Anda di halaman 1dari 34

PENGARUH AROMATERAPI PEPPERMINT TERHADAP

TINGKAT SESAK NAPAS PASIEN PPOK DI


RUMAH SAKIT KHUSUS PARU-PARU
PALEMBANG TAHUN 2019

DISUSUN OLEH : LILIS HARTATI

NIM : 04.02.13.8182.1027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD), PPOK atau penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit
dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang
merugikan atau gas.
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan keadaan yang ditandai
dengan kelemahan kemampuan untuk bernapas, mereka yang menderita
PPOK akan menanggung akibat dari kurangnya oksigen. Penurunan kadar
oksigen dalam sirkulasi dan jaringan tubuh, menempatkan pasien pada
risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya. Akhir-akhir ini
PPOK diketahui juga memiliki efek sistemik dengan manifestasi
ekstraparu. Komplikasi sistemik PPOK terdiri dari peradangan sistemik,
penurunan berat badan, gangguan muskuloskeletal, gangguan
kardiovaskular, gangguan hematologi, neurologi dan psikiatri (khader,
2007).
Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor,
outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain
yaitu genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
(Oemiati,R, 2013).
Prevalensi PPOK terus meningkat dengan bertambahnya prevalensi
perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi udara.
Sedangkan berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) tahun 2001, 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% penduduk
perempuan adalah perokok, dan sebagian besar anggota rumah tangga
adalah perokok pasif. Sedangkan jumlah perokok yang berisiko PPOK
atau kanker paru adalah sebesar 20-25%(Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2011).
Prevalensi global PPOK pada tahun 2015 sekitar 11,7%, meningkat
44,2% dari tahun 1990, dan menyebabkan kematian pada 3,2 juta orang di
2015. Sedangkan prevalensi PPOK di Indonesia menurut Riskesdas 2013
adalah 3,7% . Hasil survei penyakit tidak menular oleh Ditjen PPM & PL
di 5 RS provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan bahwa PPOK
merupakan penyumbang angka kesakitan terbesar (35%), diikuti oleh
asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%).
PPOK akan berdampak negatif terhadap kualitas hidup penderita,
termasuk pasien yang berumur >40 tahun yang dapat menyebabkan
disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia
produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang
kronik. Komplikasi morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit
kardiovaskuler, kanker bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik
disorder, keberadaan asma, hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi
dan anxiety (Agusti AGN, Noguera A, Sauleda J, Sala E, Pons J, Busquet
X, 2003).
Gejala saluran pernapasan yang paling banyak diderita oleh pasien
PPOK adalah cepat merasa lelah/sesak napas bila beraktivitas, diikuti
gejala napas berbunyi/mengi, gejala mengeluarkan dahak/reak hampir
setiap hari,gejala batuk tiap hari, gejala lama keluhan berdahak 1 bulan ke
atas, keluhan sesak napas >3 bulan sehingga membatasi aktivitas sehari-
hari, dan sesak napas bersifat episodik (Tana, Delima, Sihombing,
Mulyati, Ghani, 2012).
Selain itu masalah utama dan alasan paling sering yang
menyebabkan penderita PPOK mencari pengobatan adalah sesak napas
yang diderita yang bersifat persisten dan progresif (PDPI, 2011).
Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang sangat
bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, hingga berat. Sehingga
menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas sehari-hari penderita yang
bergantung pada beratnya sesak, semakin berat derajat sesak napas, maka
semakin sulit penderita melakukan aktivitas(Zamzam et al; 2012).Akibat
sesak napas yang dirasakan, penderita PPOK cenderung menghindari
aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari, sehingga akan menyebabkan
immobilisasi, hubungan pasien dengan aktivitas sosial menurun dan
akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita (Khotimah,
2013).
Gejala yang tidak dapat diatasi akan memiliki kecenderungan
eksaserbasi. Eksaserbasi adalah peristiwa akut yang ditandai dengan
memburuknya kondisi penyakit pasien dari kondisi sebelumnya dan
menyebabkan perubahan dalam pengobatannya (GOLD, 2015). Menurut
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2003), PPOK dengan
eksaserbasi akut ditandai dengan batuk atau sesak bertambah, sputum
bertambah dan sputum berubah warna (PDPI, 2003). Penyebab utama
PPOK eksaserbasi akut adalah adanya infeksi saluran pernafasan yang
disebabkan virus maupun bakteri (GOLD, 2015).
Beberapa pilihan terapi untuk eksaserbasi akut yang dapat
diberikan di rumah sakit, diantaranya adalah terapi Oksigen, Noninvasive
mechanicalventilation (NPPV), Bronkodilator, Kortikosteroid, Terapi
tambahan. Bronkodilator digunakan dalam bentuk inhaler, intravena atau
nebulizer (Ramadhani, 2014).
Penelitian berupa terapi non farmakologi mengenai manfaat
aromaterapi terhadap masalah gangguan pernapasan menyebutkan bahwa
aromaterapi peppermint dapat dijadikan solusi untuk mengatasi masalah
keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada pasien anak usia 1-
5 tahun dengan bronkopneumonia (Amelia, Oktorina, & Astuti, 2018).
Menurut Tjitrosoepomo (2010) kandungan penting yang terdapat
pada aromaterapi peppermint adalah menthol 50% yang berguna sebagai
anti inflamasi/ pelega tenggorokan. Peppermint essential oil memiliki
kemampuan membuka saluran udara dan bertindak sebagai decongestant.
Pembuluh darah yang terdapat dalam membran rongga hidung akan
melebar ketika kontak dengan virus atau alergen. Pembuluh darah yang
melebar ini juga akan diiringi dengan produksi cairan dan lendir. Lendir
yang berlebih akan memenuhi jalan napas sehingga mengakibatkan
kesulitan bernapas. Dalam kondisi ini, dekongestan membantu
mengurangi pembengkakan dan mempersempit kembali pembuluh-
pembuluh darah yang melebar.
Berdasarkan kajian masalah dan penelitian sebelumnya yang
terkait peneliti merasa perlu untuk meneliti tentang Pengaruh Aromaterapi
Peppermint Terhadap Tingkat Sesak Napas Pasien PPOK di Rumah Sakit
Khusus Paru-Paru Palembang Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah
Masalah utama dan alasan paling sering yang menyebabkan
penderita PPOK mencari pengobatan adalah sesak napas yang diderita
yang bersifat persisten dan progresif yang mengakibatkan keterbatasan
dalam aktivitas sehari-hari penderita yang bergantung pada beratnya sesak,
semakin berat derajat sesak napas, maka semakin sulit penderita
melakukan aktivitas. Disamping itu penerapan terapi komplementer
berupa pemberian aromaterapi peppermint terhadap masalah sesak napas
pasien PPOK masih jarang dilakukan. Berdasarkan fenomena dan masalah
diatas diambil rumusan masalah belum diketahuinya apakah terdapat
pengaruh aromaterapi peppermint terhadap tingkat sesak napas pasien
Penyakit Paru Obstruksi Kronis.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aromaterapi
peppermint terhadap tingkat sesak napas pasien PPOK.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik pasien PPOK
yang mengalami masalah sesak napas berdasarkan umur,
jenis kelamin, dan pendidikan.
b. Mengetahui perbedaan tingkat sesak napas berdasarkan
american thoracic society pre test dan post test kelompok
intervensi
c. Mengetahui perbedaan tingkat sesak napas berdasarkan
american thoracic society pre test dan post test kelompok
kontrol
d. Mengetahui selisih tingkat sesak napas berdasarkan
american thoracic society pre test dan post test kelompok
intervensi dan kelompok kontrol

