Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa masih menjadi masalah serius kesehatan mental di Indonesia
yang perlu mendapat perhatian lebih dari pemangku kebijakan kesehatan nasional.
Meskipun masih belum menjadi program prioritas utama kebijakan kesehatan
nasional, namun dari angka yang didapatkan dari beberapa riset nasional
menunjukkan bahwa penderita gangguan jiwa di Indonesia masih banyak dan
cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 terdapat 0,46 persen dari total populasi Indonesia atau setara
dengan 1. 093. 150 jiwa penduduk Indonesia berisiko tinggi mengalami skizofrenia
(Lestari,2014).
Hasil Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 1995
menunjukkan bahwa gejala gangguan kesehatan jiwa pada penduduk rumah tangga
dewasa di Indonesia yaitu 185 kasus per 1. 000 penduduk. Hasil SKMRT juga
menyebutkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140
kasus per 1. 000 penduduk, sementara pada rentang usia 5–14 tahun ditemukan 104
kasus per 1. 000 penduduk (Lestari,2014).
Berdasarkan Riskesdas tahun 2007 dan 2013 (Gambar 1) dinyatakan bahwa
prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia masing-masing sebesar 4,6 per mil dan
1,7 per mil. Pada tahun 2007 Prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta
(20,3‰) dan terendah terdapat di Provinsi Maluku (0,9‰). Sedangkan pada tahun
2013 prevalensi tertinggi di Provinsi DI Aceh, dan terendah di Provinsi Kalimantan
Barat (Lestari,2014).
Masih banyak penderita gangguan jiwa berat yang tidak mendapat penanganan
secara medis atau yang drop out dari penanganan medis dikarenakan oleh faktor-
faktor seperti kekurangan biaya, rendahnya pengetahuan keluarga dan masyarakat
sekitar terkait dengan gejala gangguan jiwa, dan sebagainya. Sehingga masih banyak
penderita gangguan jiwa yang dipasung oleh anggota keluarganya, agar tidak
mencederai dirinya dan/atau menyakiti orang lain di sekitarnya (Lestari,2014).
Pengekangan fisik berupa pemasungan merupakan masalah yang masih
dihadapi oleh penderita gangguan jiwa. Pemasungan yang dialami oleh Orang dengan

1
Gangguan Jiwa (ODGJ) berupa dirantai atau diikat pada kayu sebagai bentuk
pembatasan gerak; pengikatan pergelangan kaki pada benda yang tidak bergerak; serta
dikurung di dalam kamar. Keluarga melakukan pemasungan pada ODGJ karena
adanya masalah ekonomi, tidak ada yang merawat, hilangnya kepercayaan pada
pengobatan, kurangnya pengetahuan mengenai gangguan jiwa, serta takut diketahui
oleh orang lain. Dari survey terlihat bahwa gangguan jiwa yang dipasung diakibatkan
juga oleh adanya benturan pada kepala, memiliki riwayat genetic gangguan jiwa,
memiliki kepribadian introvert, status ekonomi rendah, permasalahan dalam
pernikahan, serta hilangnya orang yang dicintai . Data dari Riset kesehatan dasar
tahun 2013 didapatkan bahwa rerata nasional penderita gangguan jiwa berat 1,7/ 1000
penduduk dan 14,3% diantaranya merupakan kelompok keluarga yang memiliki
anggota keluarga yang pernah dipasung (Rismawati, 2018).
Pasung yang dilakukan pada ODGJ dapat memberikan dampak, baik pada
fisik, psikologis dan hubungan sosialnya. Terdapat 21% ODGJ mengalami cidera atau
kondisi kesehatan memburuk saat dipasung . Pembatasan fisik yang dilakukan pada
pasien dapat menyebabkan cidera pada ekstremitas, melarikan diri dari kekangan,
jatuh dan terjadi perlukaan, serta berisiko asfiksia (Rismawati, 2018).
Pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa masih banyak terjadi, di mana
sekitar 20. 000 hingga 30. 000 penderita gangguan jiwa di seluruh Indonesia
mendapat perlakuan tidak manusiawi dengan cara dipasung (Lestari,2014). Pada
tahun 2011 Menteri Kesehatan RI sudah mencanangkan program Indonesia Bebas
Pasung pada tahun 2014. Namun sampai dengan sekarang (tahun 2014) belum terlihat
penanganan yang signifikan dan komprehensif dalam penanganan dini penderita
gangguan jiwa. Program Indonesia Bebas Pasung 2014 saat ini direvisi menjadi
Program Indonesia Bebas Pasung 2019, sehingga Indonesia dalam menentukan
ketercapaian target masih ada 5 tahun lagi atau bahkan lebih cepat karena proses ini
masih berlangsung berkesinambungan dengan adanya komitmen dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kota/kabupaten (Lestari,2014).
Data Riskesdas 2013 berikut ini menunjukkan data persentase rumah tangga
yang memiliki anggota rumah tangga (ART) dengan gangguan jiwa berat yang pernah
dipasung di Indonesia sebesar 14,3 persen. Terdapat 1. 655 rumah tangga (RT) yang
memiliki keluarga yang menderita gangguan jiwa berat (tabel 1). Tindakan
pemasungan berdasar wawancara dari riwayat mengalami pemasungan yaitu
pengalaman pemasungan selama hidup. Metode pemasungan tidak terbatas pada

