Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

PPPOK EKSASERBASI

Oleh :

Mardiansyah Ikhsan Pramana 1210312015


Fairuz Fauzia 1310311072

Preseptor:
dr. Yessy Susanty Sabri, Sp.P (K) FISR
dr. Irvan Medison, Sp.P (K) FISR

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRAI


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan penyakit respiratorik kronik yang
sering ditemukan, di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survey
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronchitis kronis dan emfisema menduduki
peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 kesakitan utama. SKRT Depkes RI
1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronchitis kronis dan emfisema menduduki
peringkat ke 6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut diantaranya kebiasaan
merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas usia 15 tahun 60-70%), pertambahan penduduk,
meningkatnya usia rata-rata penduduk, industrialisasi dan polusi udara di kota-kota besar.
Di negara dengan pravalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang
sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinis timbul gejala sesak
terutama pada aktivitas. Gambaran radiologis menunjukkan gambaran bekas TB (fibrosis,
kalsifikasi) yang minimal. Dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang
irreversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori Sindroma Obstruksi Pasca
Tuberkulosis (SPOT).
Oleh karena itu sangatlah penting bagi dokter muda untuk mengetahui hubungan antara
PPOK dengan SPOT, baik dalam hal epidemiologi, etiopatofisiologi, faktor risiko, patogenesis,
diagnosis, tatalaksana dan prognosis demi terbentuknya seorang dokter yang kompeten di
bidangnya.

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan case report ini bertujuan untuk memahami dan menambah pengetahuan tentang
peyakit paru obstruktif kronik.

1.3. Batasan Masalah


Case report ini akan membahas mengenai kasus Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
1.4. Metode Penulisan
Metode yang dipakai dlam penulisan studi kasus ini berupa hasil pemeriksaan pasien,
rekam medis pasien, tinjauan kepustakaan yang mengacu pada berbagai literature, termasuk
bukuteks dan artikel ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
dapat diobati yang ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan keterbatasan aliran
udara yang disebabkan oleh kelainan jalan napas dan / atau alveolar yang biasanya disebabakan
oleh paparan partikel atau gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara kronis yang khas disebabkan
oleh campuran penyakit saluran napas kecil seperti bronkiolitis obstruktif dan penghancuran
parenkim (emfisema).1
Pada PPOK, bronkitis kronik dan emfisema sering ditemukan bersama, meskipun
keduanya memiliki proses yang berbeda. Akan tetapi menurut PDPI 2016 dan definisi PPOK
menurut GOLD 2016, bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan sebagai definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis
patologi. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh
pembesaran alveoulus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar. Bronkitis kronik
merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai oleh pembentukan mukus yang meningkat dan
bermanifestasi sebagai batuk kronik dalam jangka waktu 3 bulan. Meskipun bronkitis
merupakan pemberat pada PPOK.2,3

2.2. Prevalensi PPOK


PPOK merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas kronis di seluruh dunia.
PPOK saat ini merupakan penyebab utama kematian ke empat di dunia, namun diperkirakan
menjadi penyebab utama kematian ke tiga pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta oran meninggal
karena PPOK pada tahun 2012 dengan persentase 6% dari semua kematian di seluruh dunia.
Secara global beban PPOK diperkirakan meningkat dalam beberapa decade karena terus terpapar
faktor resiko PPOK.1

2.3. Faktor Risiko


1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting. Jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok
- Invoremental tobacco smokers
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dengan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Pencemaran udara dalam ruangan
Dapat bersumber dari bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan
memanaskan di tempat tinggal yang kurang berventilasi, Hal ini merupakan factor resiko
yang sangat mempengaruhi wanita di Negara berkembang
3. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
Dapat berupa debu organic, anorganik, zat kimia dan asap
4. Hiperaktivitas bronkus
5. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
6. Status sosial ekonomi
Terdapat bukti yang kuat bahwa resiko perkembangan PPOK berbanding terbalik dengan
status social ekonomi. Namun pola yang menyebabkan terjadinya hal tersebut belum
diketahui dengan jelas
7. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan paru selama masa gestasi dan masa kanak-
kanak (berat lahir rendah, infeksi saluran pernapasan, dll) berpotensi meningkatkan
8. Genetik : defisiensi enzim alfa 1 antitripsin (pelindung jaringan paru) sehingga terjadi
kerusakan paru yang dapat menyebabkan terjadinya PPOK.1,3