D. Manfaat penelitian
1. Manfaat bagi pelayanan ilmu keperawatan
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan
bagi institusi untuk tambahan kepustakaan tentang aplikasi
aromaterapi peppermint terhadap tingkat sesak napas pasien
penyakit paru obstruktif kronik.
2. Manfaat bagi pengembangan ilmu keperawatan
a. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk menambah
wawasan baru, informasi, pemahaman serta dapat
digunakan sebagai penunjang referensi pada bidang ilmu
keperawatan dan penggunaan terapi komplementer dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik dengan masalah sesak napas.
b. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai
referensi serta acuan dalam pengembangan penelitian
selanjutnya.

E. Ruang lingkup penelitian


Penelitian ini berjudul “Pengaruh Aromaterapi Peppermint
Terhadap Tingkat Sesak Napas Pasien PPOK di Rumah Sakit Khusus
Paru-Paru Palembang Tahun 2019”. Penelitian ini menggunakan
rancangan quasi eksperimental dengan teknik pretest-posttest control
group design. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan
metode Non Probability Sampling dengan teknik purposive sampling.
Pelaksanaan terapi dilakukan dengan cara memberikan 2-3 tetes
peppermint oil pada mesin uap aromaterapi (diffuser) yang telah di isi air
sebelumnya. Kemudian uap aromaterapi dihirup selama 15 menit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit
yang ditandai oleh keterbatasan jalan napas progresif yang
disebabkan oleh reaksi peradangan abnormal (Gleadle & Jonathan,
2005)
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah istilah
umum yang digunakan untuk menggambarkan kondisi obstruksi
irreversible progresif aliran udara ekspirasi. Individu dengan PPOK
mengalami kesulitan bernapas, batuk produktif dan intoleransi
aktivitas (Asih dan Effendy, 2003)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)PPOK adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yangbersifat progressif nonreversibel atau reversibel
parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau
gabungan keduanya. Bronkitis kronik Kelainan saluran napas yang
ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak
disebabkan penyakit lainnya. Emfisema Suatu kelainan anatomis
paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal,disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup
banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-
tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan
obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi
kriteria PPOK (PDPI, 2003)

2. Etiologi
Penyebab PPOK dikaitkan dengan banyak faktor risiko,
yaitu pajanan terhadap rokok baik secara aktif maupun pasif, bahan
kimia dan debu industri,polusi udara di dalam/di luar ruangan,dan
faktor genetik, infeksi, status sosial ekonomi, dan usia tua
(Overviews of Non Communicable Diseases and related risk
factors). Di Indonesia, PPOK diperkirakan meningkat seiring
dengan bertambahnya umur harapan hidup, kebiasaan merokok,
pertambahan penduduk, polusi udara di kota besar, lokasi industri,
dan pertambangan (Perhimpunan Dokter Paru di Indonesia, 2003)
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah :
a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu,asap
dangas-gas kimiawi.
b. Faktor Usiadan jenis kelamin sehingga mengakibatkan
berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala
penyakit tidak dirasakan.
c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis,
dan asmaorang dengan kondisi ini berisiko mendapat
PPOK.
d. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan
suatu enzim yang normalnya melindungi paru-paru dari
kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini
dapat terkena empisemapada usia yang relatif muda, walau
pun tidak merokok.

3. Klasifikasi
Klasifikasi derajat PPOK menurut Global initiative for chronic
Obstritif Lung Disiase (GOLD) 2011.
a. Derajat I (PPOK Ringan) : Gejala batuk kronik dan
produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
b. Derajat II (PPOK Sedang) : Gejala sesak mulai dirasakan
saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
c. Derajat III (PPOK Berat) : Gejala sesak lebih berat,
penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien.
d. Derajat IV (PPOK Sangat Berat) : Gejala di atas ditambah
tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam
jiwa biasanya disertai gagal napas kronik

