Anda di halaman 1dari 22

8

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kerangka Teoritis
2.1.1 Pengertian Belajar
Menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses
perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan
lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Pengertian belajar dapat
didefenisikan sebagai berikut : Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkunganya.(Slameto, 2003)
Sama halnya dengan pendapat Cronbach yang menyatakan bahwa “ belajar
adalah Learning is shown by a change in behavior as a result of experience.
Artinya belajar adalah memperlihatkan perubahan dalam perilaku sebagai hasil
dari pengalaman. “(Sadirman, 2008).
Sedangkan Djamarah berpendapat “belajar adalah serangkaian kegiatan
jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut
kognitif, afektif dan psikomotor”. Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau
penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati,
mendengarkan, meniru dan lain sebagainya.(Sadirman, 2008).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah
pengaruh yang lebih relatif permanen pada perubahan individu dan tindakan siswa
yang kompleks atas perubahan tingkah laku baru, pengetahuan, keterampilan
berpikir, yang diperoleh dari pengalaman dan interaksi lingkungan yang tidak
termasuk kematangan, petumbuhan, atau insting.
Adapun tujuan belajar ditinjau secara umum yaitu (Sadirman, 2008) :
1. Untuk mendapatkan pengetahuan, pemilikan pengetahuan dan kemampuan
berfikir sebagai yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, tidak dapat
9

mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya


kemampuan berfikir akan memperkaya pengetahuan.
2. Penamaan konsep dan keterampilan, penanaman konsep atau merumuskan
konsep memerlukan suatu keterampilan. Keterampilan dapat di didik yaitu
dengan banyak latihan.
3. Pembentukan sikap, dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi
anak didik, guru harus lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk
itu dibutuhkan kecakapan dalam mengarahkan motivasi dan berfikir dengan
tidak lupa menggunakan pribadi guru itu sendiri sebagai contoh atau model.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Belajar (Slameto:2003), yaitu :
1. Faktor-faktor Internal
a. Faktor Jasmaniah, yaitu faktor kesehatan, cacat tubuh.
b. Faktor Psikologis, yaitu inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif,
kematangan, dan kesiapan.
c. Faktor Kelelahan
2. Faktor-faktor Eksternal
a. faktor Keluarga, yaitu cara orang tua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua,
latar belakang kebudayaan.
b. Faktor Sekolah, yaitu metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan
siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu
sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, metode belajar,
tugas rumah.
c. Faktor Masayarakat, yaaitu kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media,
teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat.

2.1.2 Aktivitas Belajar


Didalam belajar diperlukan aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar adalah
berbuat “learning by doing “. Perlu ditambahkan bahwa yang dimaksud aktivitas
belajar itu adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Dalam kegiatan
10

belajar kedua aktivitas itu harus selalu berkaitan. Sebagai contoh seseorang itu
sedang belajar sambil membaca. Secara fisik kelihatan bahwa orang tadi membaca
menghadapi suatu buku, tetapi mungkin pikiran dan sikap mentalnya tidak tertuju
buku yang dibaca. Ini menunjukkan tidak ada keserasian antara aktivitas fisik
dengan mental. Kalau sudah demikian maka belajar itu tidak akan optimal. Begitu
juga sebaliknya kalau yang aktif itu hanya mentalnya juga kurang bermanfaat.
Dengan demikian, jelas bahwa aktivitas itu dalam arti luas, baik yang bersifat
fisik/jasmani maupun mental/rohani. Kaitan antara keduanya akan membuahkan
aktivitas belajar yang optimal.(Sadirman, 2011).
Menurut Sanjaya (2010), aktivitas belajar merupakan suatu kegiatan yang
melibatkan gerak fisik dan mental sekaligus. Sehubungan dengan hal ini, Piaget
menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa
perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir
sendiri harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri. Aktivitas siswa selama
proses belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa
untuk belajar. Aktivitas belajar siswa yang dinilai selama proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran kooperatif tipe group investigation adalah sebagai
berikut :
Table 2.1 Aktivitas belajar siswa (Arends, 2008)
No Aspek Aktivitas Model Indikator Aktivitas Model Group
Group Investigation Investigation
1. Menentukan Topik 1. Memperhatikan permasalahan yang
disajikan
2. Menjawab pertanyaan yang diberikan
3. Mengajukan subtopic yang akan
diselidiki
2. Merencanakan 1. Merencanakan prosedur pembelajaran
Kooperatif dalam kelompoknya.
2. Merencanakan pembagian tugas
kelompok
3. Merencanakan tujuan dari topik yang
dipilih
3. Implementasi/melakukan 1. Berkontribusi untuk usaha-usaha yang
eksperimen dilakukan dalam percobaan kelompok
2. Menggunakan alat dan bahan dengan
benar
11

