Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan adalah bagian dari politik oleh karena pelayanan kesehatan merupakanpelayanan
publik yang seyogianya tidak hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para calon atau kandidat
kepala daerah. (Bambra et all, 2005). Sebuah studi yang dilakukan Navarro et all pada tahun 2006
meneguhkan korelasi antara ideologi politik suatu pemerintahan terhadap derajat kesehatan
masyarakatnya, melalui kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan tersebut. Konsep kesehatan
yang dianut pemerintah kita saat ini, berbuah pembangunan kesehatan yang berbentuk pelayanan
kesehatan individu, ketimbang layanan kesehatan komunitas yang lebih luas, program-program
karitas yang bersifat reaktif seperti Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau pengobatan
gratis dan Jampersal.
Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 bagian Pembukaan butir b (menimbang); disebutkan
bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan
ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan. Hal ini menunjukkan pentingnya pembangunan
kesehatan dalam bentuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat untuk mempersiapkan manusia
Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing .
Indikator peningkatan derajat kesehatan antara lain adalah meningkatnya usia harapan hidup,
menurunnya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan balita, serta angka kesakitan (morbiditas).
Boleh jadi indikator ini terus menampakkan grafik membaik. Transparansi tidak hanya menyangkut
masalah keuangan, namun transparansi dalam informasi atas pelayanan publik
Sebagai contoh, data mengenai jumlah penderita gizi buruk, jumlah penduduk miskin, rasio
jumlah penduduk dengan jumlah sarana kesehatan dan prosedur pelayanan dasar maupun rujukan
hendaknya diberikan pada publik secara transparan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tidak bisa tidak, negara harus berperan aktif. Mengutip
Release Media Indonesia tentang Politik dan kesejahteraan rakyat , Politik kesehatan adalah kebijakan
negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik yang didasari oleh hak yang paling fundamental,
yaitu sehat merupakan hak warga negara.Untuk mewujudkan hak rakyat itu, jelas diperlukan
keputusan politik yang juga sehat, yang diambil oleh pemerintahan yang juga sehat secara politik.
Dengan kata lain, politik kesehatan ditentukan oleh sehat tidaknya politik negara. Hanya
pemerintahan dan DPR yang sakit-sakitan yang senang dan membiarkan rakyatnya juga sakit-sakitan.
Karena sehat merupakan hak rakyat, dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan, diambillah

1
keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan porsi yang
besar, sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pada makalah
ini adalah:
1. Pengertian politik dan Politik Kesehatan ?
2. Pengaruh politik terhadap kesehatan?
3. Strategi dan esensi politik kesehatan?
4. Politik Kesehatan dan kemiskinan ?
5. Bagaimana politik kesehatan di Indonesia?

C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui Pengertian Politik dan Pengertian Politik Kesehatan
2. Mengetahui Pengaruh politik terhadap kesehatan
3. Mengetahui Strategi dan esensi politik kesehatan
4. Mengetahui Politik Kesehatan dan kemiskinan
5. Mengetahui perkembangan politik kesehatan di Indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Politik, Kesehatan dan Politik Kesehatan


a. Pengertian Politik
Perkataan politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polistaia, Polis berarti kesatuan masyarakat
yang mengurus diri sendiri/berdiri sendiri (negara), sedangkan taia berarti urusan. Dari segi
kepentingan penggunaan, kata politik mempunyai arti yang berbeda-beda. Untuk lebih memberikan
pengertian arti politik disampaikan beberapa arti politik dari segi kepentingan penggunaan, yaitu :
1. Dalam arti kepentingan umum (politics)
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang
berada dibawah kekuasaan negara di Pusat maupun di Daerah, lazim disebut Politik (Politics) yang
artinya adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan
untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki disertai dengan jalan, cara dan
alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan
2. Dalam arti kebijaksanaan (Policy)
Politik adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang yang dianggap lebih
menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita/keinginan atau keadaan yang kita kehendaki.
b. Pengertian Kesehatan
Kesehatan adalah kondisi umum dari seseorang dalam semua aspek. Ini juga merupakan tingkat
fungsional dan atau efisiensi metabolisme organisme, sering secara implisit manusia. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO), mendefinisikan kesehatan didefinisikan sebagai "keadaan lengkap fisik,
mental, dan kesejahteraan sosial dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan"
Kesehatan adalah konsep yang positif menekankan sumber daya sosial dan pribadi, serta
kemampuan fisik. Secara keseluruhan kesehatan dicapai melalui kombinasi dari fisik, mental, dan
kesejahteraan sosial, yang, bersama-sama sering disebut sebagai "Segitiga Kesehatan"
c. Pengertian Politik Kesehatan
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat
dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau
negara. Untuk meraih tujuan tersebut diperlukan kekuasaan. Kekuasaan tersebut kelak digunakan
untuk mendapat kewenangan yang diperlukan untuk mencapai cita-cita dan tujuan. Oleh karena itu
derajat kesehatan masyarakat yang diidamkan adalah merupakan sebuah tujuan yang di inginkan
seluruh rakyat banyak, maka derajat kesehatan hendaknya diperjuangkan melalui sistem dan
mekanisme politik.
Bambra et al (2005) dan Fahmi Umar (2008) mengemukakan mengapa kesehatan itu adalah
politik, karena dalam bidang kesehatan adanya disparitas derajat kesehatan masyarakat, dimana
sebagian menikmati kesehatan sebagian tidak. Oleh sebab itu, untuk memenuhi equity atau keadilan

3
harus diperjuangkan. Kesehatan adalah bagian dari Politik karena derajat kesehatan atau masalah
kesehatan ditentukan oleh kebijakan yang dapat diarahkan atau mengikuti kehendak (amenable)
terhadap intervensi kebijakan politik. Kesehatan bagian dari politik karena kesehatan adalah Hak
Asasi manusia.

