, perubahan tekanan darah selama kontraksi

dapat dihindari (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 686). Tekanan darah diukur tiap 2-4

jam sekali, kecuali jika tidak normal. Tekanan darah juga harus dipantau dengan sangat

cermat setelah anestetik epidural atau spinal. Hipotensi dapat terjadi akibat posisi

telentang, syok, atau anestesi epidural. Pada ibu pre-eklamsi atau hipertensi esensial
selama kehamilan, persalinan lebih meningkatkan tekanan darah (Fraser & Cooper,

2009: 453).

(2) Nadi

Perubahan yang mencolok selama kontraksi disertai peningkatan selama fase

peningkatan, penurunan selama titik puncak sampai frekuensi diantara kontraksi dan

peningkatan selama fase penurunan hingga mencapai frekuensi lazim diantara

kontraksi. Penurunan yang mencolok selama puncak kontraksi uterus tidak terjadi jika

wanita berada pada posisi miring, bukan terlentang (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007:

687). Frekuensi nadi merupakan indikator yang baik dari kondisi fisik umum ibu. Jika

frekuensi nadi meningkat lebih dari 100 denyut per menit, hal tersebut dapat

mengindikasikan adanya ansietas, nyeri, infeksi, ketosis, atau perdarahan. Frekuensi

nadi biasanya dihitung setiap 1-2 jam selama awal persalinan dan setiap 30 menit jika

persalinan lebih cepat (Fraser & Cooper, 2009: 453).

(3) Suhu

Suhu sedikit meningkat selama persalinan, tertinggi selama dan segera setelah

melahirkan. Dianggap normal adalah peningkatan suhu yang tidak lebih dari 0,5

sampai 10 C yang mencerminkan peningkatan metabolisme selama persalinan.

Peningkatan suhu sedikit adalah normal. Namun bila persalinan berlangsung lebih

lama, peningkatan suhu dapat mengindikasikan dehidrasi dan parameter lain harus di

cek. Pada kasus ketuban pecah dini, peningkatan suhu dapat mengindikasikan infeksi

dan tidak dapat dianggap normal pada kondisi ini (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007:
687). Suhu tubuh harus tetap berada dalam rentang normal. Pireksi merupakan indikasi

terjadinya infeksi atau ketosis, atau dapat juga berkaitan dengan analgesia epidural.

Pada persalinan normal, suhu tubuh maternal harus diukur sedikitnya setiap 4 jam

(Fraser & Cooper, 2009: 453).

(4) Pernapasan

Sedikit peningkatan frekuensi pernapasan masih normal selama persalinan, dan

mencerminkan peningkatan metabolisme yang terjadi (Varney, Kriebs, & Gegor,

2007: 687). Ibu yang akan bersalin sering kali bernafas dengan sangat cepat pada

puncak kontraksi, bernafas dengan cepat atau menahan nafas merupakan tanda-tanda

kepanikan (Fraser & Cooper, 2009: 453).

2) Pemeriksaan fisik

a) Muka

Pada wajah perlu dilakukan pemerikssaan edema yang merupakan tanda klasik

preeklampsia (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 693). Saat menjelang persalinan, ibu akan

nampak gelisah ketakutan dan menahan rasa sakit akibat his (Saifuddin, 2006: N-8).

Kondisi umum selama kala II persalinan akan bergantung pada kondisi umumnya di akhir

kala I persalinan. Jika wanita memasuki tahap kedua persalinan sudah kehabisan tenaga,

ia akan mengalami kesulitan mengerahkan tenaga yang diperlukan untuk mendorong,

terutama jika ia primigravida (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 760).

b) Mata

Bentuk simetris, konjungtiva normal warna merah muda, bila pucat menandakan

anemia. Sklera normal berwarna putih, bila kuning menandakan ibu mungkin terinfeksi
hepatitis, bila merah kemungkinan ada konjungtivitis. Kelopak mata yang bengkak

kemungkinan adanya preeklamsia (Romauli, 2011: 174).

c) Mulut dan gigi

Wanita yang bersalin biasanya mengeluarkan bau napas yang tidak sedap, mulut kering,

bibir kering atau pecah-pecah, tenggorokan nyeri dan gigi berjigong, terutama jika ia

bersalin selama berjam-jam tanpa mendapat cairan oral dan perawatan mulut (Varney,

Kriebs, & Gegor, 2007: 719).

d) Leher

Kelenjar tyroid akan mengalami pembesaran hingga 15,0 ml pada saat persalinan akibat

dari hiperplasia kelenjar dan peningkatan vaskularisasi (Saifuddin, 2009: 186). Kelenjar

limfe yang membengkak merupakan salah satu gejala klinis infeksi toksoplasmosis pada

ibu hamil, pengaruhnya terhadap kehamilan dapat menimbulkan keguguran, persalinan

prematuritas dan cacat bawaan (Manuaba, 2012: 340). Adanya bendungan vena

kemungkinan gangguan aliran darah akibat penyakit jantung atau aneurisma vena

(Manuaba, 2007: 162). Bila terdapat penyakit jantung pada persalinan, maka hipotensi

maternal dan bradikardi janin akan meningkat (Fraser & Cooper, 2009: 321).

e) Payudara

Menjelang persalinan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kondisi puting ibu

misalnya kolostrum kering atau berkerak, muara duktus yang tersumbat kemajuan dalam

mengeluarkan puting yang rata atau inversi pada wanita yang merencanakan untuk

menyusui (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 1051).

f) Abdomen
Saat kontraksi uterus dimulai nyeri tidak akan terjadi selama beberapa detik dan akan

hilang kembali di akhir kontraksi. Ketika meraba adanya kontraksi, bidan akan

mengetahui dimulainya kontraksi sebelum ibu merasakannya. Pengetahuan ini dapat

digunakan saat memberikan analgesia inhalasi atau menggunakan menggunakan

mekanisme koping lainnya. Uterus harus selalu terasa lebih keras setiap kontraksi.

Kontraksi yang terlalu lama, atau sangat kuat dan urutannya singkat akan menimbulkan

masalah seperti hipoksia janin. Hiperstimulasi harus dipertimbangkan jika oksitosin

diberikan melalui infus. Infus harus dihentikan jika kondisi janin memburuk atau terjadi

hiperstimulasi. Selama kala 1 persalinan penurunan hampir selalu dapat diraba dengan

palpasi abdomen. Biasanya digambarkan dengan istilah 1/5 kepala, yang masih dapat

dipalpasi di atas gelang pelvis. Pada wanita primipara, kepala janin biasanya mengalami

engagement sebelum persalinan dimulai. Jika tidak demikian, tinggi kepala harus

diperkirakan dengan sering melalui palpasi abdomen untuk mengobservasi apakah kepala

janin dapat akan dapat melewati gelang pelvis dengan bantuan kontraksi yang baik

(Fraser dan Cooper, 2009: 453-454).

Pada ibu bersalin perlu dilakukan pemeriksaan TFU, yaitu pada saat tidak sedang

kontraksi dengan menggunakan pita ukur. Kontraksi uterus perlu dipantau mengenai

jumlah kontraksi selama 10 menit, dan lama kontraksi. Pemeriksaan DJJ dilakukan

selama atau sebelum puncak kontraksi pada lebih dari satu kontraksi. Presentasi janin,

dan penurunan bagian terendah janin juga perlu dilakukan pemeriksaan. Sebelum

melakukan pemeriksaan abdomen, anjurkan ibu untuk mengosongkan kandung kemih

(Wiknjosastro, 2008: 40–42). Perlu dikaji juga mengenai luka bekas operasi SC sebagai

informasi tambahan untuk melakukan tindakan selanjutnya (Saifuddin, 2006: 106). Rujuk
ibu segera apabila mempunyai riwayat bedah sesar (Wiknjosastro, 2008: 52). Kandung

kemih harus sering diperiksa setiap 2 jam untuk mengetahui adanya distensi juga harus

dikosongkan untuk mencegah obstruksi persalinan akibat kandung kemih yang penuh,

yang akan mencegah penurunan bagian presentasi janin dan trauma pada kandung kemih

akibat penekanan yang lama yang akan menyebabkan hipotonia kandung kemih dan

retensi urine selama periode pascapartum awal (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 687).

