Anda di halaman 1dari 28

RESUME JURNAL

SISTEM RESPIRASI

KELOMPOK IV

ALFITRA SALAM (70600 117 035)

CICIH NURCHOLISHAH (70600 117 001)

HUSNUL KHATIMAH SANUSI (70600 117 020)

ANDI MASYITA PUTRI (70600 117 022)

NURUL SHAFIRA YUSUF (70600 117 027)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019
TONSILITIS

 Definisi :

Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada


tenggorokan terutama pada usia muda. Penyakit ini terjadi disebabkan peradangan pada
tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita
tonsilitis akut (Palandeng, Tumbel, Dehoop, 2014).Tonsilitis kronis timbul karena
rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat (Soepardi et al.,2007).

 Etiologi :

Virus herpes simplex, Group A beta-hemolyticus Streptococcus pyogenes


(GABHS), Epstein-Barr virus (EBV),sitomegalovirus, adenovirus, dan virus campak
merupakan penyebab sebagian besar kasus faringitis akut dan tonsilitis akut.Bakteri
menyebabkan 15-30 persen kasus faringotonsilitis; GABHS adalah penyebab tonsilitis
bakteri yang paling banyak (American Academy of Otolaryngology — Head and Neck
Surgery, 2011).

Tonsilitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis
akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif namun terkadang bakteri
berubah menjadi bakteri golongan gram negatif. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli
S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab tonsilofaringitis kronis yaitu Streptokokus
alpha, Staphylococcus aureus, Streptokokus β hemolitikus grup A, Enterobakter,
Streptokokus pneumonie, Pseudomonas aeroginosa, Klebsiela sp., Escherichea coli,
Staphylococcus epidermidis (Suyitno S, Sadeli S, 1995 dalam Farokah, 2005).

 Faktor Resiko :
1. Eksposi kepada orang yang terinfeksi;
2. Eksposi kepada asap rokok;
3. Paparan asap beracun, asap industri dan polusi udara lainnya;
4. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
5. Kanak-kanak; remaja dan orang dewasa berusia 65 tahun ke atas;
6. Stres;
7. Traveler
8. Mulut yang tidak higiene
9. Kondisi ko-morbid yang mempengaruh sistem imun seperti hayfever,
alergi, kemoterapi, infeksi Epstein-barr virus (EBV), infeksi herpes
simplex virus (HSV), infeksi sitomegalovirus (CMV) dan infeksi human
immune virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
(Sasaki, 2008; Jain et al., 2001; Lewy, 2008).
10. Jenis kelamin. Lebih sering terjadi pada wanita (Abouzied, 2010).
 Patomekanisme

mekanisme infeksi dimulai saat antigen yang berasal dari inhalan maupun
ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil hingga terjadi perlawanan tubuh dan bisa
menyebabkan peradangan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian
terbentuk fokus infeksi. Keadaan ini akan semakin berat jika daya tahan tubuh penderita
menurun akibat peradangan lokal primer. Setelah terjadi serangan tonsilitis akut, tonsil
akan sembuh atau bahkan tidak dapat kembali sehat seperti semula. Penyembuhan yang
tidak sempurna akan menyebabkan peradangan ringan pada tonsil. Peradangan dapat
menyebabkan keluhan tidak nyaman kepada penderita berupa rasa nyeri saat menelan
karena sesuatu yang ditelan menyentuh daerah yang mengalami peradangan.

 Gejala Klinis

Menurut Effiaty Arsyad Soepardi, et al, (2007),yang merupakan gejala klinis:

1. Gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok,
sulit sampai sakit menelan.
2. Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam
subfebris, nyeri otot dan persendian.
3. Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil
fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis),plika tonsilaris anterior hiperemis
dan pembengkakan kelenjar limfe regional.Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar dengan permukaanyang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa
kriptus terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorokan, dirasakan
kering di tenggorokan dan nafas berbau.

Menurut Adams ( 2001 ) yang merupakan gejala klinis:


Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang
mungkin tampak, yakni:
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan
sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau
seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar
dan ditutup eksudat yang purulen.

Menurut (Adam et al., 2000; Sasaki, 2008) yang merupakan gejala klinis:
1. Sakit kepala

2. Malaise

3. Demam

4. Sakit saat menelan (Disfagia)

5. Halitosis

6. Kurangnya nafsu makan

7. Mual dan muntah

8. Pembesaran atau terjadinya tenderness pada kelenjar getah bening servikal serta
sakit telinga disebabkan persarafan yang sama kepada kedua telinga serta
tenggorokan

 Diagnosis

Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:

1. Anamnesa Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir
50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:
 Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi
pus.
 Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju.
 Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan
petechiae palatal.
 Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan
pembesaran tonsil yang obstruktif.
 Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
 Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
 Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.
 Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke
telinga mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
 Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa
faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan
diagnosa infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of
Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2014).

Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya membesar


(hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama pada dewasa,
kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar limfe angulus
mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005).Thane & Cody membagi
pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:
 T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior –
uvula.
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½ jarak
anterior – uvula.
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾ jarak
pilar anterior – uvula.
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula atau
lebih.

