PENDAHULUAN
1
Gangguan Jiwa (ODGJ) berupa dirantai atau diikat pada kayu sebagai bentuk
pembatasan gerak; pengikatan pergelangan kaki pada benda yang tidak bergerak; serta
dikurung di dalam kamar. Keluarga melakukan pemasungan pada ODGJ karena
adanya masalah ekonomi, tidak ada yang merawat, hilangnya kepercayaan pada
pengobatan, kurangnya pengetahuan mengenai gangguan jiwa, serta takut diketahui
oleh orang lain. Dari survey terlihat bahwa gangguan jiwa yang dipasung diakibatkan
juga oleh adanya benturan pada kepala, memiliki riwayat genetic gangguan jiwa,
memiliki kepribadian introvert, status ekonomi rendah, permasalahan dalam
pernikahan, serta hilangnya orang yang dicintai . Data dari Riset kesehatan dasar
tahun 2013 didapatkan bahwa rerata nasional penderita gangguan jiwa berat 1,7/ 1000
penduduk dan 14,3% diantaranya merupakan kelompok keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang pernah dipasung (Rismawati, 2018).
Pasung yang dilakukan pada ODGJ dapat memberikan dampak, baik pada
fisik, psikologis dan hubungan sosialnya. Terdapat 21% ODGJ mengalami cidera atau
kondisi kesehatan memburuk saat dipasung . Pembatasan fisik yang dilakukan pada
pasien dapat menyebabkan cidera pada ekstremitas, melarikan diri dari kekangan,
jatuh dan terjadi perlukaan, serta berisiko asfiksia (Rismawati, 2018).
Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, di mana
sekitar 20. 000 hingga 30. 000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia
mendapat perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung (Lestari,2014). Pada
tahun 2011 Menteri Kesehatan RI sudah mencanangkan program Indonesia Bebas
Pasung pada tahun 2014. Namun sampai dengan sekarang (tahun 2014) belum terlihat
penanganan yang signifikan dan komprehensif dalam penanganan dini penderita
gangguan jiwa. Program Indonesia Bebas Pasung 2014 saat ini direvisi menjadi
Program Indonesia Bebas Pasung 2019, sehingga Indonesia dalam menentukan
ketercapaian target masih ada 5 tahun lagi atau bahkan lebih cepat karena proses ini
masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya komitmen dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (Lestari,2014).
Data Riskesdas 2013 berikut ini menunjukkan data persentase rumah tangga
yang memiliki anggota rumah tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung di Indonesia sebesar 14,3 persen. Terdapat 1. 655 rumah tangga (RT) yang
memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa berat (tabel 1). Tindakan
pemasungan berdasar wawancara dari riwayat mengalami pemasungan yaitu
pengalaman pemasungan selama hidup. Metode pemasungan tidak terbatas pada
2
pemasungan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai pada kaki,
tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk
mengurung dan penelantaran, yang menyertai salah satu metode pemasungan
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Persentase pemasungan antara 0–50 persen
bervariasi di antara seluruh provinsi. Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat tidak ada RT yang
pernah melakukan tindakan pasung terhadap ART yang mengalami gangguan jiwa
berat. Di Provinsi Papua, setengah dari RT yang memiliki ART gangguan jiwa berat
pernah melakukan pasung (Lestari,2014).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian ini adalah adanya
beberapa provinsi yang memiliki faktor pembagi (RT dengan ART gangguan jiwa
berat) yang rendah yaitu < 30 RT sehingga mempengaruhi hasilnya. Terdapat 67 RT
yang memiliki ART yang mengalami gangguan jiwa lebih dari 1 orang dan tidak dapat
di rinci pada laporan ini (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Beban yang ditanggung oleh keluarga yang hidup bersama penderita
gangguan jiwa berat meliputi beberapa faktor, baik secara ekonomi maupun sosial.