B. Hubungan politik dan kesehatan


Politik kesehatan adalah kebijakan negara di bidang kesehatan. Yakni kebijakan publik yang
didasari oleh hak yang paling fundamental, yaitu sehat merupakan hak warga negara. Sehingga dalam
pengambilan keputusan politik khususnya kesehatan berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat
sebaliknya politik juga dipengaruhi oleh kesehatan dimana jika derajat kesehatan masyarakat
meningkat maka akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat
C. Pengaruh Politik Beserta Contohnya Terhadap Kesehatan
a. Pengaruh Politik Terhadap Kesehatan
Penentuan kebijakan di bidang kesehatan memang merupakan sebuah sistem yang tidak lepas
dari keadaan disekitarnya yaitu politik. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan merupakan produk
dari serangkaian interaksi elit kunci dalam setiap proses pembuatan kebijakan termasuk tarik-menarik
kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya dan bargaining position di antara
elit yang terlibat. Proses pembentukan kebijakan tidak dapat menghindar dari upaya individual atau
kelompok tertentu yang berusaha mempengaruhi para pengambil keputusan agar suatu kebijakan
dapat lebih menguntungkan pihaknya. Semua itu, merupakanmanifestasi dari kekuatan politik (power)
untuk mempertahankan stabilitas dankepentingan masing-masing aktor. Bahkan tak jarang terjadi pula
intervensi kekuasaan dan tarik-menarik kepentingan politis dari pemegang kekuasaan atau aktor yang
memiliki pengaruh dalam posisi politik.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan masyarakat
dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah wilayah atau
negara untuk menciptakan masyarakat dan lingkungan sehat secara keseluruhan. Untuk meraih tujuan
tersebut diperlukan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang dimiliki, maka akan melahirkan kebijakan
yang pro rakyat untuk menjamin derajat kesehatan masyarakat itu sendiri. Kebijakan pemerintah
dapat terwujud dalam dua bentuk.
1. Peraturan pemerintah dalam bidang kesehatan meliputi undang-undang, peraturan
presiden, keputusan menteri, peraturan daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten
kota, dan peraturan lainnya.
2. Kebijakan pemerintah dalam bentuk program adalah segala aktifitas pemerintah baik
yang terencana maupun yang insidentil dan semuanya bermuara pada peningkatan
kesehatan masyarakat, menjaga lingkungan dan masyarakat agar tetap sehat dan sejahtera,
baik fisik, jiwa, maupun sosial.

4
Oleh karena itu, untuk menciptakan kesehatan masyarakat yang prima maka dibutuhkan
berbagai peraturan yang menjadi pedoman bagi petugas kesehatan dan masyarakat luas, sehingga
suasana dan lingkungan sehat selalu tercipta. Di samping itu pemerintah harus membuat program
yang dapat menjadi stimulus bagi anggota masyarakat untuk menciptakan lingkungan dan masyarakat
sehat, baik jasmani, rohanio, rohani, sosial serta memampukan masyarakat hidup produktif secara
sosial ekonomi.
Kebijakan kesehatan yang juga berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan penduduk
adalah dengan menambah personel kesehatan baik yang terlibat dalam upaya preventif maupun dalam
tindakan kuratif. Tujuan kebijakan ini agar pelayanan kesehatan tidak hanya dinikmati oleh golongan
tertentu, namun juga bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat yang membutuhkan pelayanan ini.
Pada era globalisasi diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas yang didukung fisik dan
mental yang sehat, sehingga mampu berkompetisi paling optimal. Tanpa didukung dengan kesehatan
fisik dan mental yang balk, sumberdaya manusia tidak akan mampu berkompetisi dengan optimal.
Secara tradisional kesehatan diukur dari aspek negatifilya seperti angka kesakitan, angka kecacatan,
dan angka kematian. Melalui paradigma sehat, kesehatan sudah tidak lagi dipandang semata - mata
sebagai terbebas dari penyakit, tetapi sebagai sumberdaya yang memberi kemampuan kepada
individu, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mengelola bahkan merubah pola hidup,
kebiasaan, dan Iingkungannya.
Berbeda dengan paradigma lama yang berorientasi kepada penyakit, maka paradigma baru
berorientasi kepada nilai positif kesehatan, bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup seoptimal
mungkin melalui pengurangan dalam penderitaan dan kecemasan, serta peningkatan dalam harkat diri
dan kemampuan untuk mandiri, sekalipun dalam menghadapi penyakit yang kronis maupun fatal
(Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat Miskin, 1999).
Saat ini dimana lingkungan sosial, ekonomi, dan politik berada pada situasi krisis, termasuk
sektor kesehatan telah membuat masyarakat terutama masyarakat golongan miskin bertambah
menderita karena semakin sulit menjangkau fasilitas kesehatan milik swasta maupun pemerintah.
Dalam hal ini, rumah sakit sebagai organisasi sosial bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan
masyarakat, rumah sakit harus dapat berfungsi sebagai rumah sehat yang melaksanakan kegiatan
promotif bagi kesehatan pasien, staf rumah sakit, dan masyarakat di wilayah cakupannya serta
pengembangan organisasi rumah sakit menjadi organisasi yang sehat.
Penerapan sebagai rumah sehat memerlukan pendekatan terpadu dalam pengernbangan
organisasi dan tenaga kesehatan. Gerakan rumah sehat akan menghasilkan penajaman pelayanan
rumah sakit dalam menunjang gerakan kesehatan bagi semua dan pemberdayaan pasien serta staf
rumah sakit (Manajemen Strategis Terpadu Bagi Masyarakat 1999). Masyarakat selalu mengharapkan
agar pelayanan rumah sakit, baik. milik pemerintah maupun swasta dapat memberikan pelayanan
yang baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya, pasien menginginkan
fasilitas yang baik dari rumah sakit, keramahan pihak rumah sakit, serta ketanggapan, kemampuan,

5
dan kesungguhan para petugas rumah sakit, Dengan demikian pihak rumah sakit dituntut untuk selalu
berusaha meningkatkan layanan kepada pasien.
Haryono Wiratno (1998), mengatakan bahwa kualitas pelayanan (Service Quality)adalah
pandangan konsumen terhadap hasil perbandingan antara ekspektasi konsumen dengan kenyataan
yang diperoleh dari pelayanan. Sedangkan kepuasan adalah persepsi pelanggan terhadap satu
pengalaman layanan yang diterima
Program kesehatan di masyarakat mendapat perhatian tetapi, yang dapat kita pelajari dari
makalah ini adalah bahwa banyak kebijakan “bagus” tetapi seperti berada di keranjang sampah.
Mereka dibuang begitu saja. Ada contoh peristiwa politik memanfaatkan kebijakan tetapi berbeda dari
masalah dan policy option yang sewajarnya lebih baik.
Muatan politik begitu kuat sehingga kebijakan itu menyeleweng dari relevansi masalah yang
dianggap oleh masyarakat dan birokrat. Ada contoh peristiwa politik berhimpitan dengan masalah
dan policy option yang relevan dengan stakeholder lain. Politik memiliki pengaruh begitu besar
terhadap kebijakan dan pengembangan di bidang kesehatan.
b. Contoh pengaruh politik terhadap kesehatan
1. Anggaran kesehatan
Karena sehat merupakan hak rakyat dan negara pun tak ingin rakyatnya sakit-sakitan,
diambillah keputusan politik yang juga sehat. Yaitu, anggaran untuk kesehatan rakyat mendapatkan
porsi yang sangat besar, karena negara tidak ingin rakyatnya sakit-sakitan. Pemerintah bersama DPR.
Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga
keputusan politik.
2. UU Tembakau; Cukei rokok terus dinaikkan karena konsumsi rokok di Indonesia semakin
meningkat.
Biaya ekonomi dan sosial yang ditimbulkan akibat konsumsi tembakau terus meningkat dan
beban peningkatan ini sebagian besar ditanggung oleh masyarakat miskin. Angka kerugian akibat
rokok setiap tahun mencapai 200 juta dolar Amerika, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang
diakibatkan merokok terus meningkat. Di Indonesia, jumlah biaya konsumsi tembakau tahun 2005
yang meliputi biaya langsung di tingkat rumah tangga dan biaya tidak langsung karena hilangnya
produktifitas akibat kematian dini, sakit dan kecacatan adalah US $ 18,5 Milyar atau Rp 167,1
Triliun. Jumlah tersebut adalah sekitar 5 kali lipat lebih tinggi dari pemasukan cukai sebesar Rp 32,6
Triliun atau US$ 3,62 Milyar tahun 2005 (1US$ = Rp 8.500,-).
3. Program Pembatasan Waktu Iklan Rokok
Larangan iklan secara menyeluruh merupakan upaya untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Anak-anak dan remaja merupakan sasaran utama
produsen rokok. Diakui oleh industri rokok bahwa anak-anak dan remaja merupakan aset bagi
keberlangsungan industri rokok. Untuk itu kebijakan larangan iklan rokok secara menyeluruh harus
diterapkan untuk melindungi anak dan remaja dari pencitraan produk tembakau yang menyesatkan.