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan
dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep obstructive
apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).
 Pemeriksaan Penunjang

Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi


streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini
lebih mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih
cepat. RADT memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan
dengan kultur darah. Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang
cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang
disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan
(Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi
sebanyak 41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora
normal yang terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan 9,59%
di tonsil core. [Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian Kurien, et
al.,(2000)],yang menemukan patogen pada 55% dari swab tenggorokan dan
72,5% dari kultur core (Yousef et al.,2014 ).
 Tata Laksana
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga
higiene mulut yang baik, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika
terapi konservatif tidak memberikan hasil.Pengobatan tonsilitis kronis
dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberikan selama sekurangnya
10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penisilin atau
sulfonamida, namun bila terdapat alergi
penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamisin (Soepardi
et al., 2007). Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien
tonsilitis kronis dengan penyakit kardiovaskular (Shishegar dan Ashraf,
2014). Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana dengan memasang nasal
airway device, diberi kortikosteroid secara intravena dan diadministrasi
humidified oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari
obstruksi jalan nafas (Udayan et al., 2014).
b. Operatif
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau
kronik, gejala sumbatan serta kecurigaan neoplasma (Soepardi et al.,
2007). Pada penelitian Vivit Sapitri mengenai karakteristik penderita
tonsilitis kronis yang diindikasi tonsilektomi di RSUD Raden Mattaher
Jambi dari bulan Mei-Juli 2013 didapatkan data bahawa dari 30 orang,
ditemukan penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi
terbanyak pada rentang usia antara 5-14 tahun yaitu 15 orang (50%),
jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 17 orang (56,7%),
semua keluhan utamanya adalah nyeri pada tenggorok/ sakit menelan
sebanyak 30 orang (100%), indikasi tonsilektomi terbanyak adalah
indikasi relatif sebanyak 22 orang (73,3%) yaitu terjadi 3 episode atau
lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat (Sapitri,
2013). Tonsilektomi juga merupakan tatalaksana yang diaplikasikan
untuk Sleep-Disordered Breathing (SDB) serta untuk tonsilitis rekuren
yang lebih sering terjadi pada anak –anak (Shishegar dan Ashraf, 2014).
 Preventif
Prognosis tonsilitis umumnya baik dan dapat sembuh total dalam 5
hingga 7 hari. Meski demikian, tonsilitis dapat berulang dan menimbulkan
komplikasi.
 Komplikasi

Komplikasi tonsilitis akut dan kronik yaitu:

 Terjadi diatas tonsil dalam jaringan pilar anterior dan palatum mole, abses ini
terjadi beberapa hari setelah infeksi akut dan biasanya disebabkan oleh
streptokokus grup A. Paling sering terjadi pada penderita dengan serangan
berulang. Gejala adalah malaise yang bermakna, odinofagia yang berat dan
trismus (Mansjoer, 2000).
 Infeksis dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba auditorius (eustachi)
dan mengakibatkan otitis media yang dapat mengakibatkan otitis media yang
dapat mengarah pada ruptur spontan gendang telinga (Soepardi et al., 2007).
 Ruptur spontan gendang telinga lebih jauh menyebar infeksi ke dalam sel-sel
mastoid (Mansjoer, 2000).
 Merupakan proses peradangan dari membran mukosa yang membentuk
larynx. Peradangan ini mungkin akut atau kronis yang disebabkan bisa
karena virus, bakteri, lingkungan, maupun karena alergi (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001).
 Merupakan suatu penyakit inflamasi atau peradangan pada satu atau lebih
dari sinus paranasal.Sinus adalah merupakan suatu rongga atau ruangan
berisi udara dari dinding yang terdiri dari membran mukosa. (Reeves, Roux,
Lockhart, 2001).
 Merupakan penyakit inflamasi membran mukosa dari cavum nasal dan
nasopharynx (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).

Menurut American Academy of Otolaryngology, komplikasi dari tonsilitis adalah


kesulitan bernapas, kesulitan menelan ,sleep apnea, sakit tenggorokan, sakit telinga,
infeksi telinga, bau mulut, perubahan suara serta peritonsillar abses yang lebih sering
terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi pada anak-anak

• Abses peritonsil

• Otitis media akut

• Mastoiditis akut

• Laringitis

• Sinusitis

• Rinitis

Referensi :

1. Tunjung Sari, Layla. 2014. Faktor Pencetus Tonsilitis Pada Anak Usia 5-6 tahun di
Wilayah Kerja Puskesmas Bayat Kabupaten Klaten.
2. Palandeng, Andre. 2016. Penderita Tonsilitis di Poliklinik THT-KL BLU RSUP
Prof. DR. R. D. Kandou Manado Januari 2015-December 2016. Jurnal e-Clinic
Volume 2, nomor 2, juli 2016.
3. Fakh Maulana, Ivan. 2013. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang.
4. Farisa Nadhila, Nyimas. 2017. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien
Dewasa. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien.
5. Made Lanang Prasetya, Sang. 2015. Stimulasi Deteksi Tonsilitis Menggunakan
Pengolahan Citra Digital Berdasarkan Warna dan Luasan pada Tonsil.