2
pemasungan secara tradisional dengan menggunakan kayu atau rantai pada kaki,
tetapi juga tindakan pengekangan yang membatasi gerak, pengisolasian, termasuk
mengurung dan penelantaran, yang menyertai salah satu metode pemasungan
(Kementerian Kesehatan RI, 2013). Persentase pemasungan antara 0–50 persen
bervariasi di antara seluruh provinsi. Provinsi Kepulauan Riau, Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Papua Barat tidak ada RT yang
pernah melakukan tindakan pasung terhadap ART yang mengalami gangguan jiwa
berat. Di Provinsi Papua, setengah dari RT yang memiliki ART gangguan jiwa berat
pernah melakukan pasung (Lestari,2014).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penilaian ini adalah adanya
beberapa provinsi yang memiliki faktor pembagi (RT dengan ART gangguan jiwa
berat) yang rendah yaitu < 30 RT sehingga mempengaruhi hasilnya. Terdapat 67 RT
yang memiliki ART yang mengalami gangguan jiwa lebih dari 1 orang dan tidak dapat
di rinci pada laporan ini (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Beban yang ditanggung oleh keluarga yang hidup bersama penderita
gangguan jiwa berat meliputi beberapa faktor, baik secara ekonomi maupun sosial.
Trend dan isu yang terjadi di masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa juga
mempersulit penanganan penderita gangguan jiwa secara komprehensif. Goffman
(1963) menyatakan bahwa kejadian pasung terhadap penderita gangguan jiwa
memiliki dua komponen utama, yaitu yang bersifat publik (reaksi umum dari publik
terhadap orang yang menderita gangguan jiwa) dan individu (prasangka orang itu
sendiri terhadap gangguan jiwa yang diderita yang cenderung kembali kepada dirinya
sendiri). Sehingga trend dan isu yang terjadi pada penderita gangguan jiwa terutama
gangguan jiwa berat masih perlu dikaji lebih mendalam, untuk mencari solusi yang
tepat dalam penanganan penderita gangguan jiwa berat di masyarakat, dan lebih luas
untuk mendukung program Indonesia Bebas Pasung 2019.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan trend dan isue?
b. Apa yang dimaksud dengan pemasungan?
c. Bagaimana sejarah perkembangan pemasungan di Indonesia?
d. Apa saja faktor pemasungan orang yang mengalami gangguan jiwa?
e. Apa dampak pasung pada pasien jiwa?

3
1.3 Tujuan

Penulisan makalah ini beertujuan untuk memahami tentang trend dan issue
pasung keperawatan jiwa, bagaimana perang perawat dalam melaksanakan
keperawatan jiwa dan bagaimana manfaatnya kepada pasien dan perawat. Makalah ini
juga disusun untuk memahami tentang dampak pasung pada gangguan jiwa.