6
Pelarangan iklan rokok menyeluruh (total ban) mencakup iklan, promosi dan sponsorship yang
meliputi pelarangan (1) iklan, baik langsung maupun tidak langsung di semua media massa; (2)
promosi dalam berbagai bentuk, misalnya potongan harga, hadiah, peningkatan citra perusahaan
dengan menggunakan nama merek atau perusahaan dan (3) sponsorship dalam bentuk pemberian
beasiswa, pemberian bantuan untuk bidang pendidikan, kebudayaan, olah raga, lingkungan hidup, dll.
4. Program Kesehatan Gratis di Gorontalo
Berdasarkan kemampuan sumber daya dan permasalahan bidang kesehatan, maka dapat
diproyeksikan pencapaian program sebagai berikut:
 Program Promosi Kesehatan dan pemberdayaan Masyarakat; meningkatnya persentase
rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat menjadi 60%
 Program Lingkungan Sehat; meningkatnya persentase keluarga menghuni rumah yang
memenuhi syarat kesehatan menjadi 75 %, persentase keluarga menggunakan air
bersih menjadi 85 %, persentase keluarga menggunakan jamban memenuhi syarat
kesehatan menjadi 80%, dan persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat
kesehatan menjadi 80 %
 Program Upaya Kesehatan Masyarakat ; Cakupan rawat jalan sebesar 15%,
Meningkatnya cakupan persalinan nakes menjadi 90%, Pelayanan antenatal (K4) 90%,
kunjungan neonatus (KN2) 90%, dan cakupan kunjungan bayi menjadi 90 %, pelayana
kesehatan dasar bagi gakin di Puskesmas sebesar 100 %, Persentase posyandu
Purnama Mandiri 40 %, Tersedia dan beroperasinya Pos kesehatan desa di tiap desa.
 Program Upaya Kesehatan Perorangan; Cakupan rawat inap sebesar 1.5 %, Rumah
sakit yang melaksanakan pelayaan gawat darurat sebesar 90 %, jumlah rumah sakit
PONEK sebesar 75 % dan rumah sakit yang terakreditasi sebanyak 75 %,
terselenggaranya pelayanan kewsehatan bagi Gakin di kelas III rumah saki sebesar 100
%.

D. Kesehatan dan Komitmen Politik


Masalah kesehatan pada dasarnya adalah masalah politik oleh karena itu untuk memecahkan
masalah kesehatan diperlukan komitmen politik. Dewasa ini masih terasa adanya anggapan bahwa
unsur kesehatan penduduk tidak banyak berperan terhadap pembangunan sosial ekonomi. Para Aktor
Politik sebagai penentu kebijakan masih beranggapan sektor kesehatan lebih merupakan kegiatan
yang bersifat konsumtif ketimbang upaya membangun sumber daya manusia yang berkualitas,
sehingga apabila ada keguncangan dalam keadaan ekonomi negara alokasi terhadap sektor ini tidak
akan meningkat.
Sementara itu para pakar kesehatan belum mampu memperlihatkan secara jelas manfaat
investasi bidang kesehatan dalam menunjang pembangunan negara. Kesenjangan derajat kesehatan

7
masyarakat antar wilayah atau spesial perlu segera diatasi. Investasi yang selama ini lebih ditekankan
pada penambahan fasilitas, peralatan dan tenaga medis perlu dipelajari kembali.
Banyak rumah sakit, puskesmas, poliklinik, bidan, dan dokter bukan merupakan jaminan
meningkatnya kesehatan penduduk. Sehingga dalam upaya memecahkan masalah kesehatan tidak bisa
hanya dilakukan di bangsal-bangsal rumah sakit ataupun ruang tunggu poliklinik atau puskesmas
melainkan di perlukan intervensi yang serius dari ”Aktor Politik” apakah di Departemen Kesehatan
yang di komandani oleh ”Aktor Politik” sebagai pembantu presiden (Menteri Kesehatan) yang
melaksanakan kebijakan politik Presiden yang telah mengangkatnya, Dinas Kesehatan
Propinsi/Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Gubernur/ Bupati/Walikota serta Aktor
Politik di DPR RI / DPD/ DPRD Propinsi/ Kabupaten/Kota.
Pergeseran paradigma dari pelayanan medis ke pembangunan kesehatan untuk membuat
rakyat sehat memerlukan penguatan komitmen politik dari seluruh ”aktor politik” yang telah dipilih
oleh rakyat, kesemuanya semata-mata untuk kemakmuran rakyat, melalui upaya nyata dengan
memprioritaskan berbagai kebijakan untuk membuat rakyat sehat.
Sejauh mana dan seberapa besar komitmen politik dari "aktor politik" untuk mewujudkan
kesehatan warganya dapat kita lihat selama lima tahun desentralisasi. Adakah komitmen Gubernur/
Bupati/Walikota yang didukung DPRD masing-masing, yang telah memberikan anggaran kepada
sektor kesehatan minimal sebesar 15 % dari APBD. Menurut Ketua Panitia Ad Hoc (PAH) IV Dewan
Perwakilan Daerah (Kompas, 26 April) yang menyatakan adanya kecenderungan kepala daerah
mengutamakan kepentingan proyek mercusuar di daerahnya. Rasio dana alokasi dana operasional di
daerah dengan alokasi dana untuk pembangunan daerah masih timpang dengan rasio 60 persen
berbanding 30 persen. Begitu menjadi kepala daerah yang pertama mereka pikirkan, membangun atau
merenovasi rumah dinas agar menjadi mewah, atau segera mengganti mobil dinas dengan mobil yang
baru, lalu membangun gedung. Hal ini menggambarkan ”aktor politik” belum memprioritaskan pada
pembangunan kesehatan. Padahal jika mau ber-Investasi untuk kesehatan ini akan berdampak kepada
produktivitas seluruh warga, karena jika warganya sehat maka akan lebih produktif dan akhirnya
dapat mendukung berbagai program pembangunan sesuai dengan kompetensi masing-masing warga
tersebut. Melalui komitemen ini sebenarnya dapat pula dijadikan modal politik untuk mendapatkan
suara pada periode pemilihan selanjutnya. Akan tetapi jika mereka tidak memiliki komitmen untuk
menyehatkan warganya, maka jangan disalahkan jika "rakyat yang telah sadar politik" yang memiliki
hak dalam memilih akan dapat memberikan sangsi politik dengan tidak memilihnya kembali untuk
periode kepemimpinan berikutnya.
Dilema yang dialami oleh "aktor politik" baik di eksekutif maupun di Legislatif dan duduk
menjadi anggota DPRD yang memiliki hak lesgislasi (membuat UU/Perda), Hak Bugjeting (membuat
Anggaran) dan Hak pengawasan di berbagai daerah adalah tidak adanya dasar hukum berupa undang-
undang yang mengharuskan mereka menetapkan anggaran kesehatan dalam APBD sebesar 15%
seperti yang kita harapkan, karena belum ada undang- undangnya.