Perlu dikaji juga jaringan parut pada abdomen untuk memastikan integritas uterus

(Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 693).

g) Genetalia

Tanda-tanda inpartu pada vagina terdapat pengeluaran pervaginam berupa blood slym,

tekanan pada anus, perineum menonjol, vulva membuka sebagai tanda gejala kala II

(Manuaba, 2012: 184). Pada genetalia dilakukan pemeriksaan adanya luka atau massa

termasuk kondiloma, varikositas vulva atau rectum, adanya perdarahan pervaginam,

cairan ketuban, dan adanya luka parut di vagina. Luka parut di vagina mengindikasikan

adanya riwayat robekan perineum atau tindakan episiotomi sebelumnya (Wiknjosastro,

2008: 44). Bila terdapat luka primer didaerah genetalia, lues sekunder kadang-kadang

timbul kondiloma matalata menandakan infeksi sifilis (Sofian, 2012: 132). Seorang ibu

yang terkena infeksi sifilis jika melahirkan pervaginam akan menyebabkan bayinya

terkena Lues Kongenital (Manuaba, 2012: 338).

h) Anus
Anus mulai membuka. Tanda ini akan tampak bila betul-betul kepala sudah di dasar

panggul dan mulai membuka pintu (Wiknjosastro, 2005: 45). Kemajuan kepala janin

menjelang persalinan akan menyebabkan penonjolan pada rektum, pada hemoroid dengan

ukuran besar, apalagi sampai tidak dapat dimasukkan ke dalam anus, kemungkinan akan

mengganggu jalannya kelahiran karena letak vagina dengan rektum sangat berdekatan.

Varises dapat pecah dan menyebabkan perdarahan, selain itu juga akan terasa sakit yang

sangat saat ibu mengejan (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 753).

i) Ekstremitas

Terutama pemeriksaan reflek lutut. Reflek lutut negatif pada hipovitaminose dan

penyakit urat syaraf (Marmi, 2012: 163). Edema ekstremitas merupakan tanda klasik pre

eklampsia, bidan harus memeriksa dan mengevaluasi pada pergelangan kaki, area

pretibia, atau jari. Edema pada kaki dan pergelangan kaki biasanya merupakan edeme

dependen yang disebabkan oleh penurunan aliran darah vena akibat uterus yang

membesar (Varney, Kriebs, & Gegor, 2007: 693).

3) Pemeriksaan khusus

a) Palpasi

Palpasi adalah perabaan untuk menentukan seberapa besar bagian kepala janin yang

terpalpasi di atas pintu panggul untuk menentukan seberapa jauh terjadinya engagement,

mengidentifikasi punggung janin untuk menentukan posisi, menentukan letak bokong dan

kepala serta presentasi janin (Fraser & Cooper, 2009: 259-261). Menurut Manuaba

(2012: 123-131) pada palpasi pemeriksa dapat menentukan situs (letak), habitus (sikap),

posisi dan presentasi.


Osborn test dilakukan usia kehamilan 36 minggu pada primigravida kepala belum

masuk PAP untuk mengetahui adanya CPD atau tidak (Wiknjosastro, 2005: 641).

b) TFU

Mengukur tinggi fundus uteri dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan menggunakan

cm (rumus Mc. Donald) dan dengan menggunakan jari (Leopold).

(1) Menurut Mc. Donald

Menurut Mc. Donald pemeriksaan tinggi fundus uteri dapat dilakukan dengan

menggunakan pita pengukur, dengan cara memegang tanda-nol pita pengukur pada

aspek superior simpisis pubis dan menarik pita pengukur secara longitudinal sepanjang

aspek tengah uterus ke ujung atas fundus, sehingga dapat ditentukan tinggi fundus uteri

dalam cm. Tinggi Fundus Uteri yang diukur dengan leopold I menggunakan jari dapat

dilihat pada tabel 2.10:

Tabel 2.10
Usia kehamilan dalam minggu

Usia kehamilan Perkiraan tinggi fundus (cm)


(minggu)
28 28 cm ± 2 cm
32 32 cm ± 2 cm
36 36 cm ± 2 cm
Sumber : Sulistyawati, Ari. 2009: 198.

(2) Menggunakan Leopold

Untuk mengetahui tinggi fundus uteri dapat dengan menggunakan Leopold 1 atau

menggunakan jari tangan sebagai patokan pada trimester III yaitu pusat, procesus
xipoideus, dan arcus coste. Tinggi Fundus Uteri yang diukur dengan leopold I

menggunakan jari dapat dilihat pada tabel 2.11.

Tabel 2.11
Usia kehamilan berdasarkan tinggi fundus uteri

Usia Tinggi fundus uteri


kehamilan
28 minggu 1/3 di atas pusat
34 minggu ½ pusat-prosesus xifoideus
36 minggu Setinggi arcus kostae
40 minggu Dua jari (4cm) di bawah
prosesus xifoideus
Sumber: Manuaba, Ida Bagus Gde. 2012. Ilmu kebidanan, Penyakit kandungan dan KB. Jakarta.
halaman 100.

Bila setelah diukur diketahui TFU 40 cm atau lebih segera rujuk (Winkjosastro, 2008: 52).

c) Tafsiran Berat Janin (TBJ)

TBJ dilakukan untuk menafsirkan berat janin. Menurut Jannah (2012: 85) untuk

mengukur TBJ dalam gram, perlu diketahui kepala sudah masuk pintu atas panggul atau

belum. Rumusnya:

TBJ = (TFU dalam cm - n) x 155 = ......... gram

n : posisi kepala masih di atas spina ischiadika atau bawah. Bila di atas (-12) dan bila di

bawah (-11).

Tabel 2.12
TBJ Normal untuk Usia Kehamilan Trimester III

Usia Kehamilan Berat Badan


(bulan) (gram)
7 1000
8 1800
9 2500
10 3000
Sumber: Manuaba, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB, Jakarta, halaman 89.
d) Penurunan bagian terbawah janin menurut Wiknjosastro (2008: 42,52):

Penurunan kepala janin dilakukan dengan menghitung proporsi bagian yang masih

berada di atas tepi atas simfisis dan dapat diukur dengan lima jari tangan (perlimaan).

Apabila primipara dalam fase aktif kala satu persalinan dan kepala janin masih 5/5 maka

segera rujuk. Berikut ini metode lima jari (perlimaan) menurut Saifuddin (2006: N-10)

dapat dilihat dalam tabel 2.13 dibawah ini:

Tabel 2.13
Penurunan Kepala Janin Menurut Sistem Perlimaan

Periksa Luar Periksa Dalam Keterangan

Kepala diatas PAP, mudah


digerakkan
= 5/5

Sulit digerakkan, bagian


terbesar kepala belum masuk
= 4/5 H I-II panggul

Bagian terbesar kepala


belum masuk panggul
= 3/5 H II-III

Bagian terbesar kepala


sudah masuk panggul
= 2/5 H III+

Kepala didasar panggul


= 1/5 H III-IV

Di perineum

= 0/5 H IV

Sumber : Saifuddin (ed). 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal,
halaman N-10.

e) Auskultasi

Pada saat persalinan, DJJ juga mengalami perubahan. Selama kala I persalinan, DJJ

harus diperiksa segera setelah sebuah kontraksi paling tidak setiap 30 menit dan setiap 15

menit selama kala II (Leveno, 2009: 147–148). Jika DJJ dasar kurang dari 110 denyut per

menit (dpm) kondisi ini disebut bradikardia, jika DJJ dasar lebih dari 160 dpm kondisi ini

disebut takikardia (Varney, 2007: 374). Penilaian denyut jantung janin (DJJ) selama dan

segera setelah kontraksi uterus. Mulai penilaian sebelum atau selama puncak kontraksi.

Dengarkan DJJ selama minimal 60 detik, dengarkan sampai sedikitnya 30 detik setelah

kontraksi berakhir. Lakukan penilaian DJJ tersebut pada lebih dari satu kontraksi.

Gangguan kondisi kesehatan janin dicerminkan dari DJJ yang kurang dari 120 atau lebih

dari 160 kali per menit. Kegawatan janin ditunjukkan dari DJJ yang kurang dari 100 atau

lebih dari 180 kali per menit. Bila demikian, baringkan ibu ke sisi kiri dan anjurkan ibu

untuk relaksasi. Menurut Sastrawinata (1983: 171), pada saat persalinan penting diketahui

sifat denyut jantung janin (cepat, lambat, dan tak teratur).

f) His
Menurut Manuaba (2010: 171-173) His kala II, His semakin kuat dengan interval 2-3

menit, dengan durasi 50-100 detik. Adanya his dalam persalinan dapat dibedakan sebagai

berikut:

(1) Kala I

Pada kala pertama, amplitudo sebesar 40 mmHg, menyebabkan pembukaan serviks,

interval 3 sampai 4 menit dan lamanya berkisar antara 40 sampai 60 detik.

(2) Kala II

Kekuatan His pada akhir kala pertama atau permulaan kala kedua mempunyai

amplitudo 60 mmHg, interval 3 sampai 4 menit, dan durasi berkisar 60 sampai 90

detik.