DIFTERI
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheria,
suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit
tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada
tonsil, faring, dan / atau rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui
kontak langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat menyebabkan
penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan
sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah berdarah apabila dilakukan
pengangkatan.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat sebanyak 4,5 juta kematian 10,5
juta per tahun terjadi akibat infeksi yang bisa dicegah dengan imunisasi. Penyakit difteri
dapat dicegah dengan imunisasi sesuai dengan pengembangan program imunisasi.
Sasaran program ini adalah bayi usia 2–12 bulan untuk vaksin Difteri Pertusis Tetanus
(DPT) sebagai imunisasi dasar. Pada usia 6–7 tahun (Sekolah Dasar kelas 1) pemberian
booster difteri toksoid (DT).
Faktor predisposisi: umur, jenis kelamin, dan penyakit yang telah atau pernah
diderita memberikan kepekaan terhadap agen tertentu. Umur yang sering terkena difteri
adalah 2–10 tahun. Jarang ditemukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan oleh
karena imunisasi pasif melewati plasenta dari ibunya. Juga jarang pada dewasa yang
berumur diatas 15 tahun. Jenis kelamin yang sering terkena adalah wanita karena daya
imunitasnya lebih rendah Faktor yang mempermudah (enabling factor): penghasilan
rendah, gizi rendah, perumahan tidak sehat, akses rendah ke pelayanan kesehatan, dan
hal-hal yang memungkinkan proses terjadinya penyakit. Faktor penguat (reinforcing
factor) pemaparan yang berulang-ulang atau kerja keras, kehamilan akan memperberat
penyakit yang sedang berproses
Patomekanisme
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat berkembang biak pada
mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi eksotoksin yang disebut
diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut kemudian dapat diserap oleh
membran mukosa dan menimbulkan peradangan dan penghancuran epitel saluran nafas
hingga terjadi nekrosis, leukosit akan menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak
ditemukan fibrin yang kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat
dilepaskan. Pada keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk
pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah
berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring, bahkan
bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat menyebabkan edema
pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran
nafas dan kematian pada penderita difteri pernafasan. Toksin kemudian memasuki
peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan
saraf yang memiliki banyak reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis
pada jaringan tersebut. Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan payah jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan
polineuropati. Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan
Gejala Klinis
Manifestasi utama difteri adalah pada saluran nafas atas dengan disertai gejala sakit
tenggorok, disfagia, limfadenitis, demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala.
Membran adheren yang terbentuk pada nasofaring dapat berakibat fatal karena bisa
menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat meliputi miokarditis,
neuritis, dan kerusakan ginjal akibat exotoksin. C.diphtheriae (sering pada strain yang
nontoksigenik) dapat menyebabkan difteri kutaneus pada orang dengan standar hegienis
yang buruk (contoh pengguna obat dan alkohol) untuk cenderung terjadi kolonisasi (d
ikulit lebih sering terjadi dibandingkan faring). Gejala difteri itu sendiri dibedakan
berdasarkan lokasi infeksi, bila di pernafasan maka disebut difteri pernafasan/
respiratory yang meliputi area tonsilar, faringeal, dan nasal. Difteri pernafasan
merupakan penyakit pada saluran nafas yang sangat serius, sebelum dikembangkannya
pengobatan medis yang efektif, sekitar setengah dari kasus dengan gejala difteri
pernafasan meninggal. Pada anak-anak yang menderita difteri ini, lokasi utama terdapat
pada tenggorokan bagian atas dan bawah. Difteri lain (non pernafasan) selain difteri
pernafasan adalah difteri hidung, kulit, vulvovaginal dan anal auditori eksternal. Pada
difteri hidung gejala awal biasanya mirip seperti flu biasa, yang kemudian berkembang
membentuk membran dijaringan antara lubang hidung dengan disertai lendir yang dapat
bercampur darah. Toksin yang dihasilkan oleh difteri hidung ini tidak dengan mudah
dapat diserap ke dalam tubuh tapi dapat dengan mudah menyebarkan infeksi kepada
orang lain. Infeksi kulit C.diphtheriae relatif jarang terjadi di daerah yang secara
ekonomi baik, paling sering dilaporkan pada tuna wisma dan biasanya terjadi di daerah
tropis. Difteri kulit biasanya berupa ruam kulit atau terjadinya ulkus kulit yang kronis
(bentuk yang paling umum), biasanya co-infeksi dengan Staphylococcus dan
Streptococcus dan dapat menginfeksi luka yang sudah ada sebelumnya. Awalnya,
infeksi terjadi di daerah yang terbuka, seringkali kecil, trauma dapat menyebabkan
warna kemerahan dan rasa sakit, sampai akhirnya lesi terbuka. Dalam waktu singkat,
luka terbuka berkembang menjadi satu inci atau lebih dan menimbulkan rasa sakit
selama beberapa minggu atau lebih. Dapat ditutupi oleh pseudomembrane abu-abu atau
coklat. Setelah membran lepas, luka menjadi luka terbuka yang berwarna merah dengan
rembesan darah. Jaringan sekitarnya berubah warna dan sering ditemukan adanya
cairan. Walaupun infeksi berlangsung lama tetapi relatif lebih ringan dan dapat dengan
mudah diobati. Infeksi kulit dapat menularkan difteri ke saluran pernapasan pada orang
yang mengalami penurunan imunitas. Orang yang terpapar difteri kulit dapat
meningkatkan level imunitas alaminya terhadap infeksi difteri pernapasan. Toksin pada
difteri kulit yang masuk melalui luka ke dalam jaringan dapat menimbulkan respon
imun terhadap difteri, walaupun level toksin biasanya tidak cukup tinggi untuk
menyebabkan kerusakan serius.
Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap, yaitu :

Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis difteri meliputi
- Pengukuran tanda vital terutama suhu
- Palpasi lymph nodes - Inspeksi pada dinding faring, tonsil, uvula, antrum nasal untuk
melihat membrane seperti luka dan lesi kulit
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi
penyerta dan penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan apusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Bed rest
total selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus
pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
Khusus
1. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah
dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama,
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik sehingga harus disediakan
larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan
0,1 mL ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil
positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan
meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang
lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas
tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis
ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak
tergantung pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
2. Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin.
 Eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV,
maksimum 2 gram per hari)
 Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari
 Kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi
setiap 6 jam IV atau IM) atau Penisilin prokain (25.000-50.000
IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14
hari. Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-
10 hari. Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2
kultur yang negatif dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang
diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang
apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae.
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik daripada
sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi, masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman, kematian
mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi jalan nafas
mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2) Adanya miokarditis dan
gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus frenikus. Anak
yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada
umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah
dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan
tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang anak menderita
difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Imunitas
pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria sampai 6
bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif
diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi
toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi
tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar
lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur
dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan
imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila
imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum
diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun)
perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun
- DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
- DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
- Td untuk usia 7 tahun keatas

Referensi :
- Marsinta, Syahrial. 2018. Tonsilitis Difteri dengan Sumbatan Jalan Napas Atas.
ORLI Vol 48. 2018 (1). p 95-100.
- Alfina, Riza. 2015. Faktor yang Berhubungan dengan Peran Aktif Kader dalam
Penjaringan Kasus Probable Difteri. Jurnal Berkala Epidemiologi Vol 3. 2015
(3), p. 353-365
- Alfiansyah, Gamasiano. 2015. Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa
(KLB) Difteri di Kabupaten Blitar Tahun 2015.
- Hartoyo, Edi. 2018. Difteri Pada Anak. Sari Pediatri Vol 19. 2018 (5), p. 300-
306.
- Nisak, Choirun. 2014. Gambaran Karakteristik Individu dan Lingkungan Fisik
Rumah Penderita Difteri dan Kontak Erat di Kabupaten Jember. Artikel Ilmiah
Hasil Penelitian Mahasiswa 2014.
- Fitriana. 2014. Penatalaksanaan Difteri. J Indon Med Assoc Volum 64. 2014 (12),
p. 541-545.

EPIGLOTITIS
Croup atau juga dikenal sebagai laringotrakheobronkhitis merupakan salah satu
penyakit kegawatan bidang respiratorik pada anak. Umumnya, penyakit ini terjadi
pada anak usia 6 bulan hingga 3 tahun, dan kasus jarang pada usia 3 bulan dan diatas
15 tahun. Manifestasi klinis yang muncul pada Croup lebih merupakan gambaran
dari saluran nafas bagian atas, berupa: sesak nafas, suara serak, stridor inspiratoar,
batuk menggonggong, yang kadang disertai dengan distres pernafasan. Croup
merupakan penyakit kegawatan pada saluran nafas yang secara anatomis melibatkan
laring, infra/supraglottis, trakhea dan bronkhus [ CITATION Bak16 \l 1057 ]
Penyakit croup (laringotrakeobronkitis) yang diakibatkan oleh infeksi virus
parainfluenza virus, influenza virus tipe A atau rhinovirus. Epiglottitis yang
merupakan infeksi bakteri Haemophilus influenza tipe B, Streptococcus beta
haemolitikus, staphylococcus dan pneumococcus pada epiglotis.[ CITATION
Elf18 \l 1057 ]
A. DEFINISI
Epiglottitis adalah peradangan pada epiglottis sebagai akibat dari invasi
langsung oleh organisme patogen atau invasi tidak langsung sekunder akibat
bakteremia. Tanpa pengobatan, epiglottitis dapat berkembang menjadi obstruksi jalan
nafas yang mengancam kehidupan, terutama pada anak kecil yang diameter saluran
napasnya kecil. [ CITATION Zai18 \l 1057 ]
Epiglottitis, juga disebut supraglottitis atau epiglottiditis, adalah peradangan
struktur di atas penyisipan glottis dan paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri.
Sebelum vaksinasi Haemophilus influenzae tipe b (Hib) meluas, H influenzae
menyebabkan hampir semua kasus epiglottitis pada anak. [CITATION Ude16 \l 1057
]
Epiglottitis akut, juga dikenal sebagai supraglottitis, adalah selulitis invasif yang
melibatkan epiglottis dan struktur yang berdekatan termasuk lipatan aryepiglottic dan
vallecula. Sebelum vaksinasi luas terhadap haemophilus influenzae pada 1990-an,
penyakit bakteri ini terutama terlihat pada anak-anak, dengan usia puncak tiga tahun.
[ CITATION Ram18 \l 1057 ]

