Anda di halaman 1dari 7

Kondisi Korupsi Indonesia 2017

Suap, Perkara Korupsi Terbesar di Indonesia

Sejak 2004-Maret 2017, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani tindak pidana
korupsi sebanyak 594 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 319 kasus atau lebih dari separuh
merupakan perkara suap. Diikuti perkara pengadaan barang/jasa sebanyak 163 kasus atau 27,4
persen, serta penyalahgunaan anggaran sebanyak 46 kasus atau 7,7 persen dari total kasus.

Dalam tiga bulan pertama 2017, KPK telah menangani 27 kasus korupsi, terdiri atas 16 perkara
penyalahgunaan anggaran, 7 perkara suap, dan 2 tindak pidana pencucian uang (TPPU). Sisanya
masing-masing satu perkara, yakni perkara pengadaan barang/jasa, dan pungutan.

Setelah bergulirnya sidang kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP), Dewan Perwakilan
Rakyat(DPR) membentuk Panitia Khusus Hak Angket KPK. Namun, beberapa tokoh dan para
akademisi menganggap bahwa langkah DPR tersebut hanya untuk melemahkan Komisi Anti
Rasuah. Seperti diketahui, beberapa anggota dan mantan anggota Dewan disebut dalam berkas
perkara korupsi e-KTP dan ada indikasi menerima suap dari pemenang tender.
Indeks Persepsi Korupsi 2017: Medan Kota Paling Korup

Hasil survei Transprency International Indonesia (TII) mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
2017 menunjukkan bahwa Medan merupakan kota yang paling korup dibandingkan dengan 11
kota lainnya di Indonesia. Kota Medan hanya memperoleh poin IPK 37,4 dari skala 0-100.
Semakin rendah IPK mengindikasikan kota tersebut korup, sebaliknya semakin tinggi maka
semakin bersih. Sementara Jakarta Utara merupakan kota yang memiliki persepsi paling bersih
dari korupsi dengan poin IPK sebesar 73,9.Kemudian Bandung merupakan kota dengan
persentase suap terbesar, yakni mencapai 10,8 persen dari total biaya produksi, dan sektor yang
paling terdampak korupsi adalah perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota perdagangan.

Dalam melakukan survei, TII melakukan penilaian persepsi para pelaku usaha terhadap lima hal.
Pertama, prevalensi korupsi, kedua akuntabilitas publik, ketiga motivasi korupsi. Kemudian keempat
adalah dampak korupsi, dan kelima efektivitas pemberantasan korupsi. Rerata poin IPK dari 12 kota
yang di survei sebesar 60,8. Hanya empat kota dengan poin IPK di bawah rerata IPK, sisanya delapan
kota memiliki IPK di atas rerata.

Banyak faktor-faktor penyebab para kepala daerah melakukan korupsi. antara lain
monopoli kekuasaan, diskresi kebijakan serta lemahnya akuntabilitas. Pengadaan barang jasa
rawan markup, di daerah banyak juga yang disebut jual beli jabatan.
Berdasarkan laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di 2016, sebanyak
71 perkara tindak pindana korupsi terjadi di tingkat provinsi. Selain itu juga, sebanyak 107
perkara tindak pidana korupsi terjadi di tingkat kabupaten/kota. Sebanyak 343 kepala daerah
berperkara hukum di kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Dan sebagian besar karena tersangkut
masalah pengelolaan keuangan daerah. Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu didorong untuk
segera menerapkan sistem e-planning, e-budgeting dan e-procurement. Dengan penerapan ketiga
sistem, maka masyarakat bisa ikut berpartisipasi dalam mengawasi penggunaan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Ternyata Pejabat Swasta Paling Banyak Tertangkap Korupsi KPK

Ternyata pejabat swasta adalah yang paling banyak tertangkap kasus korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 643 pejabat yang ditangkap KPK karena korupsi,
seperempatnya adalah pejabat swasta. Ini mengindikasikan bahwa para pengusaha banyak
melakukan penyuapan terhadap pejabat negara untuk memuluskan proyeknya.

KPK telah menangani tindak pidana korupsi sebanyak 594 kasus sejak 2004-Maret 2017. Dari
jumlah tersebut sebanyak 319 kasus atau lebih dari separuh merupakan upaya penyuapan
terhadap pejabat negara.

Di posisi kedua, pejabat negara tingkat Eselon I/ II/ III yang tertangkap kasus korupsi sebanyak
145 orang atau 22 persen dari total pejabat yang tertangkap korupsi Komisi Anti Rasuah. Di
urutan ketiga, sebanyak 127 Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR/DPRD) tertangkap
korupsi. Kemudian di posisi keempat, sebanyak 60 pejabat Walikota/ Bupati dan Wakil
tertangkap korupsi oleh KPK.
Operasi Tangkap Tangan Terbesar KPK

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Direktur Jenderal Perhubungan Laut


Antonius Tonny Budiono sebagai tersangka kasus suap dalam proyek pengerukan alur pelayaran
di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Antonius terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh
lembaga anti rasuah pada Rabu dini hari (23/8).

Dalam pemeriksaan, KPK menemukan uang yang terindikasi suap senilai Rp 20,74 miliar, yang
tersimpan dalam beberapa tas ransel senilai Rp 18,9 miliar dan satu rekening ATM bank dengan
nilai Rp 1,7 miliar. Seperti yang dilansir Koran Tempo edisi Jumat (25/8), temuan barang bukti
ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah penangkapan KPK. Tanggkapan barang bukti
OTT terbesar sebelumnya adalah saat penangkapan Kepala Satuan Kerja Pelaksana Kegiatan
Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini senilai Rp 8,14 miliar pada 2013.