4. Manisfestasi Klinis
PPOK ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap
aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya. Bronkitis
kronik, emfisema paru, dan asma bronkial membentuk kesatuan
yang disebut PPOK.
Bronkitis kronik merupakan suatu gangguan klinis yang
ditandai oleh pembentukan mukus yang berlebihan dalam bronkus
dan bermanisfestasi sebagai batuk kronik dan pembentukan sputum
selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dalam dua tahun berurut-turut. Sputum yang terbentuk pada
bronkitis kronik dapat mukoid atau mukopurulen.
Emfisema paru merupakan suatu perubahan anatomis
parenkim paru yang ditandai oleh pembesaran alveolus dan duktus
alveolaris yang tidak normal, serta destruksi dinding alveolar.
Asma merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh
hipersensitifitas cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis
rangsangan dan keadaan ini bermanisfestasi sebagai penyempitan
jalan napas secara periodik dan reversibel akibat bronkospasme
(Price dan Wilson, 2005).
Gambaran klinis pasien PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003 :
A. Gambaran Klinis
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa
gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga-Terdapat faktor
predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir
rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
4. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak-Sesak dengan atau
tanpa bunyi mengi

B. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
a. Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup
mencucu)
b. Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal
sebanding)
c. Penggunaan otot bantu napas
d. Hipertropi otot bantu napas
e. Pelebaran sel iga Bila telah terjadi gagal jantung kanan
terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungka
f. Penampilan pink puffer atau blue bloater
2. Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
3. Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
4. Auskultasi
suara napas vesikuler normal, atau melemah terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa. ekspirasi memanjang-bunyi jantung
terdengar jauh.

5. Mekanisme pernapasan
Mekanisme pernapasan terdiri dari proses inspirasi dan
ekspirasi. Pada saat proses inspirasi (ketika udara masuk ke paru-
paru), otot antar tulang rusuk berkontraksi dan terangkat sehingga
volume rongga dada bertambah besar sedangkan tekanan rongga
dada menjadi lebih kecil dari tekanan udara luar. Sehingga udara
mengalir dari luar ke dalam paru-paru (Pramitra, 2006). Sedangkan
pada saat proses ekspirasi (ketika udara keluar dari paru-paru), otot
antar tulang rusuk akan kembali ke posisi semula (relaksasi),
sehingga volume rongga dada akan mengecil sedangkan
tekanannya membesar. Tekanan ini akan mendesak dinding paru-
paru, sehingga rongga paru-paru membesar. Keadaan inilah yang
menyebabkan udara dalam rongga paru-paru terdorong ke luar
(Pramitra, 2006).

6. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen
komponen asap rokok merangsangperubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu
sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran
napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen.
Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia
akibat dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat
mukus yang kental dan adanya peradangan. (Jackson, 2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Mediator-mediator peradangan
secara progresif merusak struktur struktur penunjang di paru.
Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus,
maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan
(recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udaraakan terperangkap di
dalam paru dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley, 2011).

7. Komplikasi
Pasien PPOK akan mengalami peningkatan frekuensi
pernapasan dengan ekspirasi memanjang sebagai kompensasi dari
sesak napas, biasanya otot-otot asesoris pernapasan bagian dada
atas digunakan secara eksesif untuk membantu pergerakan dada.
Otot-otot ini tidak dapat digunakan dalam jangka waktu lama
sehingga fungsi ventilasi paru mengalami penurunan (Black &
Hawk, 2005; Thomas, McKinley, & Foy, 2003).

B. Sesak Napas (Dispnea)


1. Definisi
Dispnea sering disebut sebagai sesak napas, napas pendek,
breathless, atau shortness of breath. Dispnea adalah gejala subjektif
berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya
mendapatkan udara pernapasan. Karena sifatnya subjektif, dispnea
tidak dapat dikukur (namun terdapat gradasi sesak napas) . rasa
dispnea buatan bisa didapat jika kita menahan napas selama kurang
lebih 45-60 detik, kemudian kita menarik napas saat itu timbul
perasaan yang disebut dyspneic, yaitu kemauan untuk mebambah
upaya bernapas. Begitu juga setelah melakukan kegiatan latihan
berat (vigorous exercise) akan timbul perasaan dyspneic atau
terengah-engah . keluhan dyspnea tidak selalu disebabkan oleh
penyakit. Sering pula terjadi pada keadaan sehat tetapi terdapat
stres psikologik.seperti hal nya rasa nyeri, dyspnea sebagai gejala
sifatnya subjektif, tingkat keparahan nya dipengaruhi oleh respon
penderita, kepekaan(sensitivitas) serta kondisi emosi. Tingkatan
dispnea dapat dirasakan sangat berbeda oleh masing masing
penderita walaupun sebetulnya kondisinya sama. Meskipun
sifatnya subjektif, dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya
upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak
(labored and distressful breathing). Adanya peningkatan frekuensi
pernapasan yang ringan (mild) dalamnya tarikan napas, serta
perubahan irama napas tidak selalu menunjukan dispnea.

