Anda di halaman 1dari 26

Teuku Umar

Teuku Umar dilahirkan di Meulaboh Aceh Barat pada tahun


1854. Ayahnya bernama Achmad Mahmud yang berasal dan keturunan Uleebalang Meulaboh.
Nenek moyang Umar berasal dari keturunan Minangkabau yaitu Datuk Nachudum Sakti. Salah
seorang keturunan Datuk Nachudum Sakti pernah berjasa terhadap Sultan Aceh, yang pada waktu
itu terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasa Panglima
keturunan Minangkabau ini Sultan Aceh terhindar dari bahaya. Berkat jasanya tersebut, orang itu
kemudian diangkat menjadi Uleebalang 6 Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh, yang kemudian
mempunyai dua orang putra yaitu Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. (Mardanas Safwan: 1981 : 34).
Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Uleebalang
6 Mukim. Ia mempunyai anak perempuan bernama Cut Nyak Dhin. Ahmad Mahmud kawin dengan
adik perempuan raja Meulaboh. Dalam perkawinan itu ia memperoleh dua orang anak perempuan
dan empat anak laki-laki. Dari keempat anak laki-lakinya, salah satu bernama Teuku Umar. Jadi Umar
dan Cut Nyak Dhien merupakan saudara sepupu dan dalam tubuh mereka mengalir darah
Minangkabau, darah seorang Datuk yang merantau ke Aceh dan memasyhurkan namanya. (Hazil,
1955 : 48).

Baik Umar maupun Cut Nyak Dhien pada masa kecilnya tidak pemah bertemu, mereka hanya
mengenal nama masing-masing. Ketika masih kecil, Umar merupakan anak yang sangat nakal, tetapi
juga sangat cerdas. Sebagai anak nakal, ia suka berkelahi dengan teman-teman sepermainannya.
Dalam perkelahian, ia juga sering dikeroyok, tetapi ia tidak takut. Berkat keberanian dan keunggulan
di antara teman-temannya, Umar pernah diangkat sebagai Kepala Kelompok anak-anak di
kampungnya. Dengan adanya penghargaan itu, maka Umar semakin disegani dan ditakuti oleh
kawan dan lawannya bermain. Setelah berumur 10 tahun, ia memisahkan diri dari kehidupan orang
tuanya, mengembara di rimba Aceh dan bertualang dari daerah satu ke daerah lain sambil mencari
pengalaman hidup dan berguru. Setelah menginjak masa remaja, sifat Umar mulai berubah. la
pandai dan gemar bergaul dengan rakyat tanpa membedakan kedudukan orang itu dalam
masyarakat.
Jiwa kerakyatan telah timbul dan ia mempunyai cita-cita dan rasa kemerdekaan yang meresap
sampai ke tulang sumsumnya. Ketika Perang Aceh meletus pada tahun 1873, Umar baru berumur 19
tahun. la belum ikut pada perang ini, karena umurnya masih sangat muda dan jiwanya belum
mantap, kendatipun waktu itu la sudah diangkat menjadi Keuchik di daerah Daya Meulaboh. Ketika
berumur 20 tahun, Umar menikah dengan Nyak Sopiah, anak Uleebalang Glumpang. la semakin
dihormati dan disegani karena mempunyai sifat yang keras dan pantang menyerah dalam
menyelesaikan setiap persoalan hidup. Untuk lebih menaikkan derajatnya, Umar menikah lagi
dengan Nyak Malighai seorang putri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Mulai saat itu Umar memakai
gelar Teuku dan bercita-cita untuk membebaskan daerahnya dari kekuasaan Belanda (Mardanas
Safwan, 1981 : 35).

Teuku Umar tidak pernah mengenyam pendidikan sekolah seperti pemimpin-pemimpin lainnya,
tetapi dia dapat menjadi seorang pemimpin yang cakap, disiplin dan mempunyai kemauan yang
keras. Pengetahuannya diperoleh dari pengalaman hidup yang diperoleh dari pengembaraannya dari
daerah satu ke daerah lain dan berguru pada orang-orang yang dianggapnya cakap. Di samping
memiliki bakat memimpin, dan mempunyai otak yang cerdas, pengetahuan yang dimiliki ia peroleh
dari petualangannya. Untuk mencapai cita-cita membebaskan Aceh dari cengkraman bangsa asing
(Belanda), Aceh harus mempunyai tentara yang kuat dan terlatih. Berkat ketekunan dan
kewibawaan serta kecakapannya, akhirnya Umar berhasil membentuk pasukan. Orangorang yang
berani dan tangkas oleh Umar dilatih dan direkrut menjadi pasukan yang siap tempur.
Setelah Teuku lbrahim Lamnga gugur dalam perang melawan Belanda pada tahun 1878, istrinya (Cut
Nyak Dhien) menjadi janda. Selama Cut Nyak Dhien menjanda, selalu mendapat perhatian khusus
dari Teuku Umar. Yang menarik baginya bukanlah kecantikannya tetapi sifat keprajuritan yang ada
dalam diri Cut Nyak Dhien. Ia mempunyai sifat keprajuritan, disiplin, dan keras hati, serta mencintai
kemerdekaan Aceh. Wanita seperti Cut Nyak Dhien sangat tepat menjadi istri seorang pejuang. Dari
sifat-sifat yang menarik hatinya itulah, diam-diam Teuku Umar jatuh cinta pada Cut Nyak Dhien.
Seperti kata pepatah, “gayung bersambut” akhirnya cinta Umar dibalas dengan perasaan yang sama
oleh Cut Nyak Dhien.

Pada waktu Ibrahim Lamnga masih hidup, Cut Nyak Dhien dengan setia membantu perjuangan
suaminya. la sanggup berkorban apa saja demi perjuangan suaminya. Itulah yang menarik hati Teuku
Umar. Setelah cintanya diterima dengan senang hati, Umar melamar Cut Nyak Dhien dan dalam
tahun 1878 keduanya melangsungkan upacara perkawinan di Montasik. (H.M. Zainuddin et. al., 1972
: 4). Dengan demikian, Umar telah menikah untuk yang ketiga kalinya. Ketiga istrinya adalah sama-
sama wanita bangsawan dan sama-sama keturunan Uleebalang. Dari perkawinan Teuku Umar
dengan Cut Nyak Dhien lahirlah anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang. Anak ini lahir jauh
dari kampung halamannya karena ia harus lahir di tempat pengungsian. Ketika itu ayahnya (Umar)
sedang memimpin pertempuran melawan Belanda. Di tempat pengungsian Umar berjanji pada
anaknya bahwa pada suatu saat nanti ia akan mengantarkan anak dan istrinya kembali ke rumahnya
di Montasik, karena hak milik yang dikuasai Belanda ini harus direbut kembali. Dengan suara kecil ia
berbisik pada anaknya, bahwa kalau seandainya engkau kembali ke daerah 6 Mukim, engkau akan
menjadi Hulubalang 6 Mukim. Dengan tersenyum dan suara kecil Teuku Umar melanjutkan pula
berkata kepada istrinya, bahwa engkau akan menuntut pula sebagai Panglima Sagie 26 Mukim
apabila Panglima Sagi yang sekarang meninggal dunia. (Hazil, 1955 : 59).
Peranan Teuku Umar Pada Permulaan Perang

Pada tahun 1871 Inggris dan Belanda bertemu dalam Traktat Sumatera. Dalam Traktat tersebut
disebutkan bahwa Belanda bebas bergerak dan mengadakan perluasan wilayah di Aceh. Rakyat Aceh
marah mengetahui perjanjian tersebut. Kemarahan itu sebenarnya sudah lama terasa setelah
melihat gelagat dan gerak-gerik Belanda di Sumatera yang merugikan Aceh telah terbaca sejak tahun
1857. Pada tahun itu Belanda menduduki Siak yang merupakan daerah taklukan Aceh. Setelah lahir
Traktat Sumatra tahun 1871, rakyat Aceh semakin meluap-luap marahnya.
Pada tanggal 5 April 1873, Belanda dengan kekuatan 3000 orang tentara menyerang Kerajaan Aceh
Darussalam dan berhasil menduduki Mesjid Raya Baiturrahman. Namun dapat direbut kembali oleh
pejuang Aceh setelah Panglima tentara Belanda Mayor Jenderal JHR. Kohler ditembak mati oleh
pejuang Aceh pada tanggal 14 April 1873. Dengan tewasnya JHR. Kohler, penyerbuan tidak
diteruskan. Seluruh pasukan Belanda yang ada di Aceh akhirnya ditarik kembali. (Mawarti Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 : 246).