2.4. Patogenesis dan Patofisiologi PPOK


Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang
diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran nafas bagian proksimal, perifer,
parenkim dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan
perubahan struktural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil
dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran
nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang
akibat penebalan mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat
penyakit.3
Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang.
Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan di paru. Radikal
bebasmempunyai peranan besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai
macam penyakit paru.3
Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel
daninflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut
akanmenyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti interleukin 8 dan
leukotrienB4,tumuor necrosis factor (TNF),monocyte chemotactic peptide(MCP)-1 danreactive
oxygen species(ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease
yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding alveolar
danhipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya limfosit CD8,
selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi.3
Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk kronis
sehingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi sekunder
setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveoli yang
menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh leukosit dan
polusi dan asap rokok.3

2.5. Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan:
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis3
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis3
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
• Inspeksi
- Pursed - lips breathing (sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dn
eksprasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadis ebagai mekanisme tubuh mengeluarkan
retnesi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema
tungkai
- Penampilan pink puffer ( gambaran khas emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan Pursed - lips breathing ) atau blue bloater ( gambaran khas pada
bronchitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki di basal
paru, sianosis sentral dan perifer)
• Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
• Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
• Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
B. Pemeriksaan Penunjang3
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) <75
%
- APE meter, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian
pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
<20% nilai awal dan < 200 ml.
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
• Normal
• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT),
VR/KRF, VR/KPT meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan
VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak
terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.
- Scan ventilasi perfusi
 Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Risiko Eksaserbasi PPOK3


Eksasebasi PPOK merupakan suatu keadaan akut yang ditandai dengan perburukan gejala
respirasi pada pasien dibawah variasi harian dan membutuhkan perubahan pada penatalaksanaan.
Penyebab terbanyak eksaserbasi adalah infeksi virus pada saluran nafas atas dan infeksi bakteri
pada percabangan trakeobronkhial.
Diagnosis eksaserbasi dapat ditegakkan berdasarkan peningkatan:
- Sesak nafas
- Produksi Sputum
- Perubahan warna sputum
Risiko eksaserbasi dapat ditentukan melalui 3 metode :
1. Menggunakan spirometri untuk menentukan derajat GOLD (GOLD 1 dan 2 indikasi
risiko rendah, GOLD 3 dan 4 indikasi risiko tinggi).
2. Penilaian riwayat serangan dalam 12 bulan terakhir.
Keterbatasan aliran udara, durasi perburukan atau adanya gejala baru, komorbid, riwayat
penggunaan ventilasi, dan regimen pengobatan yang digunakan saat ini. Gejala klinis :
penggunaan otot-otot pernafasan, perburukan atau sentral sianosis, edema perifer,
ketidakstabilan hemodinamik, perubahan status mental.
3. Menetukan satu atau lebih rawatan pada serangan sebelumnya.
Karakteristik1 :
 Grup A : risiko
rendah, gejala sedikit
Tipe GOLD 1
dan GOLD 2
( Keterbatas aliran udara ringan – sedang); dan/atau 0-1 eksaserbasi per tahun dan tidak
ada riwayat rawatan karena serangan, dan skor CAT <10 atau mMRC grade 0-1.
 Grup B : Risiko rendah, gejala lebih banyak
Tipe GOLD 1 dan GOLD 2 ( Keterbatas aliran udara ringan – sedang); dan/atau 0-1
eksaserbasi per tahun dan tidak ada riwayat rawatan karena serangan, dan skor CAT ≥10
atau mMRC grade ≥ 2.
 Grup C : risiko tinggi, gejala sedikit
Tipe GOLD 3 dan 4 (keterbatasan airan udara berat – sangat berat); dan/atau ≥2 serangan
per tahun atau > 1 riwayat rawatan akibat serangan, dan skor CAT < 10 atau mMRC
derajat 0-1.
 Grup D : risiko tinggi, gejala lebih banyak
Tipe GOLD 3 dan 4 (Keterbatasan aliran udara berat - sangat berat); dan/atau ≥2
eksaserbasi per tahun atau atau ≥1 riwayat rawatan akibat eksaserbasi,CAT skor ≥10, atau
skor mMRC ≥2.
2.6. Diagnosis Banding3
 Asma
 SOPT (Sindroma Obstruksi Pasca tuberculosis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca
tuberculosis dengan lesi paru yang minimal.
 Pneumotoraks
 Gagal jantung kronik
 Bronkiektasis
 Bronkhitis obliteratif.