Perang melawan korupsi yang dicanangkan oleh pemerintah selama ini belum membuat
para pencuri uang rakyat jera. Hukuman yang kurang maksimal bagi terpidana korupsi
serta layanan mewah di hotel prodeo tidak membuat para pejabat dan pengusaha jera
berkolusi menggangsir uang rakyat.

Perkembangan Positif dalam Perjuangan Indonesia Melawan Korupsi

Meskipun sebagian besar gambarannya (di atas) negatif, ada beberapa tanda-tanda positif.
Pertama-tama perlu disebutkan bahwa ada dorongan besar dari rakyat Indonesia untuk
memberantas korupsi di Indonesia dan media yang bebas memberikan banyak ruang untuk
menyampaikan suara mereka pada skala nasional, sementara para lembaga media juga asyik
berfokus pada skandal-skandal korupsi Dorongan rakyat untuk memberantas korupsi berarti
bahwa "bersikap anti-korupsi" sebenarnya bisa menjadi vote-gainer (pendulang suara) yang
penting bagi politisi yang bercita-cita tinggi. Terlibat atau disebutkan dalam kasus korupsi benar-
benar bisa merusak karir karena dukungan rakyat akan merosot drastis. Efek samping negatif
(bagi perekonomian negara) dari pengawasan publik ini yaitu pejabat pemerintah saat ini sangat
berhati-hati dan ragu-ragu untuk mengucurkan alokasi anggaran pemerintahan mereka, takut
menjadi korban dalam skandal korupsi. Perilaku berhati-hati ini bisa disebut sebagai
keberhasilan pengaruh KPK yang memantau aliran uang, tetapi juga menyebabkan belanja
pemerintah yang lambat.

Transparency International, institusi non-partisan yang berbasis di Berlin (Jerman),


menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi tahunan (berdasarkan polling) yang menilai "sejauh mana
korupsi dianggap terjadi di kalangan pejabat publik dan politisi" di semua negara seluruh dunia.
Indeks Persepsi Korupsi Tahunan ini menggunakan skala dari satu sampai sepuluh. Semakin
tinggi hasilnya, semakin sedikit (dianggap) korupsi yang terjadi. Dalam edisi terbaru mereka
(2016) Indonesia menempati peringkat 90 (dari total 176 negara). Meskipun demikian, perlu
ditekankan bahwa tidak ada metode yang akurat 100 persen untuk mengukur korupsi karena sifat
korupsi (sering tersembunyi untuk umum). Maka angka-angka di bawah ini hanya menunjukkan
tingkat persepsi korupsi oleh para pemilih yang berpartisipasi dalam jajak pendapat dari negara
tertentu. Namun karena masyarakat biasanya memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang
sedang terjadi di negeranya, angka-angka ini pasti mengindikasikan sesuatu yang menarik dan
berarti.

Indeks Persepsi Korupsi 2016:

1. Denmark 9.0
1. Selandia Baru 9.0
3. Finlandia 8.9
4. Swedia 8.8
5. Switzerland 8.7
90. Indonesia 3.7

Sumber: Transparency International


Angka-angka ini menunjukkan bahwa - sesuai dengan teks di atas - ada pandangan umum yang
agak negatif mengenai tingkat korupsi politik di Indonesia. Namun, ketika kita
mempertimbangkan hasil sebelumnya, indeks korupsi menunjukkan tren yang lebih positif:

Indeks Persepsi Korupsi 2005-2015:

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Indonesia 2.2 2.4 2.3 2.6 2.8 2.8 3.0 3.2 3.2 3.4 3.6

Sumber: Transparency International

Indonesia sebenarnya adalah salah satu dari sedikit negara dalam Indeks Persepsi Korupsi
yang menunjukkan perbaikan yang stabil dan nyata, bertepatan dengan pemerintahan
Yudhoyono (2004-2014) dan diteruskan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun,
perlu ditekankan bahwa - meskipun merepresentasikan perkembangan nyata - angka-angka ini
harus ditangani dengan hati-hati karena metodologi yang digunakan dalam jajak pendapat
berubah dari tahun ke tahun.

Terkait dengan korupsi, masih ada jalan panjang reformasi ke depan untuk
Indonesia. Baik pada tingkat pusat dan daerah, bisnis dan politik masih cenderung "pergi
tangan-di-tangan", maka membentuk semacam konteks oligarki di mana konflik kepentingan
terus terjadi. Misalnya, pembalakan liar tersebar luas di Sumatera dan Kalimantan karena banyak
ijin penebangan liar dikeluarkan oleh badan-badan publik (sehingga mengancam keberadaan
hutan di Indonesia). Demikian pula, di sektor pengadaan di Indonesia kontrak yang
menguntungkan sering diberikan kepada perusahaan yang terkait dengan pejabat negara.

Korupsi sangat menghambat negara ini dalam merealisasikan potensi ekonomi dan
menyebabkan ketidakadilan yang signifikan di dalam masyarakat Indonesia karena sebagian
kecil orang mendapatkan manfaat yang amat besar dari lembaga dan keadaan korup di negeri ini.
Tetapi pujian/penghargaan harus diberikan kepada media (bebas) Indonesia dan KPK karena
keduanya memainkan peran penting dalam soal pemberantasan korupsi.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/11/22/indeks-persepsi-korupsi-2017-medan-kota-
paling-korup

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/16/suap-perkara-korupsi-terbesar-di-indonesia

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/08/25/inilah-operasi-tangkap-tangan-terbesar-kpk

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2017/06/16/legislatif-paling-malas-lapor-harta-
kekayaan?_ga=2.24699002.1341846253.1512629191-1620874063.1512629191

http://bisnis.liputan6.com/read/3182120/sri-mulyani-ungkap-alasan-kepala-daerah-doyan-korupsi

Anda mungkin juga menyukai