Anda di halaman 1dari 21

PERILAKU SEKS MENYIMPANG (LGBT)

Oleh:

MUHAMMAD INGGIL (185130015P)


NISA HANIFA (185130017P)
NISRINA EFA SHINTYA (185130018P)

KELAS KONVERSI

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MITRA INDONESIA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
T.A. 2018/2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah ini dengan baik. Kemudian shalawat beserta salam kita sampaikan kepada Nabi
besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni al-Qur’an dan
sunnah untuk keselamatan umat di dunia.
Makalah ini adalah salah satu tugas mata kuliah Perilaku Organisasi dengan judul
makalah yaitu “Perilaku Seks Menyimpang (LGBT) “. Selanjutnya penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Nana Novariana, S.KM., M.Kes selaku dosen
pembimbing mata kuliah Sosio Antropologi Kesehatan dan kepada segenap pihak yang telah
memberikan bimbingan serta arahan selama penulisan makalah ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan-kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 19 Januari 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................2
1.3 Tujuan.......................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah LGBT...........................................................................................................3
2.2 Perkembangan LGBT di Indonesia ..........................................................................5
2.3 LGBT Menurut Berbagai Pandangan.......................................................................7
2.4 Penyebab LGBT......................................................................................................10
2.5 Dampak dari LGBT ...............................................................................................14
2.6 Cara Mengatasi LGBT............................................................................................15

BAB III PENUTUP


Kesimpulan.....................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Akhir-akhir ini, fenomena LGBT telah merebut perhatian publik setelah beberapa
artis papan atas Indonesia terjerat kasus pencabulan sesama jenis. Fenomena tersebut juga
telah mencuat ke permukaan setelah Amerika Serikat dan beberapa negara Barat dan Asia
melegalkan pernikahan sesama jenis. Berdasarkan kasus tersebut, muncul banyak stigma
masyarakat terhadap kaum yang dianggap abnormal dalam lingkungan sosial tersebut. Tak
sedikit dari masyarakat Indonesia yang menganggap kaum LGBT sebagai kaum yang
menyalahi kodrat manusia, kaum Nabi Luth, kaum perusak moral, hama, sampah
masyarakat, pengundang malapetaka, penyandang cacat mental, dan sebagai penghancur
norma-norma sosial, dan agama. Indonesia menjadi negara dengan penduduk LGBT
terbanyak ke-5 setelah Cina, India, Eropa, dan Amerika. Beberapa lembaga survei
independen dalam maupun luar negeri menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 3%
penduduk LGBT, yang berarti 7,5 juta dari 250 juta penduduk Indonesia adalah LGBT atau
lebih sederhananya dari 100 orang yang berkumpul di suatu tempat maka 3 orang
diantaranya adalah LGBT (Santoso, 2016).
Di sela- sela berbagai kontroversi dalam masyarakat, media juga ikut andil dalam
menyuarakan berbagai pandangan dari sudut pro dan kontra, Setiap komunitas yang
disebut LGBT telah dan masih terus berjuang untuk mengembangkan identitasnya masing-
masing, seperti apakah, dan bagaimana bersekutu dengan komunitas lain, konflik tersebut
terus berlanjut hingga kini. Besarnya respons yang diberikan oleh beragam komponen
masyarakat bangsa ini, karena melihat semakin derasnya kampanye, advokasi dan
propaganda yang dilakukan pelaku dan pendukung kaum ini. Tidak lagi sekadar
menyuarakan perlindungan diskriminasi atau kekerasan, tetapi mulai mempengaruhi publik
dengan mendalilkan bahwa perilaku LGBT adalah normal, tidak menular dan tidak

1
berbahaya. Secara terang-terangan kelompok ini mendesak negara untuk mengakui
kehadiran mereka sebagai bagian dari komunitas yang ada dalam masyarakat. Ujungnya,
kaum LGBT dan para pendukungnya memperoleh legalitas dari negara melakukan
pernikahan sejenis.
Bagi masyarakat Indonesia yang masih setia pada norma dan tradisi agama, sangat
wajar kalau mereka menentang. Lebih dari itu, alasan mereka tidak saja norma agama,
melainkan juga dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan remaja yang masih dalam
proses pencarian identitas diri, sehingga akan membawa mereka ke gaya hidup yang
dianggap menyalahi adat dan kepantasan sosial. Sedangkan bagi pejuang pembela hak
asasi manusia, LGBT itu hak seseorang yang mesti dihargai.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka dari itu penulis mencoba untuk membahas
lebih dalam Perilaku Seks Menyimpang (LGBT). Sehingga ini menjadi kajian yang akan
dapat menjadi pertimbangan bagi para pembaca dalam menyikapi fenomena yang ada saat
ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah LGBT?
2. Bagaimana perkembangan LGBT di Indonesia?
3. Bagaimana LGBT dilihat dari berbagai perspektif?
4. Faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya LGBT?
5. Apa saja dampak yang ditimbulkan dari LGBT?
6. Bagaimana cara mengatasi LGBT?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui sejarah LGBT.
2. Mengetahui perkembangan LGBT di Indonesia.
3. Mengetahui LGBT dari berbagai perspektif.
4. Mengetahui factor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya LGBT.
5. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari LGBT.
6. Mengetahui cara mengatasi LGBT.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah LGBT