3. Mengurutkan langkah percobaan


dengan benar
4. Analisis dan sisntesis 1. Menentukan pesan-pesan esensial dari
proyek hasil penyelidikan
2. Merencanakan susunan hasil yang akan
dilaporkan
3. Menentukan wakil-wakil untuk
mengkoordinasi rancangan presentasi
5. Presentasi produk akhir 1. Presentasi menggunakan bahasa yang
mudah dipahami
2. Presentasi yang ditampilkan menarik
3. Membuat keterlibatan teman sekilas
6. Evaluasi 1. Memberikan umpan balik dari
percobaan atau pengalaman belajar
yang baru berlangsung
2. Menyimpulkan pembelajaran

2.1.3 Hasil Belajar


Hasil belajar terdiri dari dua kata, yaitu hasil dan belajar. Hasil merupakan
suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang
mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Sedangkan belajar
merupakan pengaruh yang menyebabkan perubahan tingkah laku melalui
pengalaman dan interaksi lingkungan. Proses belajar akan menghasilkan hasil
belajar. Menurut Dimyati (2013) hasil belajar melukiskan tingkat (kadar)
pencapaian siswa atau pembelajaran yang ditetapkan. Hasil belajar itu tercermin
atau terpancar dari kepribadian siswa berupa perubahan tingkah lakunya setelah
mengalami proses belajar mengajar.
Sudjana (2010) mengemukakan bahwa dalam sisstem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klarifikasi hasil belajar dari Benjamin Bloom yang secara garis
besar membaginya menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual,
ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan ranah psikomotoris berkenaan dengan
hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak.
Ranah kognitif adalah aspek yang mencakup kegiatan mental. Bloom dan
Andersonmembagi dan menyusun secara hirarkis tingkat belajar kognitif mulai
12

dari hal yang rendah sampai yang paling tinggi. Aspek kognitif dalam taksonomi
Bloom Anderson yang telah direvisi adalah menghapal (C1), memahami (C2),
mengaplikasikan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5) dan mencipta (C6).
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Tipe hasil belajar afektif
tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatiaannya terhadap
pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru dan teman sekelas,
kebiasaan belajar, dan hubungan social. Ada beberapa jenis kategori ranah afektif
sebagai hasil belajar, yaitu Receiving atau sikap menerima, Responding atau
memberikan respon, Valuing atau nilai, Organization atau organisasi dan
Characterization atau karakterisasi.
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan dan
kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan, yakni gerakan
refleks, gerakan dasar, kemampuan perceptual, kemampuan di bidang fisik
gerakan skill, dan kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive.
Hasil belajar afektif dan psikomotoris ada yang tampak pada saat proses
belajar-mengajar berlangsung dan ada pula yang baru tampak kemudian setelah
pengajaran diberikan dalam praktek kehidupannya di lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Itulah sebabnya hasil belajar afektif dan psikomotoris
sifatnya lebih luas, lebih sulit dipantau namun memiliki nilai yang sangat berarti
bagi kehidupan siswa sebab dapat secara langsung mempengaruhi perilakunya.
Untuk mengetahui hasil belajar, maka perlu dilakukan evaluasi hasil
belajar. Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai
tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Evaluasi hasil belajar yang
berarti pengungkapan dan pengukuran hasil belajar itu, pada dasarnya merupakan
proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun kualitatif
(Syah, 2012).

2.1.4 Model Pembelajaran


Joyce & Weil berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu
rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana
pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan
13

membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat


dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih model pembelajaran yang
sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Model pembelajaran
mengacu pada pendekatan pembelajaran yang akan digunakan, termasuk
didalamnya tujuan-tujuan pengajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
dan pengelolaan kelas (Arends, 2008).
Sama halnya dengan Trianto (2010) menyimpulkan bahwa model
pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematik
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran dan para
guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran. Setiap model
memerlukan sistem pengelolaan dan lingkungan belajar yang berbeda. Pemilihan
model pembelajaran sangat dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan,
tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran tersebut, serta tingkat kemampuan
peserta didik. Maka, fungsi dari model pembelajaran adalah sebagai perancang
pengajar dan para guru dalam melakasanakan pembelajaran.
Model dirancang untuk mewakili realitas yang sesungguhnya, walaupun
model itu sendir bukan realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasara
pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangkan
konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur yang sistematik
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai
tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan
pengajaran bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran
(Sagala,2012).
Model-model pengajaran sebenarnya juga bisa dianggap sebagai model-
model pembelajaran. Pada hakikatnya, hasil instruksi jangka panjang yang paling
penting adalah bagaimana siswa mampu meningkatkan kapabilitas mereka untuk
dapat belajar lebih mudah dan lebih efektif pada masa yang akan dating, baik
karena pengetahuan dan skill yang mereka peroleh maupun karena penguasaan
mereka tentang proses belajar yang lebih baik (Joyce, dkk, 2011).
14

Maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah rancangan


yang sistematis tentang prosedur pembelajaran dari awal sampai akhir sebagai
pedoman guru untuk dilaksanakan di dalam kelas agar tercapainya tujuan
pembelajaran. Terlaksananya model pembelajaran tidak terlepas dari perangkat-
perangkat pembelajaran yang mendukung seperti buku, lembar kerja untuk siswa,
proyektor dan sebagainya.