Pada bulan Nopember tahun 1873 dikirimlah ekspedisi kedua yang dipimpin oleh Van Swieten
dengan tentara sebanyak 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki Mesjid Raya
Baiturrahman. Sebelum Istana Raja oleh pasukan diserbu Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya
telah diungsikan. Dalam pengungsiannya, Sultan terserang penyakit kolera dan akhirnya meninggal.
Para pengikutnya memindahkan tempat pengungsiannya sampai jauh ke pedalaman Aceh Besar.
Dalam perangnya melawan gerilyawan Aceh, Belanda menggunakan strategi menunggu dan
menjalankan sistem pasifikasi. Hal ini terjadi juga dengan adanya raja-raja daerah pantai yang
menyatakan tunduk pada Pemerintah Kolonial Belanda. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 387).
Waktu Jenderal Van Der Heiden menggantikan Jenderal Pel, mulailah diadakan ofensif dengan
mengirim ekspedisi ke Mukim XXII. Panglima Polem terpaksa mengundurkan diri ke daerah lain.
Melihat tentara Aceh terus terdesak oleh ofensif pasukan Belanda, Teuku Umar mulai bekerja keras.
la menghubungi para pemuda Aceh untuk diajak bersama-sama berjuang melawan Belanda. Umar
juga menjelaskan pada para pemuda Aceh bahwa mempertahankan tanah air dan tanah tumpah
darah dari serangan musuh adalah kewajiban setiap orang Aceh terhadap Tuhannya. Artinya, barang
siapa yang tidak mau mengusir atau melawan penjajah, maka orang itu akan mendapat hukuman
dari Tuhan, sebab tanah tumpah darah itu sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang harus
dipelihara dengan sebaik-baiknya dan dilarang orang menyerahkan kepada bangsa Asing. Milik Aceh
adalah untuk rakyat Aceh. Demikian cara Teuku Umar menggugah semangat perjuangan para
pemuda Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan. Dengan cara demikian Teuku Umar berhasil
merekrut sejumlah besar tentara pejuang yang berani mati.

Nama Teuku Umar mulai menjadi buah bibir dan terkenal di seluruh lapisan masyarakat. Di samping
itu juga memberikan latihan-latihan perang gerilya kepada calon-calon prajurit. la juga sibuk
menghubungi para pemimpin rakyat lainnya untuk diajak berunding mengatur siasat perjuangan. Ia
menentukan satu orang saja yang akan dijadikan pemimpin mereka dan kemudian menentukan pula
waktu peperangan akan dilancarkan. Perundingan antara semua pemimpin perjuangan
kemerdekaan itu sepakat untuk mengangkat Nanta Setia sebagai pemimpin tertinggi perjuangan
kemerdekaan. (Achmad Effendi, 1975 : 28).

Perang akan dikobarkan di daerah 6 Mukim dalam tahun 1873. Teuku Umar yang waktu itu baru
berumur 19 tahun, sebelum berangkat ke medan perang terlebih dahulu berpamitan pada kedua
orang tuanya. Kedua orang tuanya meneteskan air mata haru bercampur bangga bahwa Teuku Umar
telah berikrar bersama rakyat mengusir penjajah Belanda di Aceh dan berjuang sampai titik darah
penghabisan. (H.M. Zainuddin, 1972 : 5).

Pada waktu perang berkobar, prajurit-prajurit Aceh sangat bersemangat, walaupun persenjataanya
sangat sederhana dibandingkan dengan prajurit Belanda, namun mereka dapat mendatangkan
korban yang besar di pihak lawan. Kesemua itu dapat terjadi karena antara lain disebabkan tentara
Aceh mahir bertempur secara gerilya dan hidup di hutan belantara yang sudah mereka kuasai
medannya. Berdasarkan pengalaman selama pertempuran itu Belanda kemudian menyadari bahwa
untuk dapat mengalahkan tentara Aceh, maka harus memiliki kemahiran bertempur dihutan
belantara dan mendatangkan bala bantuan dari Batavia lengkap dengan persenjataan serta
perlengkapan perang lainnya. (Mawarti Djoenet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 1992 :
427).
Setelah pasukannya diperkuat dan bala bantuan dari Batavia didatangkan, Belanda dapat
menimbulkan korban yang lebih besar di pihak Aceh. (Achmad Effendi, 1975 : 34). Mulai saat itulah
Aceh mengalami kekalahan besar, terlebih ketika Teuku Ibrahim Lamnga gugur terbunuh oleh
tentara Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 di daerah Gunung Param. (Ahmad Effendi, 1975 : 35).
Jenasahnya dimakamkan di Montasik Aceh Besar. Seluruh tentara Aceh berkabung akibat kematian
Teuku Ibrahim Lamnga itu.

Tetapi yang paling sedih adalah Nanta Setia dan Cut Nyak Dhien. Kekalahan tentara Aceh pada waktu
itu menjadi perhatian Teuku Umar. la berfikir keras untuk mendapatkan pelajaran dari kekalahan itu
bagi perjuangan tentara Aceh selanjutnya. Akhirnya Umar dapat mengetahui bahwa sumber utama
kekalahan adalah di bidang persenjataan. Belanda dapat mengalahkan tentara Aceh karena Belanda
memiliki senjata yang lebih baik dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan yang dimiliki
tentara Aceh. Sehubungan dengan itu Teuku Umar kemudian menetapkan bahwa dalam peperangan
mempertahakan kemerdekaan, maka rakyat dan tentara Aceh harus dapat merebut senjata dan
perbekalan yang banyak dan tangan musuh, walaupun harus menghalalkan segala cara. Tetapi
bagaimanakah hal itu dapat terjadi? Itulah yang selalu menjadi bahan peikiran Teuku Umar setiap
hari. Pada waktu diadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin pejuang lainnya, Teuku Umar
mengajukan suatu cara untuk mencapai tujuan tersebut. Cara itu kemudian mendapat persetujuan
dari para pemimpin yang hadir la telah menentukan suatu siasat, tetapi siasat itu sifatnya sangat
rahasia dan hanya pemimpin-pemimpin pejuang tertentu saja yang boleh tahu.
Teuku Umar Memimpin Perlawanan Dengan Berbagai Siasat