2.7. Penatalaksanaan3
Tujuan penatalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualitas hidup penderita
a. Penatalaksanaan secara umum :
1. Edukasi
Tujuan : mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan pengobatan yang
maksimal, mancapai aktivitas optimal, meningkatkan kualitas hidup.
Bahasan edukasi : pengetahuan tentang dasar PPOK, obat-obat (manfaat dan efek
sampingnya), cara pencegahan perburukan penyakit, menghindari pencetus, penyesuaian
aktvitas.
2. Obat-obat
a. Bronkodilator
 Gol. Beta-2 agonis : relaksasi otot polos pernafasan  menstimulasi reseptor B2
agonist  produksi antagonis bronkokonstriksi.
SABA  4-6 jam, LABA  12 jam
 Antikolinergik: digunakan pada ringan sampai berat, selain untuk bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (max. 4 kali/hari).
 Kombinasi B2 agonis dengan antikolinergik : kombinasi 2 obat lebih memperkuat
efek bronkodilator karena tempat kerja berbeda dan penggunaan obat kombinasi
lebih sederhana.
 Gol. xantin : dalam bentuk lepas lambat sebagai obat pemeliharaan jangka panjang,
terutama derajat sedang-berat. Bentuk tablet/puyer untuk mengatasi sesak (pelega
nafas), bentuk suntik/bolus mengatasi eksasebasi akut.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi. Dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan min 200 ml.
c. Antibiotik
Hanya diberikan apabila ada infeksi.
 Lini 1 : amoksisilin, makrolid.
 Lini 2 : amoksisilin dan adam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiats hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan pemberian rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbakan
eksaserbasi, terutama pada bronchitis kronik dengan sputum yang viscous. Tidak
dianjurkan pemberian lama.
3. Ter
api

Oksigen
Pada PPOK hipoksemia progresif dan berkepanjangan menyebabkan kerusakan sel dan
jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun di
organ.
Indikasi : - PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 < 90%
- PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 >89% disertai kor pulmonal, perubahan P
pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal janutng kanan, sleep apnea,
penyakit paru lain. Terapi oksigen diberikan 1-2 L dengan nasal kanul, lama
pemberian 15 jam/hari.
4. Ventilasi mekanik
Digunakan pada saat eksaserbasi dan gagal nafas akut, pasien PPOK derajat berat dengan
sesak kronik. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan ventilasi mekanik tanpa intubasi
(Noninvasive Intermitten Posstitive Pressure Ventilation (NIPPV) dan Negative Pressure
Ventilation (NPV)) dan ventilasi mekanik intubasi (di rumah sakit).
5. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK  karena bertambahnya energy akibat muskulus
respirasi meningkat akibat hiperkapnia dan hipoksemia kronik  hipermetabolisme.
Komposisi nutrisi seimbang tinggi lemak rendah karbohidrat. Sering terjadi gangguan
elektrolit  hipofosfotemi, hiperkalemi, hipokalsemi, hipomagnesemi  berkurang kerja
diagfrahma  pemberian nutrisi komposisi seimbang, porsi kecil dan waktu pemberian
sering.
6. Rehabilitasi
Tujuan : untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita
PPOK. Ditujukan untuk penderita yang telah mendapat pengobatan optimal dengan
gejala pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup
yang menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari:
 Memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen
 Latihan meningkatkan otot perapasan
 Latihan endurance
7. Operasi
- Lung volume reduction surgery (LVRS)
- Bullektomi
- Transplantasi paru
b. Penatalaksanaan PPOK stabil3
Kriteria : - tidak dalam gagal napas akut pada gagal napas kronik
- AGD pCO2 <45 mmHg dan pO2 >60 mmHg
- Dahak jernih tidak berwarna
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajar PPOK
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Tabel farmakologi tatalaksana PPOK