8
Padahal saat ini UU Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sedang dalam proses
amandemen atas inisiatif DPR RI, sehingga hal ini dapat dijadikan momentum untuk menunjukkan
komitmen politik oleh aktor politik di Republik ini kepada warga yang telah memilihnya. Dan melalui
komitmen ini pula dapat dijadikan modal politik untuk pemilu kelak, Rakyat yang telah sadar politik
kelak tidak akan pindah kelain hati (akan tetap memilih) wakilnya yang benar-benar memperjuangkan
kepentingan rakyat, yang benar-benar berupaya untuk membuat rakyat sehat. Salah satunya adalah
dengan penguatan komitmen dan memberikan prioritas pembangunan sektor kesehatan. Upaya yang
strategis dapat dilakukan saat ini dalam proses amandeman UU No 23/92 tentang Kesehatan yang
sedang berjalan, dengan cara memasukkan kata "wajib memberikan anggaran di APBN dan APDB
minimal sebesar 15% dari APBN/APBD" pada salah satu pasal dalam amandemen UU 23/92. Karena
UU ini kelak akan menjadi rujukan formal oleh aktor-aktor politik dalam membuat berbagai kebijakan
dalam pembangunan sektor kesehatan.
Intervensi oleh Aktor Politik untuk Membuat Rakyat Sehat Aktor politik tidak hanya cukup
menyatakan keprihatinan dengan merebaknya berbagai penyakit, masalah gizi buruk dan masalah-
masalah kesehatan masyarakat yang banyak menimpa masyarakat miskin dewasa ini, yang semua ini
menyulitkan pencapaian untuk membuat rakyat Indonesia sehat dan komitmen global MDGs 2015.
Aktor Politik baik di pusat dan di daerah yang domisisli dari Sabang sampai Meroke dapat membuat
kebijakan dan hukum yang menekankan pada program perlindungan kesehatan, promosi kesehatan
dan pencegahan penyakit, memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, menguatkan kerjasama
lintas sektoral dan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama bertanggung jawab dalam
pemeliharaan kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat. Dapat pula membuat kebijakan berupa
program yang bersifat nasional yang dapat menjamin kesehatan generasi mendatang secara dini yang
melindungi kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak dari berbagai gangguan gizi dan masalah
kesehatan.
Jika kita perhatikan sejak Orde baru dengan program kerja yang terencana PELITA I–VII,
dilanjutkan lagi dengan era desentralisasi yang sudah berlangsung lebih lima tahun, masih
menyebabkan angka kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir dengan angka yang
pergeserannya tidak signifikan. Bahkan ada data yang menunjjukan bahwa setiap 2 jam ada ibu baru
melahirkan yang meinggal dunia. Kedepan seharusnya Aktor politik dapat membuat program-
program kerja yang lebih proaktif misalnya dengan membuat program kerja yang proaktif dengan cara
melakukan intervensi di Hulu pada permasalahan kesehatan yang ada. Misalnya untuk
mengurangi secara signifikan angka kematian ibu dan angka kematian bayi baru lahir perlu dibuat
kebijakan untuk mengintervensi sejak di ketemukan adanya Wanita Usia Subur (WUS) dengan
kategori tidak mampu, menikah dengan pria yang dikategorikan tidak mampu pula di KUA ataupun
Catatan setempat sipil dan diketahui oleh pihak kelurahan setempat, juga diketahui oleh pihak
puskesmas terdekat. Intervensi untuk program penyelamatan ibu tersebut misalnya memberikan
batuan langsung tunai untuk ibu hamil (BLT-IH) tidak mampu. Intervensi ini berupa BLT-IH ini

9
diberikan selama 9 bulan dan diberikan juga bantuan biaya untuk biaya melahirkan bila perlu dengan
biaya transportasi pulang-pergi dari dan kelokasi tempat melahirkan yaitu tenaga professional yang
mampu menolong kelahiran (bidan praktek, obgyn, dll).
Setelah anaknya lahir perlu pula dibuat kebijakan untuk menyelamatkan bayi tersebut dari
berbagai gangguan gizi dan masalah kesehatan sampai umur tiga tahun melalui intervensi dengan cara
memberikan bantuan langsung tunai Bayi bawah Tiga Tahun (BLT-Batita), hal ini untuk menjaga
kesehatan gizi si anak dan dijaga pula kesehatan dengan memberikan imunisasi lengkap. Dengan
adanya program program proaktif tersebut diharapkan kedepan di era desentarlaisasai ini kita akan
melakukankan berbagai kegiatan tidak lagi mengurusi masalah tingginya angka kematian Ibu dan
bayi baru lahir. Deparemen terkait lainnya dapat pula ,memberdayakan kepala keluarga dengan
memberikan pelatihan –pelatihan keterampilan kerja sehingga orang tua anak dapat berusaha untuk
mencukupi perekonomian mereka. Sehingga diharapkan kedepan tidak dijumpai lagi adanya kasus
Kurang Energi Protein (KEP) yang tersebar dimana-mana. Intervensi kebijakan strategis lainya adalah
dalam pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas yang mencakup upaya preventif dan promotif selain
tetap menjalankan program kuratif dan rehabilitatif. Sudah selayaknya manajer di Puskesma di
berikan kepada tenaga yang benar-benar mampu dan memiliki latar belakang ilmu pengetahuan dan
pengalaman praktis untuk menjadi manajer dalam upaya pelayanan kesehatan dasar yang merupakan
arah pembangunan kesehatan oleh pemerintah, dengan dasar hukum SK Menkes Nomor:
128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar Pusat Kesehatan dalam kriteria personalia yang
mengisi struktur masyarakat dimana Puskesmas disesuaikan dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing unit Puskesmas.
Khsusunya untuk Kepala Puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang sarjana di
bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan masyarakat. Nampaknya upaya
untuk membuat rakyat sehat belum sejalan dengan rekrutmen tenaga
kesehatan/PNS yang baru berjalan. Sedangkan upaya bidang kuratif tetap menjadi tanggung jawab
profesi yang bertanggung jawab pada bidang kuratif yaitu medical dokter. Jika mungkin untuk
memberlakukan kembali sistem Inpres dokter di untuk tingkat pelayanan dasar. Karena menurut data
masih banyak upaya kuratif di puskesmas tidak dilakukan oleh tenaga profesional yang memiliki
kompetensi untuk melakukan upaya kuratif tersebut, tetapi didelegasikan kepada tenaga lain yang
nota bene tidak berhak untuk melakukan pelayanan kuratif.
Kebijakan oleh aktor politik di daerah (Bupati/Walikota) dapat menetapkan profesional
sebagai manajer puskesmas dalam upaya membuat rakyat sehat, dengan cara menjaga kesehatan
warga diwilayah kerja dapat melakukan kegiatan untuk membuat rakyat sehat dengan berbagai
trobosan program untuk betul-betul membuat warga masayarakat semakin sehat dan produktif,
sehingga akhirnya dapat berkarya menghasilkan sesuatu sesuai dengan keahlian dan
tanggungjawabnya masing-masing, dengan tidak meninggalkan upaya kuratif. Kebijakan populis
lainnya yang bisa dipikirkan untuk mendorong hal ini, misalnya, melalui pemberian award bagi