Pada tahun 1883 di Aceh terjadi suatu peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu berita mengenai
Teuku Umar menyerahan diri dan memihak kepada Belanda. (Rusdi Sufi, 1994: 88). Rakyat Aceh
marah dan banyak yang mengutuk sebagai pengkhianat diantara mereka ada pula yang
menghendaki agar Teuku Umar dibunuh oleh rakyat sendiri. Sementara itu, Belanda sangat gembira
menerima penyerahan diri Teuku Umar. Dengan menyerahnya Teuku Umar, Belanda berharap dapat
dengan mudah menaklukkan seluruh rakyat Aceh. Setelah menyerahkan diri, maka Umar mendapat
kepercayaan dari Belanda. Ia diserahi tugas yang penting-penting untuk melaksanakan keinginan
Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh. Pada mulanya tugas yang diberikan kepada Teuku
Umar adalah melatih tentara Belanda bertempur di hutan belantara dan mengajarkan teknik perang
gerilya.
Teuku Umar melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, tetapi di dalam hatinya ia memegang
teguh siasat perang yang telah ditetapkan bersama dengan para pemimpin pejuang Aceh beberapa
waktu sebelumnya. Selesai melatih perang gerilya di hutan belantara, Teuku Umar ditugaskan
memimpin penumpasan perlawanan rakyat Aceh. Dalam pertempuran itu memang banyak korban
jatuh di kedua belah pihak, tetapi tentara Belanda banyak yang mati dan senjatanya banyak yang
berhasil dirampas tentara Aceh. Tentara Aceh hanya sebentar saja mampu melawan serangan
tentara Belanda dan kemudian mereka mundur meninggalkan benteng pertahanannya. Apalagi
tentara Aceh hanya berpura-pura saja berperang melawan tentara Umar. Demikian juga sebaliknya
Umar juga berpura-pura menyerang Aceh. Karena tidak tahu siasat Umar, Belanda gembira
menyaksikan mundurnya tentara Aceh itu. Belanda menganggap dengan bantuan Umar, mereka
dapat mematahkan seluruh perlawanan Aceh. Untuk itu, Umar mendapat hadiah besar berupa uang
dan materi lainnya yang berguna untuk menambah modal perang tentara Aceh yang dikirim secara
rahasia. Ketika sebuah kapal Inggris yang bernama “Nicero” terdampar dan dirampas oleh raja
Teunom, kapten dan awak kapalnya disandera. Raja Teunom menuntut kepada pemilik kapal, bahwa
sandera akan dibebaskan jika pemilik kapal sanggup menebusnya dengan uang tunai sebesar 10.000
dolar. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal
tersebut. Pembebasan kapal milik Inggris ini harus dilakukan pihak Belanda karena perampasan
kapal tersebut telah mengakibatkan ketegangan hubungan antara Inggris dengan Belanda.
Pada waktu menerima tugas tersebut Teuku Umar menyatakan bahwa merebut Kapal “Nicero” dari
raja Teunom merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, wajarlah
kalau Inggris sendiri tidak dapat merebut kembali kapal tersebut. Namun ia sendiri dengan pasukan
Belanda yang dipimpinnya sanggup merebut kembali kapal itu asal ia diberi perbekalan dan
persenjataan yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Setelah
memperoleh perbekalan perang yang cukup banyak, berangkatlah Teuku Umar dengan kapal
“Bengkulen” ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa orang panglimanya.
Beberapa waktu setelah upacara pemberangkatan tersebut, kalangan Belanda dikejutkan oleh
sebuah berita yang menyatakan bahwa semua tentara Belanda yang ditugaskan untuk merebut
kembali kapal “Nicero” telah dibunuh di tengah laut oleh Teuku Umar bersama anak buahnya.
Seluruh senjata dan amunisi beserta perlengkapan perang lainnya dirampas. (H.M. Zainuddin, 1972 :
5).
Sejak saat itu Teuku Umar kembali memihak pejuang Aceh untuk melawan Belanda. Selain itu, Teuku
Umar menyarankan Raja Teunom supaya jangan sekali-kali mau mengurangi tuntutannya. Kalangan
Belanda menjadi goncang akibat siasat Teuku Umar itu. Belanda sangat marah terhadapnya. Sejak
saat itu Pemerintah Kolonial Belanda mengumumkan bahwa Belanda akan membayar upah senilai
25.000 dolar kepada siapa saja yang sanggup menculik Umar dan membawanya ke Banda Aceh
hidup atau mati. Efek pengumuman ini di kalangan rakyat tidak ada sama sekali, karena memang
tidak ada yang berani berbuat demikian sebab telah diperhitungkan tidak akan
berhasil.(Moehammad Said, 1985 : 228).

Mengenai kapal “Nicero”, Belanda terpaksa menerima tuntutan Raja Teunom untuk membayar
pembebasan sandera sebesar 10.000 dolar. Setelah menerima uang sebesar tuntutannya, maka
pada tanggal 10 September 1884 Raja Teunom

menyerahkan 18 orang awak kapal “Nicero” yang masih hidup. la berbesar hati karena dapat
menggegerkan negara-negara besar dengan peristiwa tersebut. (Moehammad Said, 1985: 229).
Sementara itu Teuku Umar yang telah kembali ke pihak Aceh menerima sambutan hangat dari
seluruh rakyat. Semua senjata hasil rampasan segera dibagi-bagikan kepada tentara Aceh. Sejak saat
itu, Teuku Umar memimpin perlawanan rakyat menentang Belanda. Serangan pasukan Aceh yang
dipimpin oleh Teuku Umar berhasil dengan gemilang merebut daerah 6 Mukim dari tangan Belanda.
Sejak saat itu Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal
di Lampisang. (Achmad Effendi, 1975 : 43-44). Kemudian rumah Teuku Umar di Lampisang tersebut
dijadikan markas besar bagi para pejuang kemerdekaan Aceh. Pada suatu pertemuan antara para
pemipin pejuang di bawah pimpinan Teuku Umar dapat dicapai keputusan penting untuk
memperkuat persenjataan. Untuk keperluan tersebut, tentara Aceh harus dapat merebut senjata
Belanda dengan cara apa saja. Kendatipun juga harus diusahakan dengan mendatangkan senjata
gelap dari para penyelundup yang sanggup menembus blokade di seputar perairan Aceh.
Mengingat penjagaan pantai seputar Aceh dan Selat Malaka yang dilakukan oleh kapalkapal perang
Belanda tidak cukup banyak, maka perdagangan senjata gelap masih dapat lolos dari pengawasan.
Dua tahun setelah peristiwa terjadinya kapal “Nicero” yang merupakan pukulan berat bagi Belanda,
tentara Teuku Umar kembali membuat kegoncangan di kalangan Belanda. Pada saat-saat perang
yang tidak menentu, ada petualang yang ingin menangguk di air keruh. Petualangan ini dilakukan
oleh Kapten Hansen seorang warga negara Denmark yang membawa kapal “Hok Kanton”. Kapal ini
dengan izin Belanda boleh mondar-mandir di perairan Aceh terutama antara Rigaih, Uleulheu dan
Penang. (Moehammad Said, 1985 : 184).

