Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Delirium merupakan suatu sindrom serebral organic dengan penyebab yang tidak
spesifik. Karakteristik delirium adalah gangguan fungsi kesadaran, atensi, persepsi, berpikir,
memori, psikomotor, emosi, serta pola tidur- bangun. Delirium dapat ditandai dengan
perubahan status mental, kesadaran, dan juga perhatian yang bersifat akut serta fluktuatif.
Delirium memiliki insidensi yang tinggi pada pasien dengan penyakit kritis. Delirium
merupakan kelainan serius yang berhubungan dengan pemanjangan lama perawatan di ruang
rawat intensif/ rumah sakit.1

Delirium merupakan suatu gangguan neuro psikiatrik yang cukup sering dialami oleh
pasien geriatric. Gejala klinis yang menjadi pedoman diagnosis utama adalah penurunan
kesadaran, adanya suatu hendaya fungsi kognitif yang akut dan berfluktuasi. Delirium
merupakan sumber morbiditas dan mortalitas diantara pasien-pasien geriatric yang dirawat.
Hal ini penting karena pada pasien berusia diatas 65 tahun, kejadian delirim menghabiskan
48% seluruh hari perawatn di rumah sakit. Insiden delirium juga meningkat sejalan dengan
pertambahan usia populasi.2

Tatalaksana pasien delirium harus melibatkan berbagai cabang ilmu karena pada
kenyataannya pasien geriatric mempunyai masalah kesehatan yang kompleks (multipatologi)
sehingga memerlukan penanganan secara holistic. Penanganan oleh tim yang terdiri dari
psikiatri geriatric, konsultan geriatric medis, rehabilitasi medis, dan gizi merupakan
kombinasi yang baik.banyak penelitian mengatakan bila delirium sudah terjadi maka tidak
aka nada perbedaan dalam penanganan delirium baik ditinjau dari keparahan penyakitnya
atau kemungkinan keberulangannya. Akan tetapi usaha pencegahan baik secara psikososial
maupun psikofarmakologi diperlukan untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien geriatric.2
BAB 2

2.1 Definisi

Delirium, suatu kondisi akut penurunan perhatian dan disfungsi kognitif, merupakan
sindrom klinis yang umum, mengancam hidup, dan dapat dicegah; umumnya terjadi pada
individu berusia 65 tahun atau lebih.Sindrom delirium dapat didei nisikan sebagai kegagalan
otakakut yang berhubungan dengan disfungsi otonom, disfungsi motorik, dan kegagalan
homeostasis kompleks dan multifaktorial, sering tidak terdiagnosis dan ditangani dengan
buruk.Kata “delirium” awalnya digunakan dalam dunia medis untuk menggambarkan
gangguan mental selama demam atau cedera kepala, ke-mudian berkembang menjadi
pengertian yang lebih luas, termasuk istilah “status konfusional akut”, “sindrom otak akut”,
“insufisiensi serebral akut”, “ ensefalopati toksik-metabolik”. Seiring waktu, istilah delirium
berkembang untuk menjelaskan suatu kondisi akut transien, reversibel, ber-l uktuasi, dan
timbul pada kondisi medis tertentu. Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama
atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat, menunjukkan gejala berl
uktuasi yang tidak khas. Setidaknya 32-67% sindrom ini tidak terdiagnosis oleh dokter,
padahal kondisi ini dapat dicegah.3

2.2 Factor predisposisi dan factor pencetus

Faktor predisposisi antara lain: usia sangat lanjut, gangguan faal kognitif ringan(mild
cognitif impairment MCI sampai demensia, gangguan ADL, gangguan sen
sorium(penglihatan dan/atau pendengaran), usia lanjut yang rapuh(fragile), usia lanjut yang
sedang menggunakan obat yang mengganggu faal neurotransmiter otak(misalnya ranitidin,
simetidin, siprofloksasin, psikotropika), polifarmasi dan komorbiditas Faktor pencetus yang
sering dijumpai antara lain: pneumonia, infeksi saluran kemih dan kondisi akut lain seperti
hiponatremia, dehidrasi, hipoglikemia dan CVD, serta perubahan lingkungan(perpindahan
ruangan misalnya)4
2.3 GEJALA KLINIS