2. Etiologi
Dispnea sebagai akibat peningkatan upaya untuk bernapas
(work of breathing) dapat ditemuipada berbagai kondisi klinis
penyakit. Penyebabnya adalah meningkatnya tahanan jalan napas
seperti obstruksi jalan napas atas asma, dn pada penyakit obsrtruksi
kronik. Berkurangnya keteregangan paru yang disebabkan oleh
fibrosis paru, kongesti, edema, dan pada penyakit parenkim paru
dapat menyebabkan dispnea. Kongesti dan edema biasanya
disebabkan oleh abnormalitas kerja jantung. Penyebab lainnya
adalah pengurangan ekspansi paru seperti pada efusi pleura,
pneumotoraks, kelemahan otot, dan deformitas rongga dada.
Dalam mengevaluasi dispnea, perlu diperhatikan keadaan ketika
dispnea terjadi. Dispnea dapat terjadi pada perubahan posisi tubuh.
Dispnea yang terjadi pada posisi berbaring disebut ortopneu,
biasanya disebabkan karena gagal jantung. Ortopneu juga terjadi
pada penyakit paru tahap lanjut dan paralisis diafragma bilateral.
Platipneu adalah kenbalikan dari ortopneu yaitu dispnea yang
terjadi pada posisi tegak dan akan membaik jika penderita dalam
posisi berbaring ; keadaan ini terjadi pada abnormalitas
vaskulkarisasi paru seperti pada COPD berat. Disebut trepopneu
jika dengan posisi bertumpu pada sebelah sisi , penderita dispnea
dapat bernapas lebih enak; ditemui pada penyakit jantung
(perubahan posisi menyebabkan perubahan ventilasi-perfusi ).
Paroximal nocturnal dispnea (PND) adalah sesak napas yang
terjadi tiba-tiba pada saat tengah malam setelah penderita tidur
selama beberapa jam, biasanya terjadi pada penderita penyakit
jantung. Exertional dispnea adalah dispnea yang disebabkan karena
melakukan aktivitas. Intensitas aktivitas dapat dijadikan ukuran
beratnya gangguan napas, misal setelah bernapas 50 langkah atau
setelah menaiki 4 anak tangga timbul sesak napas. Dispnea yang
terjadi dijalan datar, tingkatan gangguan napasnya lebih berat
dibandingkan dengan dispnea yang timbul ketika naik tangga.
Keluhan sesak napas juga dapat disebabkan oleh keadaan
psikologis. Jika seseorang mengeluh sesak napas tetapi dalam
excercise tidak timbul sesak maka dapat dipastikan keluhan sesak
napasnya disebabkan oleh keadaan psikologis. Penyebab dispnea
secara umum :
a. Sistem kardiovaskular : gagal jantung
b. Sistem pernapasan : PPOK, Penyakit Parenkim Paru, Hipertensi
pulmonal, kifoskoliosis berat, faktor mekanik diluar paru (asites
obesitas, efusi pleura)
c. Psikologis (kecemasan)
d. Hematologi (anemia kronik)
e. Penyebab dispnea akut : gagal jantung kiri, bronkospasme.

3. Gradasi Keadaan Akibat Sesak Napas


Meskipun sesak napas gejala dan sifatnya subjektif, namun
gradasi keparahan sesak napas dapat ditentukan. Sesak napas yang
berat menyebabkan penderita tidak dapat mengucapkan kalimat
penuh dalam satu tarikan napas. Cara menentukan gradasi sesak
napas tergantung pada jenis penyebab sesak napas.
a. Keadaan sesak napas karena asma menggunakan klasifikasi
gradasi asma menurut NAEPP
b. Keadaan sesak napas karena COPD menggunakan MRC
Dispnea index, atau Baseline Dispnea index, atau Tansition
Dispnea Index.
c. Keadaan sesak napas karena penyakit jantung
menggunakan NYHA functional and therapeutic applied to
dispnea (Djojodibroto, 2007).

4. Menilai derajat sesak napas penderita PPOK


Menilai derajat sesak napas penderita PPOK Sesak napas
pada PPOK dapat diukur derajatnya dengan MRC Dyspnea Scale,
Baseline Dyspnea Index, Transition Dyspnea Index. BDI
digunakan untuk menilai derajat sesak napas pada suatu waktu,
sedangkan TDI digunakan untuk menilai perubahan yang diukur
dari baseline.

Tabel 2.1
Skala Dyspnea Menurut Medical Research Council (MRC Dyspnea Scale)
Gradasi 1 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat
Gradasi 2 Sesak napas timbul jika berjalan cepat pada lantai yang
datar, atau jika berjalan ditempat yang sedikit landai.
Gradasi 3 Jika berjalan bersama dengan teman seusia dijalan datar,
selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan
yang datar, sering beristirahat untuk mengambil napas
Gradasi 4 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan sejauh
30 m (100 yard) pada jalan yang datar, atau setelah
berjalan beberapa menit
Gradasi 5 Timbul sesak napas berat ketika bergerak untuk
mengenakan atau melepas baju
Tabel 2.2
Baseline Dyspnea Index (BDI)
Kegagalan Fungsi (Fungsi Impairment)
Gradasi 4 Tidak ada halangan (no impairment) mampu melakukan
aktivitas sehari-hari dan bekerja tanpa timbul keluhan
sesak napas.
Halangan ringan (slight impairment) didapati adanya
halangan dalam melakukan satu jenis aktivitas, tetapi tidak
tuntas. Terdapat sedikit pengurangan aktivitas kerja yang
biasa dilakukan sehari-hari karena berkurangnya
kemampuan (ausdauer). Masih belum jelas apakah
pengurangan kemampuan ini disebabkan oleh sesak napas.
Gradasi 3 Halangan ringan (slight impairment). Didapati adanya
halangan dalam melakukan satu jenis aktivitas, tetapi tidak
tuntas. Terdapat sedikit penggunaan aktivitas kerja yang
biasa dilakukan sehari-hari karena berkurangnya
kemampuan (ausdauer). Masih belum jelas apakah
pengurangan kemampuan ini disebabkan oleh sesak napas
Gradasi 2 Halangan sedang (moderate impairment). Penderita ini
tidak mampu lagi melakukan satu jenis aktivitas yang
biasa dilakukannya karena sesak napas.
Gradasi 1 Halangan berat (severe impairment). Penderita tidak
mampu lagi bekerja atau menghentikan semua aktivitas
yang biasa dilakukannya karena sesak napas.
Tabel 2.3
Transition Dyspnea Index (TDI)
Perubahan dalam gangguan fungsi (change in functional impairment)
Gradasi -3 Kemunduran berat (major deterioration). Penderita yang
biasanya bekerja, terpaksa tidak bekerja dan kehilangan
kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari karena
sesak napas.
Gradasi -2 Kemunduran sedang (moderate deterioration). Penderita
yang biasanya bekerja, terpaksa tidak bekerja atau
kehilangan kemampuan untuk melakukan beberapa jenis
kegiatan sehari-hari karena sesak napas.
Gradasi -1 Kemunduran ringan (minor deterioration). Terpaksa
pindah kerja yang lebih ringan dan atau mengurangi
jumlah aktivitas ataupun lama kerja karena sesak napas.
Gradasi 0 Tidak ada perubahan (no change). Tidak ada perubahan
status fungsi karena tidak ada keluhan sesak napas.
Gradasi +1 Ada sedikir perbaikan (minor improvement). Mampu
bekerja kembali dengan cara mengurangi kecepatan, atau
dapat memulai beberapa aktivitas yang biasa dengan
sedikit lebih giat daripada sebelumnya karena ada
perbaikan pada pernapasannnya.
Gradasi +2 Ada perbaikan sedang (moderate improvement). Mampu
bekerja kembali dengan kecepatan mendekati biasanya
dan atau dapat kembali kepada aktivitas sedang dengan
hanya mengalami hambatan sedang.
Gradasi +3 Ada perbaikan besar (major improvement). Mampu
bekerja kembali pada kecepatan semula dan dapat
kembali bekerja seperti biasanya dengan hanya
mengalami sedikit hambatan ringan karena perbaikan
pada pernapasannya.
C. Aromaterapi
1. Definisi Aromaterapi
Aromaterapi berasal dari kata aroma yang berarti bau
harum atau bau-bauan dan terapi yang berarti pengobatan.
Aromaterapi adalah metode pengobatan penyakit menggunakan
aroma minyak atsiri yang dihasilkan dari tumbuhan obat. Pada
dasarnya aromaterapi dalam praktik sehari-hari dibagi menjadi
tiga, yaitu aromaterapi klinik, aromaterapi holistik, dan
aromaterapi estetik (kecantikan).
Aromaterapi klinik menggunakan minyak atsiri (minyak
volatil/minyak esensial) yang diberikan sebagai obat minum
(internal)maupun pemakaian luar (eksternal)seperti mandi,
kompres, massage/pijat, dan inhalasi (uapnya dihirup).
Aroma terapi holistik, adalah penerapan aromaterapi
sebagai bagian dari pengobatan pada seseorang dengan
memperhatikan aspek medis, diet, gaya hidup, olahraga, dan
permasalahan lain yang dihadapi pasien.
Aromaterapi kecantikan adalah praktik aromaterapi yang
menitikberatkan pada upaya perawatan tubuh, kecantikan dan
kebugaran seseorang. Selain itu ada juga aromaterapi praktis yaitu
praktik aromaterapi dirumah untuk mengatasi berbagai masalah
kesehatan sederhana seperti pijat pada bayi dengan minyak telon,
penggunaan minyak sereh untuk mengusir nyamuk, serta mandi
rempah untuk menyembuhkan sakit otot dan pegal (Suranto,2011).