10
manajer Puskesmas dan Rumah Sakit yang telah berhasil memotivasi sejumlah warga untuk selalu
sehat dan produktif melalui berbagai program promotif dan preventif yang dijalankan dalam tupoksi
kedua lembaga ini.
Untuk jangka panjangnya kegiatan yang ideal adalah memprioritaskan pada upaya promotif,
preventif dan protektif dengan tidak meninggalkan upaya kuratif dengan ukuran yang mudah dan
menggunakan indikator-indikator langsung berupa menurunnya angka kunjungan ke puskesmas,
puskesmas pembantu dan Rumah Sakit(RS) dikarenakan sakit. Fungsi pelayanan dasar harus
memprioritaskan dalam upaya membuat rakyat sehat dan produktif.
Fungsi RS juga harus bergeser yaitu dalam rangka menyehatkan warga negara dengan Ilmu
dan teknologi kedokteran kesehatan, karena RS adalah bagian dari upaya Sistem Kesehatan Nasional.
Dan sebetulnya dalam pakem paradigma sehat yang utama adalah menjaga yang sehat agar tetap
sehat sehingga tidak sakit dan dapat terhindarkan dari penyakit. Selain tentunya menyembuhkan yang
sakit dan menjaganya agar tidak kembali sakit. Bila penduduk sehat maka mereka dapat lebih
produktif, dapat meningkatkan pendapatan ekonominya dan dapat lebih memiliki kepedulian dalam
menjalankan demokrasi. Dan akhirnya rakyat yang sehat dapat pula memilih wakil mereka yang
berkualitas melalui pemilu yang demokratis. Tentunya rakyat akan menentukan pilihannya yang
ditujukan kepada “aktor politik” yang benar-benar memiliki komitmen untuk membuat warga negara
menjadi sehat.
Bentuk intervensi yang cerdas yang dapat dilakukan oleh aktor politik untuk mencegah agar
penduduk tidak sakit, wajib kita dukung. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan-
pendekatan ”perekayasaan” yang positif didasarkan pada pertimbangan sosial-kultural daerah
setempat. Masing-masing daerah dapat pula melakukan perekayasaan kepada masyarakat untuk selalu
hidup sehat dan terhindar dari penyakit. Perekayasaan yang sederhana dan dilakukan oleh masyarakat
itu sendiri. Di era desentaralisasi ini dengan penguatan komitmen politik untuk selalu
memprioritaskan pembangunan sektor kesehatan. Upaya strategis lainnya dalah
mengimplementasikan penjabaran UU RI no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) yang di implementasikan dalam bentuk Peraturan Pemerintah untuk diprluas dalam upaya
menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir. Sehingga kelak kita dapat berharap di media massa akan
terlihat laporan ”neraca kesehatan” dengan persentase semakin banyaknya warga negara yang
terhindarkan dari sakit dan telah dibuat sehat melalui berbagai kebijakan di hulu.

E. Masalah politik dan kesehatan


Politik kesehatan merupakan upaya pembangunan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Masalah politik dalam kesehatan adalah sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan dalam upaya
pembangunan di bidang kesehatan. Saat ini, apa yang dipikirkan oleh ahli kesehatan masyarakat
sangat berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh para pemimpin politik dalam melihat pembangunan.

11
Para ahli kesehatan masyarakat selalu memandang kesehatan adalah utama dan satu satunya
cara dalam mencapai kesejahteraan, kesehatan ibu dan anak adalah prioritas, ketimpangan kaya dan
miskin adalah sumber masalah kesehatan. kebijakan dan politik kesehatan harus berbasis bukti dan
pendekatan pencegahan penyakit adalah yang utama. Sayangnya para pemimpin politik, tidak
memandang sama dalam melihat persoalan pembangunan kesehatan, keputusan-keputusan politik
lebih didasari kepada hasil survey popularitas dan prioritas pembangunan lebih kepada yang terlihat
cepat di mata konstituen. perbedaan masalah ini berakar dari para ahli kesehatan masyarakat yang
enggan untuk memahami masalah politik pembangunan, terutama pembangunan dalam bidang
kesehatan. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa masalah kesehatan adalah masalah politik.
Masalah kesehatan bukan lagi hanya berkaitan erat dengan tehnis medis, tetapi sudah lebih jauh
memasuki area-area yang bersifat social, ekonomi dan politik karena masalah kesehatan merupakan
masalah politik maka untuk memecahkannya diperlukan komitmen politik. Namun, untuk
memecahkan masalah tersebut ternyata tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Disini aktor
politik kesehatan belum mampu meyakinkan bahwa kesehatan adalah investasi, sector produktif dan
bukan sector konsumtif. Praktisi kesehatan juga belum mampu memperlihatkan secara jelas di dalam
mempengaruhi para pemegang kebijakan tentang manfaat investasi bidang kesehatan yang
dapatmenunjang pembangunan bangsa.
Tidak ada batasan yang jelas siapa aktor politik kesehatan yang sesungguhnya, namun dapat
dikatakan bahwa aktor politik kesehatan adalah orang, lembaga atau profesi yang berjuang untuk
mewujudkan rakyat yang sehatdan sejahtera. Akan tetapi karena masalah politik adalah masalah
kesehatan, maka tentu saja tidak perlu semua aktor politik adalah orang kesehatan atau orang dengan
latar belakang kesehatan akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana para aktor politik mempunyai
wawasan kesehatan.