LGBT atau GLBT adalah akronim dari "lesbian, gay, biseksual, dan transgender".
Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa "komunitas gay
karena istilah ini lebih mewakili kelompok-kelompok yang telah disebutkan. Akronim ini
dibuat dengan tujuan untuk menekankan keanekaragaman "budaya yang berdasarkan
identitas seksualitas dan gender". Kadang-kadang istilah LGBT digunakan untuk semua
orang yang tidak heteroseksual, bukan hanya homoseksual, biseksual, atau transgender.
Maka dari itu, seringkali huruf Q ditambahkan agar queer dan orang-orang yang masih
mempertanyakan identitas seksual mereka juga terwakili (contoh."LGBTQ" atau
"GLBTQ", tercatat semenjak tahun 1996).Istilah LGBT sangat banyak digunakan untuk
penunjukkan diri. Istilah ini juga diterapkan oleh mayoritas komunitas dan media yang
berbasis identitas seksualitas dan gender di Amerika Serikat dan beberapa negara
berbahasa Inggris lainnya.
Seluk-beluk LGBT memang menarik untuk dibicarakan, terlepas dari apakah kita
pro atau kontra, ada baiknya kita mengetahui dunia LGBT saat ini karena tidak sedikit pula
LGBT yang mau menikah heterogen dengan pasangan di luar kaumnya. Bagi pasangan
gay, harus ada yang berperan sebagai perempuan dan laki-laki di antara mereka berdua,
untuk gay yang berperan sebagai perempuan disebut bottom dan yang jadi laki-laki disebut
top. Sedangkan, untuk lesbian yang berperan sebagai perempuan disebut femme dan yang
menjadi laki-laki disebut buchi.Tidak melulu seorang lesbian hanya ingin berhubungan
dengan wanita karena saat ini telah ada kasus di mana ada buchi yang hanya mau
berhubungan dengan bottom.Si perempuan buchi itu menjadi laki-laki di kehidupan
pernikahan, sementara si laki-laki bottom menjadi perempuan di kehidupan nyata.

3
Di negara maju seperti Amerika dan Eropa, keberadaan kelompok LGBT telah
mendapat pengakuan dari negara.Ia tidak lagi dianggap sebagai perilaku yang abnormal.
Perilaku LGBT dipandang sama seperti perilaku manusia lain dan itu dikategorikan
sebagai hak asasi yang wajib dilindungi negara. Lebih jauh, legalitas aktivitas mereka
sudah sampai pada pengakuan terhadap hidup bersama dalam sebuah ikatan pernikahan
rumah tangga.
Derasnya kampanye, advokasi, dan propaganda komunitas LGBT di bumi
nusantara ini, salah satunya ditopang oleh pendanaan yang besar dari UNDP (United
Nations Development Programme). Satu organ badan dunia PBB ini mengucurkan dana
sebesar 8 juta dolar AS (sekitar Rp 108 miliar) untuk empat negara yakni Indonesia, Cina,
Filipina dan Thailand. Bantuan yang dimulai Desember 2014 hingga September 2017,
bertujuan agar kaum LGBT mengetahui hak-hak mereka dan mendapatkan akses ke
pengadilan ketika melaporkan pelanggaran HAM yang dialami. Output yang diharapkan
adalah kemampuan organisasi-organisasi LGBT semakin meningkat dalam melakukan
mobilisasi dan berkontribusi diberbagai dialog kebijakan serta aktivitas pemberdayaan
komunitas.
Tercatat sejauh ini telah ada 23 negara di dunia yang melegalkan pernikahan
sejenis. Negara-negara tersebut adalah Belanda (1996), Belgia (2003), Spanyol dan Kanada
(2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia dan Swedia (2009), Portugal, Islandia, dan
Argentia (2010), Denmark (2012), Brazil, Inggris dan Wales, Prancis, Selandia Baru dan
Uruguay (2013), Skotlandia (2014), Luxemburg, Finlandia, Slovenia, Irlandia, Meksiko,
serta Amerika Serikat (2015).
Di Indonesia, gerakan kaum LGBT sudah berlangsung lama. Kemunculan mereka
secara terbuka dalam bentuk organisasi dengan nama Lambda Indonesia dilakukan pertama
sekali pada 1982. Sampai 1990-an organisasi atau asosiasi sejenis terus
bermunculan.Sampai sekarang diperkirakan 40-an organisasi LGBT telah berdiri di 33
provinsi. Beberapa asosiasi utama LGBT yang saat ini terus aktif melakukan kampanye
dan advokasi di antaranya: Gaya Nusantara, Arus Pelangi, Ardhanary Institute, dan GWL
INA.