Sesuai definisi maka gejala yang dapat dijumpai lain gangguan kognitif global berupa
gangguan memori (recent memory = memori jangka pendek) gangguan
persepsi(halusinasi,ilusi),atau gangguan proses pikir(disorientasi waktu,
tempat,orang). Gejala yang muda diamati namun justru terlewatkan adalah bila terdapat
komunikasi yang tidak relevan,atau autoanamnesis yang sulit dipahami; kadang-kadang
pasien tampak seperti mengomel terus atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompat-
lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktivitas psikomotor baik
hipoaktif(25%),hiperaktif(25%) maupun campuran keduanya sekaligus(35%);sebagian
pasien(15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal gangguan siklus tidur(siang hari
tertidur sedangkan malam hari terjaga).Rudolph dan Marcantonio (2003)memasukkan gejala
perubahan aktivitas psikomotor ke dalam kelompok perubahan kesadaran, yakni setiap
kondisi kesadaran selain compos mentis, termasuk di dalamnya keadaan hipoaktivitas dan
hiperaktivitas.Gejala-gejala klinik tersebut di atas terjadi secara akut dan berfluktuatif; berarti
dari hari ke hari dapat terjadi perubahan gejala secara berganti-ganti Dapat pula terjadi
kondisi pasien yang fully allert di satu hari namun pada hari berikutnya pasien tampak
gelisah(hiperaktif gejala yang khas(yang membedakan dari demensia) adalah perhatian
sangat terganggu, pasien tidak mampu mempertahankan konsentrasi maupun perhatiannya
pada suatu topik pembicaraan misalnya.Tanda yang dapat diamati antara lain terdapatnya
gangguan pada uji atensi(mengurutkan nama hari dalam seminggu,mengurutkan nama bulan
dalam setahun, atau mengeja balik kata'pintu').4

. Beberapa Kondisi yang Lazim Mencetuskan Kondisi Delirium


latrogenik pembedahan, kateterisasi, urin, physical
restraints
Obat-obatan psikotropika
Gangguan metabolik/cairan insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia
azotemia hiperglikemia, hipernatremia,
hipokalemia.
Penyakit fisik/psikiatrik (tidur) malnutrisi, gangguan pola tidur
Overstimulation perawatan di ICU, atau perpindahan ruang
rawat
Tergantung dari gejala yang timbul, delirium dapat disalahartikan dengan gangguan
lain, misalnya demensia,gangguan mood dan psikosis fungsional. Diagnosis delirium pada
pasien demensia cukup sulit karena gejala delirium dan demensia yang saling tumpang tindih.
Suatu penelitian dilakukan untuk mengidentifikasikan gejala delirium yang khas pada pasien
demensia untuk membantu penegakan di- agnosis delirium. Pasien demensia yang mengalami
delirium memperlihatkan lebih banyak agitasi psikomotor, disorientasi, dan pikiran yang
tidak terorganisasi.2

Delirium Demensia Depresi


Onset Akut Perlahan Bervariasi
(tersembunyi)
Perjalanan Berlfuktuasi Progresif Diurnal
Kesadaran Terganggu, berkabut Baik hingga tahap Baik
akhir
Perhatian Tidak terfokus Normal Kurang
Memori Memori jangka Memori jangka Normal
pendek kurang pendek kurang
Proses berpikir Disorganisasi, Kesulitan dengan Tidak terganggu,
inkoheren pemikiran abstrak kurang percaya diri,
tidak ada harapan
hidup
Persepsi Misinterpretasi, Normal (kecuali lewy Psikosis , paranoid
halusinasi, delusi body)
MMSE Sulit menyelesaikan Berjuang Kurang motivasi
MMSE keras/berusaha
menemukan respon
yang benar
table perbedaan antara delirium, demensia3
2.4 Tipe sindrom delirium

Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkat/kondisi


kesadaran, aktivitas perilaku) yakni : 1. Hiperaktif, 2. Hipoaktif, 3. Campuran (paling sering).
sering). Pasien yang hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita
perhatian. Pasien bisa nampak gaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau
mengomel sepanjang hari. Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif
mempunyai prognosis lebih baik. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien yang hiperaktif
adalah hati-hati jangan sampai disalah-artikan oleh tenaga kesehatan sebagai"pasien sedang
bad mood" atau jika ditenangkan dengan memberi obat sedativum sering justru akan
memperburuk sindrom delirium. (IPD). Tampilan klinis delirium dapat bervariasi, namun
secara umum delirium diklasif kasi berdasarkan sifat psikomotorik dalam tiga subtipe, yaitu:

1. Delirium Hipoaktif (25%).Pasien bersikap tenang dan menarik diri, dengan


tampilan klinis letargi dan sedasi, berespons lambat terhadap rangsangan, dan pergerakan
spontan minimal. Tipe ini cenderung tidak terdeteksi pada rawat inap dan menyebabkan
peningkatan lama rawat dan komplikasi yang lebih berat.

2. Delirium Hiperaktif (30%).Pasien memiliki gambaran agitasi, hiper-vigilansi, dan


sering disertai halusinasi dan delusi, yang walaupun lebih awal dapat terdeteksi, berhubungan
dengan peningkatan penggunaan benzodiazepin, sedasi berlebihan, dan risiko jatuh.

3. Delirium Campuran (Mixed) (45%).Pasien menunjukkan gambaran klinis baik


hiperaktif maupun hipoaktif. Masing-masing subtipe delirium diakibatkan oleh mekanisme
patoi siologi yang berbeda dan memberikan prognosis yang juga berbeda. Delirium pasca-
operasi dapat timbul pada hari pertama atau kedua pasca-operasi, namun biasanya bersifat
hipoaktif dan sering tidak terdeteksi. Delirium dapat sulit dideteksi di ICU, mengingat uji
kognitif standar sering tidak dapat digunakan karena pasien diintubasi dan tidak dapat
menjawab pertanyaan secara verbal. .3

2.5 Patofisiologi

Delirium merupakan fenomena kompleks, multifaktorial, dan mempengaruhi berbagai


bagian sistem saraf pusat. Defisiensi neurotransmitter asetilkolin sering dihubungkan dengan
sindrom delirium. Penyebabnya antara lain gangguan metabolism oksidatif di otak yang
dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemia. Factor lain yang berperan antara lain
meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilolin atau
neurotransmitter lain maupun penigkatan sitokin akan menganggu transduksi sinyal
neurotransmitter serta second messenger system yang akan memunculkan gejala – gejala
serebral dan aktivitas psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium4

Hipotesis terbaru menunjukkan dei siensi jalur kolinergik da-pat merupakan salah satu
faktor penyebab delirium.Delirium yang diakibatkan oleh penghentian substansi seperti
alkohol, benzodiazepin, atau nikotin dapat dibeda-kan dengan delirium karena penyebab lain.
Pada delirium akibat penghentian alkohol terjadi ketidakseimbangan meka-nisme inhibisi
dan eksitasi pada sistem neurotransmiter. Konsumsi alkohol se-cara r eguler dapat
menyebabkan inhibisi reseptor NMDA ( N-methyl-D-aspartate) dan aktivasi reseptor GABA-
A ( gamma-aminobutyric acid -A). Disinhibisi serebral berhubungan dengan perubahan
neuro-transmiter yang memperkuat transmisi dopaminergik dan noradrenergik, adapun
perubahan ini memberikan manifestasi karakteristik delirium, termasuk aktivasi sim-patis dan
kecenderungan kejang epileptik. Pada kondisi lain, penghentian benzodiazepin menyebabkan
delirium melalui jalur pe-nurunan transmisi GABA-ergik dan dapat timbul kejang epileptik.
Delirium yang tidak diakibatkan karena penghentian substansi timbul melalui berbagai
mekanisme, jalur akhir biasanya melibatkan dei sit kolinergik dikombinasikan dengan
hiperaktivitas dopaminergik.Perubahan transmisi neuronal yang di-jumpai pada delirium
melibatkan berbagai mekanisme, yang melibatkan tiga hipotesis utama, yaitu:

1. Efek Langsung

Beberapa substansi memiliki efek langsung pada sistem neurotransmiter, khususnya


agen antikolinergik dan dopaminergik. Lebih lanjut, gangguan metabolik seperti
hipoglikemia, hipoksia, atau iskemia dapat langsung mengganggu fungsi neuronal dan
mengurangi pembentukan atau pelepasan neurotransmiter. Kondisi hiperkalsemia pada
wanita dengan kanker payudara merupakan penyebab utama delirium.