(3) Kala III

Kekuatan His (kontraksi) rahim pada kala III. Setelah istirahat sekitar 8 sampai 10

menit, rahim berkontraksi untuk melepaskan plasenta dari insersinya.

(4) Kala IV

Setelah plasenta lahir, kontraksi rahim tetap kuat dengan amplitudo sekitar 60 sampai

80 mmHg, kekuatan kontraksi ini tidak diikuti oleh interval pembuluh darah tertutup

rapat dan terjadi kesempatan membentuk trombus. Melalui kontraksi yang kuat dan

pembentukan trombus terjadi penghentian pengeluaran darah postpartum.

g) Pemeriksaan dalam

Pemeriksaan dalam menurut Sofian (2012:77), yaitu pembukaan serviks dalam cm

atau jari; pendataran serviks (effacement) tipis atau tebal; bagian terbawah janin (kepala,
bokong, serta posisinya); turunnya kepala menurut bidang hodge; ketuban sudah pecah

atau belum, menonjol atau tidak. Menurut Cunningham (2005: 339) dengan pemeriksaan

dalam dapat ditentukan yaitu:

(1) Pendataran serviks

Jika panjang serviks berkurang separuh, dikatakan 50 persen mendatar, bila serviks

menjadi setipis segmen uterus bawah di dekatnya, serviks dikatakan telah mendatar

penuh atau 100 persen.

(2) Dilatasi serviks

Dilatasi serviks ditentukan dengan memperkirakan diameter rata-rata bukaan serviks.

Jari pemeriksa disapukan dari tepi serviks di satu sisi ke sisi yang berlawanan, dan

diameter yang dilintasi dinyatakan dalam sentimeter. Serviks dikatakan membuka

penuh bila diameternya 10 cm, karena bagian terbawah ukuran bayi aterm biasanya

dapat melewati serviks yang membuka lebar.

(3) Posisi serviks

Hubungan antara os serviks dengan kepala janin dikategorikan sebagai posterior,

posisi tengah, atau anterior. Posisi posterior mengesankan persalinan preterm.

(4) Station

Ketinggian bagian terbawah janin di jalan lahir digambarkan dalam hubungannya

dengan spina iskhiadika yang terletak di tengah-tengah antara pintu atas panggul dan

pintu bawah panggul. Jadi, saat bagian terbawah turun dari pintu atas panggul menuju

spina iskhiadika, disebut sebagai station -5, -4, -3, -2, -1 lalu 0. Di bawah spina

iskhiadika, bagian terbawah janin melewati station +1, +2, +3, +4 dan +5 untuk lahir.

Station +5 cm setara dengan kepala janin yang terlihat di introitus.


(5) Bidang Hodge

Bidang-bidang Hodge ini merupakan garis khayal dalam panggul untuk menentukan

sampai manakah bagian terendah janin turun dalam panggul saat persalinan

(Saifuddin, 2010:195). Bidang Hodge dibagi menjadi empat, Hodge I dari

promontorium sampai tepi atas simfisis, Hodge II sejajar Hodge I setinggi tepi bawah

simfisis, Hodge III sejajar Hodge I setinggi spina iskiadika, Hodge IV sejajar Hodge

I setinggi ujung os koksigis (Sofian, 2012: 59).

(6) Penyusupan (Molase) Tulang Kepala Janin

Penyusupan adalah indikator penting tentang seberapa jauh kepala bayi dapat

menyesuaikan diri terhadap bagian keras (tulang) panggul ibu. Semakin besar derajat

penyusupan atau tumpang tindih antar tulang kepala semakin menunjukkan risiko

disproporsi kepala-panggul (CPD). Setiap kali melakukan periksa dalam, nilai

penyusupan antar tulang (molase) kepala janin (Wiknjosastro, 2008: 60-61).

(7) Deteksi pecahnya selaput ketuban

Suatu diagnosis pasti pecahnya selaput ketuban dibuat apabila cairan amnion terlihat

berada di forniks posterior atau cairan jernih mengalir dari kanalis servisis. Jika

diagnosis tetap tidak pasti, metode lain yang dapat digunakan adalah pengujian ph

cairan vagina, ph sekret vagina normalnya bekisar antara 4,5 dan 5,5, sementara

cairan amnion biasanya 7,0 sampai 7,5.

Menurut Wiknjosastro (2008: 43-44) yang perlu dilakukan dalam pemeriksaan dalam

adalah :
(1) Memeriksa genetalia eksterna, memperhatikan ada tidaknya luka atau massa

(benjolan) termasuk kodiloma, varikositas vulva atau rektum, atau luka parut di

perineum

(2) Menilai cairan vagina dan menentukan bercak darah, perdarahan pervaginam atau

mekonium :

(a) Jika ada perdarahan pervaginam dilarang melakukan pemeriksaan dalam.

(b) Jika ketuban sudah pecah, perhatikan warna dan bau air ketuban. Melihat

pewarnaan mekonium, kekentalan dan pemeriksaan DJJ. Menurut Wiknjosastro

(2008: 52), bila ketuban pecah disertai dengan mekonium yang kental, ketuban

pecah lama (lebih dari 24 jam) dan ketuban pecah pada persalinan kurang bulan

(usia kehamilan kurang dari 37 minggu) maka segera rujuk.

(c) Jika mekonium encer dan DJJ normal, meneruskan memantau DJJ dengan

seksama menurut petunjuk partograf.

(d) Jika mekonium kental, menilai DJJ dan merujuk.

(e) Jika tercium bau busuk, mungkin telah terjadi tanda infeksi.

(f) Jika ketuban belum pecah jangan melakukan amniotomi.

(3) Adanya luka parut di vagina mengindikasikan adanya riwayat robekan perineum

atau tindakan episiotomi sebelumnya. Hal ini merupakan informasi peting untuk

menentukan tindakan pada saat kelahiran bayi.

(4) Menilai pembukaan dan penipisan serviks.

(5) Memastikan tali pusat dan/ atau bagian-bagian kecil (tangan atau

kaki) tidak teraba pada saat melakukan periksa dalam.

(6) Menilai penurunan bagian terbawah janin dan menentukan bagian


yang masuk ke dalam rongga panggul.

(7) Jika bagian terbawah kepala, memastikan penunjuknya (ubun-ubun

kecil, ubun-ubun besar) dan celah (sutura) sagitalis untuk menilai derajat

penyusupan atau tumpang tindih tulang kepala serta menilai ukuran kepala janin

dengan ukuran jalan lahir apakah sesuai.

h) Pemeriksaan panggul

Menurut Wiknjosastro (2005: 44-45) dalam pemeriksaan panggul yang perlu

diperhatikan adalah bentuk dan ukuran panggul, untuk ukuran perlu diperhatikan hal

berikut:

(1) Bila promontorium teraba pada pemeriksaan dalam, berarti ada kesempitan panggul

(2) Normal linea inominata teraba dalam pemeriksaan dalam, bila teraba sebagian atau

keseluruhan berarti ada kesempitan panggul

(3) Spina ischiadika normal, tidak menonjol ke dalam. Bila menonjol berarti ada

kesempitan panggul

(4) Sudut arcus pubis > 90°, bila kurang berarti ada kesempitan panggul

(5) Keadaan dasar panggul apakah kaku, tebal atau elastis.

i) Pemeriksaan penunjang

(1) Urine

Urine yang dikeluarkan selama persalinan hapus diperiksa untuk adanya glukosa,

keton, dan protein. Keton dapat terjadi akibat kelaparan atau distres maternal jika

semua energi yang ada telah terpakai. Kadar keton yang rendah sering terjadi

selama persalinan dan dianggap tidak signifikan. Kecuali pada ibu non-diabetik

yang baru saja mengkonsumsi karbohidrat atau gula dalam jumlah besar, glukosa
ditemukan dalam urine hanya setelah pemberian glukosa intravena. Jejak protein

bisa jadi merupakan kontaminan setelah ketuban pecah atau tanda infeksi urinaria,

tetapi proteinuria yang lebih signifikan dapat mengindikasikan adanya preeklamsi

(Fraser, 2009: 453).

(2) Darah

Hemoglobin meningkat rata-rata 1.2 gm/100 mL selama persalinan dan kembali ke

kadar sebelum persalinan ada hari pertama pascapartum jika tidak ada kehilangan

darah yang abnormal. Waktu koagulasi darah berkurang dan terdapat peningkatan

fibrinogen plasma lebih lanjut selama persalinan. Hitung sel darah putih secara

progresif meningkat selama kala satu persalinan sebesar kurang lebih 5000 hingga

jumlah rata-rata 15.000 pada saat pembukaan lengkap. Tidak ada peningkatan lebih

lanjut setelah ini. Gula darah menurun selama persalinan, menurun drastis pada

persalinan yang lama dan sulit, kemungkinan besar akibat peningkatan aktivitas

otot uterus dan rangka (Varney, 2007: 686). Pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat

dilakukan dengan menggunakan alat Sahli dan stick.