1.4 Manfaat
Bagi penulis, penyusunan makalah ini bermanfaat ganda, yaitu selain lebih
memahami perihal pasung pada pasien gangguan jiwa, penulis juga bisa mengasah
dan mengembangkan kemampuannya di bidang penulisan karya ilmiah. Sedangkan
bagi pembaca seperti instansi kesehatan terkait maupun masyarakat makalah ini
dapatmenjadi referensi untuk meningkatkan pelayanan dan perawatan pada pasien
gangguan jiwa agar tidak di pasung.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tren


Trend adalah hal yang sangat mendasar dalam berbagai pendekatan analisa,
tren juga dapat di definisikan salah satu gambaran ataupun informasi yang terjadi pada
saat ini yang biasanya sedang popular di kalangan masyarakat. Trend adalah sesuatu
yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan kejadiannya berdasarkan fakta.

2.2 Pengertian Isue


Issu adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau
tidak terjadi pada masa mendatang, yang menyangkut ekonomi, moneter, sosial, politik,
hukum, pembangunan nasional, bencana alam, hari kiamat, kematian, ataupun tentang
krisis. Issu adalah sesuatu yang sedang di bicarakan oleh banyak namun belum jelas
faktannya atau buktinya.

2.3 Keperawatan Jiwa


Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri
secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan
mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (American Nurses
Associations).

2.4 Pengertian Trend dan Isue keperawatan Jiwa


Trend dan Issu Keperawatan Jiwa adalah sesuatu yang sedang dibicarakan
banyak orang tentang praktek/mengenai keperawatan Jiwa baik itu berdasarkan fakta
ataupun tidak, trend dan issu keperawatan Jiwa tentunya menyangkut tentang aspek
legal dan etis keperawatan khususnya dalam aspek keperawatan jiwa.

2.5 Trend dan Issue dalam keperawatan jiwa Pemasungan.


Berikut ini beberapa trend dan issue yang terjadi Di Indonesia yang berbentuk
metode pengekangan seperti belenggu, tali, pasung kayu, kandang, dan mengunci orang
di ruang tertutup Metode-metode ini diterapkan pada laki-laki, wanita, dan anak-anak

5
yang menunjukkan sikap, perilaku dan ekspresi emosi tertentu yang berbeda dari orang
kebanyakan.

A. Definisi Pemasungan
Definisi pemasungan menurut Riskesdas 2013 adalah tindakan mengikat atau
mengasingkan orang dengan gangguan jiwa. Pengikatan dapat dilakukan dengan
menggunakan materi atau alat mekanik yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh
sehingga tangan, kaki atau kepala menjadi terbatas pergerakannya.
Tindakan pasung dilakukan pada pasien gangguan jiwa kronik, disertai
perilaku agresif, kekerasan, amuk, halusinasi yang berisiko menciderai diri sendiri,
orang lain atau lingkungan
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa
yang dipasung seringkali merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan klien.
Alasan keluarga melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku kekerasan,
mencegah risiko bunuh diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan ketidak
mampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa.
Mereka lebih memilih menyembunyikan penderita dibanding mengobati.
Kebanyakan pelaku dari kasus pemasungan ini adalah keluarga dari si penderita
gangguan jiwa itu sendiri. Keluarga penderita pada umumnya tidak paham apa
yang sebaiknya mereka lakukan terhadap para penderita. Keluarga juga khawatir
jika yang bersangkutan nantinya melakukan tindakan merusak atau bahkan
kekerasan kalau sakitnya itu kambuh. Faktor keterbatasan ekonomi juga jadi faktor
penting kenapa penderita tidak dilarikan ke rumah sakit jiwa.