2.1.5 Pembelajaran Konvensional


Pembelajaran Konvensional adalah pembelajaran yang lazim diterapkan
dalam pembelajaran sehari-hari yang sudah terbiasa dilakukan di kelas, sifatnya
berpusat pada guru dan kurang memperhatikan keseluruhan situasi belajar.
Pembelajaran konvesional itu bersifat teoritis dan abstrak, tindakan atau perilaku
guru didasarkan pada faktor luar dirinya, misalnya individu melakukan sesuatu
karena takut hukuman atau untuk memperoleh nilai yang bagus dari guru.
Jika memakai proses pengajaran yang berorientasi pada guru, maka
semuanya tergantung pada guru. Oleh karena begitu pentingnya peran guru, maka
biasanya proses pengajaran hanya akan berlangsung manakala ada guru, dan tidak
mungkin ada proses pembelajaran tanpa guru. Dalam melaksanakan perannya
sebagai penyampai informasi, sering kali guru menggunakan metode ceramah
sebagai mode utama. Biasanya guru sudah merasa mengajar apabila sudah
melakukan ceramah, dan tidak mengajar apabila tidak melakukan ceramah.
Peran siswa adalah sebagai penerima informasi yang diberikan guru. Jenis
informasi dan pengetahuan yang harus dipelajari kadang-kadang tidak berpijak
dari kebutuhan siswa, baik dari segi pengembangan bakat maupun dari minat
siswa akan etapi berangkat dari pandangan apa yang menurut guru dianggap baik
dan bermanfaat. Sebagai objek belajar, kesempatan siswa untuk mengembangkan
kemampuan sesuai dengan minat dan bakatnya, bahkan untuk belajar sesuai
dengan gayanya sangat terbattas. Sebab, dalam proses pembelajaran segalanya
diatur dan ditentukan oleh guru (Sanjaya, 2010).
15

2.1.6 Model Pembelajaran Kooperatif


Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori
konstruktivisme. Dalam teori konstruktivisme, lebih mengutamakan pada
pembelajaran siswa yang dihadapkan pada masalah-masalah kompleks untuk
dicari solusinya, selanjutnya menemukan bagian-bagian yang lebih sederhana atau
keterampilan yang diharapkan. Menurut Slavin (2005) menyatakan bahwa
pembelajaran kooperatif menuju pada berbagai macam metode pengajaran dimana
para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu
sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif diperlukan karena dalam sistuasi belajar sering
juga terlihat sifat individualitas siswa. Siswa cenderung berkompetisi secara
individual, bersikap tertutup pada teman, kurang memberi perhatian ke teman
sekelas, bergaul hanya dengan orang tertentu, ingin menang sendiri, dan
sebagainya. Jika keadaan ini dibiarkan, tidak mustahil akan dihasilkan warga
Negara yang egois, inklusif, introfert, kurang bergaul dalam masyarakat, acuh tak
acuh dengan tetangga dan lingkungan, kurang menghargai orang lain, serta tidak
mau menerima kelebihan dan kelemahan orang lain ( Rusman, 2011).
Sintaks model pembelajaran kooperatif secara umum dapat di lihat pada
tabel 2.2 berikut :
Tabel 2.2 Sintaks model pembelajaran kooperatif
Fase Tingkah Laku Guru
Fase 1 Guru mengkomunikasikan semua tujuan
Menyampaikan tujuan dan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran
memotivasi siswa tersebut dan memotivasi peserta untuk
belajar dengan baik.
Fase 2 Guru menyampaikan informasi kepada
Menyajikan informasi siswa dengan jalan demonstrasi, atau lewat
bahan bacaan.
Fase 3 Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana
Mengorganisasikan caranya membentuk kelompok belajar dan
16

peserta siswa ke dalam membantu setiap kelompok agar melakukan


kelompok-kelompok tugas belajar secara efisien.
belajar
Fase 4 Guru membimbing kelompok-kelompok
Membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
bekerja dan belajar
Fase 5 Guru mengevaluasi hasil belajar tentang
Evaluasi materi yang dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6 Guru mencari cara-cara untuk menghargai
Memberikan penghargaan upaya atau hasil belajar individu maupun
kelompok secara proporsional.
(Istarani dan Ridwan, 2012)