Trend dan isu yang terjadi di masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa juga
mempersulit penanganan penderita gangguan jiwa secara komprehensif. Goffman
(1963) menyatakan bahwa kejadian pasung terhadap penderita gangguan jiwa
memiliki dua komponen utama, yaitu yang bersifat publik (reaksi umum dari publik
terhadap orang yang menderita gangguan jiwa) dan individu (prasangka orang itu
sendiri terhadap gangguan jiwa yang diderita yang cenderung kembali kepada dirinya
sendiri). Sehingga trend dan isu yang terjadi pada penderita gangguan jiwa terutama
gangguan jiwa berat masih perlu dikaji lebih mendalam, untuk mencari solusi yang
tepat dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat di masyarakat, dan lebih luas
untuk mendukung program Indonesia Bebas Pasung 2019.
3
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini beertujuan untuk memahami tentang trend dan issue
pasung keperawatan jiwa, bagaimana perang perawat dalam melaksanakan
keperawatan jiwa dan bagaimana manfaatnya kepada pasien dan perawat. Makalah ini
juga disusun untuk memahami tentang dampak pasung pada gangguan jiwa.
1.4 Manfaat
Bagi penulis, penyusunan makalah ini bermanfaat ganda, yaitu selain lebih
memahami perihal pasung pada pasien gangguan jiwa, penulis juga bisa mengasah
dan mengembangkan kemampuannya di bidang penulisan karya ilmiah. Sedangkan
bagi pembaca seperti instansi kesehatan terkait maupun masyarakat makalah ini
dapatmenjadi referensi untuk meningkatkan pelayanan dan perawatan pada pasien
gangguan jiwa agar tidak di pasung.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
yang menunjukkan sikap, perilaku dan ekspresi emosi tertentu yang berbeda dari orang
kebanyakan.
A. Definisi Pemasungan
Definisi pemasungan menurut Riskesdas 2013 adalah tindakan mengikat atau
mengasingkan orang dengan gangguan jiwa. Pengikatan dapat dilakukan dengan
menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh
sehingga tangan, kaki atau kepala menjadi terbatas pergerakannya.
Tindakan pasung dilakukan pada pasien gangguan jiwa kronik, disertai
perilaku agresif, kekerasan, amuk, halusinasi yang berisiko menciderai diri sendiri,
orang lain atau lingkungan
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa
yang dipasung seringkali merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan klien.
Alasan keluarga melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku kekerasan,
mencegah risiko bunuh diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan ketidak
mampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa.
Mereka lebih memilih menyembunyikan penderita dibanding mengobati.
Kebanyakan pelaku dari kasus pemasungan ini adalah keluarga dari si penderita
gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga penderita pada umumnya tidak paham apa
yang sebaiknya mereka lakukan terhadap para penderita. Keluarga juga khawatir
jika yang bersangkutan nantinya melakukan tindakan merusak atau bahkan
kekerasan kalau sakitnya itu kambuh. Faktor keterbatasan ekonomi juga jadi faktor
penting kenapa penderita tidak dilarikan ke rumah sakit jiwa.
6
lainnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melarang praktik pemasungan
semenjak tahun 1977.
Akan tetapi praktik pasung ini terus saja terjadi selama empat puluh tahun
terakhir. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Kementerian
Kesehatan mencatat setidaknya sebanyak 57 ribu orang pernah dipasung oleh
keluarganya. Atau sekitar 14.3% dari Orang dengan Gangguan Jiwa Berat
(ODGJB).
Pada tahun 2014, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 18
Tahun 2014. Kementerian Sosial juga mencanangkan Indonesia Bebas Pasung
2017. Tentunya ini adalah sebuah misi yang sangat mulia mengingat mereka yang
menderita gangguan kejiwaan sudah seharusnya diperlakukan layaknya manusia.
Karena bagaimanapun juga, mereka adalah warga negara yang haknya wajib
dilindungi oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
memuluskan misi itu.