2. Inflamasi

Delirium dapat terjadi akibat gangguan primer dari luar otak, seperti penyakit
inflamasi, trauma, atau prosedur bedah. Pada beberapa kasus, respons inl amasi sistemik
menyebabkan peningkatan produksi sitokin, yang dapat mengaktivasi mikroglia untuk
memproduksi reaksi inl amasi pada otak. Sejalan dengan efeknya yang merusak neuron,
sitokin juga mengganggu pembentukan dan pelepasan neurotransmiter. Proses inl amasi
berperan menyebabkan delirium pada pasien dengan penyakit utama di otak (terutama
penyakit neurodegeneratif ).

3. Stres

Faktor stres menginduksi sistem saraf simpatis untuk melepaskan lebih banyak
noradrenalin, dan aksis hipotalamus-pituitari-adrenokortikal untuk melepaskan lebih banyak
glukokortikoid, yang juga dapat mengaktivasi glia dan menyebab kan kerusakan neuron.3

Gambar 1. Hubungan antara berbagai faktor etiologi delirium. Inl amasi sistemik dapat diakibatkan oleh infeksi sistemik, trauma, atau
pembedahan. Neurotransmiter yang berperan pada delirium termasuk asetikolin, dopamin, 5-hidroksitriptamin, norepinefrin, glutamat, dan
γ–asam aminobutirat.3

2.6 DIAGNOSIS

Kondisi deliriumpertama kali dilaporkan sekitar 2000 tahun yang lalu oleh Aurelius;
namun demikian, baru pada tahun 1987 kriteria diagnosis sindrom delirium dapat disepakati
oleh para ahli. Kriteria diagnosis ini dituangkan dalam Diagnosis and Statistical Mamal
lli(DSM-III yang telah direvisi dalam DSM-IV lima tahun kemudian. Berdasarkan DSM-IV
tersebut, telah disusun algontm(disebut Confusion Assessment Methode CAM) untuk
menegakkan diagnosis sindrom delirium Algoritme tersebut telah divalidasi oleh Inou tal
pada tahun 1990 sehingga dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis. CAM ditambah uji
status mental laun dapat dipakai sebagai baku emas diagnosis. Uji status mental lain yang
sudah lazim dikenal antara lain Mini-mental state(MMSE, Folstein), Delirium Rating Scale.
Delirium Symp tom Interview: Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam
waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan cukup andal, serta sensitif(k
0,95)4

Proses akut dan berfluktuasi

Gangguan perhatian / konsentrasi


(inattention)

Gangguan proses pikir Perubahan Kesadaran

Sindrom Delirium

Gambar. Confusion Assesment Method untuk sindrom delirium 4


Gambar . Algoritma penilaian delirium pada geriatri. MMSE ( Mini-Mental State Exam);
CAM (Confusion Assessment Method ); OTC (Over the Counter); PRN, as needed; TFT
(thyroid function tests); ABG (Arterial Blood Gas ); CSF ( Cerebrospinal Fluid); EEG
(Electroencephalogram ); PO (per oral); IM (intramuskuler); IV (intravena).3

2.7 Diagnosis Banding

Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan
gejala yang mirip deli bahkan kedua penyakit kondisi tersebut acap kali terdapat bersamaan
dengan sindrom delirium Pada keadaan tersebut maka informasi dari keluarga dan pelaku
rawat menjadi sangat berarti pada saat anamnesis. Demensia dan delirium juga sering
terdapat bersamaan gangguan yang acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi,
memori dan komunikasi. Demensia sendiri merupakan faktor risiko untuk terjadinya sindrom
delirium terutama jika terdapat faktor pencetus penyakit akut Beberapa jenis demensia seperti
demensia Lewy Body dan demensia lobus frontalis menunjukkan perubahan perilaku dan
gangguan kognitif yang sulit dibedakan dari sindrom delirium. Sindrom delirium dengan
gejala psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien yang
cemas(anxietas), sedangkan hipoaktif keliru dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat
dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap
dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasanya gejala
berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya compos mentis,
proses berpikirnya utuh Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan minat depressed
mood serta faal sensorium yang normal Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium
akan berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demensia lebih menetap
Pasien dengan sindrom delirium bisa muncul dengan gejala seperti psikosis yakni terdapat
delusi, halusinasi serta pola pikir yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini maka
sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater.4