2.1.7 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation


Konsep dasar untuk GI adalah penelitian dan pengetahuan. Penelitian
didorong dengan adanya sesuatu yang membuat ketertarikan peneliti yang
membuat mereka serempak mengharuskan mereka untuk menelusuri sesuatu dan
meneliti diri mereka sendiri (Joyce, dkk., 2011).
Menurut Shoimin pengertian Group Investigation adalah sebagai berikut :
“ Group Investigation adalah suatu model pembelajaran yang lebih
menekankan pada pilihan dan kontrol siswa daripada menerapkan teknik-teknik
pengajaran di ruang kelas. Selain itu juga memadukan prinsip belajar demokratis
dimana siswa terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran, baik dari tahap
awal sampai akhir pembelajaran termasuk didalamnya siswa mempunyai
kebebasan untuk memilih materi yang akan dipelajari sesuai dengan topik yang
sedang dibahas “ (Shoimin, 2016).
Investigasi kelompok membutuhkan fleksibelitas dari guru dan semua
anggota kelas. Menurut Slavin (2005:217), peran guru dalam kelas yang
melaksanakan proyek Group Investigation guru bertindak sebagai narasumber dan
fasilitator. Guru tersebut berkeliling diantara kelompok-kelompok yang ada, dan
17

untuk melihat bahwa mereka bisa mengelola tugasnya dan membantu tiap
kesulitan yang mereka hadapi dalam interaksi kelompok, termasuk masalah dalam
kinerja terhadap tugas-tugas khusus yang berkaitan dengan proyek pembelajaran.
Model pembelajaran Group Investigation terdiri dari beberapa hal seperti
sintaks, sistem sosial, prinsip rekasi, sistem pendukung, efek instruksional dan
efek pengiring. Sintaks model pembelajaran Group Investigation terdiri dari : 1)
menghadapi situasi yang membingungkan baik direncanakan maupun tidak
direncanakan, 2) memberikan berbagai macam reaksi atas situasi tersebut, 3)
melakukan penelitian yaitu merumuskan studi dari situasi dan
mengorganisasikannya mejadi masalah, pengertian, peran, dan lainnya, 4)
pembelajaran mandiri dan kelompok, 5) menganalisis progress dan proses, 6)
mengulang aktivitas tersebut. Sistem sosial yang berlaku adalah demokratis,
peserta didik diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat dalam diskusi.
Prinsip reaksi dilakukan oleh pendidik dimana mereka mempunyai peran penting
yaitu membimbing dan mencerminkan pengalaman kelompok dalam tiga tahap
yaitu tahap pemecahan masalah, tahap pengelolaan kelas dan tahap pemaknaan
secara perorangan. Sistem pendukung merupakan suasana kelas atau sarana dan
prasarana yang memfasilitasi pembelajaran seperti keaktifan dan motivasi peserta
didik dalam melakukan penyelidikan, sumber belajar, dan infrastruktur dengan
multimedia.
2.1.7.1 Sintaks Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation
Sintaks atau langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif tipe
Group Investigation, menurut Slavin yaitu :
1. Tahap pertama, secara khusus ditujukan untuk masalah pengaturan. Guru
mempresentasikan serangkaian permasalahan atau isu, dan para siswa
mengidentifikasikann dan memilih berbagai macam subtopik untuk dipelajari,
berdasarkan pada keterkaitan dan latar belakang mereka.
2. Tahap kedua, setelah mengikuti kelompok-kelompok penelitian mereka
masing-masing, para siswa mengalihkan perhatian mereka kepada subtopik
yang mereka pilih.
18

3. Tahap ketiga, melaksanakan investigasi, tiap kelompok melaksanakan


rencana yang telah diformulasikan sebelumnya.
4. Tahap ketiga, melaksanakan investigasi, tahap ini merupakan transisi dari
tahap pengumpulan data dan klarifikasi ke tahap dimana kelompok-kelompok
yang ada melaporkan hasil investigasi mereka kepada seluruh kelas.
5. Tahap kelima, mempresentasikan laporan akhir, sekarang masing-masing
kelompok mempersiapkan diri untuk mempresentasikan laporan akhir mereka
kepada kelas.
6. Tahap keenam, guru harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi siswa
mengenai subjek yang dipeljari bagaimana mereka menginvestigasi apek-
aspek tertentu dari subjek, bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan
mereka terhadap solusi dari masalah-masalah baru, bagaimana mereka
menggunakan kesimpulan dari apa yang mereka pelajari dalam
mendiskusikan pertanyaan yang membutuhkan analisis dan penilaian, dan
bagaimana mereka sampai pada kesimpulan dari serangkaian data (Slavin,
2015 ).
19