F. Strategi dan Esensi Politik Kesehatan


Berita di panggung politik akhir – akhir ini, baik Pilgub ataupun Pilbup tak henti- hentinya
menghiasi media massa baik Cetak maupun Elektronik. Seolah menjadi sumber berita yang
memberikan “ energi lebih” kepada media untuk menjadikannya headline setiap hari.
Namun disisi lain, berbagai strategi yang telah dilakukan tersebut tetap tidak menghentikan
lajunya perkembangan penyakit yang terus memeras keringat para ahli kesehatan untuk
mengendalikannya. Masih Terus terdengar banyaknya masyarakat miskin yang tak mampu mengakses
layanan kesehatan karena tak ada biaya. Masih banyaknya Balita yang mengalami Gizi buruk.
Buruknya mutu pelayanan kesehatan yang diterima masyarakat di Puskesmas dan Rumah sakit
pemerintah, serta sejumlah permasalahan pada sektor kesehatan yang menunggu implementasi Visi,
misi, dan program para calon pemimpin yang tampak menjanjikan, namun sungguh sulit untuk
direalisasi, akankah kenyataannya seindah janji.

12
Anggaran itu sudah pasti merupakan produk politik, karena ditetapkan pemerintah bersama DPR.
Membebani impor alat-alat kedokteran dengan pajak yang sama untuk impor mobil mewah, juga
keputusan politik. Membiarkan dokter menumpuk dan berebut cuma di kota besar, atau mengatur
penyebarannya berdasarkan kepentingan Daerah, contoh lain buah keputusan politik, singkatnya,
politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan politik. Kalau
kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di daerah itu akan
diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya sakit.
Contoh paling nyata yang terjadi d a l a m penetapan anggaran u n t u k kesehatan,
menteri kesehatan mengajukan rancangan anggaran kepada presiden yang kemudian
akan dibahas bersama DPR karena dalam penetapan Anggaran Belanja Negara DPR
mempunyai wewenang dalam menyetujui maupun menolak terhadap rancangan yang
diajukan tersebut.

G. Perkembangan Politik Kesehatan di Indonesia

1. Politik Kesehatan di Indonesia


Jika kaya di Indonesia, kita bisa mendapatkan kedudukan kesehatan, meskipun Anda
mungkin harus pergi ke Singapura atau Malaysia untuk mendapatkannya. Bagi orang Indonesia
miskin, dan bahkan bagi banyak orang di kelas menengah, pilihannya adalah tidak begitu baik.
Perubahan politik adalah pedang bermata dua bagi kesehatan. Beberapa tantangan besar
mempengaruhi sektor ini, serta beberapa sumber dinamisme, timbul dari desentralisasi. Sejak
jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998, desentralisasi politik dan fiskal telah
menghasilkan satu set kompleks tantangan untuk pemrograman kesehatan. Di satu sisi, desentralisasi
pelayanan kesehatan menciptakan peluang bagi visioner pemimpin lokal untuk mengembangkan
program kesehatan yang ditargetkan untuk para pemilih. Tetapi juga telah membuat sistem rentan
terhadap politik kekuasaan lokal dan korupsi dicentang, dan melanggengkan kesenjangan antara
daerah kaya dan miskin.
Akurat atau terlambat diagnosa, fasilitas tidak memadai dan pengobatan, biaya yang berada di
luar jangkauan: semua ini adalah bagian dari pengalaman sehari-hari kesehatan bagi jutaan rakyat
Indonesia. Akibatnya, setiap tahun, warga yang tak terhitung negara meninggal akibat kondisi yang
seharusnya dicegah atau disembuhkan. Ini edisi khusus Indonesialooks dalam pada masalah yang
menimpa kesehatan, dan mencari tanda-tanda harapan di tengah perubahan politik yang membentuk
kembali Indonesia sebagai masyarakat yang lebih demokratis.
Kekuatan sosial dan politik yang telah menghasilkan hasil yang tidak merata seperti untuk
sektor kesehatan di Indonesia selama masa transisi negara menuju demokrasi. Sementara
perekonomian Indonesia tumbuh dengan pesat, pemerintah terus menghabiskan lebih sedikit pada
kesehatan per kapita dibanding negara-negara tetangganya dengan profil ekonomi yang sama,
indikator kunci kesehatan - seperti rasio penyedia kesehatan untuk penduduk - juga tertinggal. Maka

13
timbullah pertanyaan-pertanyaan yang kompleks sepertiapa yang memegang Indonesia kembali?' Apa
yang memotivasi pejabat terpilih, profesional kesehatan dan konsumen untuk membuat keputusan
yang mereka buat? Dan apa hasil bagi masyarakat yang paling rentan di Indonesia?
Jenis disfungsi yang mengganggu sektor: dari ketidakhadiran di klinik kesehatan dengan
rincian dalam berbagi informasi penting antara kabupaten dan pusat. Pisani menyalahkan insentif
politik condong untuk banyak disfungsi ini. Misalnya, pejabat daerah yang terpilih berinvestasi dalam
infrastruktur kesehatan yang mahal dan mencolok untuk meningkatkan profil politik mereka, daripada
mengatasi kebutuhan kesehatan yang lebih kompleks. Tetapi transisi demokrasi juga membawa
perubahan positif. Pisani poin bagaimana pemilihan langsung memberikan tekanan pada politisi lokal
untuk menjawab tuntutan konstituen mereka untuk layanan kesehatan yang lebih baik. Sebagai
harapan masyarakat meningkat, ia berharap, demikian juga akan kualitas pelayanan.
Edward Aspinall dan Hawa Warburton menganalisis hubungan antara politik elektoral dan
munculnya skema kesehatan lokal. Kampanye populis yang menjanjikan kesehatan gratis sekarang
biasa dalam pemilihan provinsi di seluruh negeri dan kabupaten. Tren ini mengungkapkan bagaimana
politisi lokal terlibat dengan tuntutan pemilih mereka dengan cara baru dan progresif. Bahkan jika
biaya kesehatan mulai turun bagi banyak orang, namun, ini tidak selalu berarti kualitas yang
membaik.
Aktivis kesehatan reproduksi, Inna Hudaya, menawarkan wawasan ke dalam penderitaan
perempuan muda yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Dia menjelaskan bagaimana
stigma sosial dan hukum diskriminatif memaksa perempuan menjadi berbahaya, dunia trauma dan
kadang-kadang fatal aborsi ilegal. Dalam kasus ini, juga, politik memainkan peran, tetapi merupakan
politik konservatisme sosial yang menolak kontrol perempuan atas tubuh mereka. Untungnya,
organisasi baru yang dijalankan oleh orang-orang seperti Inna berjuang untuk mengubah hukum
diskriminatif dan untuk membantu perempuan menemukan informasi dan layanan yang mereka
butuhkan.
2. Politik Membangun Kesehatan Bangsa
Menteri Kesehatan – dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPHPemaparan terkait politik kesehatan tidak
akan terlepas dengan isu politik nasional menyongsong “2014 sebagai Tahun Politik”. Pergantian
kabinet baru dan kepala daerah beresiko terhadap berhentinya kebijakan kesehatan baik secara
nasional ataupun lokal di daerah. Era reformasi menjadi tonggak pergantian sistem, termasuk sistem
kesehatan, sehingga banyak kebijakan politik yang terlantar pada saat ada banyak kabupaten/kota
yang berganti kepala dinas, padahal di kabupaten/kota tersebut sistem kesehatan dasar harusnya
menjadi prioritas utama. Bahkan banyak kepala daerah bukan merupakan orang yang konsen pada isu
kesehatan dan ada kepala dinas kesehatan yang bukan merupakan orang kesehatan. Fenomena
tersebut menjadi penekanan agar jangan sampai pergantian politik menjadi hambatan dalam
pembangunan kesehatan. Kepala daerah hendaknya dipilih yang care kepada kesehatan, sehingga
akan mengalokasikan APBD untuk pembangunan kesehatan di daerahnya.