B. ETIOLOGI
Secara historis, Haemophilus influenzae tipe b (Hib) adalah organisme yang
dominan (> 90%) dalam kasus epiglottitis pediatrik. Sejak meluasnya penggunaan
vaksin Hib, kejadian dan agen penyebab epiglottitis telah berubah; namun, bahkan
anak-anak yang divaksinasi dapat mengalami epiglottitis karena non influenza tipe-
H.[CITATION Ude16 \l 1057 ]
Supraglottitis secara tradisional terkait dengan infeksi Haemophilus influenza
meskipun isolasi lebih sering terjadi pada anak-anak (68-72%) daripada orang
dewasa (21-23%). 8 Patogen lain telah terlibat dalam supraglottitis dewasa dan
mungkin juga disebabkan oleh cedera termal yang diderita oleh merokok dan
penggunaan narkoba. [ CITATION YCr16 \l 1057 ]
C. EPIDEMIOLOGI
Secara historis, epiglottitis akut paling umum terjadi pada anak-anak berusia 2-4
tahun. Penggunaan vaksin Haemophilus influenzae tipe b (Hib) telah mengurangi
insiden epiglottitis di Amerika Serikat, menjadikannya kondisi yang jarang terjadi
pada anak-anak. Pengenalan vaksin polisakarida pada tahun 1985, diikuti oleh vaksin
konjugasi yang sangat efektif, secara dramatis mengurangi kejadian epiglottitis,
dengan penurunan yang bersamaan dalam penerimaan di rumah sakit. Studi telah
menunjukkan tingkat kejadian tahunan 0,63 kasus per 100.000 orang, dan studi anak-
anak dari segala usia dengan epiglottitis melaporkan variasi musiman dalam
kejadian. [CITATION Ude16 \l 1057 ]
Epidemiologi H. influenzae invasif telah berubah secara dramatis setelah
pengenalan vaksin. H. influenzae yang tidak dapat diketemukan sekarang menjadi
penyebab utama penyakit invasif di semua kelompok umur dan menyebabkan 62,5%
kasus penyakit invasif pada anak-anak di bawah 5 tahun (kejadian tahunan 1,73 per
100.000).[ CITATION Zai18 \l 1057 ]
D. PATOFISIOLOGI
Haemophilus influenzae tipe b (Hib) atau Streptococcus pneumoniae (lihat
Etiologi) dapat menjajah faring anak-anak yang sehat melalui transmisi pernapasan
dari kontak intim. Bakteri ini dapat menembus penghalang mukosa, menyerang
aliran darah dan menyebabkan bakteremia dan pembenihan epiglotis dan jaringan di
sekitarnya. Bakteremia juga dapat menyebabkan infeksi pada meninges, kulit, paru-
paru, telinga, sendi, dan struktur lainnya. [CITATION Ude16 \l 1057 ]
Infeksi Hib pada epiglotis menyebabkan onset akut edema inflamasi, dimulai
pada permukaan lingual epiglotis di mana submukosa melekat dengan longgar.
Pembengkakan secara signifikan mengurangi aperture jalan napas. Edema dengan
cepat berkembang menjadi lipatan aryepiglottic, arytenoids, dan seluruh laring
supraglottic. Epitel yang terikat erat pada pita suara menghentikan penyebaran edema
pada level ini. Obstruksi jalan napas, aspirasi sekresi orofaringeal, atau sumbatan
mukosa distal dapat menyebabkan henti napas. Peradangan non-infeksi pada salah
satu struktur di sekitar epiglotis juga dapat terjadi akibat cedera termal atau kimia
atau dari trauma lokal, termasuk trauma tumpul ke leher.[CITATION Ude16 \l 1057 ]
E. GEJALA KLINIS
Gejala klinis epiglottitis dimulai seperti banyak infeksi saluran pernapasan atas,
dengan sakit tenggorokan, demam, dan malaise. Gejala awal yang paling umum
adalah sakit tenggorokan ringan yang meningkatkan keparahan dari waktu ke waktu,
yang mungkin disertai dengan perubahan suara atau batuk. Seiring waktu pasien
dapat mengembangkan berbagai gejala yang mempengaruhi sistem pernapasan
mereka, yang lebih umum adalah odinofagia, ketidakmampuan untuk menelan
sekresi, dan dispnea. "Tanda cap jempol" adalah prediktor yang andal untuk
obstruksi jalan napas cepat yang terlihat pada rontgen lateral leher pasien, dan
tercatat hingga 88% dari waktu, dengan lebar epiglotis di dalam. orang dewasa
melebihi 8 mm, dan lebar lipatan aryepiglotis melebihi 7 mm. Pemeriksaan langsung
oropharynx sebagai langkah awal umumnya lebih aman pada orang dewasa daripada
anak-anak, tetapi film leher lateral biasanya diperoleh pada awal evaluasi diagnostik.
[ CITATION Ram18 \l 1057 ]
F. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan Fisik
Anak itu tampak beracun; syok dapat terjadi pada awal perjalanan
penyakit. Gelisah yang ditandai, mudah tersinggung, dan kecemasan ekstrem
sering terjadi. Anak dapat duduk dengan dagu yang hiperekstensi dan badan
condong ke depan (mis., Posisi tripod atau mengendus) untuk memaksimalkan
udara masuk dan meningkatkan perjalanan diafragma (lihat gambar berikut).
Anak mengambil posisi mengendus dengan obstruksi jalan napas atas.

Mulut mungkin terbuka lebar dan lidah bisa menonjol; seorang anak yang terkena
sering ngiler, karena sulit menelan atau menyakitkan. Epiglotis merah eritematosa
dan klasik yang bengkak dan sering terlihat selama pemeriksaan orofaring,
meskipun pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan jika dapat mengganggu upaya
pernapasan. Pada awalnya, anak mungkin mengalami respirasi yang parah, tetapi
ketika penyakitnya berlanjut, suara saluran napas mungkin berkurang. Stridor
dapat terjadi dengan retraksi suprasternal, subkostal, dan interkostal. Pemeriksaan
leher anterior dapat mengungkapkan adenopati tender. Pada anak yang lebih besar,
rasa sakit dapat dicatat pada pergerakan tulang hyoid. [CITATION Ude16 \l
1057 ]
2. Pemeriksaan penunjang
 Kultur darah dan Epiglotis
Biakan darah dan biakan epiglotis harus dilakukan hanya setelah jalan
napas diamankan. Kultur darah dapat menunjukkan Haemophilus
influenzae tipe b (Hib) antara 12-15% dan 90% kasus. Kultur permukaan
epiglotis yang diperoleh selama intubasi endotrakeal positif pada 50-75%
kasus. [CITATION Ude16 \l 1057 ]