Sharan, dkk, mendeskripsikan enam langkah pembelajaran GI sebagai


berikut
Tabel 2.3 Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe GI
I Siswa memilih subtopik tertentu dalam bidang
Pemilihan Topik masalah yang umum biasanya digambarkan oleh
guru. Kemudian siswa diatur menjadi kelompok
kecil terdiri dari dua sampai enam anggotaa.
Komposisi kelompok dibentuk heterogen secara
akademik dan etnis.
II Siswa dan guru merencanakan prosedur
Cooperative pembelajaran tertentu, tugas-tugas dan tujuan
Learning yang konsisten dengan subtopik dari masalah yang
telah dipilih dari langkah I
III Siswa melaksanakan rencana yang telah
Implementasi dirumuskan dari langkah 2. Pembelajaran
seharusnya mengarah pada berbagai jenis kegiatan
yang luas dan keterampilan-keterampilan dan
seharusnya mengarahkan siswa mencari dari
berbagai jenis sumber yang berbeda dari dalam
maupu luar sekolah. Guru erat mengikuti
perkembangan masing-masing kelompok dan
menawarkan bantuan bila diperlukan.
IV Siswa menganalisis da mengvaluasi informasi
Analisis dan Sintesis yang diperoleh selama langkah 3 dan
merencanakan bagaimana hal tersebut dapat
diringkas dalam beberapa gaya yang menarik
untuk dapat ditampilkan atau dipresentaskan
kepada teman sekelas.
V Beberapa atau semua kelompok di kelas
Presentasi Produk memberikan presentasi yang menarik dari topic
Akhir yang dipelajari intuk membuat teman sekelas
terlihat dalam setiap hasil kerja kelompok lain dan
untuk mencapai perspektif yang luas mengenai
topic tersebut. Presentasi kelompok
dikoordinasikan oleh guru.
VI Dalam kasus dimana kelompok mengerjakan
Evaluasi aspek yang berbeda dari topic yang sama, siswa
dan guru mengevaluasi kontribusi masing-masing
kelompok untuk pekerjaan kelas secara
keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup penilaian
individu atau kelompok, atau keduanya.
(Arends, 2008)
20

2.1.8 Materi Pembelajaran


2.18.1. Momentum
Momentum adalah kecenderungan benda yang bergerak untuk melanjutkan
gerakannya pada kelanjutan yang konstan. Secara khusus, momentum dihasilkan
oleh perkalian antara massa benda dengan kecepatannya. Secara matematis dapat
dinyatakan dengan persamaan berikut.

𝑝=𝑚𝑣
dengan: (2.1 )
𝑝 = momentum (kg m/s)
m = massa benda (kg)
v = kecepatan benda (m/s)

2.1.8.2. Impuls
Saat sebuah benda yang memiliki momentum mengalami pengaruh gaya
dari luar yang bekerja dalam selang waktu tertentu sehingga menimbulkan peru-
bahan momentum. Peristiwa ini dinyatakan sebagai impuls.
Impuls digunakan untuk menambah, mengurangi, dan mengubah arah mo-
mentum dalam selang waktu tertentu. Impuls dapat di rumuskan sebagai hasil kali
gaya dengan selang waktu.
Secara matematis impuls dapat dinyatakan oleh persamaan:

𝐼 = 𝐹 ∆𝑡
dengan: (2.2)
𝐼 = impuls (Ns)
F = gaya (N)
∆𝑡 = selang waktu (s)
Selain itu, jika mendapatkan sebuah grafik gaya F terhadap waktu maka da-
pat menentukan besar impuls dari luas daerah di bawah kurva.
21

2.18.3. Hubungan Momentum dan Impuls


Impuls umumnya digunakan apabila pada suatu peristiwa gaya yang
bekerja sangat besar dalam waktu yang singkat. Berdasarkan Hukum II Newton
mendapatkan persamaan:
𝐹=𝑚𝑎 (2.3)

∆𝑣
Karena 𝑎 = , maka: ∆𝑣
∆𝑡
𝐹=𝑚
∆𝑡
𝐹∆𝑡 = 𝑚 ∆𝑣

𝐹∆𝑡 = 𝑚 (𝑣2 − 𝑣1 )

𝐹∆𝑡 = 𝑚𝑣2 − 𝑚𝑣1

𝐼 = 𝑝2 − 𝑝1

𝐼 = ∆𝑝 (2.4)

Berdasarkan persamaan di atas, impuls yang bekerja pada suatu benda sama
dengan perubahan momentum yang dimiliki benda tersebut.

2.1.8.4. Hukum Kekekalan Momentum


Apabila dua buah benda masing masing bermassa m1 dan m2 bertumbukan,
maka kecepatan awal benda v1 dan v2 sebelum tumbukan menjadiv1’ dan v2’
setelah tumbukan. Sedangkan F12 adalah gaya dari m1 yang digunakan untuk
menumbukm2,dan F21 adalah gaya dari m2 yang digunakan untuk menumbuk m1.

m1 m2

m1 m2
F12
F21

Gambar 2.1 Dua buah bola yang saling bertumbukan


22

maka menurut hukum ketiga Newton:

𝐹12 = − 𝐹21
(2.5)

Apabila tumbukan berlangsung dalam selang waktu tertentu, maka akan


diperoleh hubungan berikut:
𝐹12 ∆𝑡 = − 𝐹21 ∆𝑡 (2.6)