Walaupun pengawasan Belanda ketat, tetapi Hansen pandai menyelundupkan senjata yang dipesan
Aceh. Pada tanggal 12 Juni 1886, kapal “Hok Canton” berangkat ke Ruegaih. Turut pula sebagai
penumpang Kapten Roura, katanya untuk mengambil kapal “The Eagle” yang kebetulan berlabuh di
Ruegaih. Hansen sebenarnya hendak menjebak Umar untuk naik ke kapalnya di Pelabuhan Ruegaih,
menculiknya untuk selanjutnya tanpa membayar lada yang bakal dimuat, mengangkutnya ke
Uleulheu menyerahkannya kepada Belanda dan lalu menerima hadiah uang sebesar $ 25.000,-.
Setibanya di Reugaih tanggal 15 Juni 1886 Roura turun dan berjumpa dengan Umar melapor apa
yang dipesankan kepadanya. Teuku Umar tidak percaya karena dia kenal betul siapa Roura dan siapa
Hansen, keduanya saling konkurensi keras. Keduanya di mata Teuku Umar setali tiga wang, ringgit
dan rupiah, bandit dan buaya. Dalam perundingan transaksi pembelian lada, Hansen mengemukakan
bahwa pembayaran lada akan dilangsungkan di kapal setelah lada dimuat. Muncul rasa was-was
dalam hati Teuku Umar. Setelah selesai pemuatan, Teaku Umar mengutus orangnya untuk
menerima pembayaran, tetapi datang kabar dari kapal mengatakan bahwa Hansen ingin Teuku
Umar datang sendiri. Sampai tiga kali utusan Teuku Umar itu mondarmandir di kapal, tetapi Hansen
tetap teguh pada pendiriannya. Akhirnya Teuku Umar berkesimpulan bahwa Hansen memang
beramaksud ingin menipunya. Malam itu juga Teuku Umar mengatur siasat untuk bertindak. Pagi
dini hari seorang Panglima Teuku Umar bersama 40 orang prajuritnya telah menyusup ke kapal dan
mengepung Hansen yang berada dalam kamar bersama istrinya. Hansen tidak tahu kalau
sebenarnya dirinya sudah dikepung. Teuku Umar segera menemui Kapten Hansen menuntut
pelunasan harga lada sebanyak $5.000,- sambil menandaskan bahwa setiap keingkaran akan
ditindak. Namun Hansen ingkar janji sehingga terjadi perlawanan. Hansen memerintahkan anak
buahnya untuk menangkap Teuku Umar, tetapi Teuku Umar tahu apa yang akan dilaksanakan
Hansen, sehingga Teuku Umar terlebih dahulu memberi isyarat pada anak buahnya untuk bertindak,
sehingga terjadilah perlawanan atau perkelahian antara anak buah dengan anak buah Teuku Umar.
Anak buah Hansen berhasil dilumpuhkan oleh 40 orang Prajurit Umar. Hansen sendiri berusaha
melarikan diri dan akhirnya ditembak mati. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera,
sedangkan 6 awak kapal Hok Canton dilepas. (Moehammad Said, 1985 : 185-196).
Berita penyanderaan ini rnenggegerkan Belanda dan merupakan pukulan keras bagi Pemerintah
Kolonialnya. Tidak heran jika Belanda segera mengambil tindakan keras. Beberapa kapal perang
Belanda dikirim ke Reugaih dan dipimpin sendiri oleh Gubernur Militer Jenderal Van Teijn untuk
menghancurkan Ruegaih. Tetapi Teuku Umar mengirim peringatan bahwa perbuatan demikian akan
sia-sia dan akan dibalas dengan hukuman mati bagi para tawanan Nyonya Hansen dan John Fay.
Takut akan ancaman itu, Belanda tidak jadi membom Kampung Ruegaih, tetapi memerintahkan
kapal-kapalnya pulang ke Uleulheu.
Teuku Umar memerintahkan kepada Panglimanya untuk membawa tawanannya ke pedalaman agar
mereka tidak lari atau diculik. Nyonya Hansen diberi kesempatan menulis surat kepada Belanda
bahwa ia dapat dilepas jika ditebus sebanyak $ 40.000, dengan ketentuan bahwa persoalan tidak
berekor lagi. Setelah persoalannya berlarutlarut sampai 2 bulan, akhirnya tidak ada jalan lain kecuali
menerima tuntutan Umar. Pada akhir bulan September 1886 perundingan selesai. Uang tebusan
disepakati sebanyak $ 25.000,- diserahkan kepada Teuku Umar. Tanggal 6 Oktober 1886 Nyonya
Hansen dan John Fay sudah berada di Banda Aceh.

Peristiwa kapal Hok Canton memang sudah selesai, tetapi menyebabkan Pemerintah Kolonial
Belanda menjadi bertindak sangat hati-hati dan selalu waspada dalam menghadapi perlawanan
Aceh. Kekuatan Teuku Umar harus diperhitungkan oleh Belanda sebab kekuatannya sudah sangat
besar dan menimbulkan banyak kerugian bagi Belanda. Pengaruh pribadi Teuku Umar terhadap
seluruh rakyatnya sangat besar, kunci kekalahan dan kemenangan rakyat Aceh menurut Belanda
sepenuhnya berada ditangan Teuku Umar. Belanda mulai memikirkan cara baru untuk
menundukkan rakyat Aceh. Penumpasan perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan dianggap tidak
efisien. Jalan yang ditempuhnya itu sering kali berbeda pendapat antara penguasa setempat dengan
Batavia. Pada umumnya ada kecenderungan menunggu dan defensif, tidak lain karena perang telah
makan banyak biaya.

Sejak tahun 1890, Snouck Hoergronje mempelajari masyarakat Aceh. Berdasarkan studi itu, Snouck
Hoergronje memberikan saran-saran kepada Pemerintah Belanda agar menggempur semua
pemimpin Aceh yang mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Untuk menjaga keamanan Aceh
Besar di setiap segi ditempatkan pasukan mobil. (Sartono Kartodirdjo, 1993 : 389). Strategi ini
didasarkan pada kesimpulan bahwa rakyat Aceh semuanya beragama Islam secara murni dan
dipengaruhi oleh fanatisme ajaran agama yang menyatakan bahwa perang sabil melawan kaum kafir
itu mutlak perlu. Saran dari Snouck Hoergronje ini berhasil menekan perjuangan rakyat setelah
strategi itu benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Bahkan pada tahun 1891
Teungku Chik Di Tiro dan Panglima Polem gugur dalam pertempuran. Namun perlawanan tak Pernah
berakhir, Pemerintah Kolonial Belanda menjadi pusing. Biaya perang membengkak menjadi $
135.000.000,-. Untuk mengatasi ini Pemerintah di Istana Buitenzorg mengangkat Deykerhooff
menjadi Gubernur Militer di Aceh untuk mengamankan daerah yang sulit ditundukkan itu. Setelah
menjadi Gubernur di Aceh Deykerhooff berusaha untuk mendekati kaum bangsawan dan Uleebalang
karena mereka dipandang sebagai pemberi dana perang kepada tentara Aceh. Siasat ini berhasil
mendorong Teuku Umar berubah pendapat untuk berpihak kepada Belanda. Justru setelah adanya
maklumat Pemerintah di Batavia yang akan mengampuni dan memberi hadiah besar kepada Teuku
Umar jika ia mau menyerahkan diri dan membantu Belanda.

Di lain pihak Teuku Umar sendiri merasa bahwa pertempuran ini dianggap sangat menyengsarakan
rakyat. Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang
sangat menderita agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat ke sawah lagi
mengerjakan sawah ladangnya, maka Teuku Umar perlu merubah taktik dengan cara menyerahkan
diri kepada Belanda. Pada bulan September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur
Deykerhooff di Banda Aceh bersama dengan 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat
jaminan keselamatan dan pengampunan dari Gubernur Aceh tersebut. Setelah bersumpah setia
Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Rumahnya di
Lampisang juga diperindah oleh Belanda sesuai dengan fungsinya sebagai tempat tinggal seorang
Panglima Besar serta dilengkapi dengan 2 buah meriam kecil di halaman depan rumah. Sejak saat
itu, pakaian yang dikenakannya adalah pakaian seorang Jenderal dengan beberapa buah bintang
emas di dadanya. (Hazil, 1955 : 97).