2.8 Tatalaksana

Ketika delirium terdiagnosa, prioritas pertama adalah untuk menentukan etiologinya


. Banyak penyakit akut yang dapat memicu delirium. Termasuk kondisi yang menyebabkan
hipoksia (misalnya,myocard infark akut, gagal napas), infeksi, stroke, dan gangguan
metabolisme5. Tujuan utama pengobatan adalah menemukan dan mengatasi pencetus serta
faktor predisposisi Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan Comprehensile
geriatrii assessment(pengkajian geriatri paripurna) sangat bermanfaat karena akan
memberikan gambaran lebih jelas tentang beberapa faktor risiko yang dimiliki pasien
Pemeriksaan tak hanya terhadap factor fisik. Namun depresi juga psikiatrik , status
fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta
asupan nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang
meningeal, tekanan darah, frekuensi nafas dan denyut jantung serta suhu rektal ) sangat
penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, gula
darah, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT, urin lengkap, EKG ,foto toraks, dan kultur darah
harus segera dilaksanakan. Obat-obat yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Jika
terdapat kecurigaan terhadap putus obat(biasanya obat sedativum atau hipnotikum) maka
riwayat tersebut bisa diperoleh dari keluarga atau pelaku rawat Pengobatan penanganan yang
diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga psikologik/psikiatrik. kognitif,
lingkungan, serta pemberian obat.
Untuk mencegah agar pasien tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain(pasien
yang hiperaktif. gaduh gelisah bisa menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bisa
terjatuh dari tempat tidur atau bisa menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani
pendamping atau yang biasa mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat tidur
bukanlah tanpa risiko, misalnya trauma atau trombosis. Data empiris manfaat obat untuk
mengatasi gejala sindrom delirium masih terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai
efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktif dan hipoaktif dari sindrom de lirium:
menjadi obat pilihan utama pada fase akut(agitasi hebat, perilaku agresif. hostility,
halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan dirinya), Untuk kondisi di atas haloperidol
masih merupakan pilihan utama. Dosis juga dapat ditingkatkan sesuai tanggapan pasien.
Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazin dan droperi dol. haloperidol memiliki
metabolit dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi yang lebih kecil sehingga lebih
aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima dengan baik. namun jika pasien tak
mampu menelan maka dapat diberikan intramuskular maupun intravena. Olanzapin dapat
diberikan sebagai tambahan jika agresivitas masih muncul dengan dosis maksimal ha-
loperidol. Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat generasi kedua seperti risperidon
dan penghambat asetilkolin-esterase: masih diperlukan penelitian intervensional lebih lanjut.

Perlu dicatat penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan dosis rendah dan
ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. alaupun risiko efek samping yang mungkin
muncul rendah namun beberapa efek serius seperti perpanjangan gejala ekstrapiramidal dan
QT dan torsades de pointes, diskinesia putus obat dapat terjadi. Oleh karena itu penggunaan
antipsikotik harus dikonsultasikan ke psikiater geriatri. Secara umum penanganan yang
bersifat suportif amat penting dalam pengelolaan pasien dengan sindrom de- lirium, baik
untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan. Asupan nutrisi, keseimbangan cairan
dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan seoptimal mungkin. Keberadaan
anggota keluarga atau yang selama ini biasanya merawat akan sangat berperan dalam
memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah tenang dan cukup
penerangan. Masih dalam konteks oreintasi, dokter dan perawat harus mengetahui apakah
sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atau alat bantu dengar untuk
berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala diperlukan setiap
saat. Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah perawat harus waspada bahwa pasien
sangat mungkin tidak mampu menelan dengan baik sehingga asupan per oral tidak boleh
diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai kemampuan menelan. Dokter yang
merawat harus menilai kesadarannya dan dokter ahli rehabilitasi medik harus menilai
kemampuan otot menelan jika pasien sadar. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos
mentis dan tidak terdapat kelumpuhan otot menelan barulah perawat diizinkan memberikan
asupan per oral.