B. Sejarah Perkembangan Pemasungan di Indonesia


Pemasungan masih terus terjadi di tanah air meskipun praktik tersebut telah
dilarang oleh pemerintah semenjak tahun 1977. Orang yang mengalami gangguan
kejiwaan dianggap sebagai orang yang tidak lagi punya harapan untuk menjalani
kehidupan secara normal. Tidak jarang mereka diperlakukan lebih parah daripada
seekor binatang. Tidak jarang pula mereka dipasung oleh keluarga dan masyarakat
sekitar karena dianggap dapat membahayakan dan mengganggu ketentraman warga

6
lainnya. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melarang praktik pemasungan
semenjak tahun 1977.
Akan tetapi praktik pasung ini terus saja terjadi selama empat puluh tahun
terakhir. Berdasarkan Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, Kementerian
Kesehatan mencatat setidaknya sebanyak 57 ribu orang pernah dipasung oleh
keluarganya. Atau sekitar 14.3% dari Orang dengan Gangguan Jiwa Berat
(ODGJB).
Pada tahun 2014, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang No 18
Tahun 2014. Kementerian Sosial juga mencanangkan Indonesia Bebas Pasung
2017. Tentunya ini adalah sebuah misi yang sangat mulia mengingat mereka yang
menderita gangguan kejiwaan sudah seharusnya diperlakukan layaknya manusia.
Karena bagaimanapun juga, mereka adalah warga negara yang haknya wajib
dilindungi oleh pemerintah. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk
memuluskan misi itu.
Pertama, perlu sosialisasi yang aktif dari pemerintah tentang informasi
kesehatan jiwa. Stigma negatif bahwa gangguan kejiwaan adalah sebuah kutukan
harus dimentahkan oleh pemerintah. Pendidikan dan penyebaran informasi yang
benar tentang penyakit kesehatan jiwa mempunyai peran yang sangat krusial dalam
mencapai tujuan mulia Indonesia Bebas Pasung. Diharapkan dengan promosi yang
gencar dari pemerintah, keluarga korban bisa melaporkan kondisi kesehatan
keluarganya sedini mungkin kepada pihak terkait. Bukankah mencegah lebih baik
daripada mengobati.
Kedua, keluarga pasien dan masyarakat juga perlu terlibat aktif dalam
memberantas praktik pasung di Indonesia. Kita seolah-olah sudah terlena bahwa
pasung adalah praktik yang lumrah dilakukan terhadap orang dengan gangguan
kejiwaaan demi keselamatan warga sekitar. Sudah saatnya juga masyarakat
melaporkan praktik keji tersebut kepada pihak yang berwenang sehingga tidak ada
lagi cerita pasung di tengah-tengah masyarakat. Di banyak kasus, tidak adanya
biaya untuk pengobatan korban juga menjadi batu sandungan dalam mencapai
target Indonesia Bebas Pasung. Ini bisa diminimalisir oleh pemerintah dengan
membebaskan biaya pengobatan bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan.

Ketiga, pemerintah, baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah, wajib untuk
menjalankan amanat yang terkandung dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2014.

7
Seperti misalnya: menyediakan sarana dan prasana dalam penyelenggaraan upaya
kesehatan jiwa;6 melakukan rehabilitasi terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa
(ODGJ); dan mempidana orang yang dengan sengaja atau menyuruh orang lain untuk
mamasung, menelantarkan dan melakukan kekerasan terhadap Orang Dengan
Masalah Kejiwaan (OMDK) dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Keempat, penanganan pasca program rehabilitasi juga menjadi salah satu
kunci utama kesuksesan Indonesia Bebas Pasung. Orang yang dipasung, layaknya
korban kekerasannya lainnya sangat rentan dengan trauma yang acapkali akan selalu
menghantui mereka. Oleh karena itu, sangat diperlukan pendampingan baik oleh
tenaga medis dan juga keluarga korban untuk memastikan bahwa mereka
mendapatkan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Perlakuan diskriminatif yang
selama ini selalu disematkan kepada mereka harus segera ditinggalkan.
Pasung yang merupakan salah satu cara tradional dalam menangani
penderita sakit jiwa di Indonesia sudah seharusnya dihapuskan. Target Indonesia
bebas pasung bisa dicapai jika para pemangku kepentingan (pemerintah, keluarga
dan masyarakat, penegak hukum, dan pegiat kesehatan jiwa) bekerjasama
menangani penderita sakit jiwa. Sudah selayaknya kita bersama memperlakukan
mereka seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain

C. Faktor pemasungan orang yang mengalami gangguan Jiwa


Adapun faktor-faktor adanya pemasungan jiwa yaitu:

a. Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang


tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan.

b. Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat


jangka panjang. Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti
harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya
transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya.

c. Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap

8
d. membahayakan terhadap dirinya atau orang lain
e. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain

f. Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri Ketidaktahuan serta


ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh.

g. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah


satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung.

D. Dampak Pasung pada pasien gangguan jiwa


Pemasungan menyebabkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan dasar
hidup yang layak, termasuk kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan ODGJ
yang dipasung (Halida, Dewi, & Rasni, 2016). Pasien yang dipasung dalam
waktu lama akan mengalami atropi otot, tidak bisa lagi berjalan, mengalami
cedera hingga pasien harus di terapi jika pasien tersebut dilepaskan dari
pasung (Puteh, 2011; Malfasari, Keliat, & Helena (2016).
Dampak lain pemasungan yaitu penderita mengalami trauma,
dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendahdiri, dan putus asa, muncul
depresi dan gejala niat bunuh diri (Lestari, Choiriyyah, & Mathafi, 2014).

9
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Trend dan Issu Keperawatan Jiwa adalah sesuatu yang sedang dibicarakan
banyak orang tentang praktek/mengenai keperawatan Jiwa baik itu berdasarkan
fakta ataupun tidak, trend dan issu keperawatan Jiwa tentunya menyangkut tentang
aspek legal dan etis keperawatan khususnya dalam aspek keperawatan jiwa.Adapun
trend dan isu yang sering terjadi adalah kasus pemasungan.
Pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada
tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat
tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Keluarga dengan klien gangguan jiwa
yang dipasung seringkali merasakan beban yang berkaitan dengan perawatan
klien. Alasan keluarga melakukan pemasungan adalah mencegah perilaku
kekerasan, mencegah risiko bunuh diri, mencegah klien meninggalkan rumah dan
ketidak mampuan keluarga merawat klien gangguan jiwa.
Adapun faktor-faktor adanya pemasungan jiwa yaitu:
a. Ketidaktahuan pihak keluarga, rasa malu pihak keluarga, penyakit yang
tidak kunjung sembuh, tidak adanya biaya pengobatan, dan tindakan
keluaga untuk mengamankan lingkungan merupakan penyebab keluarga
melakukan pemasungan.
b. Perawatan kasus psikiatri dikatakan mahal karena gangguannya bersifat
jangka panjang. Biaya berobat yang harus ditanggung pasien tidak hanya
meliputi biaya yang langsung berkaitan dengan pelayanan medik seperti
harga obat, jasa konsultasi tetapi juga biaya spesifik lainnya seperti biaya
transportasi ke rumah sakit dan biaya akomodasi lainnya.
c. Mencegah klien melakukan tindak kekerasan yang dianggap
d. membahayakan terhadap dirinya atau orang lain
e. Mencegah klien meninggalkan rumah dan mengganggu orang lain
f. Mencegah klien menyakiti diri seperti bunuh diri Ketidaktahuan serta
ketidakmampuan keluarga menangani klien apabila sedang kambuh.
g. Faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan keluarga merupakan salah
satu penyebab pasien gangguan jiwa berat hidup terpasung.

10
3.2 Saran
Penulis berharap dengan makalah ini, semoga mahasiswa dapat mengerti
bagaimana asuhan keperawatan dengan pemasungan pada pasien gangguan jiwa yang
yang terjadi pada pasien yang mengalami penyakit tersebut. sehingga bisa berpikir
kritis dalam melakukan tindakan keperawatan.

11

Anda mungkin juga menyukai