Karena impuls sama dengan perubahan momentum, maka persamaan di atas


dapat ditulis sebagai berikut:
𝑚1 𝑣1′ − 𝑚1 𝑣1 = −(𝑚2 𝑣2′ − 𝑚2 𝑣2 )
𝑚1 𝑣1′ − 𝑚1 𝑣1 = −𝑚2 𝑣2′ + 𝑚2 𝑣2
𝑚1 𝑣1 + 𝑚2 𝑣2 = 𝑚1 𝑣1′ + 𝑚2 𝑣2′

𝑝1 + 𝑝2 = 𝑝1′ + 𝑝2′
(2.7)

Persamaan di atas disebut dengan hukum kekalan momentum.Dalam hal


ini, hukum kekekalan momentum menyatakan bahwa “jumlah momentum benda
sebelum tumbukan sama dengan jumlah momentum benda setelah tumbukan”.
2.1.8.5. Tumbukan
Tumbukan atau tabrakan terjadi bila sebuah benda yang bergerak mengenai
benda lain yang diam atau sedang bergerak juga. Misalnya, tabrakan antara dua
mobil di jalan raya, tumbukan antara dua bola bilyar dan tumbukan antara bola
dan lantai.Pada setiap peristiwa tumbukan akan selalu berlaku hukum kekekalan
momentum.
Tumbukan dibagi kedalam tiga jenis yang disesuaikan dengan karateristik
gerak benda sesaat setelah tumbukan, yakni:
a. Tumbukan lenting sempurna
b. Tumbukan lenting sebagian
c. Tumbukan tidak lenting sama sekali
23

Perbedaan tumbukan-tumbukan tersebut dapat diketahui berdasarkan nilai


koefisien resitusi (e) dari dua benda yang bertumbukan. Koefisien resitusi dari dua
benda yang bertumbukan sama dengan perbandingan negatif antara beda kecepa-
tan sesudah tumbukan dengan beda kecepatan sebelum tumbukan. Secara mate-
matis koefisien resitusi dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝑣1′ − 𝑣2′
𝑒= −
𝑣1 − 𝑣2 (2.8)
dengan:
e = koefisien resitusi ( 0< e < 1 )

1. Tumbukan Lenting Sempurna


Tumbukan antara dua benda dikatakan lenting sempurna apabila jumlah
energi mekanik benda sebelum dan sesudah tumbukan tetap.Energi mekanik
adalah jumlah antara energi potensial dan energi kinetik. Untuk bidang datar, yang
ditinjau hanya energi kinetiknya, karena energi potensial benda tidak berubah
sehingga dengan kata lain pada tumbukan lenting sempurna berlaku hukum
kekekalan energi kinetik.

𝐸𝑘 1 + 𝐸𝑘 2 = 𝐸𝑘 1′ + 𝐸𝑘 ′2

1 1 1 2 1 2 (2.9)
𝑚1 𝑣1 2 + 𝑚2 𝑣2 2 = 𝑚1 𝑣1′ + 𝑚2 𝑣2′
2 2 2 2

Sebelum m1= m2
v1 v2
tumbukan
1 2 2

Setelah
v1’= v2 v2’ = v1
tumbukan
1 2

Gambar 2.2 Tumbukan Lenting Sempurna


24

Selain memenuhi hukum kekekalan kinetik, tumbukan lenting sempurna


juga memenuhi hukum kekekalan momentum. Oleh karena itu, koefisien resitusi
untuk tumbukan lenting sempurna sama dengan satu (e =1 ).
2. Tumbukan Lenting Sebagian
Tumbukan antara dua benda dikatakan lenting sebagian, hukum kekekalan
energi kinetik tidak berlaku karena terjadi perubahan jumlah energi kinetik
sebelum dan sesudah tumbukan.Energi kinetik setelah tumbukan lebih kecil bila
dibandingkan dengan energi kinetik sebelum tumbukan.Jadi tumbukan lenting
sebagian hanya memenuhi hukum kekekalan momen-tum. Adapun koefisien
resitusi tumbukan lenting sebagian mempunyai nilai di-antara nol dan satu ( 0<e <
1).
3. Tumbukan Tidak Lenting Sama Sekali
Tumbukan antara dua benda dikatakan tidak lenting sama sekali apabila
sesudah tumbukan kedua benda tersebut menjadi satu (bergabung) dan mempu-
nyai kecepatan yang sama.