 Radiografi
Lateral Neck Radiography
Jangan pernah mendapatkan radiografi leher lateral sebelum mencapai
kontrol jalan napas definitif. Jika radiografi diperlukan, prosedur teraman
adalah melakukan radiografi portabel di samping tempat tidur. Pada
epiglottitis klasik, radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan
epiglotis bengkak yang menonjol dari dinding anterior hipofaring (yaitu,
tanda sidik jari), penebalan lipatan aryepiglottic, pelebaran vallecula, dan
pelebaran hipofaring ( lihat gambar berikut). Perhatikan bahwa temuan
negatif pada radiografi lateral tidak mengecualikan diagnosis, terutama
pada tahap awal presentasi. [CITATION Ude16 \l 1057 ]
G. PENATALAKSANAAN
1. Jalan napas, Pernafasan, dan Sirkulasi
Perawatan medis dimulai dengan mengevaluasi jalan napas, pernapasan,
dan sirkulasi. Pemberian oksigen tambahan, langkah awal yang tidak
mengancam. Tempatkan peralatan yang dibutuhkan untuk manajemen jalan
nafas yang muncul di samping tempat tidur, dan jaga agar pasien selalu
terlihat. Jika henti pernapasan akut terjadi, beri ventilasi pada anak dengan
oksigen tambahan 100%, gunakan alat bag-valve-mask, dan atur untuk
intubasi. Ketika seorang anak mengalami gangguan pernapasan dan personel
bedah yang tepat tidak tersedia, dokter yang hadir dapat melakukan intubasi.
Metode alternatif untuk mendapatkan kontrol langsung jalan napas, seperti
jarum cricothyrotomy, dianggap sementara sampai prosedur yang lebih
permanen (misalnya, trakeostomi) dapat dilakukan. [CITATION Ude16 \l
1057 ]
2. Farmakologi
Pemberian Antibiotik : [CITATION Ude16 \l 1057 ]
 Ceftriaxone (Rocephin)
Ceftriaxone adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga dengan
aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram negatif, termasuk spesies
Haemophilus influenzae, Enterobacteriaceae, dan Neisseria, dan aktivitas
beragam terhadap bakteri gram positif. Agen ini berikatan dengan protein
pengikat penisilin dan menghambat langkah transpeptidasi akhir sintesis
peptidoglikan, yang mengakibatkan penghancuran dinding sel dan
kematian organisme.
 Cefotaxime (Claforan)
Sefotaksim adalah antibiotik sefalosporin generasi ketiga lainnya dengan
aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Agen ini berikatan dengan protein pengikat penisilin dan menghambat
langkah transpeptidasi akhir sintesis peptidoglikan, yang mengakibatkan
penghancuran dinding sel dan kematian organisme.
 Chloramphenicol
Ketika dikombinasikan dengan ampisilin, kloramfenikol adalah agen
alternatif jika sefalosporin tidak dapat digunakan. Zat ini memunculkan
aktivitas melawan beberapa organisme gram positif, gram negatif, dan
anaerob dengan menghambat sintesis protein melalui pengikatan
reversibel ke subunit ribosom 50S. Meskipun tidak tersedia di Amerika
Serikat, antibiotik ini tetap digunakan di beberapa bagian dunia.
Pemberian Analgetik-Antipiretik [CITATION Ude16 \l 1057 ]
 Acetminophen
Acetaminophen adalah obat pilihan (DOC) untuk mengobati rasa sakit
pada pasien dengan hipersensitivitas terhadap aspirin atau obat
antiinflamasi nonsteroid (NSAID), mereka yang menderita penyakit
saluran cerna bagian atas, atau mereka yang menggunakan antikoagulan
oral. Agen ini mengurangi demam dengan tindakan langsung pada pusat
pengatur panas hipotalamus, yang meningkatkan pembuangan panas
tubuh melalui vasodilatasi dan berkeringat.
 Ibuprofen
Ibuprofen biasanya DOC untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang,
jika tidak ada kontraindikasi. Agen ini menghambat reaksi peradangan
dan nyeri, mungkin dengan mengurangi aktivitas enzim siklooksigenase,
yang menghambat sintesis prostaglandin. Ibuprofen adalah salah satu dari
beberapa obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) yang diindikasikan
untuk pengurangan demam.
H. KOMPLIKASI
Selama fase bakteremia penyakit, fokus infeksi lain dimungkinkan.
Pneumonia adalah penyakit terkait yang paling sering dikutip, diikuti oleh otitis
media. Meningitis juga telah dilaporkan terkait dengan epiglottitis. Seperti
halnya penyebab obstruksi jalan nafas atas lainnya, edema paru dapat diamati
setelah jalan nafas diamankan. Ekstubasi yang tidak disengaja dan henti
pernapasan adalah 2 komplikasi yang paling umum, dan ekstubasi yang tidak
disengaja dapat menyebabkan komplikasi tambahan. Adenitis serviks, radang
amandel, dan otitis media juga telah didokumentasikan. Singkatnya, komplikasi
yang terkait dengan epiglotis yang membengkak dan jaringan di sekitarnya
termasuk obstruksi jalan napas, yang dapat menyebabkan henti napas dan
kematian akibat hipoksia.[CITATION Ude16 \l 1057 ]
I. PROGNOSIS
Prognosisnya baik untuk pasien dengan epiglottitis yang saluran
napasnya telah diamankan. Tingkat kematian kurang dari 1% pada pasien ini.
Namun, angka kematian setinggi 10% dapat terjadi pada anak-anak yang saluran
udara tidak dilindungi oleh intubasi endotrakeal.[CITATION Ude16 \l 1057 ]
Referensi

Bakhtiar. (2016). Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis dan Tatalaksana Croup
Pada Anak. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol.16 Nomor 3.