2. Perumusan Diagnosa Kebidanan dan atau Masalah Kebidanan.

G1/>1P0/> UK 28 - 40 minggu, tunggal, hidup, intrauterin, situs bujur, habitus fleksi, puka/puki,

preskep, HI-IV, kepala masuk PAP/belum, keadaan jalan lahir normal, inpartu kala I fase

laten/aktif (akselerasi/dilatasi maksimal/deselerasi) /kala II/kala III/kala IV KU ibu dan janin

baik, dengan kemungkinan masalah:

Masalah yang terjadi pada kala I:

Menurut Walsh (2007):

a. Nyeri sehubungan dengan adanya kontraksi.


b. Emesis dalam persalinan

Menurut Saifuddin (2009):

a. Kala I memanjang (fase laten dan aktif)

b. Ketuban pecah dini

Kemungkinan masalah yang terjadi pada kala II menurut Saifuddin (2009):

a. Kala II Memanjang

b. Distosia bahu

c. Gawat janin

Kemungkinan masalah yang terjadi pada bayi baru lahir menurut Wiknjosastro (2008) adalah

asfiksia.

Kemungkinan masalah yang terjadi pada kala III menurut Wiknjosastro (2008):

a. Retensio plasenta

b. Avulsi tali pusat

Kemungkinan masalah yang terjadi pada kala IV menurut Wiknjosastro (2008):

a. Atonia uteri

b. Robekan vagina, perineum atau serviks

Prognosa baik.

3. Perencanaan

a. Diagnosa : G1/>1P0/> UK 28 - 40 minggu, tunggal, hidup, intrauterin, situs bujur,

habitus fleksi, puka/puki, preskep, HI-IV, kepala masuk PAP/belum, keadaan jalan lahir

normal, inpartu kala I fase laten/aktif (akselerasi/dilatasi maksimal/deselerasi) /kala II/kala

III/kala IV, KU ibu dan janin baik, Prognosa baik


1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan kebidanan diharapkan tidak terjadi komplikasi

selama persalinan.

2) Kriteria hasil :

a) KU ibu baik, kesadaran composmentis (Manuaba, 2012:114)

b) TTV dalam batas normal, menurut Romauli (2011:173)

T = 90⁄60 - 130⁄90 mmHg N = 60 – 80 x/menit

S = 36 – 37,5° C R = 16 – 24 x/menit

c) Kala I lama persalinan pada primigravida adalah 14-15 jam dan pada multigravida

adalah 11-12 jam (Sofian, 2012: 71).

d) His pada kala I intervalnya 3–4 menit, lama 40–60 detik, his kala II intervalnya 3–

4 menit, lama 60–90 detik, setelah bayi lahir sekitar 8–10 menit kemudian rahim

berkontraksi untuk melepaskan plasenta dari insersinya, setelah plasenta lahir

kontraksi tetap kuat dengan amplitudo 60–80mmHg (Manuaba, 2012: 171).

e) Kala II pada primigravida <2 jam sedangkan pada multigravida <1 jam. Pembukaan

berlangsung normal, yaitu multi 2 cm/jam dan primi 1 cm/jam (Sofian, 2012: 71-

73). Bayi lahir spontan, menangis kuat, gerak aktif dan tonus otot baik

(Wiknjosastro, 2008: 126).

f) Kala III pada primigravida maupun multigravida berkisar antara 5-30 menit.

Plasenta lahir spontan disertai pengeluaran darah 100-200 cc (Sofian, 2012: 73).

g) Kala IV Perdarahan normal (400–500cc) (Manuaba, 2012: 174).

3) Intervensi :

a) Kala I :
(1) Jelaskan pada ibu dan keluarga tentang hasil pemeriksaan meliputi kemajuan

persalinan, keadaan ibu dan janin.

Rasional: Wanita yang menghadapi proses persalinan menginginkan dan

memerlukan informasi tentang kemajuan persalinan mereka (Varney, 2007:

718).

(2) Anjurkan ibu untuk melakukan teknik relaksasi saat ada his dengan mengambil

napas dalam dari hidung dan mengeluarkannya melalui mulut.

(3) Rasional: Teknik relaksasi dapat meningkatkan relaksasi dan berfungsi

membersihkan jalan napas dengan menghilangkan kemungkinan hiperventilasi

selama kontraksi (Varney, 2008: 716).

(4) Observasi kemajuan persalinan ibu sesuai partograf .

Frekuensi Minimal Penilaian dan Intervensi dalam Persalinan Normal dapat

dilihat pada tabel 2.14 berikut ini:

Tabel 2.14
Frekuensi Minimal Penilaian dan Intervensi dalam Persalinan Normal
Parameter Frekuensi pada fase Frekuensi pada fase
laten aktif

Tekanan darah Setiap 4 jam Setiap 4 jam

Suhu badan Setiap 4 jam Setiap 2 jam

Nadi Setiap 30-60 menit Setiap 30-60 menit

Denyut jantung janin Setiap 1 jam Setiap 30 menit

Kontraksi Setiap 1 jam Setiap 30 menit

Pembukaan serviks Setiap 4 jam* Setiap 4 jam*

Penurunan Setiap 4 jam* Setiap 4 jam*

Sumber : Saifuddin, Abdul Bari, 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal, Jakarta, halaman N-9
Rasional: Partograf mencatat hasil observasi dan kemajuan persalinan dengan

menilai pembukaan serviks melalui periksa dalam, mendeteksi secara dini

kemungkinan terjadinya partus lama (Wiknjosastro, 2008: 57).

(5) Anjurkan ibu untuk mendapatkan posisi yang nyaman dalam persalinan,

anjurkan untuk tidak berbaring terlentang.

Rasional: Jika ibu berbaring terlentang maka berat uterus dan isinya (janin,

cairan ketuban, plasenta, dll) menekan vena cava inferior ibu. Hal ini akan

mengurangi pasokan oksigen melalui sirkulasi uteroplasenter sehingga akan

menyebabkan hipoksia pada bayi (Enkin, et al dalam Wiknjosastro, 2008: 87).

(6) Dukung dan anjurkan suami dan anggota keluarga yang lain untuk mendampingi

ibu selama persalinan dan proses kelahiran bayinya (Varney, 2008: 723).

Rasional: Kehadiran orang terdekat merupakan hal terpenting dalam upaya

mendukung dan menyamankan ibu yang tengah bersalin (Varney, 2008: 723).

(7) Beri asupan nutrisi pada ibu dengan memberi ibu makan dan minum.

Rasional: Makanan ringan dan asupan cairan yang cukup selama persalinan akan

memberi lebih banyak energi dan mencegah dehidrasi dan membuat kontraksi

menjadi tidak teratur dan kurang efektif (Wiknjosastro, 2008: 55).

(8) Anjurkan ibu untuk BAB maupun BAK jika terasa.

Rasional: Mencegah obstuksi persalinan, yang akan mencegah penurunan bagian

terendah janin (Varney, 2008: 687).

(9) Jaga privasi ibu dengan menutup pintu, jendela, serta kelambu tempat persalinan.

Rasional: Menjaga privasi dan mencegah pajanan merupakan upaya untuk

menghormati martabat wanita (Varney, 2008: 718).


(10) Jaga kebersihan dan kondisi tetap kering.

Rasional: Kebersihan dan kondisi kering meningkatkan kenyamanan dan

relaksasi serta menurunkan resiko infeksi (Varney, 2008: 719).

(11) Lakukan pemeriksaan dalam setiap 4 jam sekali atau sewaktu-waktu bila ada

indikasi seperti ketuban pecah dan adanya tanda-tanda kala II.

Rasional: Untuk mengetahui kemajuan persalinan dan mengurangi resiko

terjadinya infeksi akibat pemeriksaan dalam.

(12) Gunakan teknik sentuhan fisik.

Rasional: Sentuhan yang diberikan pada wanita (misalnya pada tungkai, kepala,

dan lengan) tanpa ada tujuan lain dapat mengekspresikan kepedulian, memberi

kenyamanan, dan pengertian serta dapat menentramkan, menenangkan,

menghilangkan kesepian, dan sebagainya (Varney, 2008: 722).

(13) Berikan usapan pada punggung maupun abdomen.

Rasional: Usapan pada punggung dengan pemberian tekanan eksternal pada

tulang belakang menghilangkan tekanan internal pada tulang belakang oleh

kepala janin sehingga mengurangi nyeri (Varney, 2008: 720). Usapan pada perut

dapat meningkatkan kenyamanan dan merupakan ekspresi kepedulian terhadap

wanita (Varney, 2008: 721).

b) Kala II

Diagnosa: Masuk Kala II, KU Ibu dan janin baik, Prognosa baik.