Sebelum m1= m2
v1 v2
tumbukan
2
1 2

v1’= v2’ = v ‘
Setelah
tumbukan
m1= m2 1 2

Gambar 2.3 Tumbukan Tidak Lenting Sama Sekali

𝑣1′ = 𝑣2′ = 𝑣 ′
(2.10)
Pada tumbukan tidak lenting sama sekali, jumlah energi kinetik benda-
benda sebelum tumbukan lebih besar dari jumlah energi kinetik setelah tumbukan
sehingga hukum kekekalan energi kinetik tidak berlaku. Hukum kekekalan mo-
mentum untuk dua buah benda yang bertumbukan tidak lenting sama sekali dapat
ditulis sebagai berikut:
𝑚1 𝑣1 + 𝑚2 𝑣2 = (𝑚1 + 𝑚2 )𝑣 ′
(2.11)
25

Dalam hal ini, koefisien resitusi untuk tumbukan tidak lenting sama sekali
sama dengan nol ( e =0 ).

Benda Dijatuhkan dan Memantul


Benda yang jatuh kemudian memantul, besar koefisien resitusi dirumuskan
dengan:
maka, 𝑣2 ′ ℎ2 ℎ𝑛+1 (2.12)
𝑒=− =√ 𝑒=√
𝑣1 ℎ1 ℎ𝑛

dimana hn adalah tinggi pantulan ke-n (n= 0,1,2, dst)

2.1.8.6. Penerapan Konsep Momentum dan Impuls


Beberapa penerapan konsep momentum dan impuls:
1. Tembakan Peluru dari Senapan atau Meriam
Sebelum peluru ditembakkan dari senapan, peluru dan senapan berada
dalam keadaan diam. Pada saat peluru ditembakkan, peluru akan bergerak dengan
kecepatan tertentu sedangkan senapan akan bertolak berlawanan arah dengan
gerak peluru. Misalkan peluru dinyatakan dengan A dan senapan dengan B, maka
hukum kekekalan momentum dapat ditulis sebagai berikut.

m A v A  mB v B  m A v A  mB v B
' '
(2.13)

Karena v A  vB  0 (keadaan diam), maka

m A v A  mB v B
' '
(2.14)

2. Peluncuran Roket
Pada peluncuran roket berlaku hukum kekekalan momentum, yaitu pada
saat mesin roket dinyalakan, gas panas yang dihasilkan dari hasil pembakaran
26

bahan bakar mendapatkan momentum yang arahnya kebawah dan roket akan
mendapatkan momentum yang besarnya sama dengan arah yang berlawanan
dengan arah buang dari gas panas tersebut.

Gambar 2.4.Peluncuran roket memanfaatkan prinsip momentum dan impuls


Pada peluncuran roket terjadi perubahan massa selama geraknya. Hal ini
terjadi karena pada dasarnya gaya dorong roket dihasilkan dari perubahan massa
roket tiap satuan waktu. Berdasarkan prinsip momentum dan impuls, gaya dorong
pada roket dapat dinyatakan sebagai berikut:

𝐹 ∆𝑡 = ∆(𝑚. 𝑣𝑟𝑒𝑙 )
∆(𝑚. 𝑣𝑟𝑒𝑙 )
𝐹 =
∆𝑡
∆𝑚
𝐹 = 𝑣
∆𝑡 𝑟𝑒𝑙
(2.15)
dengan :
F = gaya dorong roket (N)
∆𝑚
= banyaknya massa gas yang disemburkan tiap waktu (kg/s)
∆𝑡
𝑣𝑟𝑒𝑙 = kecepatan relatif (partikel-partikel gas yang disemburkan) terhadap roket
(m/s)
27

2.1.9 Peneliti Terdahulu


Berikut ini adalah penelitian-penelitian sebelumnya yang telah
menggunakan model pembelajaran Group Investigation.

Tabel 2.4 Hasil Penelitian terdahulu


No. Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1. Eva Oktaviani, Pengaruh Model Group Dari hasil penelitian, diperoleh
dkk (2018) Investigation Terhadap Hasil nilai rata-rata tes akhir pada kelas
Belajar Fisika Peserta Didik kontrol adalah 69,67 dengan
Pada Pokok Bahasan Gerak kualifikasi “baik” dan nilai rata-rata
Lurus Kelas X Di SMAN 1 tes akhir pada kelas eksperimen
JABUNG Lampung Timur adalah 79,16 dengan kualifikasi
“baik”. Untuk uji normalitas tes
akhir kelas eksperimen
menunjukkan Lhitung< Ltabel
dengan nilai 0,151 < 0,161 dan nilai
akhir pada kelas kontrol yaitu 0,128
< 0,161 maka dapat disimpulkan
bahwa data tes akhir berdistribusi
“normal”.
2. Dian Kuma Sari Pengaruh Model Group Aktivitas siswa selama mengikuti
(2018) Investigation Terhadap pembelajaran dengan menggunakan
Pengetahuan Konseptual Pada model pembelajaran kooperatif tipe
Materi Pokok Suhu dan Kalor group investigation berdasarkan
Di Kelas XI SMK analisis data aktivitas belajar siswa
MUHAMMADIYAH 8 secara proses dikategorikan
Medan meningkat, dapat lihat dari
delapanbelas deskriptor hanya
empat deskriptor dinyatakan gagal.
3. Evitamala Pengaruh Model Pembelajaran Berdasarkan hasil pretes yang
Siregar (2016) Kooperatif Tipe Group diperoleh, nilai rata-rata pretes
Investigation (GI) Terhadap kelas eksperimen 40,31 dan nilai
Pengetahuan Konseptual Siswa pretes kelas kontrol 40,23. Setelah
SMA Muhammadiyah 2 diajarkan dengan menggunakan
Medan T.P. 2015/2016 model GI maka nilai nilai rata-rata
untuk kelas eksperimen sebesar
76,80 dan
nilai rata-rata postes kelas kontol
sebesar 60,57.