Rekomendasi Terapi lain yang
Grup Pasien Pilihan alternatif
utama memungkinkan
A Short acting Long acting Teofilin
Memiliki
antikolinergic antikolinergic
beberapa gejala atau atau
SABA LABA
dan risiko rendah
atau
eksaserbasi SABA + SAMA
B LAMA SABA dan/atau
Memiliki gejala atau LAMA + LABA
SAMA
LABA
lebih signifikan
Teofilin
tetapi risiko
eksaserbasi rendah
C ICS + LABA LAMA + LABA SABA + SAMA
Memiliki atau atau
LAMA LAMA +
beberapa gejala
Teofilin
pospodiesterase-4
tapi risiko tinggi
inhibitor
eksaserbasi
atau
LABA +
pospodiesterase-4
inhibitor
D ICS + LABA ICS + LABA dan Karbosistein
Memiliki banyak N-asetil sistein
dan/atau LAMA LAMA
SABA dan/atau
gejala dan risiko Atau
ICS + LAMA dan SAMA
tinggi eksaserbasi
Teofilin
phospodiesterase-
4 inhibitor

C. Penanganan PPOK eksaserbasi3


Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi
dan mencegah gagal nafas. Bila telah menjadi gagal nafas segeera atasi untuk mencegah
kematian. Beberapa yang perlu diperhatikan :
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi
Gejala : peningkatan sesak, peningkatan produksi sputum, perubahan warna sputum.
Klasifikasi : - tipe I : 3 gejala diatas
- tipe II : 2 positif dari 3 gejala
- tipe III : 1 positif dari 3 gejala
2. Terapi oksigen adekuat
Tujuan : memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa, dapat
dilakukan di IGD atau di ICU. Sebaiknya dipertahankan PaO 2 >60 mmHg dan SaO2 >90%,
evaluasi ketat hiperkapni.
3. Pemberian obat-obat
a. Bronkodilator
Pemberian bronkodilator di rumah sakit secara intravena dan nebulisasi. SABA
dan/atau tanpa SAMA biasanya digunakan untuk eksaserbasi. Hati-hati penggunaan
nebulizer yang memakai oksigen sebagai compressor, karena penggunaan oksigen 8-
10 L untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan retensi CO 2. Golongan santin
mempunyai efek memperkua otot-otot pernapasan.
b. Kortikosteroid
Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan prednisone 30 mg/hari selama 1-2
minggu, pada derajat berat diberikan secara i.v. Pemberian lebih 2 minggu tidak
memberikan manfaat lebih baik.
c. Antibiotik
Antibiotik diberikan pada eksaserbasi derajat III, peningkatan purulensi sputum, dan
membutuhkan ventilasi mekanik. Rekomendasi pemberian antibiotik 5-10 hari.
Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat, pemberian di rumah
sakit sebaiknya per drip atau intravena.
d. Nutrisi adekuat
Untuk mencegah starvation yang disebabkan hiposemi berkepanjangan, dan
menghindari kelelahan otot bantu pernapasan.
e. Ventilasi mekanik
Indikasi : sesak nafas berat >35x/i, kesadaran menurun, hipoksemi berat PaO2 <50%,
asidosis (pH < 7,25), hiperkapnia PaCO2 > 60 mmH, komplikasi kardiovaskular.
f. Kondisi lain yang berkaitan (Monitor balance cairan, pengeluaran sputum, gagal
jantung/aritmia)
g. Evaluasi ketat progresifitas penyakit

2.8. Komplikasi3
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik : Hasil AGD PO2 > 60mmHg dan pH normal
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik :
 Sesak napas dengan
atau tanpa sianosis
 Sputum bertambah dan
purulen
 Demam
 Penurunan kesadaran
2. Infeksi berulang
Pada PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal
ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik imunitas menjadi lebih rendah
ditandai dengan kadar limfosit darah yang rendah.
3. Kor pulmonal
Ditandai P pulmonal pada EKG, Ht >50%, dapat disertai gagal jantung kanan.