4
2.2 Perkembangan LGBT di Indonesia
Aktivis hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) Dede Oetomo
menyebut jumlah gay di Indoneia ada ratusan ribu orang. Bahkan ada yang
memperkirakan 3 persen dari penduduk Indonesia adalah kaum LGBT. Data itu diperoleh
dari rilis Kementerian Kesehatan di tahun 2006. Bagi yang pro LGBT, ini faktanya:
1. Tiga lembaga kesehatan sangat kredibel yang melakukan riset intensif menyimpulkan
LGBT itu bukan mental disorder, bukan penyakit, tapi sekedar varian orientasi seksual
orang-orang yang sehat belaka.Ketiganya adalah Asosiasi Psikiater Amerika (tahun
1970an), diikuti Asosiasi Psikologi Amerika dan Lembaga Kesehatan Dunia PBB
(WHO)
2. Tahun 2014, melalui voting, Persatuan Bangsa Bangsa membuat resolusi bahwa
LGBT itu adalah bagian sentral dari hak asasi manusia. Ia adalah pilihan individu dan
identitas sosial yang punya hak hidup, dan tak boleh didiskriminasi, sebagaimana
agama, suku, ras, gender
3. Umumnya penentang LGBT menggunakan alasan agama. Namun kini sudah muncul
interpretasi progresif dari banyak agama yang ikut mendukung LGBT. Untuk dunia
muslim, misalnya Gerakan Muslim Progresive values. Ini pertarungan interpretasi
terhadap agama.
Menjadi LGBT adalah sebuah pilihan yang bebas dipilih oleh siapapun
berdasarkan cara pikirnya sendiri. Cara pikir setiap orang tentu dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor mulai dari proses perkembangan seseorang hingga faktor lingkungan di
luar dirinya. Memang, saat ini semua orang belum dapat menerima kehadiran LGBT,
selalu ada pro dan kontra terhadap sesuatu hal. Untuk masalah LGBT, ada dua macam
sikap kontra yang terlihat. Pertama, kontra tetapi dapat menerima untuk hidup
berdampingan dengan LGBT dan yang kedua, kontra untuk melibas. Masalah pro kontra
disini jangan hanya dikaitkan dengan kaum straight dan non-straight. Ada banyak kasus
dimana LGBT ingin kembali menjadi straight dengan cara mencoba berhubungan
dengan lawan jenis atau kaum straight yang akhirnya memilih untuk menjadi LGBT.
Kembali, itu adalah sebuah pilihan setiap orang berhak memaknai kehidupannya sendiri.

5
Memilih menjadi kaum LGBT tentu mendatangkan risiko yang tidak sedikit,
contoh paling sederhana adalah bully. Bentuk bully-nya sama seperti orang kebanyakan
yang merasa superior. Mereka menganggap LGBT adalah kaum inferior. Kasus bully
sendiri justru terjadi juga di kaum LGBT sendiri seperti misalnya, White Gay People
menolak berhubungan dengan Asian gay, sissy, old, dan lain-lain. Sementara untuk
dorongan seksual, ada kaum gay ada yang hiperseksual dan pasif. Bahkan banyak kaum
LGBT yang masih menjaga "kemurnian" mereka dengan tidak melakukan penetrasi saat
seks atau bahkan tidak melakukan seks sama sekali. Banyak LGBT yang juga percaya
konsep true love.
Mengambil pilihan untuk menjadi LGBT membuat seseorang juga harus
menerima berjuta risiko dalam satu paket.Salah satu risikonya adalah berkaitan dengan
transmisi HIV/AIDS.Kelompok transmisi tertinggi hingga beberapa tahun lalu di
Indonesia itu LSL (Lelaki Seks Lelaki atau MSM-Men Sex Men). Sekitar awal tahun
1981, dari kaum gay pula lah yang ditemukan pertama kali mengidap penyakit tersebut
(sumber: Centers for Diseases Control-CDC, Los Angeles). Selanjutnya gaya hidup yang
bebas seperti ini malah cukup menimbulkan kekhawatiran semakin meningkatnya angka
kejadian penyakit tersebut.
Belum lagi dengan melakukan hubungan homoseksual membuat mereka tidak
dapat menghasilkan keturunan.Untuk masalah menghasilkan keturunan, di negara barat,
kita bisa ambil Ricky Martin dan Neil Patrick Harris yang masing-masing dengan
pasangannya memutuskan untuk beranak pinak dengan konsep surrogate mother
(meminjam rahim kepada wanita pendonor). Bahkan melalui surrogate mother mereka
bisa memrogram ingin punya anak dengan jenis kelamin apa, kembar, dan sebagainya.
Secara default hanya ada pria dan wanita. LGBT itu pilihan karena merasa tidak
nyaman dengan kondisi defaultnya. Masalah LGBT muncul karena memodifikasi kondisi
default. Kondisi default manusia adalah wanita untuk pria dan sebaliknya. Secara
fisiologis pun demikian. Alat reproduksi pun demikian. Desain alat kelamin dan tubuh
lainnya pun saling melengkapi.Jadi ada kondisi membutuhkan lawan jenis. Bahkan di
LGBT sendiri ada fungsi gender pria dan wanita. Karena ada ketidaknyamanan atau ada
dorongan emosi dan protes terhadap kondisi default maka memilih menjalani LGBT.