2.3 Kerangka Konseptual


28

Pembelajaran konvensional sering kali dinyatakan kurang dalam


ketercapaian hasil belajar siswa karena dalam pembelajaran konvensional
kegiatan didominasi oleh guru, baik dalam penentuan materi atau topic
pembahasan, tujuan, isi dan langkah-langkah pembelajaran semuanya ditentukan
oleh pendidik tanpa melibatkan siswa di dalamnya. Siswa hanya mengikuti
pembelajaran sesuai arahan guru saja. Apalagi metode yang digunakan dalam
pembelajaran konvensional bergantung pada metode ceramah, siswa dikondisikan
untuk tetap duduk diam, mendengarkan, mencatat, contoh soal dan tugas-tugas.
Siswa terbiasa dibangun dengan penerimaan, sedangkan kemampuan dan
inisiatifnya kurang terasah. Sehingga pada akhirnya siswa cenderung pasif dan
tidak kreatif. Siswa tidak terlatih untuk melakukan percobaan dan melakukan
penalaran untuk menerapkan konsep agar bermanfaat bagi siswa. Padahal, tujuan
pembelajaran fisika di sekolah bukan hanya utuk menyampaikan maeri dan soal-
soal, akan tetapi menyiapkan siswa dalam menerapkan konsep-konsep melalui,
penyelidikan, pengamatan, diskusi, untuk menarik kesimpulan sesuai dengan
kegiatan yang dialami oleh siswa, yang tidak didapatkan dari pembelajaran
konvensional. Sehingga, pembelajaran yang hanya memberikan muatan pesan
sebanyak-banyaknya berakibat pada rendahnya hasil belajar siswa yang meliputi
kemampuan intelektual, sikap dan keterampilan.
Permasalahan ini perlu di upayakan dengan melakukan tindakan-tindakan
yang dapat mengubah suasana pembelajaran yang melibatkan siswa sehingga
pencapaian hasil belajar menjadi optimal. Berdasarkan teori belajar
kontruktivisme, siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan
informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Oleh karena permasalahan inilah peneliti menawarkan model yang sesuai
dengan teori konstruktivisme yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Group
Investigation (GI). Model pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok
strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk
mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran tipe Group Investigation ini dapat
menyiapkan siswa untuk berpikir logis, kritis, kreatif, serta berargumentasi di
29

depan kelas dengan baik. Dalam Group Investigation siswa bukan hanya bekerja
sama-sama, tapi juga membantu merencanakan topik yang akan dipelajari maupun
prosedur investigatif yang digunakan. Guru yang menggunakan pendekatan
Group Investigation biasanya membagi kelasnya menjadi kelompok-kelompok
heterogen yang masing-masing beranggota lima atau enam orang.
Pembelajaran dengan Group Investigation dimulai dengan pembagian
kelompok. Selanjutnya guru beserta peserta didik memilih topic-topik tertentu
dengan permasalhan-permasalahan yang dapat dikembangkan dari topik - topik
itu. Setiap kelompok bekerja berdasarkan metode yang telah mereka rumuskan.
Aktivitas tersebut merupakan kegiatan sistematik keilmuan mulai dari
mengumpulkan data, analisis data, sintesis, hingga menarik kesimpulan. Langkah
berikutnya adalah presentasi hasil oleh masing-masing kelompok. Pada tahap ini
diharapkan terjadi intersujektif dan objektivikasi pengetahuan yang telah
dibangun oleh suatu kelompok. Berbagai perspektif diharapakan dapat
dikembangkan oleh seluruh kelas atas hasil yang dipresentasikan oleh suatu
kelompok. Sebaiknya di akhir pembelajaran dilakukan evaluasi. Evaluasi dapat
memasukkan assesmen individual atau kelompok.

2.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis merupakan jawaban sementara yang harus diuji melalui penelitian.
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah hasil belajar menggunakan model pembelajaran Kooperatif
Tipe Group Investigation lebih baik daripada pembelajaran konvensional pada
materi pokok Momentum dan Impuls. model pembelajaran Kooperatif tipe Group
Investigation lebih baik daripada pembelajaran konvensional terhadap hasil
belajar siswa pada materi pokok Momentum dan Impuls.

Anda mungkin juga menyukai