2.9. Prognosis1,4
Setelah muncul secara klinik, median survival kira-kira 10 tahun. Beberapa faktor yang
telah diidentifikasi dapat memprediksi survival jelek pada PPOK : FEV 1 rendah, masih merokok,
hipoksemia,nutrisi jelek, korpulmonale, penyakit komorbid,dan kapasitas difusi rendah.
Pasien dengan FEV1 <35% prediksi memiliki mortalitas 10% per tahun. Jika pasien
menyatakan tidak mampu berjalan 100 meter tanpa harus berhenti oleh karena sesak napas, five
survival rate hanya 30%. Index prognostic : BODE INDEX (Body mass index, obstructive
ventilator defect severity, dyspneu severity, and exercise capacity).

BAB III

LAPORAN KASUS
3.1. Identitas pasien
Nama : Donius
Umur : 49 tahun
Jenis kelamisn : Laki-laki
Alamat :
Agama : Islam
Tanggal masuk : 12-12-2017

3.2. Anamnesis
Pasien kiriman RS BMC Padang dengan asma serangan akut berat
Keluhan utama:
Sesak napas sejak ± 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang:
- Sesak napas (+) meningkat sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk RS, menciut (+),
tidak dipengaruhi cuaca, makanan dan emosi. Di luar serangan pasien tidak dapat
beraktivitas seperti biasa. Sesak meningkat bila beraktifitas. Sesak sudah dirasakan
sejak 3 tahun yang lalu, bersifat hilang timbul. Pasien sudah pernah di spirometri
dengan hasil PPOK. Kontrol teratur ke RSUP M Djamil Padang, obat semprot
Berotec, serotide dan Spiriva.
- Batuk (+) meningkat sejak 5 hari yang lalu, dahak berwarna putih kekuningan dan
kental.
- Riwayat batuk lama (+)
- Batuk darah (-), riwayat batuk darah (-)
- Nyeri dada (-)
- Demam (+) sejak 5 hari yang lalu, tidak menggigil dan tidak tinggi
- Keringat malam (-)
- Penurunan nafsu makan (-)
- Penurunan BB (-)
- Mual (+), muntah (-)
- BAK dan BAB tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Riwayat DM (-)
- Riwayat hipertensi (-)
Riwayat Penyakit Keluarga:
- Riwayat OAT dalam kelaurga (-)
- Riwayat DM (-)
- Riwayat HT (-)
Riwayat kebiasaan, sosial, pekerjaan:
Pasien seorang pedagang daging, riwayat merokok 24 batang/ hari, selama 35 tahun (IB
berat), berhenti 2 tahun yang lalu. Riwayat mengonsumsi narkoba, 5 linting sehari,
berhenti 2 tahun yang lalu.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Vital sign
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : Composmentis Cooperatif
Suhu : 36,8ºC
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Frekuensi napas : 32x/’
Frekuensi nadi : 100x/’
Tinggi badan : cm
Berat baddan : kg
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis
Leher
JVP : 5-0 cmH2O
Trakea : tidak ada deviasi trakea
KGB : tidak ada pembesaran KGB
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi jantung (+) reguler, murmur (-)
Paru depan (Dada)
Inspeksi : Statis : simetris kiri dan kanan
Dinamis : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan fremitus kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas ekspirasi memanjang, ronkhi (+), wheezing (+)
Paru belakang (Punggung)
Inspeksi : Statis : simetris kiri dan kanan
Dinamis : pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus kanan sama dengan fremitus kiri
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas ekspirasi memanjang, ronkhi (+), wheezing (+).
Abdomen
Inspeksi : distensi abdomen (-)
Palpasi : nyeri tekan epigastrium
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremitas : udem -/-, clubbing finger -/-
3.4. Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 14,7 gr/dL Analisa Gas Darah
Leukosit : 10.022 /mm3 pH : 7,37
Ht : 44% Pco2 : 35,3
Trombosit : / mm3 Po2 : 199,4
GDS : 135 mg/dl HCO3-: 20,9
Ureum : 17 mg/dl BE : -4,5
Kreatinin : 0.9 mg/dl SO2 : 99,9