Pertama, perlu sosialisasi yang aktif dari pemerintah tentang informasi
kesehatan jiwa. Stigma negatif bahwa gangguan kejiwaan adalah sebuah kutukan
harus dimentahkan oleh pemerintah. Pendidikan dan penyebaran informasi yang
benar tentang penyakit kesehatan jiwa mempunyai peran yang sangat krusial dalam
mencapai tujuan mulia Indonesia Bebas Pasung. Diharapkan dengan promosi yang
gencar dari pemerintah, keluarga korban bisa melaporkan kondisi kesehatan
keluarganya sedini mungkin kepada pihak terkait. Bukankah mencegah lebih baik
daripada mengobati.
Kedua, keluarga pasien dan masyarakat juga perlu terlibat aktif dalam
memberantas praktik pasung di Indonesia. Kita seolah-olah sudah terlena bahwa
pasung adalah praktik yang lumrah dilakukan terhadap orang dengan gangguan
kejiwaaan demi keselamatan warga sekitar. Sudah saatnya juga masyarakat
melaporkan praktik keji tersebut kepada pihak yang berwenang sehingga tidak ada
lagi cerita pasung di tengah-tengah masyarakat. Di banyak kasus, tidak adanya
biaya untuk pengobatan korban juga menjadi batu sandungan dalam mencapai
target Indonesia Bebas Pasung. Ini bisa diminimalisir oleh pemerintah dengan
membebaskan biaya pengobatan bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.
Ketiga, pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, wajib untuk
menjalankan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014.
7
Seperti misalnya: menyediakan sarana dan prasana dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan jiwa;6 melakukan rehabilitasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ); dan mempidana orang yang dengan sengaja atau menyuruh orang lain untuk
mamasung, menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (OMDK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Keempat, penanganan pasca program rehabilitasi juga menjadi salah satu
kunci utama kesuksesan Indonesia Bebas Pasung. Orang yang dipasung, layaknya
korban kekerasannya lainnya sangat rentan dengan trauma yang acapkali akan selalu
menghantui mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan pendampingan baik oleh
tenaga medis dan juga keluarga korban untuk memastikan bahwa mereka
mendapatkan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Perlakuan diskriminatif yang
selama ini selalu disematkan kepada mereka harus segera ditinggalkan.
Pasung yang merupakan salah satu cara tradional dalam menangani
penderita sakit jiwa di Indonesia sudah seharusnya dihapuskan. Target Indonesia
bebas pasung bisa dicapai jika para pemangku kepentingan (pemerintah, keluarga
dan masyarakat, penegak hukum, dan pegiat kesehatan jiwa) bekerjasama
menangani penderita sakit jiwa. Sudah selayaknya kita bersama memperlakukan
mereka seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain
8
d. membahayakan terhadap dirinya atau orang lain
e. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
9
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Trend dan Issu Keperawatan Jiwa adalah sesuatu yang sedang dibicarakan
banyak orang tentang praktek/mengenai keperawatan Jiwa baik itu berdasarkan
fakta ataupun tidak, trend dan issu keperawatan Jiwa tentunya menyangkut tentang
aspek legal dan etis keperawatan khususnya dalam aspek keperawatan jiwa.Adapun
trend dan isu yang sering terjadi adalah kasus pemasungan.
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa
yang dipasung seringkali merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan
klien. Alasan keluarga melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku
kekerasan, mencegah risiko bunuh diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan
ketidak mampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa.
Adapun faktor-faktor adanya pemasungan jiwa yaitu:
a. Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan.
b. Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat
jangka panjang. Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti
harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya
transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya.
c. Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap
d. membahayakan terhadap dirinya atau orang lain
e. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
f. Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri Ketidaktahuan serta
ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh.
g. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah
satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung.
10
3.2 Saran
Penulis berharap dengan makalah ini, semoga mahasiswa dapat mengerti
bagaimana asuhan keperawatan dengan pemasungan pada pasien gangguan jiwa yang
yang terjadi pada pasien yang mengalami penyakit tersebut. sehingga bisa berpikir
kritis dalam melakukan tindakan keperawatan.
11