Selama perawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat
jam, jika diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkan setiap satu jam tergantung kondisi
pasien. Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi in diperlukan karena
gejala dan tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi cairan
yang masuk harus diukur dengan cermat setiapempat jam dan dilaporkan kepada dokter yang
merawat agar perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa
menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat). Sehubungan dengan hal di atas, maka
keluarga pasien atau pelaku rawat yang menunggu harus diberi informasi tentang bahaya
aspirasi jika memberikan makanan atau minuman dalam keadaan kondisi yang tidak compos
men- tis atau terdapat kelumpuhan otot menelan. Diberitahukan pula perlunya kerja sama
yang baik antara perawat dengan peunggu pasien terutama perihal pemantauan urin dan
asupan cairan. Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apa yag baru
dialami saat delirum sebagai mimpi Pada saat kondisi pasien membaik maka dokter atau
perawat harus menjelaskan mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya untuk
mengantisipasi atau mencegah episoda cemas. Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk
mengidentifikasi pencetus dan predisposisi. Segera setelah faktor pencetus diketahui maka
dapat dilakukan tindakan yang lebih definitif sesuai faktor pencetusnya. Memperbaiki faktor
predisposisi harus dikerjakan tanpa menunggu selesainya masalah terkait factor pencetus.4

2.9 PROGNOSIS

Berbagai studi menunjukkan hampir setengah pasien delirium keluar dari kondisi rawatan
akut rumah sakit dengan gejala persisten dan 20-40% di antaranya masih mengalami delirium
hingga 12 bulan; prognosis jangka panjang lebih buruk dibandingkan pasien yang mengalami
perbaikan sempurna pada akhir rawatan. Pasien sindrom delirium memiliki risiko kematian
lebih tinggi jika komorbiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat (nilai APACHE II tinggi),
dan jenis kelamin laki-laki. Episode delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien
demensia.3,4

BAB 3
3.1 KESIMPULAN

Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai sebab.
Keterlambatan diagnosi memperpanjang masa rawat dan meningkatkan mortalitas.
Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa faktor predisposisi dan faktor
pencetus merupakan mekanisme dasar yang harus selalu diingat. Pencetus tersering adalah
pneumonia dan infeksi saluran kemih. Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas
psikomotor, perubahan siklus tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan
berfluktuatif merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Beberapa peneliti
menggolongkan sindrom delirium ke dalam beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku
menggunakan DSM-IV instrumen baku yang dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis
adalah CAM(confusion assessment method Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda
mirip sehingga diperlukan kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial
diagnosis. Pengelolaan pasien terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana
faktor predisposisi dan pencetus. Penatalaksanaan non- farmakologik sama pentingnya
dengan farmakologik. Diperlukan kerja sama dengan psikiater geriatri terutama dalam
pengelolaan pasien yang gelisah delirum. Sebagian pasien sebenarnya dipulangkan masih
dalam keadaan belum sembuh total(belum remisi komplit) sehingga gejala sisa masih ada
bahkan hingga 12 bulan. Munculnya sindrom delirium berulang tidak jarang dilaporkan;
oleh sebab itu penapisan dan program pencegahan amat penting dilaksanakan.
Daftar Pustaka

1. Adiwinata R, Oktaliansah E, Maskoen T. Angka Kejadian Delirium dan Faktor Risiko


di Intensive Care Unit Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Anestesi
Perioperatif. 2016;4(1).
2. 2. Damping A. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri.
Majalah Kedokteran Indonesia. (Volume 57).
3. 3. Luman A. Sindrom Delirium. Cermin Dunia Kedokteran. 2015;42(10).
4. 4. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 1st ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
5. 5. Fosnight S. Delirium in Elderly. College of Psychiatric & Neurologic Pharmacist.
2013;VII.

Anda mungkin juga menyukai