6
2.3 LGBT Menurut Berbagai Pandangan
2.3.1 Pandangan Kesehatan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa orientasi seksual ini mencakup
tiga domain, yaitu heteroseksual, homoseksual dan biseksual (APA, 2008; Zietsch dkk.,
2008; Tucker dkk., 2008; Igartua dkk., 2009; Berlan dkk., 2010). Berdasarkan ketiga
domain tersebut, dua diantaranya yakni homoseksual dan biseksual mengarah pada
orientasi seksual yang tidak sehat (unhealthy), karena menurut Ott (2010), kesehatan
seksual itu merujuk pada bagaimana individu membangun hubungan dan kedekatan
dengan orang lain dan bagaimana individu tersebut mengekspresikan dan menikmati
hasrat cinta mereka dengan cara-cara yang wajar. Penyaluran hasrat cinta dan seksual
dengan cara yang wajar inilah yang disebut sebagai orientasi seksual yang heteroseksual.
Igartua (2009) mengatakan bahwa homoseksual dan biseksual mempunyai
dampak yang lebih besar terhadap permasalahan kesehatan, baik secara fisik atau pun
secara mental dari pada heteroseksual. Igartua (2009) juga menjelaskan bahwa
homoseksual dan biseksual secara umum bukan hanya mengikat dan menyebabkan diri
seseorang pada bahaya perilaku seksual, tetapi juga dapat diikuti oleh alcohol dan
penyalahgunaan obat (drugs). Temuan tersebut juga didukung oleh Noell & Ochs (2001),
yang mendeskripsikan negative orientasi seksual (homoseksual dan biseksual)
mempunyai kecenderungan untuk menggunakan rokok, alkohol, penyalahgunaan obat
(drug abuse), atau bahkan mengalami depresi dan melakukan bunuh diri dibandingkan
dengan individu yang mempunyai orientasi seksual yang wajar (heteroseksual).
Selanjtnya, Hernandez dkk (2009) juga menemukan bahwa homoseksual gay dan laki-
laki biseksual mempunyai kesehatan yang lebih rawan dan bahaya perilaku seksual yang
lebih tinggi dibanding laki-laki heteroseksual. Sementara itu, untuk wanita lesbian dan
wanita biseksual telah menunjukkan kecenderungan yang lebih besar untuk
menggunakan alcohol dan rokok dibandingkan wanita heteroseksual. Perilaku tersebut
terjadi karena homoseksual dan biseksual menghadapi masalah yang lebih kompleks
didalam kehidupan mereka, seperti diskriminasi dan kekerasan. Ketika mereka tidak
mampu menata permasalahan yang dihadapi, maka mereka akan lebih mudah
mendapatkan stress dan depresi, dan hal tersebut membuat mereka berlari ke rokok,
alkohol, dan penyalahgunaan obat.

7
Lebih jauh, Maguen dkk (2000) menemukan bahwa individu homoseksual (gay
dan lesbian), dan biseksual telah memiliki tendency yang tinggi untuk terjangkit human
immunodeficiency virus (HIV). Selanjutnya, Sutmoller dkk (2002) menjelaskan bahwa
orientasi seksual yang negatif juga dapat menimbulkan kecenderungan yang tinggi untuk
menderita penyakit seperti syphilis and hepatitis B, dan kedua penyakit tersebut dapat
menjadi predictor bagi seseorang untuk terjangkit HIV. Maguen dkk (2000) telah
menjelaskan bahwa kecenderungan yang tinggi untuk terjangkit HIV bagi homoseksual
dan biseksual disebabkan oleh pelaksanaan perilaku seksual dilakukan dengan anal sex
atau vaginal sex tanpa pengaman, sehingga membuat kesehatan mereka menjadi beresiko
dan berbahaya. Pada dasarnya, kesehatan merupakan salah satu yang terpenting bagi
kehidupan manusia, karena ketika seseorang sehat secara phisik maupun mental, maka
kemungkinan untuk dapat tumbuh dan berkembang secara layak dan pantas berdasarkan
pembawaannya. Karena itulah Cotton dkk (2006) menyatakan bahwa untuk mendapatkan
kesehatan, baik secara phisik, mental dan perilaku, maka individu harus kembali
berpegang pada agamanya.