Na/K/Cl : 141/4,2/107
Total protein : 6,6 gr/dL
Albumin : 4,5 gr/dL
Globulin : 2,1 gr/dL
Kesan labor : leukositosis,
3.5. Diagnosis Kerja
PPOK eksaserbasi akut tipe I + CAP
Diagnosis Banding
Asma
3.6. Rencana Pengobatan
- IVFD asering / 12 jam
- Drip aminofilin 15cc + 35cc Axory via syring pump kec 2,1 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr iv
- Methyl prednisolone 2 x 12 mg
- Ranitidin 2x1
- Azithromycin 1x500
- Combivert nebu 6x1
- Flumucyl nebu 2x1
- Sukralfat syr 3x1
- Spiriva 1x1

BAB IV

DISKUSI
Seorang pasien laki-laki berumur 49 tahun pasien kiriman Sp.P RS BMC dengan keluhan
utama sesak napas sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Sesak menciut tidak
dipengaruhi oleh emosi, cuaca dan makanan. Di luar serangan pasien tidak dapat beraktivitas
biasa. Sesak meningkat dengan aktifitas. Riwayat sesak nafas sudah dirasakan ± 3 tahun yang
lalu, bersifat hilang timbul. Pasien sudah pernah dispirometri dengan hasil PPOK. Kontrol teratur
ke RSUP Dr M Djamil obat semprot berotec, serotide, Spiriva. Batuk meningkat sejak 4 hari
yang lalu dengan dahak putih kekuningan dan kental. Pasien sebelumnya punya riwayat batuk
lama. Demam dirasakan sejak 5 hari yang lalu, tidak menggigil dan tidak tinggi. Pasien seorang
pedagang daging, riwayat merokok 24 batang/ hari, selama tahun, berhenti 2 tahun yang lalu.
Dari keluhan diatas dapat dicurigai pasien mengalami gangguan pada saluran napas dan
parenkim paru karena adanya inflamasi kronik berlebihan akibat gas/partikel berbahaya yang
menyebabkan hilangnya hubungan antara alveoli dan saluran napas kecil dan menurun elastisitas
rekoil paru sehingga terjadi keterbatasan aliran udara yang persisten dan progresif. Hal ini
menimbulkan gejala sesak napas yang bertambah berat seiring berjalannya waktu (progresif) dan
meningkat dengan aktivitas disertai batuk kronik berdahak. Gangguan tersebut disebut Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Gejala sesak napas pada PPOK berhubungan dengan keterbatasan aliran udara dan air
trapping akibat peradangan, fibrosis, eksudat luminal dalam saluran udara kecil yang
mengakibatkan penurunan VEP1 (merupakan gejala khas PPOK) dan penurunan rasio
VEP1/KVP. Obstruksi jalan napas perifer menyebabkan udara terperangkap dan terjadi
hiperinflasi yang mengurangi kapasitas inspirasi (peningkatan kapasitas residual fugsional,
khususnya selama latihan/hiperinflasi dinamis), akibatnya terjadi dispnea dan keterbatasan
aktivitas latihan. Pada PPOK juga terjadi ketidakseimbangan pertukaran gas sehingga terjadi
hipoksemia dan hiperkapnia. Obstruksi jalan napas perifer mengakibatkan ketidakseimbangan
mekanisme ventilasi-perfusi (VA/Q). Gejala lain adalah batuk kronik berdahak. Batuk
merupakan mekanisme refleks untuk menjaga jalan napas tetap terbuka dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan napas. Tidak hanya lendir yang
akan disingkirkan oleh refleks batuk tetapi juga gumpalan darah dan benda asing. Batuk
merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada infeksi dan inflamasi saluran napas. Pada
PPOK, batuk kronik berdahak berkaitan dengan metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah
sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respon terhadap iritasi kronik saluran
napas oleh asap rokok/agen berbahaya lain.
Inflamasi yang bersifat kronis pada PPOK menyebabkan kerusakan dan perubahan
struktural saluran napas sehingga terjadi perubahan patologis berupa peningkatan sel goblet,
pembesaran kelenjar submukosa (keduanya menyebabkan hipersekresi lendir), metaplasia sel
epitel skuamosa, perubahan saluran napas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2mm),
perubahan saluran napas perifer (bronkiolus diameter < 2mm), kerusakan dinding alveolus,