2. Jenis minyak aromaterapi


Jenis minyak aromaterapi yang umum digunakan yaitu :
a. Minyak Eukaliptus,
b. Radiata (Eucalyptus Radiata Oil)
c. Minyak Rosemary (Rosemary Oil)
d. Minyak Ylang-Ylang (Ylang-Ylang Oil)
e. Minyak Tea Tree (Tea Tree Oil)
f. Minyak Lavender (Lavender Oil)
g. Minyak Geranium (Geranium Oil)
h. Minyak Pepperminth.
i. Minyak Jeruk Lemon (Lemon Oil)
j. Minyak Chamomile Roman
k. Minyak Clary Sage (Clary Sage Oil)

3. Kandungan Utama Peppermint


Kandungan utama daun mint adalah minyak atsiri yang
komponennya terdiri dari menthol, monoterpen lainnya termasuk
menthone (10-40%), mentil asetat (1-10%), menthofuran (1-10%),
cineol (eucalyptol, 2-13%) dan limonene (0,2-6%). Monoterpen
seperti pinene, terpinene, myrcene, β-caryophyllene, piperitone,
piperitenon, piperitone oksida, pulegone, eugenol, menthone,
isomenthone, carvone, cadinene, dipentene, linalool, α-
phellendrene, ocimene, sabinene, terpinolene, γ-terpinene,
fenchrome, p-menthane dan β-thujone juga hadir dalam jumlah
kecil. (Shah, P. et al, 2004)

4. Manfaat Aromaterapi Peppermint


Aromaterapi peppermint mengandung menthol sehingga
sering digunakan juga sebagai bahan baku obat flu. Aroma menthol
yang terdapat pada aromaterapi peppermint memiliki anti
inflamasi, sehingga nantinya akan membuka saluran pernafasan.
Selain itu, aromaterapi peppermint juga akan membantu mengobati
infeksi akibat serangan bakteri. Karena aromaterapi peppermint
memiliki sifat antibakteri. Aromaterapi peppermint akan
melonggarkan bronkus sehingga akan melancarkan pernafasan.
Untuk melegakan pernafasan dapat menghirup aromaterapi
peppermint secara langsung. Sedangkan inhalasi sederhana adalah
menghirup uap hangat dari air mendidih telah dicampur dengan
aroma terapi sebagai penghangat, misalnya aromaterapi
peppermint. Terapi inhalasi ditujukan untuk mengatasi
bronkospasme, mengencerkan sputum, menurunkan hipereaktivitas
bronkus serta mengatasi infeksi (Rasmin dkk, 2012).
Menthol berkhasiat sebagai obat karminatif (penenang),
antispasmodic (antibatuk) dan diaforetik (menghangatkan dan
menginduksi keringat). Minyak Mentha piperita L. mempunyai
sifat mudah menguap, tidak berwarna, berbau tajam dan
menimbulkan rasa hangat diikuti rasa dingin menyegarkan. Minyak
ini diperoleh dengan cara menyuling ternanya (batang dan daun),
sehingga minyak yang sudah diisolasi mentholnya disebut
dementholized oil (DMO) (Hadipoentyanti, 2012). Peppermint
essential oil memiliki kemampuan membuka saluran udara dan
bertindak sebagai decongestant. Pembuluh darah yang terdapat
dalam membran rongga hidung akan melebar ketika kontak dengan
virus atau alergen. Pembuluh darah yang melebar ini juga akan
diiringi dengan produksi cairan dan lendir. Lendir yang berlebih
akan memenuhi jalan napas sehingga mengakibatkan kesulitan
bernapas. Dalam kondisi ini, dekongestan membantu mengurangi
pembengkakan dan mempersempit kembali pembuluh-pembuluh
darah yang melebar. Mayoritas Dekongestan bekerja dengan cara
meningkatkan aktivitas norepinefrin (noradrenalin) dan epinefrin
(adrenalin) atau aktivitas adrenergis dengan cara menstimulasi
reseptor α-adrenergis. Proses ini memicu vasokonstriksi pembuluh
daral di hidung, tenggorokan, dan sinus paranasal, sehingga
mengurangi inflamasi (bengkak) dan pembentukan lendir di area
tersebut.