2.3.2 Pandangan Psikologi


Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP
PDSKJI) mengeluarkan pernyataan sikap atas berkembangnya isu Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGB-T) di Indonesia.Menurut Undang-undang No.18 tahun
2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa
(PPDGJ)-III, LGBT merupakan istilah yang berkembang di masyarakat yang tidak
dikenal dalam ilmu psikiatri. Sedangkan orientasi seksual antara lain
meliputi heteroseksual, homoseksual dan biseksual.
Homoseksual merupakan kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada jenis
kelamin yang sama. Homoseksual meliputi lesbian dan gay. Sedangkan biseksual adalah
kecenderungan ketertarikan secara seksual kepada kedua jenis kelamin. Transseksualisme
merupakan gangguan identitas kelamin berupa suatu hasrat untuk hidup dan diterima
sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan tidak enak atau
tidak sesuai dengan anatomi seksualnya. Dia juga menginginkan untuk memeroleh terapi

8
hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis
kelamin yang dinginkannya.

2.3.3 Pandangan Agama dan HAM


Dari sisi agama, semua agama melarang adanya LGBT, Dalam Islam LGBT
sangat di haramkan karena itu sudah tercantum dalam Al-Quran surat Al Aruf ayat 80 :84
yang dimana ayat ini mengisahkan tentang jaman nya nabi Luth yang pada masa itunabi
Luth mengusir orang orang yang tidak taat kepada ajaran Allah SWT, mereka yang
melakukan hubungan sesama jenis sehingga Allah membinasakan mereka dengan
menghujani mereka dengan batu.
Selain itu diperjanjian baru surat Roma bab 1 ayat 26 27 bahwamereka
menyatakan bahwa merekayang melakukan hubungan sexsesama jenis akan
mendapatkan gajaran yg setimpal degan dosanya, Sedangkan ”Alkitab mengatakan
dengan jelas bahwa Allah merancang agar hubungan seks dilakukan hanya di antara pria
dan wanita, dan hanya dalam ikatan perkawinan. (Kejadian 1:27, 28; Imamat 18:22;
Amsal 5:18, 19) Alkitab mengutuk percabulan, yang mencakup perilaku homoseksual
maupun heteroseksual terlarang.”*—Galatia 5:19-21.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap seluruh
aktivitas lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT) pada 17 Februari 2016.
Menyusul MUI, kini sejumlah organisasi keagamaan lain juga turut angkat bicaratentang
LGBT, Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) MUI Najamudin Ramli, pimpinan-pimpinan
Majelis Agama yang terdiri dari MUI, Konferensi Wali Gereja Indonesia, Perwakilan
Umat Budha Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia menimbang
bahwa aktivitas LGBT bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama, Pancasila,
UUD 1945 Pasal 29 ayat 1 dan UU Nomer 1 tahun 1974 tentang pernikahan.
Mungkin bagi sebagian orang yang pro dengan LGBT menuntut agar pemerintah
melegalkan perbuatan tersebut.Mereka sering berdalih dengan landasan hak asasi
manusia (HAM) sebagai tameng utamanya. Bahkan Indonesia sebagai salah satu negara
hukum memberikan jaminan kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 amandemen
II, yaitu pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan
meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Ini

9
adalah masalah bersama dilihat problem kejiwaan/problem sosial atau bukan, sehingga
semua lapisan masyarakat dituntut agar memahaminya dengan baik dan segera dicari
solusinya.Legalnya pernikahan sejenis di Indonesia pun akan melanggar UU No. 1 tahun
1974 tentang pernikahan yang menyebutkan bahwa pasangan mempelai adalah seorang
wanita dan seorang pria.

2.4 Penyebab LGBT


Anne Krabill Hersberger menjelaskan bahwa sampai saat ini, fakor penyebab
timbulnya seseorang menjadi LGBT belum dapat diketahui dengan pasti. Ada beberapa
teori yang yang mencoba menjelaskannya. Beberapa orang percaya bahwa perilaku
orientasi seks sejenis terjadi karena adanya perkembangan yang terhambat selama
pubertas. Ada juga yang mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan oleh adanya hormon
abnormal dalam tubuh seseorang yang belum teridentifikasikan. Ada juga yang
mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh faktor keturunan. Dan ada juga yang
mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh lingkungan, misalnya: kekacauan dalam
rumah tangga. Secara garis besar, terdapat tiga kemungkinan faktor-faktor yang
mempengaruhi terbentuknya homoseksual sebagai berikut:
1) Faktor Biologis
Kombinasi/rangkaian tertentu di dalam genetik (kromosom), otak, hormon,
dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya homoseksual.
Berdasarkan kajian ilmiah, beberapa faktor penyebab orang menjadi homoseksual
dapat dilihat dari:
a. Susunan Kromosom
Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari susunan
kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan satu kromosom x
dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pada pria mendapatkan satu
kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah.Kromosom y adalah penentu
seks pria. Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap
berkelamin pria.Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom Klinefelter yang
memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat terjadi pada 1 diantara
700 kelahiran bayi.Misalnya pada pria yang mempunyai kromosom 48xxy. Orang