Tugas-tugas yang harus dikerjakan yaitu menumpas perlawanan rakyat dan mengamankan seluruh
daerah Aceh. Cut Nyak Dhien sangat marah terhadap Teuku Umar sebab ia tidak setuju dengan sikap
suaminya yang nampak hanya mementingkan diri sendiri, yang hanya mengejar kemewahan dan
kedudukan saja dengan mengorbankan kepentingan bangsanya. Sering terjadi percekcokan antara
Umar dan istrinya Cut Nyak Dhien. Untuk menghindari percekcokan itu Teuku Umar selalu
menghindarkan diri dari gugatan istrinya sehingga membuat Cut Nyak Dhien menjadi heran dan
tidak mengerti sikap suaminya yang demikian itu. Teuku Umar menunjukkan kesetiaannya kepada
Belanda dengan sangat meyakinkan. Setiap pejabat yang datang ke rumahnya selalu disambut
dengan sangat menyenangkan. Setiap ada panggilan dari Gubemur Belanda di Banda Aceh ia selalu
menemui dengan segera dan memberikan laporan yang memuaskan kepada Belanda, sehingga ia
mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan dan penghargaan Belanda
itu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Teuku Umar untuk mencapai maksudnya sendiri demi
kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar
hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat yang
dipimpin Teuku Mat Amin. Anggota pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh,
melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.
Setelah mendapat kepercayaan, Teuku Urnar diberi tugas oleh Belanda untuk mengamankan seluruh
Aceh Besar. Untuk langkah pertama harus diamankan daerah 26 Mukim. Teuku Umar dapat
mengamankan daerah tersebut dengan baik sehingga kepercayaan gubernur menjadi semakin besar.
Hal ini menimbulkan rasa iri hati dari tokoh-tokoh yang lebih dulu bekerjasama dengan Belanda,
seperti misalnya Teuku Nek Meuraxa dan Panglima Tibang. Di samping itu, tokoh-tokoh perwira
Belanda sendiri banyak yang tidak senang melihat Teuku Umar mendapat kepercayaan dari
atasannya. (H.M. Zainuddin, 1972: 6).

Sebenarnya Teuku Umar adalah seorang tokoh yang sulit dimengerti baik oleh lawan maupun oleh
kawannya. Dalam perjuangannya ia mempunyai cara tersendiri yang sering kali sulit dipahami. Oleh
karena itu, ia dianggap oleh teman-teman seperjuangannya sebagai tokoh yang kontroversial.
(Anonim, 1995 : 74). Pada suatu hari di Lampisang Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia
yang dihadari pemimpin-pemimpin pejuag Aceh yang akan membicarakan rencana Teuku Umar
untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik
Belanda yang dikuasainya. Pada huri itu Cut Nyak Dhien baru mengetahui dengan pasti bahwa
selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi
perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda pada waktu memihak Belanda secara diam-
diam oleh Teuku Umar dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangannya
dalam perang melawan Belanda.
Pada tanggal 30 September 1896, Teuku Umar dengan seluruh pasukannya meninggalkan Belanda
untuk selama-lamanya dengan membawa lari 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg mesiu,
5 ton timah, $ 18.000,- uang tunai dan lain-lain alat militer yang berharga. Berita larinya Teuku Umar
menggemparkan Pemerintah Kolonial Beianda. Dan hal ini sudah diduga oleh Snouck Hoergronje. la
berpendapat Teuku Umar tidak pernah melepaskan sikapnya memusuhi Belanda. Apabila Gubernur
menaruh kepercayaan besar kepada Umar, itu menandakan kebodohan Deyker Hooff dan kelicikan
Teuku Umar. (H.C. Zentgraaff, 1982 : 257). Teuku Umar tidak memihak kepada Belanda, tetapi ia
menjalankan taktiknya yang ternyata berhasil baik. Setelah mengalami kegagalan total politik damai
mulai ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur Deykerhooff yang bertanggungjawab
atas larinya Teuku Umar dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. (Hazil, 1955: 115-119).
Jenderal Vetter mendapat tugas untuk memerangi Teuku Umar. Tentara baru segera didatangkan
dari Pulau Jawa dengan 3 buah kapal perang yang kemudian dihimpun di Uleulheu. Menurut
Jenderal Vetter, Teuku Umar harus diberi hukuman yang berat karena sangat merugikan Pemerintah
Kolonial Belanda dengan cara yang sulit dipahami. (T. Syahbuddin Razi, 1976. 163).
Sementara Belanda sibuk mempersiapkan diri, Teuku Umar tidak tinggal diam. Ia menyusun kembali
tentara Aceh yang cerai berai. Seluruh komando dari perang Aceh mulai tahun 1896 berada di
bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot.
Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Barulah pertama
kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando, yaitu di bawah komando
Teuku Umar. Teuku Umar mengerti bahwa ia harus berjuang mati-matian melawan Van Heutsz,
musuh lamanya. Dalam maklumatnya Jenderal Vetter mengatakan bahwa Belanda hanya
memerangi Teuku Umar dan bukan rakyat 4 Mukim dan 6 Mukim. Semua benteng yang didirikan
dulu untuk Gubernemen, seperti Aneuk Galong, Seunelop, Lamkunyit, Bilul, Cot Rang dan Krueng
Gelumpang diledakkan dan ditinggalkan oleh Belanda.
Sejak memulai perang, Vetter mengajukan tuntutannya kepada Umar. Ultimatumnya meminta
segala senjata harus diserahkan kembali kepada Belanda. Umar tidak mau memenuhi tuntutan itu,
maka pada tangga 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Panglima Perang Besar dan
Gubernemen Hindia Belanda dan sebagai Hulubalang Leupong. Ultimatum Jenderal Vetter dan
ancaman Van Heutsz dibalas Teuku Umar dengan serbuan gencar sehingga perang berkobar lagi.
Mengingat kekuatan Belanda lebih besar dan lebih lengkap persenjataannya, maka barisan Aceh
semakin menipis karena banyak yang gugur dalam pertempuran. Dalam pada itu, Belanda terus
menciptakan perangkap untuk menangkap Teuku Umar. Namun usaha Belanda tersebut selalu gagal
karena Teuku Umar juga ahli dalam siasat perang. Melihat kelicinan dan kehebatan Teuku Umar,
maka Gubernur Belanda di Aceh Van Vliet melaporkan kepada Pemerintahnya sebagai berikut:
Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan, Belanda
belum dapat menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar
terus memberikan perlawanan yang sengit dan Leupong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar
hidup atau mati gagal sama sekali. (Hazil, 1955 : 129).
Laporan Van Vliet ini memang sesuai dengan kenyataan karena biaya yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda tidak sesuai dengan hasil yang dicapai. Berdasarkan hasil penyelidikan
intelijen pada awal tahun 1897, Belanda mengetahui keberadaan Teuku Umar dan pasukannya di
Loong. Dan segera dikirim pasukan Belanda ke sana untuk menangkapnya. Ketika sampai di tempat
yang dituju, pasukan Umar telah menghindarkan diri ke lereng bukit dan menembaki pasukan
Belanda dari tempat itu. Tentara Belanda berusaha untuk merebut lereng bukit itu, tetapi tidak
berhasil. Sewaktu akan mundur, tentara Belanda kembali dihadang oleh pasukan Aceh. Di beberapa
tempat dipasangi ranjau sehingga banyak meriam Belanda yang jatuh ke dalam lubang perangkap
sehingga tentara Belanda banyak yang tewas dan senjatanya dapat dirampas.
Walaupun akhirnya Loong ditinggalkan juga oleh pasukan Teuku Umar, tetapi korban di pihak
Belanda cukup besar. Pada tahun 1898 Teuku Umar sebagai pimpinan perang Aceh membuat
rencana peperangan di Pedir. Secara garis besar rencana itu sebagai berikut :
1. Perang besar sedapat mungkin dihindarkan dengan tentara Belanda.
2. Laskar akan bergerak di seluruh barat dan barat daya Aceh.
3. Tempat yang ditinggalkan Belanda harus diduduki dan dikuasai untuk mengganggu dan melawan
Belanda.
4. Perlawanan dilakukan secara gerilya dan memukul musuh dalam keadaan mereka lengah.
Gerakan Teuku Umar dalam memimpin pasukan sangat cepat dan ia tak dapat ditakuti meriam-
meriam Belanda yang dibawanya karena Umar dengan mudah dapat mundur ke daerah pegunungan
yang berhutan lebat. Dengan demikian, Teuku Umar dengan pasukan Belanda main sembunyi-
sembunyian dalam permainan dengan maut. Pada saat yang genting Umar selalu mendapatkan
bantuan dari istrinya Cut Nyak Dhien dan pengikut-pengikutnya yang setia. Mereka merintis jalan di
hutan yang jarang dilalui manusia. Demi keselamatan prajuritnya, Teuku Umar melarang anak
buahnya mempergunakan api dan senapan agar tidak kelihatan oleh musuh. (Hazil, 1955: 135).
Pada bulan Februari 1899 Jenderal Van Heutsz berada di Meulaboh dengan tanpa pengawalan yang
ketat sebagaimana biasanya. Keadaan ini diketahui oleh Teuku Umar dari mata-matanya yang
bertugas di sana. Untuk menangkap dan mencegat Jenderal Belanda tersebut, Teuku Umar bersama
sejumlah pasukannya datang ke Meulaboh. Tetapi malang bagi Umar karena sebelum rencananya
berhasil dilaksanakan, gerak-gerik Umar justru telah diketahui oleh Belanda Setelah mendengar
laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, Jenderal Van Heutsz
segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan kota Meulaboh untuk
mencegat Teuku Umar. Pada malam menjelang tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama
pasukannya telah berada di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika mengetahui
pasukan Van Heutsz telah mencegatnya. Posisi pasukannya sudah tidak menguntungkan dan tidak
mungkin lagi untuk mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah
bertempur.
Dalam pertempuran itu Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.
(Muhammad Ibrahim et.al., 1991 : 121). Seorang tangan kanannya yang sangat setia bernama Pang
Laot begitu melihat Teuku Umar rebah terkena tembakan peluru Belanda segera melarikan jenazah
Teuku Umar agar tidak jatuh ke tangan musuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Mesjid
Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien
sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Justru dengan gugurnya suaminya
tersebut Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda.
Untuk itu ia kemudian mengambil alih pimpinan perlawanan yang tadinya dipegang oleh suaminya.

Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang
berlimpah ruah. Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K.
Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian
pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa. Menurut
catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan dikenal serta
disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja
yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto
Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang
indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur". Raja Gowa
ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669 menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid
yang memerintah pada tahun 1639-1653.

I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631.
Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid
dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri
Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai seorang saudara perempuan
yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi
permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.

Masa Kelahiran Dan Remaja

Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja
Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang
lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah
putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat
disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid
Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat
perjuangan.

Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin
merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa
ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Mas remaja Hasanuddin diisi dengan kesibukan
belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu
menjadi tawanan kerajaan Gowa.

Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan
penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu pemerintahan,
diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak
mendapat bimbingan dari ayahnya serta mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh
yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan
bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, b\portugis dan inggris
yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya
mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga
terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu
mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri. Menjelang
umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa
dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat
itu mulai dilancarkan.

Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16

I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat
kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena
adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang juga
mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat
Hasanuddin yang tegasa dan berani. Juga kemampuan serta pengetahuan yang luas dan menonjol
dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana
menghadapi perang dengan penjajah Belanda.

I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan
Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun.
Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I
lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri
Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.

Masa Jaya Kerajaan Gowa

Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan
Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa Sultan
Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan nusantara dari kerajaan-
kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra,
Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat dan lainnya.

Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan


keren aketiga bangsa penjajah itu masiing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah
dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah terkenal
kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi
dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan
itu dari serangan penjajah.

Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani,
bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara
bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang
yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila,
Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan
(India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di
Mekah. Mufti inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama
Arabnya adalah Malikussaid
Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai
1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun
1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat
Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.

Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama
perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai
menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu
sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah
meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini
gagal total.

Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara
dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van
Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa
melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan
Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu
Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.

Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan
bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut
dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan
rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus
pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa
mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.

Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi
pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam
besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam
"Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang
mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).

Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin
kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi
di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga
Beru dan Ujung Tanah.

Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo
(Mangngara' Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan
Benteng Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara
Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng
kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.
Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di
sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa
terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Masa Perang Perlawanan


Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memeliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat
bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan
Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama
lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan
perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki
semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati
sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.

Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun
menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng
Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung
Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.

Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh
Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang
Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan
Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah duta ke somba opu
mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der beek dan
menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di
Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa
berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh
Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".

Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan
antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu
membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas
dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya
semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar
dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu
oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12
Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.

Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin
bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya
dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua belah pihak
berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.

Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan
sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah
perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:
1. Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon.

2. Banda, Buton, Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.

3. Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.

4. Belanda Boleh Menetap di Makassar.

Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak
berlangsung lama.

Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai
memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan
Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa
dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000
orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu
Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.

Politik Memecah Belah


Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecahdiadu
satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda.
Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah
memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa
diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.

Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat
tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya.
Persiapan sudah dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah
ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada
besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.

Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan.
Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut
pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun 1664, Sultan
Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia.

Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan
Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara
harus dihindari. Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan
Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan
Gowa.

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan
kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan
Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang
dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan
Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin
armada tersebut.

Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi
Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung
Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-
kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.

Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara
menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius
Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu Belanda.
Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal
perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu
tiba di depan bentang Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.

Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang.
Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana
menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh
benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan,
sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam
daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di
bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.

Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa
tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang
terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin
menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan
menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami
ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami."

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666Bendera merah dikibarkan
armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun
dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu
kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang
sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti
armada perang Speelman. Speelman menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan
pantai.

Di Laikang pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung
Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan
semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember
1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan
mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai
waktu itu dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak
luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.

Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi.
Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan
semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan
Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak
mereka.

Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah
pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal
perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.

Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng
Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng
Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667. Kemenangan
ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit
setahun.

Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang
ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667
Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore
bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah
sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda
berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal
perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.

Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu
yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan
Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng Ujungpandang dan
Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.

Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam
serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi hari
perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan
6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong.
Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan
Arung Palakka berhasil dipukul mundur.

Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang
besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon
mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan
Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun
darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan
Maluku, korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.

Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia
bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh
sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi
perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran
selama berbulan dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan
Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat
semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.

Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan
keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri.
Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa
pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.

Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan
Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah
berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu
perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau perjanjian Bungaya.
Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang
diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Speelman juga
mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa perjanjian
Bungaya akan segera batal.

Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima
perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa menyerah".
Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang
pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort
Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.

Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak
orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu
Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan
dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng
Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal".

Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak.
Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada
serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan
peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya
diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu sudah dibuat,
persiapan Belanda sudah matang.
Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu.
Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru
ke benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas
serangan Belanda dan hujan peluru.

Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh
benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu
meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng
Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur
ke Benteng Anak Gowa.

Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan
benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat
bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana
Somba Opu dihancurkan.

Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang
paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami
Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari
Timur" karena semangatnya yang pantang mundur.

Turun Tahta Dan Wafat


Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng
Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa
terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau
menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo
dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada
tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah
selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara.
Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir
Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar
Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan
Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja
Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.

I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri


Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang
mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya
menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah
satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai
lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin
mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada
Negeriku). Dan dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973,
Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa
kepahlawanannya.

*Sumber

 Buku Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin Raja Gowa XVI | Oleh Moh. Alwi | Penerbit
Bhakti Baru

 Sejarah Gowa - Abdurrazak Dg. Patunru | Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan
Tenggara

 Majalah Bingkisan | Nomor Istimewa Tahun 1 No. 20 Juni 1968 | Yayasan Kebudayaan
Sulawesi Selatan dan Tenggara

 Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah | Prof. Dr. Mattulada | Bhakti Baru
Berita Utama 1982

 The Heritage Of Arung Palakka | Andaya, Leonard Y | The Hague Martinus NIJHOFF - 1981

 Mengenal Museum Negeri La Galigo Ujung Pandang SULSEL | Staf Kantor Museum Negeri La
Galigo Ujung Pandang - 1985

 Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Di Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX | Team
Pengolah dan Penerbit Kantor Cabang II Lembaga Sejarah dan Antropologi Ujung Pandang

Sumber http://lobelobenamakassar.blogspot.com/2012/02/riwayat-perjuangan-sultan-
hasanuddin.html#ixzz2MAB1gZpO

Posted by sindi krisdayanti at 8:03 PM No comments:

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest

Jejak dr. Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi

Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879. Ia adalah putra dari
seorang penjaga sebuah toko kecil di Yogyakarta bernama Ki Sutodrono dan ibunya adalah seorang
wanita berdarah Gorontalo. Meski bukan berasal dari kaum bangsawan, namun semangat belajarnya
sangat tinggi. Ia berhasil mengenyam pendidikan hingga ke negeri Belanda, Perancis, Inggris dan
Amerika. Ia berhasil memperoleh gelar dokternya di negeri Belanda pada usia 20 tahun. Sedangkan
gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) ia peroleh dari Kesultanan Yogyakarta karena jasanya
bertugas di sebuah rumah sakit di Yogyakarta pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga merupakan tokoh pergerakan nasional, meski kiprahnya tak
setenar Ir. Soekarno ataupun Bung Hatta. Ia merupakan salah satu pendiri Boedi Oetomo dan
sempat menjadi ketua di tahun 1914-1915. Ia juga mewakili Boedi Oetomo menjadi anggota dalam
Volksraad bentukan Belanda sampai tahun 1931. Memiliki andil besar dalam usaha mencapai
kemerdekaan Indonesia dengan menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Saat itu ia pernah menanyakan tentang dasar negara Indonesia jika kelak telah merdeka
dan dijawab Bung Karno dengan uraiannya tentang pancasila. Uraian tersebut diyakini pernah ditulis
Radjiman Wedyodiningrat dalam sebuah pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama tahun
1948 di Desa Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi.

Dr. Radjiman Wedyodiningrat mulai pindah ke Ngawi pada tahun 1934. Ia memilih menetap di Desa
Dirgo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi karena keprihatinannya melihat warga Ngawi yang
terserang penyakit pes. Sejak saat itu ia mengabdikan dirinya menjadi dokter ahli penyakit
pes. Selain itu dr. Radjiman juga pernah memberdayakan dukun bayi di Ngawi untuk mencegah
kematian ibu saat melahirkan dan juga bayinya. Ia sangat peduli terhadap kesehatan masyarakat,
terutama mereka yang tidak mampu. Ia juga dikenal memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Selain menjadi dokter, dr. Radjiman Wedyodiningrat ternyata juga menyalurkan ilmunya kepada
mereka yang membutuhkan. Hal itu terbukti dengan sepak terjangnya mengajar anak-anak di Dusun
Dirgo yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena tidak adanya biaya. Lokasi tempatnya mengajar
saat itu telah dibangun sebuah Sekolah Dasar dan sampai kini masih terdapat jejaknya, yaitu SD
Negeri 3, 4, dan 5 Kauman.

Pada tanggal 20 September 1952, Dr. Radjiman Wedyodiningrat menghembuskan napas terakhirnya
di Dusun Dirgo, Widodaren, Ngawi. Jenazahnya dimakamkan di Desa Mlati, Sleman, Yogyakarta,
berdekatan dengan makam dr. Wahidin Sudirohusodo, seorang yang telah membesarkannya. Rumah
kediaman dr. Radjiman Wedyodiningrat di Ngawi kini sudah menjadi situs yang berusia 134 tahun.
Rumah tersebut dulunya juga pernah disinggahi Bung Karno dua kali semasa hidup dr. Radjiman
Wedyodiningrat.