1) Dengar dan lihat tanda persalinan kala II

Rasional: Tanda dan gejala kala II merupakan mekanisme alamiah bagi ibu dan penolong

persalinan bahwa proses pengeluaran bayi sudah dimulai (Wiknjosastro, 2008: 82).
2) Pastikan perlengkapan peralatan, bahan dan obat-obatan esensial untuk menolong persalinan

dan menatalaksana komplikasi ibu dan bayi baru lahir.

Rasional: Ketidakmampuan untuk menyediakan semua perlengkapan, bahan-bahan, dan

obat-obat esensial pada saat diperlukan akan meningkatkan risiko terjadinya penyulit pada

ibu dan bayi baru lahir sehingga keadaan ini dapat membahayakan keselamatan jiwa mereka

(Wiknjosastro, 2008: 53).

3) Pakai celemek plastik.

Rasional: Celemek merupakan penghalang atau barier antara penolong dengan bahan-bahan

yang berpotensi untuk menularkan penyakit (Wiknjosastro, 2008: 80).

4) Lepas dan simpan semua perhiasan yang dipakai, cuci tangan dengan sabun dan air bersih

mengalir kemudian keringkan tangan dengan tisu atau handuk pribadi yang bersih dan

kering.

Rasional: Cuci tangan merupakan upaya penting dari pencegahan penyebaran infeksi yang

menyebabkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir (Wiknjosastro, 2008: 18).

5) Pakai sarung tangan DTT pada tangan yang akan digunakan untuk periksa dalam.

Rasional: Penggunaan sarung tangan merupakan tindakan kewaspadaan universal untuk

melindungi dari setiap cairan atau rabas yang mungkin atau patogen yang menular melalui

darah (Varney, Kriebs dan Gegor, 2008: 1117).

6) Masukkan oksitosin ke dalam tabung suntik dengan teknik one hand.

Rasional: Semua perlengkapan dan bahan-bahan dalam partus set harus dalam keadaan

desinfeksi tingkat tinggi (DTT) atau steril (Wiknjosastro, 2008: 80).

7) Bersihkan vulva dan perineum, seka dengan hati-hati dari depan ke belakang dengan

menggunakan kapas atau kassa yang dibasahi air DTT.


Rasional: Air DTT dapat membunuh kuman dan membersihkan dengan teknik dari depan ke

belakang karena pada anus terdapat bakteri E-coli yang dapat masuk ke vagina dan

menyebabkan infeksi (Wiknjosastro, 2008: 82).

8) Lakukan periksa dalam untuk memastikan pembukaan lengkap.

Rasional: Pemeriksaan dalam digunakan untuk menilai pembukaan dan penipisan serviks,

memastikan tali pusat atau bagian kecil (tangan dan kaki) tidak teraba, menilai penurunan

bagian terbawah janin dan tentukan bagian tersebut telah masuk ke dalam rongga panggul,

menilai derajat penyusupan tulang kepala janin (Wiknjosastro, 2008: 46).

9) Dekontaminasi sarung tangan dengan cara mencelupkan tangan yang masih memakai sarung

tangan ke dalam larutan klorin 0,5%, kemudian lepaskan dan rendam dalam keadaan terbalik

dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.

Rasional: Larutan klorin 0,5% dapat membunuh virus hepatitis dan HIV/AIDS, pencegahan

infeksi sangat penting dalam menurunkan kesakitan dan kematian ibu dan bayi baru lahir

(Wiknjosastro, 2008: 82).

10) Periksa DJJ setelah kontraksi/saat relaksasi uterus untuk memastikan bahwa DJJ dalam batas

normal (120–160 x/menit).

Rasional: Gangguan kondisi kesehatan janin dicerminkan dari DJJ yang kurang dari 120

x/mnt dan lebih dari 160x/mnt. Kegawatdaruratan janin ditunukkan dari DJJ kurang dari

100x/mnt dan lebih dari 180x/mnt (Wiknjosastro, 2008: 43).

11) Beritahukan bahwa pembukaan sudah lengkap dan keadaan janin baik dan bantu ibu dalam

menemukan posisi yang nyaman (berbaring, miring, jongkok dan setengah duduk) dan

sesuai dengan keinginannya.


Rasional : Jika ibu berbaring terlentang maka berat uterus dan isinya (janin, cairan ketuban,

plasenta dan lain-lain) menekan vena kava inferior ibu. Hal ini akan mengurangi pasokan

oksigen melalui sirkulasi uteroplasenter sehingga akan menyebabkan hipoksia pada bayi.

Berbaring terlentang juga akan mengganggu kemajuan persalinan dan menyulitkan ibu

untuk meneran secara efektif (Wiknjosastro, 2008: 87).

12) Minta bantuan keluarga untuk menyiapkan posisi meneran.

Rasional: Dukungan psikososial dari keluarga dapat menumbuhkan semangat pada ibu untuk

proses persalinan. Posisi duduk atau setengah duduk dapat memberikan rasa nyaman bagi

ibu dan memberi kemudahan baginya untuk beristirahat di antara kontraksi. Keuntungan dari

kedua posisi ini adalah gaya gravitasi untuk membantu ibu melahirkan bayinya

(Wiknjosastro, 2008: 84).

13) Laksanakan bimbingan meneran pada saat ibu merasa ada dorongan kuat untuk meneran.

Rasional: Meneran secara berlebihan menyebabkan ibu sulit bernapas sehingga terjadi

kelelahan yang tidak perlu dan meningkatkan risiko asfiksia pada bayi sebagai akibat

turunnya pasokan oksigen melalui plasenta (Wiknjosastro, 2008: 81).

14) Anjurkan ibu untuk berjongkok atau mengambil posisi nyaman, jika ibu belum merasa ada

dorongan untuk meneran dalam 60 menit.

Rasional: Posisi jongkok dapat mempersingkat kala II (Wiknjosastro, 2008: 81).

15) Letakkan handuk bersih (untuk mengeringkan bayi) di perut ibu, jika kepala bayi telah

membuka vulva dengan diameter 5–6 cm.

Rasional: Handuk pada perut ibu digunakan untuk persiapan mengeringkan bayi saat bayi

lahir dan mencegah kehilangan panas bayi dengan metode evaporasi (Wiknjosastro, 2008:

89).
16) Letakkan kain bersih yang dilipat 1/3 bagian di bawah bokong ibu.

Rasional: Kain bersih yang dilipat 1/3 bagian di bawah bokong ibu digunakan untuk

melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi secara bertahap dan dapat

mengurangi regangan/robekan berlebihan pada vagina dan perineum (Wiknjosastro, 2008:

89).

17) Buka tutup partus set dan perhatikan kembali kelengkapan alat dan bahan.

Rasional: Ketidaklengkapan alat, bahan-bahan, dan obat-obat esensial pada saat diperlukan

akan meningkatkan risiko terjadinya penyulit pada ibu dan bayi baru lahir sehingga keadaan

ini dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayi (Wiknjosastro, 2008: 53).

18) Pakai sarung tangan DTT pada kedua tangan.

Rasional: Penggunaan sarung tangan merupakan tindakan kewaspadaan universal untuk

melindungi dari setiap cairan atau rabas yang mungkin atau patogen yang menular melalui

darah (Varney, Kriebs dan Gegor, 2008:1117).

19) Setelah tampak kepala bayi dengan diameter 5–6 cm membuka vulva maka lindungi

perineum dengan satu tangan yang dilapisi kain bersih dan kering. Tangan yang lain

menahan kepala bayi untuk menahan posisi defleksi dan membantu lahirnya kepala.

Anjurkan ibu untuk meneran perlahan atau bernapas cepat dan dangkal.

Rasional: Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya bayi secara bertahap dan hati-

hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada vagina dan perineum

(Wiknjosastro, 2008: 89).

20) Periksa kemungkinan adanya lilitan tali pusat dan ambil tindakan yang sesuai jika hal itu

terjadi, dan segera lanjutkan proses kelahiran.


Rasional: Perasat ini dilakukan untuk mengetahui apakah tali pusat berada di sekeliling leher

bayi dan jika memang demikian, untuk menilai seberapa ketat tali pusat tersebut sebagai

dasar untuk memutuskan cara mengatasi situasi tersebut (Varney, Kriebs dan Gegor, 2008:

1146).

21) Tunggu hingga kepala janin selesai melakukan putaran paksi luar secara spontan.

Rasional: Pengamatan yang cermat dapat mencegah setiap gangguan, memberi waktu untuk

bahu berotasi internal ke arah diameter anteroposterior pintu bawah panggul (Varney, Kriebs

dan Gegor, 2008: 1147).