10
tersebut tetap berjenis kelamin pria, namun pada pria tersebut mengalami kelainan
pada alat kelaminnya.
b. Ketidakseimbangan Hormon
Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai hormon yang
dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron. Namun kadar hormon wanita
ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria mempunyai kadar hormon esterogen
dan progesteron yang cukup tinggi pada tubuhnya, maka hal inilah yang
menyebabkan perkembangan seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.
c. Struktur Otak
Struktur otak pada straight females dan straight males serta gay females dan gay
males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari straight males sangat
jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas. Straight females, otak
antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan tebal. Dan pada gay males,
struktur otaknya sama dengan straight females, serta pada gay females struktur
otaknya sama dengan straight males, dan gay females ini biasa disebut lesbian.
d. Kelainan susunan syaraf
Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan susunan syaraf
otak dapat mempengaruhi prilaku seks heteroseksual maupun
homoseksual.Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh radang atau patah
tulang dasar tengkorak.

Kaum LGBT pada umumnya merasa lebih nyaman menerima penjelasan


bahwa faktor biologis-lah yang mempengaruhi mereka dibandingkan menerima
bahwa faktor lingkunganlah yang mempengaruhi. Dengan menerima bahwa faktor
biologis-lah yang berperan dalam membentuk seksual maka dapat dinyatakan bahwa
kaum LGBT memang terlahir sebagai LGBT, mereka dipilih sebagai LGBT dan
bukannya memilih menjadi LGBT. Walaupun demikian, faktor-faktor biologis yang
mempengaruhi terbentuknya LGBT ini masih terus menerus diteliti dan dikaji lebih
lanjut oleh para pakar di bidangnya.

11
2) Faktor Lingkungan
Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi terbentuknya seksualitas.
Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat mempengaruhi terbentuknya LGBT
terdiri atas:
a. Faktor Budaya/Adat-istiadat
Dalam budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu terdapat ritual-ritual
yang mengandung unsur homoseksualitas, seperti dalam budaya suku Etoro yaitu
suku pedalaman Papua New Guinea, terdapat ritual keyakinan dimana laki-laki
muda harus memakan sperma dari pria yang lebih tua (dewasa) untuk
memperoleh status sebagai pria dewasa dan menjadi dewasa secara benar serta
bertumbuh menjadi pria kuat.
Karena pada dasarnya budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu
kelompok masyarakat tertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-
masing orang dalam kelompok masyarakat tersebut, maka demikian pula budaya
dan adat istiadat yang mengandung unsur seksualitas dapat mempengaruhi
seseorang. Mulai dari cara berinteraksi dengan lingkungan, nilai-nilai yang dianut,
sikap, pandangan, maupun pola pemikiran tertentu terutama yang berkaitan
dengan orientasi, tindakan, dan identitas seksual seseorang.
b. Faktor Pola asuh
Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi terbentuknya
LGBT.Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas mereka sebagai
seorang pria atau perempuan. Dan pengenalan identitas diri ini tidak hanya
sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik sebutan pria atau
perempuan tersebut, meliputi:
 Kriteria penampilan fisik: pemakaian baju, penataan rambut, perawatan tubuh
yang sesuai, dan sebagainya.
 Karakteristik fisik: perbedaan alat kelamin pria dan wanita; pria pada
umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan dengan wanta,
pria pada umumnya tertarik dengan kegiatan-kegiatan yang mengandalkan
tenaga/otot kasar sementara wanita pada umumnya lebih tertarik pada
kegiatan-kegiatan yang mengandalkan otot halus.

12
 Karakteristik sifat: pria pada umumnya lebih menggunakan logika/ pikiran
sementara wanita pada umumnya cenderung lebih menggunakan perasaan/
emosi; pria pada umumnya lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang
membangkitkan adrenalin, menuntut kekuatan dan kecepatan, sementara
wanita lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut
kesabaran dan ketelitian.
 Karakteristik tuntutan dan harapan: Untuk masyarakat yang menganut sistem
paternalistik maka tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala
keluarga dan bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya.
Dengan demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas,
berani, dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti istri, dan anak-anak).
Sementara untuk masyarakat yang menganut sistem maternalistik maka
berlaku sebaliknya bahwa wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.
Pola asuh yang tidak tepat, seperti contoh yang tidak asing yaitu: anak
laki-laki yang dikenakan pakaian perempuan, didandani, diberikan mainan
boneka, dan diasuh seperti layaknya mengasuh seorang perempuan, ataupun
sebaliknya dapat berimplikasi pada terbentuknya identitas homoseksual pada anak
tersebut. Mengapa demikian? Karena sejak dini ia tidak dikenalkan dan dididik
secara tepat & benar akan identitas seksualnya, dan akan perbedaan yang jelas
antara laki-laki dan perempuan.
c. Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis
Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak pertama-tama
akan melihat pada: orang tua mereka sendiri yang berjenis kelamin sama
dengannya; anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak perempuan melihat
pada ibunya; dan kemudian mereka juga melihat pada teman bermain yang
berjenis kelamin sama dengannya.
LGBT terbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan
mengasimilasi apa, siapa, dan bagaimana menjadi dan menjalani peranan sesuai
dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai universal pria dan wanita.
Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual ini dapat
dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya tidak memerankan
peranan identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-nilai universal yang berlaku.