apoptosis sel epitel dan endotel, perubahan struktur pembuluh darah (penebalan intima, disfungsi
sel endotel, penebalan otot polos/hipertensi pulmonal).
Pasien memiliki kebiasaan merokok 24 batang/hari selama 35 tahun dengan Indeks
Brinkman berat. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB) adalah jumlah rata-rata
batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Ringan: 0-200, sedang:
201-600, berat: >600. Hal ini meningkatkan dugaan terjadinya PPOK pada pasien, karena rokok
merupakan faktor yang berperan meningkatkan penyakit PPOK. Risiko PPOK pada perokok
tergantung pada dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun,
dan lamanya merokok. Semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap, semakin lama
kebiasaan merokok dilakukan, dan semakin muda usia mulai merokok, semakin tinggi risiko
untuk menderita PPOK. Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lain menyebabkan inflamasi
saluran napas dan paru, akibatnya rusak jaringan parenkim, terjadi emfisema dan mekanisme
pertahanan terganggu, fibrosis saluran napas kecil, perubahan patologis, lalu udara terperangkap
sehingga terjadi keterbatasan aliran udara. Pada perokok, sering terjadi dilatasi dan kerusakan
bronkiolus yang mengakibatkan emfisema sentrilobular. Asap rokok juga menghasilkan mediator
inflamasi yang akan menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik: Leukotrien B-4, IL-
8), menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi: TNF-alfa, IL-1 beta, IL-6), dan
mendorong perubahan struktural dan fibrosis saluran napas (factor pertumbuhan: TGF-beta). Sel-
sel inflamasi pada PPOK seperti neutrofil, kadarnya meningkat dalam dahak perokok dan
berhubungan dengan hipersekresi lendir; makrofag, sebagai respons terhadap asap rokok dan
menunjukkan fagositosis tidak sempurna; eosinofil, meningkat di dalam sputum dan dinding
saluran napas selama eksaserbasi; stres oksidatif, mengaktivasi gen inflamasi, stimulasi sekresi
lendir, dan stimulasi eksudasi plasma. Pada PPOK, terjadi peningkatan protease dan penurunan
antiprotease.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sedang dengan kesadaran Composmentis
Cooperatif, suhu 36,8 °C, tekanan darah 130/80 mmHg , frekuensi napas 22 x/menit pada pasien
terjadi takipnea (N:18-20 kali/menit) karena obstruksi saluran napas sehingga terjadi
keterbatasan aliran udara yang progresif dan persisten, frekuensi nadi 100x/menit. Pasien tampak
dengan ekspirasi memanjang (pursed-lips breathing), ini merupakan mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 pada gagal napas kronik. Pemeriksaan fisik paru depan, pada inspeksi
simetris kiri dan kanan (statis), pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan (dinamis). Pada
palpasi fremitus sulit dinilai. Pada perkusi sonor kanan dan kiri. Pada auskultasi suara napas
ekspirasi memanjang, karena adanya obstruksi jalan napas perifer, akibatnya udara terperangkap
dan terjadi hiperinflasi yang mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas
residual fungsional, khususnya selama latihan. Ronkhi +/+ karena lewatnya udara melalui
penyempitan saluran napas, inflamasi, atau spasme saluran napas pada bronkitis, asma, dan
PPOK. Wheezing +/+ kanan dan kiri karena obstruksi jalan napas (khas pada asma dan PPOK).
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda eksaserbasi akut PPOK
pada pasien, karena terjadinya perburukan dibandingkan kondisi sebeumnya yaitu sesak yang
bertambah, sputum bertambah, dan sputum berubah warna menjadi putih kekuningan, sehingga
pasien dapat diklasifikasikan ke dalam PPOK eksaserbasi akut tipe I (eksaserbasi berat).
Eksaserbasi akut menurut kriteria Anthonisen 1987 adalah Tipe I (eksaserbasi berat): 3 gejala di