22) Setelah kepala melakukan putaran paksi luar, pegang secara biparietal. Anjurkan ibu untuk

meneran saat kontraksi.

Rasional: Penempatan tangan ini dirancang untuk mencegah memegang bayi di bawah

mandibula atau di sekeliling leher untuk melahirkan bahu dan badan bayi. Kelahiran bahu

dan badan bayi dengan gerakan ke arah atas dan luar secara biparietal merupakan mekanisme

persalinan yang disebut kelahiran bahu dan tubuh dengan fleksi lateral melalui kurva carus

(Varney, Kriebs dan Gegor, 2008: 1153).

23) Setelah bahu lahir, geser tangan bawah untuk kepala dan bahu. Gunakan tangan atas untuk

menelusuri dan memegang lengan dan siku sebelah atas.

Rasional: Tangan ini mutlak penting untuk mengontrol lengan atas, siku, dan tangan bahu

belakang saat bagian-bagian ini dilahirkan karena jika tidak tangan atau siku dapat

menggelincir keluar dan menimbulkan laserasi perineum (Varney, Kriebs dan Gegor 2008:

1148).
24) Setelah tubuh dan lengan lahir, penelusuran tangan atas berlanjut ke punggung, bokong,

tungkai dan kaki. Pegang kedua mata kaki (masukkan telunjuk di antara kaki dan pegang

masing-masing mata kaki dengan ibu jari dan jari-jari lainnya).

Rasional: Tindakan ini memungkinkan Anda menahan bayi sehingga Anda dapat

mengontrol pelahiran badan bayi yang tersisa dan menempatkan bayi aman dalam rengkuhan

tangan Anda tanpa ada kemungkinan tergelincir melewati badan atau tangan atau jari-jari

Anda (Varney, Kriebs dan Gegor 2008: 1148).

25) Lakukan penilaian bayi baru lahir 0 detik tangis dan gerak

Rasional: Penilaian ini menjadi dasar keputusan apakah bayi perlu resusitasi (Wiknjosastro,

2008: 152).

a. Bayi baru lahir

26) Keringkan bayi mulai dari muka, kepala, dan bagian tubuh lainnya kecuali bagian tangan

tanpa membersihkan verniks. Ganti handuk basah dengan handuk/kain yang kering.

Biarkan bayi di atas perut ibu.

Rasional: Hipotermi mudah terjadi pada bayi yang tubuhnya dalam keadaan basah atau

tidak segera dikeringkan dan diselimuti walaupun berada di dalam ruangan yang relatif

hangat, dengan meletakkan bayi di perut ibu akan terjadi pertukaran panas dari kulit ibu

yang hangat ke kulit bayi yang dingin akibat air ketuban (Wiknjosastro, 2008: 127).

Meletakkan bayi di atas abdomen ibu, memungkinkan ibu segera kontak dengan bayinya,

menyebabkan uterus berkontraksi, dan mempertahankan bayi bebas dari cairan yang saat

ini terakumulasi di meja atau tempat tidur di area antara kaki ibu (Varney, Kriebs dan

Gegor, 2008: 1154).


27) Dalam waktu 2 menit setelah bayi lahir, jepit tali pusat dengan klem kira-kira 3 cm dari

pusat bayi. Dorong isi tali pusat ke arah distal (ibu) dan jepit kembali tali pusat pada 2 cm

distal dari klem pertama.

Rasional: Memberi cukup waktu bagi tali pusat mengalirkan darah kaya zat besi kepada

bayi (Wiknjosastro, 2008: 126).

28) Lakukan pemotongan dan pengikatan tali pusat.

Rasional: Memberi cukup waktu bagi tali pusat mengalirkan darah kaya zat besi kepada

bayi (Wiknjosastro, 2008: 126).

29) Letakkan bayi agar ada kontak kulit ibu ke kulit bayi.

Rasional: Meletakkan bayi di atas abdomen ibu memungkinkan ibu segera kontak dengan

bayinya, menyebabkan uterus berkontraksi, dan mempertahankan bayi bebas dari cairan

yang saat ini terakumulasi di meja atau tempat tidur di area antara kaki ibu (Varney, 2008:

1154).

30) Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan pasang topi di kepala bayi.

Rasional: Bagian kepala bayi memiliki luas permukaan yang relatif luas dan bayi akan

dengan cepat kehilangan panas jika bagian tersebut tidak tertutup (Wiknjosastro, 2008:

129).

b. Kala III

31) Periksa kembali uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam uterus (hamil tunggal).

Rasional: Oksitosin menyebabkan uterus berkontraksi yang akan sangat menurunkan

pasokan oksigen pada bayi sehingga terjadi hipoksia. Jangan menekan kuat korpus uteri

karena dapat terjadi kontraksi tetanik yang akan menyulitkan pengeluaran plasenta

(Wiknjosastro, 2008:101).
32) Beritahu ibu bahwa ia akan disuntik oksitosin agar uterus berkontraksi baik (Wiknjosastro,

2008: 101).

33) Dalam waktu 1 menit setelah bayi lahir, suntikkan oksitosin 10 unit intramuskular (IM) di

1/3 paha atas bagian distal lateral (lakukan aspirasi sebelum menyuntikkan oksitosin).

Rasional: Oksitosin merangsang fundus uteri untuk berkontraksi dengan kuat dan efektif

sehingga dapat membantu pelepasan plasenta dan mengurangi kehilangan darah. Aspirasi

sebelum penyuntikan akan mencegah penyuntikan oksitosin ke pembuluh darah

(Wiknjosastro, 2008: 101).

34) Pindahkan klem pada tali pusat hingga berjarak 5–10 cm dari vulva.

Rasional: Memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah avulsi (Wiknjosastro,

2008: 101).

35) Letakkan 1 tangan di atas kain pada perut ibu, di tepi atas simfisis untuk mendeteksi.

Tangan lain menegangkan tali pusat.

Rasional: Tindakan ini dilakukan untuk mendeteksi tanda-tanda pelepasan plasenta

meliputi uterus mengalami perubahan bentuk dan tinggi, fundus berada di atas pusat, dan

tali pusat memanjang (Wiknjosastro, 2008: 100).

36) Setelah uterus berkontraksi, tegangkan tali pusat ke arah bawah sambil tangan yang lain

mendorong uterus ke arah belakang-atas (dorso-kranial) secara hati-hati. Jika plasenta tidak

lahir setelah 30–40 detik, hentikan penegangan tali pusat dan tunggu hingga timbul

kontraksi berikutnya dan ulangi prosedur di atas.

Rasional: Melahirkan plasenta dengan teknik dorso-kranial dapat mencegah terjadinya

inversio uteri (Wiknjosastro, 2008: 102).


37) Lakukan penegangan dan dorongan dorso-kranial hingga plasenta terlepas, minta ibu

meneran sambil penolong menarik tali pusat dengan arah sejajar lantai dan kemudian ke

arah atas, mengikuti poros jalan lahir (tetap lakukan tekanan dorso-kranial).

Rasional: Segera melepaskan plasenta yang telah terpisah dari dinding uterus akan

mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (Wiknjosastro, 2008: 102).

38) Saat plasenta muncul di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan kedua tangan. Pegang

dan putar plasenta hingga selaput ketuban terpilin kemudian lahirkan dan tempatkan

plasenta pada wadah yang telah disediakan.

Rasional: Melahirkan plasenta dan selaputnya dengan hati-hati akan membantu mencegah

tertinggalnya selaput ketuban di jalan lahir (Wiknjosastro, 2008: 103).

39) Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, lakukan masase uterus.

Rasional: Tindakan masase fundus uteri dilakukan agar uterus berkontraksi. Jika uterus

tidak berkontraksi dalam waktu 15 detik, lakukan penatalaksanaan atonia uteri

(Wiknjosastro, 2008: 106).

40) Periksa kedua sisi plasenta baik bagian ibu maupun bayi dan pastikan selaput ketuban

lengkap dan utuh. Masukkan plasenta ke dalam kantong plastik atau tempat khusus.

Rasional: Inspeksi plasenta, selaput ketuban, dan tali pusat bertujuan untuk mendiagnosis

normalitas plasenta, perlekatan, dan tali pusat, untuk skrining kondisi yang tidak normal

dan untuk memastikan apakah plasenta dan membran telah dilahirkan seluruhnya (Varney,

Kriebs dan Gegor, 2008: 1162).