13
Seperti: ibu yang terlalu mendominasi dan ayah yang tidak memiliki ikatan
emosional dengan anak-anaknya, ayah tampil sebagai figur yang lemah tak
berdaya; atau orang tua yang homoseksual. Namun penting diketahui, tidak semua
anak yang dihadapkan pada situasi demikian akan terbentuk sebagai homoseksual
karena masih ada faktor lain yang juga dapat mempengaruhi dan tentunya juga
karena kepribadian dan karakter setiap orang berbeda-beda.

2.5 Dampak Dari LGBT


Setiap tindakan atau perbuatan pasti ada dampaknya.Demikian juga dalam hal
seksualitas, baik itu homoseksual (Lesbian/Gay), biseksual maupun transgender. Dampak-
dampak yang ditimbulkan dari LGBT adalah:
a. Dampak yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal
Keberadaan kaum LGBT di tengah-tengah masyarakat dan di dalam berinteraksi
atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma,
nilai-nilai, dan aturan tertulis maupun tidak tertulis, serta stereotipe yang berlaku di
masyarakat. Misalnya saja hukum negara yang tidak memperbolehkan terjadinya
pernikahan antara sesama jenis kelamin, norma agama yang tidak memperbolehkan
LGBT, aturan tidak tertulis yang berlaku di masyarakat untuk menghindari relasi
dengan kaum homoseksual, menutup kesempatan bagi kaum homoseksual untuk
berkarya atau bekerja, bersekolah atau pun kesempatan untuk mendapat pelayanan
kesehatan yang sama dengan yang lain.
Situasi di atas berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacan-
macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa, ada yang
memandang sebelah mata, ada pula yang hingga perlakuan yang tidak menyenangkan
seperti dikucilkan, disisihkan atau dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja,
serta masyarakat.
Inilah sekelumit gambaran resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum
homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi
atau bersosialisasi dengan lingkungannya.Tidak menutup kemungkinan ada kaum
homoseksual yang menghadapi situasi dan respon berbeda dari masyarakat. Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan hukum dan budaya yang berlaku antara satu masyarakat

14
dengan masyarakat lainnya. Dengan demikian sangat mungkin terjadi kaum
homoseksual tertentu di masyarakat A dengan budaya dan nilai-nilai tertentu memiliki
resiko perlakuan yang berbeda dengan kaum homoseksual di masyarakat B dengan
budaya dan nilai-nilai yang tidak sama.

b. Resiko yang berasal dari perilaku sendiri / lifestyle


Seorang LGBT senantiasa berhadapan dengan adanya realitas gaya hidup tertentu
yang berlaku di kalangan kaum LGBT. Gaya hidup ini meliputi cara, perilaku, dan
kebiasaan tertentu baik itu dalam mengekspresikan orientasi seksual, bersosialisasi,
maupun menjalani hidup sehari-hari.
Gaya hidup tertentu pada kaum LGBT dapat beresiko buruk terhadap kesehatan
fisik maupun mental & emosional, seperti: berganti-ganti pasangan dalam berhubungan
seksual (berhubungan intim); melakukan hubungan seksual yang tidak aman (tidak
menggunakan kondom); melakukan anal sex; minum-minuman keras & narkoba.
Gaya hidup demikian beresiko terhadap terganggunya kesehatan fisik, seperti:
STI’s (Sexual Transmitted Infections)/ STD’s (Sexual Transmitted Diseases) termasuk
HIV-AIDS; dan terganggunya kesehatan mental & emosional, seperti: kecemasan
berlebihan, depresi, merusak atau menyakiti diri sendiri, dan sebagainya.

2.6 Cara Mengatasi LGBT


LGBT memiliki tingkatan. Tingkatan yang lebih rendah disebut hemofilia yaitu
pengalaman jatuh cinta kepada orang sejenis kelamin, tetapi cinta itu belum begitu
mendalam atau belum sampai pada permainan seksual setingkat hubungan seksual pada
suami-istri.Homifilia ini seringkali terjadi karena lingkup pergaulan yang hanya terbatas
pada teman-teman sejenis kelamin saja. Maka untuk mengobati homofilia ini bisa dengan
membuka pergaulan supaya menjadi lebih luas, memungkinkan pergaulan yang kerap dan
akrab dengan orang-orang dengan jenis kelamin yang lain. Secara moral homofilia,
walaupun memang salah, tidak layak dinilai sebagai tindakan yang melawan moralitas
secara berat. Apalagi bila keduanya, atau salah seorang, memang menderita kelainan
mental di bidang seksual.Mereka atau dia itu lebih layak dinilai sebagai penderita kelainan
daripada pelaku tindakan immoral.