14
Komitmen politik pemerintah pada kesejahteraan masyarakat adalah menciptakan Indonesia
yang adil dan makmur, sehingga sektor kesehatan tetap menjadi prioritas politik. Pemaparan politik
kesehatan Indonesia yang disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, SpA. MPH
berorientasi pada Kerangka Acuan KONAS IAKMI XII tentang angka IPM, AKI, Balita, dan AKB
yang masih membutuhkan perhatian. Renstra Kementrian Kesehatan 2010-2014 yaitu masyarakat
yang sehat mandiri dan berkeadilan dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat, pelayanan
kesehatan yang paripurna, ketersediaan SDM kesehatan, dan good governance. Kementrian Kesehatan
berserta jajaran di bawahnya tetap berkomitmen untuk peningkat akses pelayanan kesehatan
masyarakat yang komprehensif dan bermutu.
Selama ini program pengobatan gratis sering dibakai untuk kampanye kapala daerah, karena
memang isu jaminan pada perolehan pelayanan kesehatan saat sakit merupakan hal yang masih
menjadi beban bagi masyarakat Indonesia. Kementrian Kesehatan RI terus mengusahakan
penyelesaian masalah pelayanan kesehatan masyarakat Indonesia. Program Nasional yang akan segera
diluncurkan adalah program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tahun 2014. Pada akhir Desember
2019 ketika program BPJS menargetkan Total Health Coverage bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Banyak isu yang muncul sebagai reaksi dari progam tersebut diataranya adalah peran serta
masyarakat, kecukupan tenaga pendidikan dan kecukupan fasilitas kesehatan.
Isu yang melemahkan tersebut menurut data nasional yang disampaikan oleh Mentri
Kesehatan RI sudah bukan lagi merupakan ancaman. Peran masyarakat dalam pembangunan
kesehatan terus dikembangkan, baik itu lewat Posyandu, poskesdes, posbindu PTM, atau posmaldes
diharapkan dapat terus ditingkatkan. Ketersediaan tenaga kesehatan sudah mendekati target secara
nasional. Kesempatan dan upaya peningkatan jumlah tenaga kesehatan diupayakan lewat berbagai
macam beasiswa yang ditawarkan. Pemerataan tenaga kesehatan diharapkan menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah untuk dapat mengikat putra daerahnya sehingga setelah selesai studi dapat kembali
ke daerah dan betah kerja di daerah. Daerah dapat merencanakan kebutuhan tenaga kesehatannya dan
mengajukan untuk pepenuhan tenaga kesehatan di daerah. Ketersediaan fasilitas kesehatan secana
nasional sudah siap, tetapi ada ketimpangan karena ada daerah yang memiliki banyak RS ada yang
kekurangan. Hal tersebut dapat diatasi dengan regulasi dan kebijakan yang tegas pada saat ijin
pendirian dan pengembangan RS. Pada akhir pemaparan Menteri Kesehatan RI mengharapkan dapat
bekerja sama dengan IAKMI untuk menidentifikasi strategi-strategi yang inovatif untuk
mengoptimalkan peningkatan derajad kesehatan masyarakat Indonesia. Selain itu ada tantangan yang
diajukan agar IAKMI dapat mempengaruhi keputusan politik di Indonesia demi kesehatan
masyarakat.
3. Politik Kesehatan dan Kemiskinan
Kemiskinan merupakan salah satu dimensi yang sangat menjadi perhatian dalam konteks politik
kesehatan. UUD kita menegaskan bahwa masyarakat miskin ditanggung oleh negara termasuk dalam
hal jamianan pelayanan kesehatannya. Berkaitan dengan hal itu menarik untuk menelaah tulisan

15
A.Maulani (peneliti Pusat studi Asia pasifik ,UGM) yang dimuat di situs Antaranews.com . Dia
mengutip pernyataan mantan Menkes Siti Fadillah Supari “Tuntut rumah sakit yang tidak mau
menerima pasien yang memiliki kartu Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat). Kalau
masyarakat miskinnya yang tidak punya Jamkesmas, tuntut Pemdanya”, dalam sebuah rapat kerja
dengan DPRRI (9/02/09).
Pernyataan keras tersebut dengan jelas memperlihatkan bahwa banyak lembaga kesehatan yang
hanya berorientasi ekonomi semata, yang kurang berpihak masyarakat miskin. Mereka selalu saja
menjadi korban bahkan bulan-bulanan oleh sebuah sistem. Kesehatan dalam konteks ini hanya
dipandang sebagai perkara medis belaka. Fungsi sosial yang seharusnya juga diemban RS ternyata
terkikis oleh hasrat penumpukan laba semata.
Dengan jumlah 35 juta lebih orang miskin di Indonesia, maka sudah saatnya Negara mengambil
prakarsa untuk melindungi mereka agar berbagai lembaga kesehatan serta hal lain yang terkait seperti
rumah sakit, poliklinik, puskesmas, harga obat, serta dokter tidak justru menjadi mesin yang
menggilas mereka yang miskin dan menjadikan siklus kemismikan kian tak berujung. Itulah kira
bentuk politik kesehatan yang harus dijalankan Negara. Seperti dikatakan Jeffrey Sachs dalam buku
The End of Poverty (2005) bahwa banyak hal yang menyebabkan seseorang akan semakin
terperangkap dalam “jebakan kemiskinan”. Salah satunya adalah tiadanya human capital di mana
salah satu variabelnya adalah dalam wujud akses kesehatan yang memadai dan terjangkau.
4. Komitmen Pemerintah Terhadap Kesehatan Dinilai Masih Lemah
Sejumlah kalangan menilai komitmen pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia
masih sangat lemah. Hal ini terlihat baik dari sisi politik anggaran maupun regulasi yang belum pro
terhadap kesehatan masyarakat.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo,pakar kesehatan dari
Universitas Hassanudin Prof Razak Thaha dan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zainal
Abidin dan pendiri Maarif Institute Ahmad Safii Maarif menilai pergantian pimpinan/penguasa terus
terjadi,namun masalah kesehatan tetap berjalan di tempat.
Pertanyannya,setahun menjelang pemilu 2014,masihkah kesehatan rakyat mendapatkan
perhatian. Mereka mengimbau maraknya politik nasional menjelang pemilu 2014 tidak boleh
mempengaruhi berbagai program pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan.
Sudaryatmo,mengatakan, dari sisi politik anggaran kesehatan dan pendidikan,komitmen
pemerintah Indonesia dibanding negara lain masih ketinggalan. Ini terlihat dari alokasi untuk
pendidikan dan kesehatan dari total Produk Domestik Bruto (GDP),Indonesia paling rendah dari
negara lain yaitu 2%. Sedangkan Kamboja 4%,Laos mendekati 5%,Malaysia 10%,Philipina 15% dan
Thailand hampir 7%.
“Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah memang belum berpihak pada isu kesehatan dan
pendidikan. Minimnya anggaran kesehatan menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan
balita karena kurang mendapatkan dukungan memadai,” kata Sudaryatmo pada acara refleksi setahun