41) Evaluasi kemungkinan laserasi pada vagina dan perineum. Lakukan penjahitan bila laserasi

menyebabkan perdarahan.
Rasional: Penjahitan laserasi untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah

kehilangan darah. Penjahitan digunakan untuk mendekatkan kembali jaringan tubuh dan

mencegah kehilangan darah (Wiknjosastro, 2008: 177). Menurut (Wiknjosastro, 2008:

115) ada beberapa tingkatan derajat laserasi, yaitu :

1. Derajat 1: Laserasi mulai dari mukosa vagina–komisura posterior–kulit perineum.

2. Derajat 2: Laserasi mulai dari mukosa vagina–komisura posterior–kulit perineum–

otot perineum.

3. Derajat 3: Mukosa vagina–komisura posterior–kulit perineum–otot perineum–otot

sfingter ani.

4. Derajat 4: Mukosa vagina–komisura posterior–kulit perineum–otot perineum–otot

sfingter ani–dinding depan rektum.

c. Kala IV

42) Pastikan uterus berkontraksi dengan baik dan tidak terjadi perdarahan pervaginam.

Rasional: Jika uterus tidak berkontraksi dengan segera setelah kelahiran plasenta, maka ibu

dapat mengalami perdarahan sekitar 350–500 cc/menit dari bekas tempat melekatnya

plasenta (Wiknjosastro, 2008: 107).

43) Lakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan biarkan bayi tetap melakukan kontak kulit ke

kulit di dada ibu paling sedikit 1 jam.

Rasional: IMD dan kontak kulit antara ibu dengan bayi akan menstabilkan pernapasan,

mengendalikan temperatur tubuh bayi, menurunkan kejadian ikterus, serta merangsang

produksi oksitosin dan prolaktin pada ibu. Kolostrum adalah imunisasi pertama bagi bayi

(Wiknjosastro, 2008: 131–132).

44) Lakukan pemeriksaan fisik bayi baru lahir.


Rasional: Dari hasil pemeriksaan, bidan memastikan tingkat kesejahteraan bayi baru lahir

dan mengidentifikasi masalah yang mungkin terjadi dan masalah yang sedang terjadi

(Varney, Kriebs dan Gegor, 2008: 915).

45) Setelah 1 jam pemberian vitamin K1, berikan imunisasi Hepatitis B di paha kanan.

Rasional: Vitamin K1 injeksi 1 mg IM untuk mencegah perdarahan bayi

baru lahir akibat defisiensi vitamin K yang dapat dialami oleh sebagian

bayi baru lahir. Imunisasi Hepatitis B bermanfaat untuk mencegah infeksi

Hepatitis B terhadap bayi, terutama jalur penularan ibu ke bayi.

(Wiknjosastro, 2008: 140).

46) Lanjutkan pemantauan kontraksi dan mencegah perdarahan pervaginam.

Rasional: Uterus berkontraksi maka miometrium akan menjepit anyaman pembuluh darah

yang berjalan diantara serabut otot nadi (Wiknjosastro, 2008: 107).

47) Ajarkan ibu/keluarga cara melakukan masase uterus dan menilai kontraksi.

Rasional: Masase fundus merangsang miometrium untuk berkontraksi agar tidak terjadi

perdarahan sehingga jika ibu dan keluarga mengetahui cara melakukan masase uterus dan

memeriksa kontraksi maka ibu dan keluarga mampu untuk segera mengetahui jika uterus

tidak berkontraksi dengan baik (Wiknjosastro, 2008: 107).

48) Evaluasi dan estimasi jumlah kehilangan darah.

Rasional: Memperkirakan kehilangan darah merupakan salah 1 cara untuk menilai kondisi

ibu (Wiknjosastro, 2008: 115).

49) Periksa nadi ibu dan keadaan kandung kemih setiap 15 menit selama 1 jam pertama

pascapersalinan dan setiap 30 menit selama jam kedua pascapersalinan.


Rasional: Kandung kemih yang penuh bisa mengganggu kontraksi uterus dan terjadi

perdarahan pasca persalinan (Wiknjosastro, 2008: 82).

50) Pantau tanda-tanda bahaya pada bayi setiap 15 menit. Pastikan bahwa bayi bernapas dengan

baik (40–60 kali/menit) serta suhu tubuh normal (36,5–37,5 °C).

Rasional: Mekanisme pengaturan temperatur tubuh pada BBL belum berfungsi sempurna.

Oleh karena itu, jika tidak dilakukan upaya pencegahan kehilangan panas tubuh maka bayi

baru lahir dapat mengalami hipotermia (Wiknjosastro, 2008: 127).

51) Tempatkan semua peralatan bekas pakai dalam larutan klorin 0,5% untuk dekontaminasi

(10 menit). Cuci dan bilas peralatan setelah didekontaminasi.

Rasional: Mencuci dan membilas adalah tindakan-tindakan yang dilakukan untuk

menghilangkan semua cemaran darah, cairan tubuh atau benda asing dari kulit atau

instrumen/peralatan (Wiknjosastro, 2008: 17).

52) Buang bahan-bahan yang terkontaminasi ke tempat sampah yang sesuai.

Rasional: Sebagian besar limbah persalinan dan kelahiran bayi adalah sampah

terkontaminasi. Jika tidak dikelola dengan benar, sampah terkontaminasi berpotensi untuk

menginfeksi siapapun yang melakukan kontak atau menangani sampah tersebut termasuk

anggota masyarakat (Wiknjosastro, 2008: 31).

53) Bersihkan ibu dengan menggunakan air DTT. Bersihkan sisa cairan ketuban, lendir, dan

darah. Bantu ibu memakai pakaian yang bersih dan kering.

Rasional: Kebersihan dan kondisi kering meningkatkan kenyamanan dan relaksasi serta

menurunkan risiko infeksi (Varney, Kriebs dan Gegor, 2008: 719).

54) Pastikan ibu merasa nyaman. Bantu ibu memberikan ASI. Anjurkan keluarga untuk

memberi ibu minuman dan makanan yang diinginkannya.


Rasional: Pemberian ASI secara dini bisa merangsang produksi ASI, memperkuat refleks

menghisap bayi. Refleks menghisap awal pada bayi paling kuat dalam beberapa jam

pertama setelah lahir (Wiknjosastro, 2008: 132).

55) Dekontaminasi tempat bersalin dengan larutan klorin 0,5%.

Rasional: Dekontaminasi mengacu pada pencegahan infeksi dengan cara membunuh atau

menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada peralatan atau instrumen (Wiknjosastro,

2008: 17).

56) Celupkan sarung tangan kotor ke dalam larutan klorin 0,5%, balikkan bagian dalam ke luar

dan rendam dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit.

Rasional: Larutan klorin 0,5% cepat mematikan virus (Wiknjosastro, 2008: 24).

57) Cuci kedua tangan dengan sabun dan air mengalir.

Rasional: Karena mikroorganisme dapat bertahan hidup dan berkembang biak dalam

larutan yang tergenang atau dalam wadah (Wiknjosastro, 2008: 19).

58) Lengkapi partograf, periksa TTV, dan asuhan kala IV.

Rasional: Kesakitan dan kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan pasca persalinan

terjadi selama 4 jam pertama setelah kelahiran bayi (Wiknjosastro, 2008: 116).

b. Masalah Kala I :

1) Masalah I : Nyeri sehubungan dengan adanya kontraksi

2) Tujuan : Tidak terjadi krisis situasi

3) Kriteria : Ibu tampak rileks dengan situasi persalinan

4) Intervensi :

Menurut Walsh (2012: 263–267), intervensi untuk masalah nyeri adalah sebagai berikut:

a) Lakukan persiapan melahirkan.


Rasional: Program persiapan melahirkan biasanya menggabungkan berbagai pendekatan

nonfarmakologis untuk peredaan nyeri.

b) Kehadiran fisik.

Rasional: Keterkaitan kehadiran orang lain bahkan orang asing menunjukkan penurunan

lama persalinan dan memperbaiki hasil kelahiran serta memberi penenang pada wanita

yang melahirkan.

c) Ajarkan teknik distraksi dan relaksasi.

Rasional: Ruangan yang tenang, musik yang lembut, suhu yang nyaman, dan posisi ibu

yang nyaman meningkatkan kenyamanan. Ketika dikombinasikan dengan pernafasan

lambat teratur, relaksasi dapat membantu ibu bersalin mengatasi nyeri lebih efektif pada

setiap kontraksi dan istirahat lebih penuh di antara kontraksi.

d) Anjurkan ibu untuk melakukan perubahan posisi.

Rasional: Perubahan posisi memberikan beberapa efek pada ibu bersalin, misalnya pada

posisi merangkak. Posisi ini membantu meredakan sakit punggung, mengurangi tekanan

pada hemoroid atau varises, dan lain-lain.

e) Lakukan massase atau pijatan.