5. Teknik Pemberian Aromaterapi


Teknik pemberian aroma terapi bisa digunakan dengan cara :
a. Inhalasi : biasanya dianjurkan untuk masalah dengan
pernafasan dan dapat dilakukan dengan menjatuhkan beberapa
tetes minyak esensial ke dalam mangkuk air mengepul. Uap
tersebut kemudian dihirup selama beberapa saat, dengan efek
yang ditingkatkan dengan menempatkan handuk diatas kepala
dan mangkuk sehingga membentuk tenda untuk menangkap
udara yang dilembabkan dan bau.
b. Massage/ pijat : Menggunakan minyak esensial aromatik
dikombinasikan dengan minyak dasar yang dapat menenangkan
atau merangsang, tergantung pada minyak yang digunakan.
Pijat minyak esensial dapat diterapkan ke area masalah tertentu
atau ke seluruh tubuh.
c. Difusi : Biasanya digunakan untuk menenangkan saraf atau
mengobati beberapa masalah pernafasan dan dapat dilakukan
dengan penyemprotan senyawa yang mengandung minyak ke
udara dengan cara yang sama dengan udara freshener. Hal ini
juga dapat dilakukan dengan menempatkan beberapa tetes
minyak esensial dalam diffuser dan menyalakan sumber panas.
Duduk dalam jarak tiga kaki dari diffuser, pengobatan biasanya
berlangsung sekitar 30 menit.
d. Kompres : Panas atau dingin yang mengandung minyak
esensial dapat digunakan untuk nyeri otot dan segala nyeri,
memar dan sakit kepala.
e. Perendaman : Mandi yang mengandung minyak esensial dan
berlangsung selama 10-20 menit yang direkomendasikan untuk
masalah kulit dan menenangkan saraf (Craig hospital, 2013).

6. Mekanisme Kerja Aromaterapi


Aromaterapi merupakan tindakan terapautik dengan
menggunakan minyak esensial yang bermanfaat untuk
meningkatkan keadaan fisik dan psikologi sehingga menjadi lebih
baik. Ketika esensial dihirup, maka molekul akan masuk ke rongga
hidung dan merangsang sistem limbik adalah daerah yang
mempengaruhi emosi dan memori serta secara langsung terkait
dengan adrenal, kelenjar hipofisis, hipotalamus, bagian-bagian
tubuh yang mengatur denyut jantung, tekanan darah, stress
memori, keseimbangan hormon, dan pernafasan. Pesan yang
diantar ke seluruh tubuh akan dikonversikan menjadi suatu aksi
dengan pelepasan substansi neurokimia berupa perasaan senang,
rileks, tenang atau terangsang. Melalui penghirupan, sebagian
molekul akan masuk ke dalam paru-paru. Molekul aromatik akan
diserap oleh lapisan mukosa pada saluran pernafasan, baik pada
bronkus maupun pada cabang halusnya (bronkioli). Pada saat
terjadi pertukaran gas di dalam alveoli, molekul tersebut akan
diangkut oleh sirkulasi darah di dalam paruparu. Pernafasan yang
dalam akan meningkatkan jumlah bahan aromatik kedalam tubuh
(Koensoemardiyah, 2009).
Aromaterapi didasarkan pada teori bahwa inhalasi atau
penyerapan minyak esensial memicu perubahan dalam sistem
limbik, bagian dari otak yang berhubungan dengan memori dan
emosi. Hal ini dapat merangsang respon fisiologis saraf, endokrin
atau sistem kekebalan tubuh, yang mempengaruhi denyut jantung,
tekanan darah, pernafasan, aktifitas gelombang otak dan pelepasan
berbagai hormon di seluruh tubuh. Efeknya pada otak dapat
menjadikan tenang atau merangsang sistem saraf, serta mungkin
membantu dalam menormalkan sekresi hormon. Menghirup
minyak esensial dapat meredakan gejala pernafasan, sedangkan
aplikasi lokal minyak yang diencerkan dapat membantu untuk
kondisi tertentu. Pijat dikombinasikan dengan minyak esensial
memberikan relaksasi, serta bantuan dari rasa nyeri, kekuatan otot
dan kejang. Beberapa minyak esensial yang diterapkan pada kulit
dapat menjadi anti mikroba, antiseptik, anti jamur, atau anti
inflamasi (Hongratanaworakit, 2004).

7. Mekanisme Pemberian Intervensi


Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Amelia,
S., Oktorina, R & Astuti, N. (2018) teknik pemberian aromaterapi
peppermint dengan inhalasi sederhana yang dilakukan pada pasien
anak usia 1-5 tahun dengan bronkopneumonia selama 5-10 menit
selama 5 hari ternyata sangat efektif untuk mengurangi masalah
bersihan jalan tidak efektif dengan karakteristik sesak nafas,
akumulasi sputum (+). Namun tidak menutup kemungkinan adanya
pengaruh pengaruh lain yang bisa mengurangi sesak nafas dan
akumulasi sputum, misalnya pemberian oksigen masker dan
inhalasi. Dengan begitu aromaterapi peppermint dengan inhalasi
sederhana dapat menjadi pengobatan alternatif pada pasien anak
dengan bronkopneumonia.