atas, tipe II (eksaserbasi sedang: 2 dari 3 gejala di atas), tipe III (eksaserbasi ringan: 1 dari 3
gejala di atas + infeksi saluran napas atas > 5 hari, demam tanpa sebab lain, meningkatnya batuk,
meningkatnya mengi dan frekuensi napas > 20% dari nilai dasar, dan meningkatnya nadi > 20%
dari nilai dasar). Selain itu, dari gejala klinis juga mengindikasikan bahwa terjadi gagal napas
pada pasien. Dimana gejala terjadi nya Gagal napas akut pada gagal napas kronik diantaranya :
sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam , serta
penurunan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium ditemukan Hb 14,7 gr/dl, leukosit 10.022/mm3, Ht 44%,
trombosit, GDS 135 mg/dl, Na/K/Cl 141/4,2/107, ureum/kreatinin 17/0,9 , total protein 6,6
gr/dL, albumin 4,5 gr/dL, globulin 2,1 gr/dL,. Kesan: leukositosis dan peningkatan LED.
Leukositosis adalah sel darah putih yang diproduksi terlalu banyak. Leukosit adalah bagian dari
sistem kekebalan tubuh yang berperan melindungi diri dari infeksi dan penyakit. Kerusakan
jaringan di tubuh, infeksi, peradangan, kebiasaan merokok, dapat meningkatkan jumlah leukosit.
Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera
eksaserbasi dan mencegah gagal napas. Penatalaksanaan eksaserbasi akut tergantung pada tipe
eksaserbasi berdasarkan kriteria Anthonisen, yaitu eksaserbasi ringan ditatalaksana dengan
meningkatkan pemakaian bronkodilator, eksaserbasi sedang dengan menambah antibiotik atau
kortikosteroid sistemik atau keduanya, dan eksaserbasi berat dengan perawatan di rumah sakit.
Pasien ini tergolong eksaserbasi berat dan gagal napas sehingga perlu perawatan di rumah sakit.
Terapi yang diberikan saat di IGD adalah oksigen 3-4 L /menit nasal kanul, combivent nebu 4 x
1, dan injeksi metilprednisolon 2 x 62,5 mg (iv). Bronkodilator dalam bentuk inhalasi untuk
memperbaiki VEP1, gejala sesak napas, dan eksaserbasi. Pada PPOK eksaserbasi dipilih
kombinasi SABA dan SAMA (combivent). Injeksi metilprednisolon 2 x 62,5 mg (iv) diberikan
jika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK untuk menekan inflamasi. Dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison (Bukti A).3,4
Saat dirawat, terapi yang diberikan adalah combivent nebu 6x1, flumucyl nebu 2x1 amp,
IVFD asering / 12 jam, drip aminofilin 15 cc + 35 cc Axory via syringe pump (2,1 cc/jam),
ceftriaxone inj 1x2, methip prednisolone 2x12 mg, Ranitidin 2x1, azitomycin 1x500 mg,
sukralfat syr 3x1 dan Spiriva 1x1. Drip aminofilin (golongan xantin) digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut pada PPOK.
Rencana pemeriksaan meliputi spirometri post bronkodilator saat pasien sudah dalam
keadaan stabil dan kultur sputum. Spirometri merupakan pemeriksaan faal paru pada PPOK
stabil untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. Obstruksi ditentukan
oleh nilai VEP1/KVP (%). Berdasarkan GOLD, obstruksi pada PPOK terjadi jika VEP1/KVP <
70%. Kultur sputum bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri spesifik pada sputum dalam
membantu menegakkan diagnosis definitif.3,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initial obstructive Lung Disease. 2016. Global strategy for diagnosis,
management, and prevention of COPD. USA
2. American Thoracic Society, 2011, American Thoracic Society statement Occupational
Contribution To The Burden of Airway Disease, In :Centers for Disease Control and
Prevention. Public Health Strategic Framework for COPD Prevention. Atlanta, GA:
Centers for Disease Control and Prevention.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2016, Pedoman dan Penatalaksanaan Penyakit
Paru Obstruktif Kronik Di Indonesia, Jakarta.
4. WHO, 2012, Chronic obstructive pulmonary disease (COPD).
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/index.html

Anda mungkin juga menyukai