Rasional: Massase dianggap membantu dalam relaksasi dan menurunkan kesadaran nyeri

dengan meningkatkan aliran darah ke area yang sakit, merangsang reseptor sensori di kulit

dan otot di bawahnya dan mengubah suhu kulit.

f) Lakukan kompres panas dan dingin.

Rasional: Penggunaan kompres panas untuk area yang tegang dan nyeri dianggap

meredakan nyeri dengan mengurangi spasme otot yang disebabkan oleh iskemia, yang
merangsang neuron yang memblok transmisi lanjut rangsangan nyeri dan menyebabkan

vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke area tersebut.

Masalah II : Emesis dalam persalinan

1) Tujuan : Setelah diberi asuhan ibu bisa beradaptasi dengan keadaannya (emesis).

2) Kriteria : (a) Tidak terjadi emesis berlebihan

(b) Tidak terjadi dehidrasi

3) Intervensi menurut Walsh (2012:287) adalah:

(a) Menganjurkan ibu untuk makan makanan rendah lemak pada awal persalinan.

Rasional: Makanan yang mengandung lemak dapat merangsang mual dan muntah.

(b) Anjurkan ibu minum minuman berkarbonat.

Rasional: Minuman berkarbonat dapat membantu menurunkan mual selama persalinan.

(c) Mengganti pakaian dan seprai yang kotor akibat muntah.

Rasional: Lingkungan yang bersih dan kering akan meningkatkan kenyamanan bagi ibu

bersalin

(d) Berikan cairan infus bila ada indikasi.

Rasional: Cairan IV akan mencegah dehidrasi dan mungkin akan membuat ibu merasa

lebih baik.

(e) Berikan antiemetik apabila perlu.

Rasional: Obat antiemetik mengantisipasi terjadinya muntah berulang.

Masalah III : Potensial terjadi kala I memanjang (fase laten dan aktif).

1) Tujuan : Kala I segera terlewati ibu dan janin sehat tanpa komplikasi

2) Kriteria :

a. Tidak terjadi infeksi intrapartum (Suhu 36-37oC).


b. Tidak terjadi ruptur uteri

c. Tidak terjadi cincin retraksi patologis

d. Tidak terjadi fistula

e. Tidak terjadi cidera otot-otot dasar panggul

f. DJJ 120–160 x/menit, kuat dan teratur

g. Tidak terjadi kaput suksedaneum dan tidak terjadi molase kepala janin

3) Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 51) adalah sebagai berikut:

a) Segera rujuk ibu ke fasilitas yang memiliki kemampuan penatlaksanaan

gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir.

b) Dampingi ibu ke tempat rujukan.

c) Berikan dukungan dan semangat.

Masalah IV: Potensial terjadi ketuban pecah dini

1) Tujuan : Kala I segera terlewati ibu dan janin sehat tanpa komplikasi

2) Kriteria :

a) Tidak terjadi infeksi maternal maupun neonatal

b) Tidak terjadi hipoksia karena kompresi tali pusat

3) Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 48) adalah sebagai berikut:

a) Pastikan diagnosis (Uji lakmus dan Vagina Toucher)

b) Baringkan ibu miring ke kiri

c) Observasi DJJ

d) Segera rujuk ibu ke fasilitas yang memiliki kemampuan penatalaksanaan lanjut

e) Dampingi ibu ke tempat rujukan dan bawa partus set, kateter, penghisap lendir

Delee dan handuk atau kain.


c. Masalah Kala II

Masalah I : Potensial kala II memanjang

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan diharapkan bayi segera lahir

2) Kriteria : Bayi lahir spontan

3) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 49) antara lain :

a) Segera rujuk ibu ke fasilitas yang memiliki kemampuan penatalaksanaan

gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir.

Rasional: Rujukan segera mengurangi risiko kematian dan kesakitan ibu dan bayi.

b) Dampingi ibu ke tempat rujukan dan berikan dukungan serta semangat.

Rasional: Dukungan memberikan keyakinan pada ibu bahwa persalinanya bisa

berlangsung aman dan lancer

Masalah II : Potensial terjadi distosia bahu

2) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan bahu dapat lahir tanpa terjadi fraktur

3) Kriteria : Bahu dapat lahir

4) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 95), adalah dengan melakukan tindakan dan

upaya lanjut seperti perasat Mc Robert, Prone Mc Robert (menungging), Anterior

dysimpact, Perasat Cork-screw dari Wood dan Perasat Schwartz-Dixon.

Masalah III: Potensial terjadi gawat janin

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan gawat janin dapat teratasi

2) Kriteria :

a) DJJ :120-160 x/menit


b) Gerak janin aktif

3) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 94) adalah sebagai berikut:

a) Baringkan miring ke kiri, anjurkan ibu untuk menarik nafas panjang perlahan-lahan

dan berhenti meneran.

b) Nilai ulang DJJ setelah 5 menit.

c) Jika DJJ normal, minta ibu kembali meneran dan pantau DJJ setelah setiap

kontraksi. Pastikan ibu tidak berbaring telentang dan tidak menahan nafasnya saat

meneran.

d) Jika DJJ abnormal, rujuk ibu ke fasilitas yang memiliki kemampuan

penatalaksanaan gawatdarurat obstetri dan bayi baru lahir.

e) Dampingi ibu ke tempat rujukan.

d. Masalah BBL: Potensial terjadi asfiksia neonatorum

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan bayi dapat bernafas spontan dan teratur tangis

kuat, gerak aktif, tidak syanosis

2) Kriteria : Bayi bernafas spontan dan teratur, tangis kuat, gerak aktif, tidak syanosis

3) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 158), adalah sebagai berikut:

a) Lakukan langkah awal yang meliputi: jaga bayi tetap hangat, atur posisi, isap lendir,

keringkan dan rangsang bayi, atur kembali posisi kepala bayi dan selimuti bayi serta

lakukan penilaian pada bayi.


b) Jika bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap, lakukan asuhan BBL dengan

asfiksia.

c) Jika bayi bernapas normal, lakukan asuhan pascaresusitasi.

e. Masalah Kala III

Masalah I : Retensio plasenta (Wiknjosastro, 2008: 104).

1) Tujuan: Plasenta dapat dikeluarkan secara lengkap.

2) Kriteria: Tidak ada sisa plasenta yang tertinggal.

3) Intervensi menurut Wiknjosastro (2008:104):

a) Setelah 30 menit dilakukan penegangan tali pusat terkendali (PTT), pemberian

oksitosin yang kedua, dan terjadi perdarahan plasenta belum lahir dilakukan

tindakan plasenta manual.

(1) Lakukan plasenta manual dan lakukan penanganan lanjut.

(2) Bila tidak memenuhi syarat plasenta manual di tempat atau tidak kompeten maka

segera rujuk ibu ke fasilitas terdekat dengan kapabilitas kegawatdaruratan

obstetri.

Masalah II: Potensial terjadi avulsi tali pusat

1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan plasenta dapat lahir spontan dan tidak terjadi

komplikasi

2) Kriteria : Plasenta bisa lahir dengan lengkap.

3) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 119), adalah sebagai berikut:

a) Palpasi uterus untuk melihat kontraksi, minta ibu meneran pada setiap kontraksi.
b) Saat plasenta terlepas, lakukan periksa dalam hati-hati. Jika mungkin cari tali pusat

dan keluarkan plasenta dari vagina sambil melakukan tekanan dorso-kranial pada

uterus.

c) Setelah plasenta lahir, lakukan massase uterus dan periksa plasenta.

d) Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit, tangani sebagai retensio plasenta.

f. Masalah Kala IV

Masalah I : Potensial terjadinya atonia uteri

1) Tujuan : Uterus berkontraksi baik dan tidak terjadi syok hipovolemik

2) Kriteria : Uterus berkontraksi baik, perdarahan berkurang

3) Intervensi

Intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 108) dengan dilakukan KBI, KBE, dan KAA.

Masalah II : Robekan vagina, perineum atau serviks

Tujuan, Kriteria dan intervensi menurut Wiknjosastro (2008: 119)

1) Tujuan : Tidak terjadi perdarahan akibat robekan vagina, perineum dan serviks

2) Kriteria : Perineum utuh atau tidak terjadi robekan

3) Intervensi:

a) Lakukan pemeriksaan secara hati-hati

b) Jika terjadi laserasi derajat satu atau dua lakukan penjahitan

c) Jika laserasi derajat tiga atau empat atau robekan serviks:

(1) Pasang infus dengan menggunakan jarum besar (ukuran 16 dan 18) dan berikan

RL atau NS.

(2) Segera rujuk ibu ke fasilitas dengan kemampuan gawatdarurat obstetri.

d) Dampingi ibu ke tempat rujukan.

Anda mungkin juga menyukai