D. Penelitian terkait
Tabel 2.4
Tabel Penelitian terkait
NO Nama Judul Metode Hasil penelitian
1 Edy Pengaruh aroma Desain penelitian Hasil penelitian
siswantoro, terapi daun mint ini menggunakan dari uji wilcoxon
2015 dengan inhalasi pre eksperimental di peroleh data p
sederhana dengan value 0,008 < 0,05
terhadap pendekatan yang artinya ada
penurunan sesak pretest-posttest pengaruh aroma
nafas pada pasien control group terapi daun mint
tuberculosis paru design. sampel dengan inhalasi
yang diambil sederhana
sebanyak 16 terhadap
responden dan penurunan sesak
dibagi menjadi nafas dan pada
dua kelompok hasil uji mann
yaitu kelompok whitney u
eksperimen dan menunjukkan p
kelompok value 0,006 < 0,05
kontrol, dengan yang berarti ada
tehnik simple beda antara nilai
random sampling. skala sesak nafas
instrumen yang kelompok kontrol
digunakan lembar tanpa diberikan
observasi sesak aroma terapi daun
nafas (american mint dengan
thoracic society). inhalasi sederhana.
variabel melihat hasil
independen penelitian ini
adalah aroma maka aroma terapi
terapi daun mint daun mint dengan
dengan inhalasi inhalasi sederhana
sederhana dan dapat dijadikan
variabel sebagai terapi
dependen adalah nonfarmakologi
sesak nafas. untuk mengurangi
analisa data gejala klinis dari
menggunakan uji tuberculosis yaitu
wilcoxon dan sesak nafas.
mann whitney u.
2 Amelia, s., Aromaterapi Penelitian Hasil diperoleh
oktorina, r & peppermint ini bertujuan data p-value 0,002
astuti, n. terhadap masalah untuk mengetahui < 0,05 yang
(2018) keperawatan pengaruh artinya ada
ketidakefektifan aromaterapi pengaruh
bersihan jalan peppermint aromaterapi
nafas anak terhadap bersihan peppermint
dengan jalan tidak efektif terhadap masalah
bronkopneumonia pada keperawatan
pasien anak usia ketidakefektifan
1-5 tahun dengan bersihan jalan
bronkopneumonia nafas pada pasien
di rsud padang anak usia 1-5
panjang. desain tahun dengan
penelitian ini bronkopneumonia.
menggunakan berdasarkan hasil
quasi penelitian ini
eksperimentone maka aromaterapi
group pretest- peppermint dapat
posttest design. dijadikan
teknik terapi non
pengambilan farmakologi untuk
sampel dalam mengatasi masalah
penelitian ini keperawatan
menggunakan ketidakefektifan
teknik accidental bersihan jalan
sampling dengan nafas pada pasien
jumlah sampel 10 anak dengan
orang. cara bronkopneumonia.
pengumpulan
data dengan
pemeriksaan fisik
dan observasi
kemudian data
yang diperoleh
dianalisis
menggunakan uji
wilcoxon sign
rank test.
E. Kerangka Teori
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya merupakan hubungan
antar konsep yang ingin diamati atau diteliti melalui suatu penelitian.
Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Skema 3.1Kerangka konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


Intervensi Tingkat sesak
aromaterapi napas penderita
peppermint penyakit paru
obstruksi kronik

: Diteliti Confounding :

: Dikontrol 1. Terapi farmakologi

Kerangka akan menjelaskan tentang variabel-variabel yang dapat


diukur dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut yang dapat diukur
dalam penelitian. Variabel-variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah tingkat sesak napas yang
dialami oleh penderita penyakit paru obstruksi kronik (skala sesak
napas sebelum dan setelah intervensi aromaterapi peppermint).
2. Variabel bebas (independent variable)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah intervensi aromaterapi
peppermint yang diberikan pada penderita penyakit paru obstruksi
kronik.
3. Variabel perancu (confounding)
Variabel perancu dalam penelitian ini adalah terapi farmakologi.
B. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan
menggunakan rancangan penelitian quasy experimental dengan teknik
pretest-posttest control group design bertujuan untuk menentukan
pengaruh dari suatu tindakan pada kelompok subjek yang mendapat
intervensi dan dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak
mendapatkan intervensi (Nursalam, 2016). Dalam penelitian ini
aromaterapi peppermint merupakan variabel independen, sedangkan
tingkat sesak napas merupakan variabel dependen.
Skema 3.2 Desain Penelitian
Subjek Pre test Intervensi Post test