Mengenang Hari Pahlawan, jangan lupakan pidato jihad Bung Tomo ini. Takbir yang hidup, mengusir
rasa takut & membangkitkan Nyali Jihad mengusir penjajahan dan imperialisme asing.
Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya
melucuti senjata para tentara Jepang, sebelum mereka dilucuti tentara Sekutu.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945,
tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Berkedok
melucuti tentara Jepang, tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas nama Sekutu, dengan
membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA
(Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng.
Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana, sehingga pecahlah insiden
Bendera 19 September 1945 di Hotel Yamato atau Hotel Orange (sekarang Hotel Mandarin Oriental
Majapahit) Surabaya. Rakyat Surabaya marah dengan adanya bendera merah putih biru milik
Belanda berkibar di atas menara hotel. Dan terjadilah aksi perobekan bendera warna biru, hingga
menjadi merah dan putih.
Beberapa orang pemuda berhasil mendekati dan memanjat dinding serta puncak menara Hotel,
berhasil menurunkan bendera Belanda dan menyobek bagian birunya serta menaikkan kembali
bendera Merah-Putih dengan ukuran yang tidak seimbang dengan diiringi takbir dan pekikan
“Merdeka!” yang disambut dengan gempita oleh massa yang berkerumun di di depan Hotel Orange.
Tidak gratis, dalam insiden penyobekan bendera Belanda di Hotel Orange tersebut dibayar mahal
dengan gugurnya empat pemuda Arek Suroboyo, yaitu: Cak Sidik, Mulyadi, Hariono dan Mulyono.
Sedangkan dari pihak Belanda, Mr Ploegman tewas terbunuh oleh amukan massa ditusuk senjata
tajam.
Insiden di jalan Tunjungan Surabaya ini menyulut bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan
Inggris dengan para pejuang di Surabaya, yang memuncak dengan tewasnya Brigadir Jenderal AWS
Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945.
Rongsokan mobil yang ditumpangi Brigjen Mallaby yang mengalami ledakan. Ia kemudian
ditemukan tewas.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh)
mengeluarkan ultimatum bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus
melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Para pejuang tak bergeming, ultimatum tersebut ditolak mentah-mentah. Pidato-pidato heroik Bung
Tomo (Soetomo) adalah salah satu biangnya. Melalui stasiun Radio Pemberontak Indonesia di
Surabaya, Bung Tomo mengomando dan mengobarkan semangat jihad dan perjuangan rakyat.
Ketika pasukan Sekutu menggunakan radio komunikasi militer mutakhir untuk mengkoordinir
prajuritnya, Bung Tomo hanya menggunakan pemancar radio biasa, dengan kode-kode tertentu,
seperti “belok kiri” artinya belok kanan, “maju” artinya mundur, dsb., yang hanya dimengerti oleh
para pendengar setianya.
Sehari-hari, biasanya, pendengar radio dihibur dengan lagu-lagu perjuangan dan cerita rakyat.
Sekonyong-konyong, 9 November 1945 mereka dikejutkan pekik, Takbir dan slogan ”Merdeka Atau
Mati” dari Bung Tomo.
Agitator itu, seorang jurnalis yang gigih menyemangati warga Surabaya mengusir Sekutu. 45.000
pejuang kita tersentak bangkit. Waktu itu, Surabaya dipimpin oleh Gubernur Suryo. Bondo nekad,
rakyat Surabaya memilih berjuang hingga titik darah penghabisan.
Tentara Sekutu pun menepati ultimatumnya. Pada 10 November 1945 pagi, tentara Inggris mulai
melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000
serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.
Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom dari udara oleh pasukan Barat, karena mereka menolak
menyerahkan senjata. Arek-arek Suroboyo ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut
dan darat. Dua kuintal bom dijatuhkan pasukan Sekutu. Drum bensin meledak. Jam 6.10, Surabaya
menjadi lautan api.
Tentara Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam
tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat
terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.
Namun di luar dugaan, ternyata perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari,
dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan
dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu
sampai sebulan.
Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka.
Pemandangan tanggal 30 November 1945, sepanjang mata memandang, bergelimpangan mayat
terbujur kaku, hangus, serpihan daging dari 30.000 orang. Para pejuang rela setor nyawa berjibaku
mempertahankan kehormatan tanah airnya, Surabaya.
Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan.
Peristiwa 10 November 1945 yang dikenal sebagai “Battle of Surabaya” merupakan peristiwa sejarah
perang antara Indonesia melawan Sekutu yakni Inggris dan Belanda. Dahsyatnya perjuangan para
pahlawan berani mati melawan penjajah inilah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dan
sebagai motivator jihad mengorbankan jiwa raga ini, Bung Tomo ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional pada 10 November 2008.
Inilah transkrip pidato Bung Tomo di radio Pemberontak Surabaya jelang 10 November 1945, yang
membangkitkan semangat jihad itu:
“Bismillahirrohmanirrohim. Merdeka!! Saudara-saudara, kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang
ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara Inggris itu. Dan kalau pimpinan tentara
Inggris yang ada di Surabaya ini ingin mendengarken jawaban rakyat Indonesia. Ingin
mendengarken jawaban seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini,
tentara Inggris. Ini jawaban kita. Ini jawaban rakyat Surabaya. Ini jawaban pemuda Indonesia
kepada kau sekalian:
“Hai, tentara Inggris, kau mengendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk
kepadamu. Kamu menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu. Kau menyuruh kita
membawa senjata-senjata yang telah kami rampas dari tentara Jepang untuk diserahkan kepadamu.
Untuk itu, sekalipun kita tahu bahwa kau sekalian akan mengancam kita untuk menggempur kita
dengan kekuatan yang ada. Tetapi inilah jawaban kita:
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik
kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita mau menyerah kepada
siapapun juga. Kita tunjukken bahwa kita ini benar-benar orang-orang yang ingin merdeka. Dan
untuk kita saudara-saudara, lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap
“Merdeka atau Mati”. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!! Merdeka!!”
Pidato Bung Tomo menjelang 10 November 1945 itulah yang berhasil membangkitkan keberanian
arek-arek Suroboyo, dari rasa takut yang mencekam untuk bangkit melawan kezaliman. Sikap para
pejuang itu merefleksikan ajaran Al-Qur’an yang mensyariatkan perang melawan musuh yang
terlebih dahulu mengobarkan perang.
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah
dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (Qs. al-Hajj 39).
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu
melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”(Qs. al-Baqarah 190)

Sebagai seorang tokoh nasional yang memperjuangkan hak perempuan di Indonesia, Raden Ajeng
Kartini terbukti telah berhasil mewujudkan impiannya untuk menyuarakan emansipasi bagi seluruh
perempuan yang ada di Indonesia dan dampaknya dapat dirasakan sampai saat ini. Banyak anggapan
yang menyatakan bahwa Raden Ajeng Kartini bukanlah pahlawan karena beliau tidak terjun langsung
menghadapi penjajah di medan perang namun pada jaman itu, beliau adalah satu – satunya
perempuan yang berani melawan penjajah yang telah membelenggu perempuan dari kebodohan
dan tidak mempunyai kebebasan dalam mendapatkan haknya.

Apa yang telah diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini ternyata memiliki pengaruh besar yang
positif dalam menginspirasi seluruh wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kartini merupakan tokoh
wanita yang akan selalu menjadi inspirasi sepanjang masa. Perjuangan dan semangat hidupnya tidak
akan pernah lekang oleh waktu.

Dan untuk meneruskan perjuangannya, kini bangsa Indonesia memperingati hari kartini setiap
tanggal 21 April, yaitu hari dimana Raden Ajeng Kartini dilahirkan. Pada hari Kartini ini, seluruh
bangsa Indonesia terutama kaum perempuan memperingatinya dengan berbagai cara, seperti
melestarikan kebaya, batik, dan kain tenun sebagai busana yang dapat digunakan sehari – hari.
Selain itu, pastinya peringatan hari Kartini juga dimaknai dengan berbagai kemajuan yang telah
dicapai oleh seluruh perempuan di Indonesia, dimana perempuan juga bisa beraktualisasi dan
memberikan kontribusi nyata dalam setiap aspek kehidupan.

Perempuan Indonesia kini dapat berbangga diri karena kemampuan untuk dapat mengaktualisasikan
dirinya telah disejajarkan dengan pria. Raden Ajeng Kartini telah membuka mata bangsa Indonesia
bahwa perjuangannya untuk mewujudkan emansipasi wanita nyatanya mampu memberikan suatu
perubahan, dimana diskriminasi terhadap kinerja perempuan telah dihapuskan dan ini terbukti
dengan banyaknya “kartini” di jaman moderen yang telah berhasil memiliki karir yang cemerlang
dalam dunia kerja.

sejarah Perjuangan Ki Hajar Dewanta

Setiap memperingati hari Pendidikan Nasional setiap tanggal 2 Mei kita diingatkan pada Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang terkenal karena perjuangan untuk pendidikan kaum
pribumi dengan mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta.

Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki Hadjar
Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69
tahun; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia
dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga
pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian
dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional.
Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.

MASA MUDA DAN AWAL KARIR

Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di
ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal.
Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

AKTIVITAS PERGERAKAN

Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Sejak
berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk menyosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya
persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi
diajaknya pula.

TAMAN SISWA

Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung dalam
sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40

tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Ia
tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dap

at bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.


Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan
Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun
semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan
rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

PENGABDIAN DI MASA INDONESIA MERDEKA

Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran Indonesia
(posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada
tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari universitas
tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia
dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari
Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

Anda mungkin juga menyukai