Elfianto, & Novialdi. (2018). Diagnosis dan Penatalaksanaan Laringomalasia. Jurnal Kesehatan
Andalas Vol.7.

Ramlatchan, S., Kramer, N., & Ganti, L. (2018). Back to Basics: A Case of Adult Epiglottitis.
Cureus.

Udeani, J. (2016). Pediatric Epiglottitis. eMedicine Medscape.

Y.Cruz, M. G., & A. Almazan, N. (2016). Adult Acute Epiglottitis: An Eight - Year Experience
in a Philippine Tertiary Government Hospital. PhiliPPine Journal of otolaryngology-
head and neck Surgery Vol.31 No.2.

Zaid, S. A., Shoher MD, S., Nasser, W., Zamir, G., & Zaid, W. A. (2018). Heamophilus
Influenza-B Epiglottitis in a Vaccinated Child: A Note of Caution. IMAJ Vol.20.
ABSES PERITONSILER
A. ANATOMI TONSILLA PALATINA
Tonsil palatina adalah sepasang organ limfoid yang terletak di antara lipatan
palatoglosal (pilar anterior) dan lipatan palatofaringeus (pilar posterior) disebut fosa tonsilaris .
Dikelilingi oleh kapsul tipis yang memisahkan tonsil dari otot konstriktor faringeus superior dan
otot konstriktor faringeus bagian tengah. Pilar anterior dan posterior membentuk bagian depan
dan belakang ruangan peritonsil. Bagian atas ruangan ini berhubungan dengan torus tubarius, di
bagian bawah dibatasi oleh sinus piriforis. Ruangan peritonsil diisi oleh jairngan ikat longgar,
infeksi yang berta dapat dengan cepat membentuk pus. Inflamasi dan proses supuratif dapat
meluas dan mengenai palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang sekali ke basis lidah.

B. FISIOLOGI

Tonsil palatina memberikan pengakuan awal dari kedua antigen udara dan pencernaan
dan bertindak sebagai garis pertahanan pertama terhadap patogen. Sel-sel dendritik dalam
reticular crypt transportasi epitel antigen eksogen ke folikel sel B dan daerah T-sel
extrafollicular. Mengandung sebagian besar CD4 + (pembantu) T-sel, amandel menyediakan
baik respon sel T primer dan sekunder. Setelah stimulasi oleh T-sel dalam ruang extrafollicular,
belum matang B-sel menjajah folikel dan berdiferensiasi menjadi sel memori dan plasma,
memproduksi berbagai subtipe immunoglobulin. Sel-sel epitel amandel juga berpartisipasi
dalam memproduksi peptida antimikroba, manusia β-defensin, antibiotik alami yang diproduksi
oleh tubuh.

C. DEFINISI

Abses peritonsillar (quinsy) adalah kumpulan nanah antara kapsul fibrosa amandel,
biasanya di bagian dan otot konstriktor superior faring, ditemukan antara kapsul dan jaringan
lunak sekitarnya dan otot. Kebanyakan abses berkembang di bagian superior. Biasanya terjadi
sebagai komplikasi dari tonsilitis akut atau mungkin timbul tanpa tonsilitis sebelumnya. Abses
peritonsillar cenderung unilateral dan muncul karna terhambatnya kelenjar Weber.Abses leher
dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran
infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya. Inflamasi yang
progresif dapat meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral faring, dan jarang
ke arah basis lidah. Abses peritonsil pertama kali disebut pada abad ke-14, merupakan penyakit
yang mengancam jiwa, sehingga diperlukan penanganan yang tepat dan segera. Ruangan
peritonsil dapat terinfeksi oleh bakteri Streptococcus sp. Ruangan peritonsil dibatasi di medial
oleh kapsul tonsil, di lateral muskulus konstriktor faringeal superior, di inferior pilar anterior
tonsil, dan di pilar posterior tonsil.

D. EPIDEMIOLOGI

• Abses peritonsil kira-kira 30% dari abses leher dalam.


• Abses peritonsil ditemukan 10 -37 per 100.000 orang.
• Di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun.
• Usia 20 - 40 tahun.
• Laki-laki : perempuan = 2 : 1

E. ETIOLOGI

Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang anaerob.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus
pyogene (Group A beta- hemolitic streptococcus) sedangkan organisme anaerob yang berperan
adalah fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi
antara organisme aerob dan anaerob.
• Kuman aerob: Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C, G streptococcus,
Hemophilus influenza (type b and nontypeable) Staphylococcus aureus, Haemophilus
parainfluenzae, Neisseria species. Mycobacteria sp.
• Kuman Anaerob: Fusobacterium Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. Bacteroides. Virus :
Eipsten-Barr Adenovirus Influenza A dan B, Herpes simplex, Parainfluenza.

F. PATOFISIOLOGI

Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut, walaupun
dapat terjadi tanpa infeksi tonsil sebelumnya. Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga terjadi
peritonsilitis dan kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial
peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium infiltrat, selain
pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi
supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula bengkak terdorong ke sisi
kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m. pterigoid interna, sehingga timbul trismus.Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus
yang terletak di atas kapsul tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil.
Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi sumber infeksi
setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi dapat memegang peranan dalam etiologi
abses peritonisl. Fried dan Forest menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil
mengalami peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren.