A O1 X O2

O3 - O4

Keterangan :
A : Subjek penelitian.
X : Intervensi aromaterapi peppermint kelompok intervensi
O1 : Tingkat sesak napas (pretest) kelompok intervensi.
O2 : Tingkat sesak napas (posttest) kelompok intervensi.
O3 : Tingkat sesak napas (pretest) kelompok kontrol.
O4 : Tingkat sesak napas (posttest) kelompok kontrol.
C. Hipotesis penelitian
Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara dari rumusan
masalah (Nursalam, 2016). Adapun jawaban sementara tersebut akan
dibuktikan melalui suatu penelitian. Hipotesa dalam penelitian ini adalah :
H0 : Tidak ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap tingkat sesak
napas pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
H1 : Ada pengaruh aromaterapi peppermint terhadap tingkat sesak napas
pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah :
Tabel 3.1
Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil ukur Skala ukur
1 Tingkat Tingkat Responden Kuisioner Gradasi 1 = Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan Ordinal
sesak sesak napas mengisi American berat
napas responden lembar thoracyc Gradasi 2 = Sesak napas timbul jika berjalan cepat pada lantai
sebelum dilihat dari kuisioner society yang datar, atau jika berjalan ditempat yang sedikit landai.
dilakukan kemampuan Gradasi 3 = Jika berjalan bersama dengan teman seusia dijalan
intervensi menjawab datar, selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan
kuisioner yang datar, sering beristirahat untuk mengambil napas
berdasarkan Gradasi 4= Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan
kondisi atau sejauh 30 m (100 yard) pada jalan yang datar, atau setelah
keadaan berjalan beberapa menit
yang Gradasi 5= Timbul sesak napas berat ketika bergerak untuk
dirasakan mengenakan atau melepas baju
sebelum
intervensi
aromaterapi
peppermint
2 Tingkat Tingkat Responden Kuisioner Gradasi 1 = Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan
sesak sesak napas mengisi American berat
napas responden lembar thoracyc Gradasi 2 = Sesak napas timbul jika berjalan cepat pada lantai
setelah yang dilihat kuisioner society yang datar, atau jika berjalan ditempat yang sedikit landai.
dilakukan dari Gradasi 3 = Jika berjalan bersama dengan teman seusia dijalan
intervensi kemampuan datar, selalu lebih lambat; atau jika berjalan sendirian dijalan
menjawab yang datar, sering beristirahat untuk mengambil napas
kuisioner Gradasi 4= Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan
berdasarkan sejauh 30 m (100 yard) pada jalan yang datar, atau setelah
kondisi/kead berjalan beberapa menit
aan yang Gradasi 5= Timbul sesak napas berat ketika bergerak untuk
dirasakan mengenakan atau melepas baju
setelah
intervensi
aromaterapi
peppermint
E. Populasi dan sampel
1. Populasi
Menurut Notoatmodjo (2012) populasi merupakan keseluruhan
objek penelitian yang diteliti.populasi dalam penelitian ini yaitu.
2. Sampel
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dapat mewakili seluruh
populasi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode
Non Propabability Sampling dengan teknik Purposive Samping yang
didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
(Notoatmodjo, 2012). Jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan
rumus Frederer (Dahlan,2011).
(t-1)(r-1)≥15
(2-1)(r-1)≥15
r-1≥15
r≥15+1
r≥15
Keterangan :
r = besar sampel tiap kelompok
t = banyaknya kelompok
Berdasarkan perhitungan diatas, maka didapatkan sampel sebanyak
16 responden untuk setiap kelompok. Untuk menghindari kurangnya
jumlah sampel maka dari perhitungan tersebut ditambah 10% dari jumlah
sampel, sehingga sampel dalam penelitian ini ditambah 2 responden. Jadi
jumlah sampel tiap kelompok adalah 18 responden, sehingga jumlah
seluruh sampel adalah 36 responden.

Adapun kriteria inklusi yang ditetapkan peneliti dalam


pengambilan sampel antara lain :
1. Pasien bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian.
2. Pasien merupakan penderita penyakit paru obstruksi kronik.
3. Pasien menyukai aromaterapi peppermint
4. Pasien mengalami masalah sesak napas sebelum dilakukan sebelum
dilakukan pemberian aromaterapi.
Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah :
1. Pasien mengalami gangguan indra penciuman
2. Pasien menjalani terapi penurunan tingkat sesak napas lainnya, dengan
catatan pasien dapat merasakan pengaruh dari terapi tersebut terhadap
penurunan tingkat sesak napas yang dialami.
Kriteria drop out dalam penelitian ini adalah :
1. Pasien menolak untuk melanjutkan terapi secara penuh.
2. Pasien meninggal dunia.
3. Pasien dalam keadaan gawat darurat.

F. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Khusus Paru-Paru
Palembang.

G. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan mulai bulan Oktober 2019 yang diawali
dengan studi pendahuluan dan penyusunan proposal.

H. Etika penelitian
Seseorang yang melakukan penelitian hendaknya berpegang teguh pada
etika penelitian. Menurut Notoatmodjo (2012), terdapat empat prinsip
yang harus dipegang teguh dalam melaksanakan suatu penelitian, antara
lain :
1. Menghormati harkat serta martabat manusia (respect for human
dignity).
Peneliti harus menjunjung tinggi hak hak responden agar peneliti
mendapatkan informasi berdasarkan tujuan penelitian. Selain itu juga,
peneliti membebaskan kepada responden untuk berpartisipasi dalam
proses penelitian atau tidak. Peneliti memberikan formulir persetujuan
(informed concent) kepada responeden untuk menjunjung tinggi harkat
dan martabat responden. Dalam penelitian ini, peneliti memberikan
formulir persetujuan kepada penderita penyakit paru obstruksi kronik di
Rumah Sakit Khusus Paru-Paru Palembang.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan responden (respect for privacy
and confidentiality).
Dalam menjaga privasi dan kerahasiaan responden, peneliti
merahasiakan setiap data responden dan anonimity (nama responden
tidak ditampilkan secara lengkap, namun hanya memberi kode nomor
responden). Adapun gambar yang diambil atau foto responden tidak
dipublikasikan untuk umum, namun hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian.
3. Keadilan dan keterbukaan (respect for justice and inclusiveness).
Prinsip keadilan dan keterbukaan perlu dijaga dengan kehati-hatian.
Dalam penelitian ini setiap responden diperlakukan sama tanpa
membeda-bedakan agama, status ekonomi maupun status sosial.
Peneliti juga menjunjung tinggi keterbukaan, yaitu peneliti menjelaskan
tujuan penelitian serta prosedur penelitian.
4. Memperhitungkan manfaat serta kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits).
Dalam penelitian ini dapat memberi manfaat terutama responden yang
berpartisipasi dalam penelitian maupun keluarga. Dimana responden
dan keluarga dapat mengetahui pengaruh aromaterapi peppermint
terhadap penurunan tingkat sesak napas pada penderita penyakit paru
obstruksi kronik. Kerugian dapat terjadi pada responden yang alergi
terhadap aroma peppermint. Jika hal ini terjadi segera hentikan
intervensi dan beritahukan pada perawat yang sedang bertugas tentang
reaksi alergi yang terjadi.

Anda mungkin juga menyukai