15
Demikian juga yang sudah jauh ke taraf homoseksual, lesbianism, biseksual, atau
transgender telah sampai pada taraf permainan seksual setingkat dengan senggama suami-
istri.Maka mereka yang betul-betul bermental LGBT lebih layak dianggap sebagai
penderita kelainan daripada sebagai yang bertindak immoral.Ia lebih membutuhkan
pengertian penuh kasih daripada teguran yang mendakwa. Oleh karenanya tindakannya
juga tidak dapat disebut sebagai tindakan jahat, walaupun secara objektif tidak biasa.
Sebagaimana telah uraikan dari atas bahwa seksualitas ini sebaiknya dilihat dari
sudut pandang bahwa ini adalah kelainan atau sebagai penyakit. Bila kita beranjak dari
sudut pandang tersebut maka ada harapan bahwa kelainan seksual ini bisa diobati. Proses
pemulihan ini terutama berasal dari sipenderita itu sendiri. Keinginan untuk berubah dari
kelainan seksual yang diidapnya.

 Treatment
Walaupun pendekatan psikoanalitis terhadap masalah LGBT banyak
mengungkapkan penyebab berkembangnya tingkah laku seksual, tetapi Freud sendiri
berpendapat bahwa harapan untuk menyembuhkan penderita seksual dengan psikoanalisa
sedikit sekali. Kalaupun psikoanalisa melakukan usaha penyembuhan, maka hasilnya
akan terbatas pada pencapaian self acceptance dan penyesuaian sosial yang lebih baik
(better social adjustment).
Apabila seorang LGBT merasa tidak bahagia, neurotis dan terganggu oleh
konflik, terhambat dalam kehidupan sosialnya, maka psikoanalisa akan membawa
mereka ke dalam kehidupan psikis yang lebih harmonis, tenang dan efisiensi fungsional
yang optimal. Freud percaya bahwa keinginan seksual untuk perubahan tidak berdasar
pada keinginannya sendiri (self motivation), tetapi hanya sebagai akibat dari situasi
tekanan sosial (external motivation) seperti tradisi-tradisi yang mengancam pilihan obyek
seksual mereka. Jadi dalam hal ini, psikolog atau psikiater yang menangani penderita
hendaknya lebih memusatkan perhatiannya serta lebih bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan serta ketenangan kehidupan perasaan mereka, daripada berharap bahwa
hasil penanganan akan merubah menjadi heteroseksual.

16
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Hidup sebagai LGBT bukanlah pilihan. Seseorang menjadi LGBT tidaklah dari dirinya
sendiri tetapi lebih disebabkan karena ada faktor baik itu faktor biologis yaitu susunan
kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak dan juga kelainan susunan syaraf serta
faktor lingkungan yaitu: faktor budaya/adat-istiadat dan juga faktor pola asuh. Setiap tindakan
atau perbuatan pasti ada dampaknya.Demikian juga dalam hal seksualitas, baik itu homoseksual
(Lesbian/Gay), biseksual maupun transgender. Dampak-dampak yang ditimbulkan dari LGBT
meliputi dampak yang harus dihadapi dari lingkungan eksternal dan resiko yang berasal dari
perilaku sendiri / lifestyle.
Meskipun begitu, sikap kita terhadap penderita LGBT janganlah menjauhi mereka atau
mengatakan bahwa sikap itu adalah sebagai sebuah kejahatan. Walaupun dari sudut pandang
etika sikap itu adalah tidak dibenarkan atau dianggap sebagai dosa, namun harapan untuk
pemulihan penderita LGBT tetap ada.

17
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. LGBT. Diunduh dari: https://id.wikipedia.org/wiki/LGBT (Diakses tanggal 27 Januari


2019)

E-jurnal. 2015. Realitas Lesbian Gay Dan Biseksual. Diunduh dari: https://www.e-
jurnal.com/2015/08/realitas-lesbian-gay-biseksual-dan.html (Diakses tanggal 27 Januari
2019)

Researchgate. 2018. Lesbian Gay Biseksual Dan Transgender (LGBT) Dalam Perspektif
Masyarakat Dan Agama. Diunduh dari: https://www.researchgate.net/publication/
318758081_LESBIAN_GAY_BISEKSUAL_DAN_TRANSGENDER_LGBT_DALA
MPERSPEKTIF_MASYARAKAT_DAN_AGAMA (Diakses tanggal 27 Januari 2019)

Fatah, Raden. 2018. LGBT dalam Perspektif Psikologi. Diunduh dari:


http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/psikis/article/download/2157/1569/ (Diakses
tanggal 27 Januari 2019)

Academia. 2018. Bahaya LGBT. Diunduh dari: https://www.academia.edu/19096967/


BAHAYA_LGBT (Diakses tanggal 27 Januari 2019)

18

Anda mungkin juga menyukai