G. MANIFESTASI KLINIS

• Sakit tenggorokan
• Demam
• Suara teredam
• Disfagia dan odynophagia
• Hipersalivasi
• Trismus akan muncul bila infeksi meluas mengenai otot-otot pterigoid.
• Pembengkakan di orofaring dengan medialisation dari tonsil.
• Dalam beberapa kasus, otalgia ipsilateral dan hilangnya rasa pada sepertiga posterior lidah
terjadi karena edema mempengaruhi saraf glossopharingeus
• Keluhan lainnya berupa mulut berbau (foetor ex ore), muntah (regurgitasi), sampai nyeri
alih ke telinga (otalgi).
• Pemeriksaan fisik: eksudat tonsil, trismus dan limfadenopati jugulodigastric. Pasien dengan
abses peritonsillar beresiko perpanjangan abses ke dalam ruang leher lebih dalam dan
obstruksi jalan napas. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.
• Palpasi (jika mungkin) dapat membedakan abses dari selulitis. Palatum mole tampak
membengkak dan menonjol kedepan, dapat teraba fluktuasi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

• Dengan headlamp, spatula dan cahaya, satu dapat menemukan eritema dan edema superior
dan lateral tonsil serta di langit-langit lunak, selain medialisation dari tonsil dan kadang-
kadang lateralisation uvula. Kesulitan dalam menelan kadang-kadang menyebabkan air liur.
• Dalam keadaan ini tes diagnostik yang paling umum adalah computed tomography (CT)
scan. CT scan dapat secara akurat mendiagnosis abses peritonsillar dengan sensitivitas
100% dan membantu untuk menentukan tingkat penyakit.

I. DIAGNOSA

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Aspirasi dengan jarum
pada daerah yang paling fluktuatif, atau punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat
untuk memastikan abses peritonsil. Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses
peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari abses dengan menggunakan jarum aspirasi.
Untuk mengetahui jenis kuman pada abses peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap
tenggorok.
Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah
lengkap, pemeriksaan radiologi polos posisi antero-posterior hanya menunjukkan “distorsi” dari
jaringan tetapi tidak berguna untuk menentuan pasti lokasi abses, pemeriksaan CT scan pada
tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens, yang menandakan adanya cairan pada tonsil yang
terkena, di samping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan
ini dapat membantu untuk rencana operasi. Ultrasonografi merupakan teknik yang sederhana
dan noninvasif dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal abses.

J. PENATALAKSANAAN

• Antibiotik :
- Penisilin, dan betalactames lainnya
Penisilin adalah kelompok antibiotik yang mencakup fenoksimetil, benzil, prokain dan
benzathine penisilin; ini rentan terhadap betalactamase enzim yang dihasilkan oleh berbagai
bakteri. Dari penisilin spektrum yang lebih luas, amoksisilin juga banyak digunakan dalam
pengobatan PTA; itu juga dapat digunakan dalam kombinasi dengan asam klavulanat, sebuah
betalactamase inhibitor.
- Metronidazol dan klindamisin
Metronidazol milik kelompok nitroimidazoles, bersama dengan tinidazol dan
ornidazole. Hal ini digunakan dalam pengobatan banyak parasit (misalnya trichomonas, amuba,
giardia) dan bakteri anaerob. Ketika diberikan po, metronidazol ditemukan untuk
didistribusikan dengan baik di seluruh jaringan tubuh. Obat ini sebagian besar dimetabolisme
oleh hati dan, sesuai, metabolisme ini berkurang pada pasien dengan disfungsi hati. gagal ginjal
hanya mempengaruhi ekskresi metabolitnya. Metronidazole dapat berinteraksi dengan obat lain
(misalnya warfarin, fenitoin, lithium) dan menghasilkan reaksi disulfiram-seperti ketika
digunakan bersama dengan alkohol. Bila diberikan dalam dosis <2g per hari, umumnya
ditoleransi dengan baik; efek samping, seperti efek gastrointestinal, neutropenia dan neuropati,
tampaknya berhubungan dengan dosis dan perlakuan durasi.
• Aspirasi jarum.
• Incision dan drainase.
• Operasi amandel.

REFERENSI:
1. Wiksten, Johanna. 2018. Peritonsillar abses etiologi, diagnostik dan pengobatan. Fakultas
Kedokteran Universitas Helsinki.
2. Chilpa, C. 2016. Mikrobiologi dari Peritonsillar Abses: A Calon Studi. Asisten Profesor,
Departemen THT, JSS Medical College dan Rumah Sakit, Mysore, Karnataka, India.
3. BA Chang, A Thamboo, dkk. 2016. aspirasi jarum dibandingkan insisi dan drainase untuk
pengobatan abses peritonsillar (Ulasan). Cochrane Lybrary.
1. Marbun. Erna M. 2016 . Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses Peritonsil. Staf
Pengajar Bagian THT Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana.
2. Gupta, Richa. Mittal, Manish. 2016. Sebuah studi klinis dan epidemiologis pada abses
peritonsillar di Puskesmas tersier . Departemen THT, SS Medical College, Rewa, Madhya
Pradesh, India, 2 Departemen PSM, Pacific Medical College, Udaipur, Rajasthan, India

Anda mungkin juga menyukai