16
menjelang Pilpres 2014 yang digalar IDI di Jakarta, Senin (14/1). Hadir pula Wakil Menteri
Kesehatan Ali Ghufron Mukti.
Menurut Sudaryatmo,dibanding kesehatan,pemerintah lebih komitmen dan disiplin untuk
membayar hutang. Untuk pendidikan dan kesehatan hanya 2% dari GDP, tetapi untuk bayar hutang
mencapai 10%. Lebih tinggi dari negara lain, seperti Kamboja kurang dari 1%,Laos 3%,Malaysia 8%.
Walaupun Philipina juga cukup tinggi yakni 12% dan Taiwan 15%, namun rasio antara anggaran
kesehatan dengan membayar hutang seimbang, sedangkan di Indonesia sangat jomplang.
Ketidakberpihakan pemerintah terhadap isu kesehatan dan pendidikan juga terlihat dari
struktur APBN 2013. Mengutip data Kementerian Keuangan,menurut Sudaryatmo,dari total APBN
sebesar Rp 1,683 triliun,dialokasikan dominan ke sejumlah sektor. Di antaranya infrastruktur Rp
201,3 triliun (11,96),pertahanan negara Rp118,3 triliun (7,02%),subsidi Rp317,2 triliun
(18,84%),transfer ke daerah Rp 526,6 triliun (31,4%).
Struktur anggaran ini menunjukkan sebagian besar untuk subsidi,bahkan lebih besar dari
pembangunan infrastruktur. Padahal, kata dia,sebagian besar subsidi tidak jelas sasaran dan
implikasinya terhadap perbaikan masalah di masyarakat.
Subsidi BBM misalnya mencapai Rp 193,8 triliun (61,2%) dari total anggaran subsidi.
Dibanding subsidi listrik yang sebesar Rp 80,9 triliun (25,51%), subsidi BBM bermasalah karena
pemerintah tidak memiliki data dan pertanggungjawaban soal penerima maupun besarannya.
Menurutnya, misteri subsidi BBM akan menjadi catatan hitam sejarah ekonomi kontemporer
Indonesia. “Padahal untuk mengatasi masalah kesehatan,menurut para pakar tidak sampai
membutuhkan anggaran sebesar subsidi BBM,” katanya.
Razak Thaha mengatakan,meskipun Indonesia selalu bangga memiliki pendapatan perkapita
atau pertumbuhan ekonomi lebih dari negara tetangga,tetapi dalam masalah kesehatan tidak lebih
baik.
Masalah gizi di Indonesia misalnya belum mengalami penurunan signifikan. Di antaranya
Indonesia merupakan negara kelima dengan jumlah orang pendek (stunting) paling banyak di dunia,
selain Tiongkok,India,Pakistan,Nigeria dan bahkan di atas Vietnam. WHO
mencatat 90% anak pendek ada di 36 negara berkembang,termasuk Indonesia.
Menurutnya, orang pendek merupakan representasi dari kemiskinan di setiap provinsi. Di
mana ada lumbung kemiskinan di situ orang pendek lebih banyak, seperti di NTT,Papua Barat dan
NTB. Mereka terlahir dari ibu-ibu yang juga miskin dan kekurangan gizi.
Di satu sisi jumlah anak gemuk juga semakin bertambah. Anak gemuk adalah calon-calon penderita
penyakit tidak menular di kemudian hari,seperti hipertensi,stroke,jantung dan diabetes.
“Padahal anggaran untuk gizi melalui pagu kesehatan terus meningkat, bahkan saat puncak
resesi ekonomi. Tahun 2000 anggarannya baru sekitar Rp 21 miliar,tetapi naik tujuh kali lipat atau Rp
700 miliar di tahun 2007. Tetapi status gizi malah tambah jelek,lalu kemana anggaran itu,” katanya.

17
Ali Ghufron Mukti,mengatakan, pemerintah sudah cukup memberikan perhatian serius pada
masalah kesehatan. Buktinya, hampir tidak ada negara di dunia ini yang menjamin 86,4 juta warganya
untuk berobat gratis seperti yang dilaksanakan oleh Indonesia. Selain itu, progam Jampersal
menjamin persalinan gratis untuk semua ibu hamil.
“Dari sisi anggaran memang dari persentase masih di bawah 2,1% dari total APBN, tetapi
nominal-nya terus meningkat setiap tahun. Tahun ini sebesar Rp 32 triliun, dan 2014 diperkirakan
mencapai sekitar Rp 40 triliun,” katanya.
Zainal Abidin,mengatakan,anggaran kesehatan setiap tahun hanya berkisar di 2% dari total
APBN. Karena itu IDI mengimbau pemerintah untuk menaikannya sesuai dengan UU Kesehatan
36/2009,yakni minimal 5% di luar gaji pegawai. Secara politis,kata dia,pemerintah memiliki tanggung
jawab konstitusi untuk menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan baik. [D-13]
“Mengapa komitmen Negara dalam bentuk politik kesehatan menjadi penting? Perlu dicatat
bahwa kondisi orang miskin di negeri ini sudah berada dalam kondisi seperti yang digambarkan
James C. Scott (1983): seperti orang yang terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang
kecil sekalipun akan menenggelamkannya. Ombak kecil dalam konteks ini saya kira bisa berupa
mahalnya biaya rumah sakit dan juga obat-obatan.
Pada titik inilah penting mengkorelasikan hubungan antara sektor kesehatan dan kebijakan
politik sebagai bentuk konkrit dari kebijakan kesehatan. Banyak bukti yang menunjukkan
bagaimamana kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan. Data Indeks Pembangunan
Manusia (Human Development Indeks/HDI) yang memasukkan tiga parameter penting dalam
menghitung tingkat kesejahteraan, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. menunjukkan bahwa
peringkat kesejahteraan Indonesia pada tahun 2010 berada di urutan 124 dari 185 negara. Dibanding
Negara-negara ASEAN.
IKM ini mengukur kualitas SDM melalui beberapa indikator yang berupa; presentase penduduk
di bawah garis kemiskinan, angka buta huruf, proporsi penduduk yang kemungkinan meninggal
sebelum 40 tahun, proporsi penduduk tidak mempunyai akses terhadap air bersih, serta persentase
balita dengan gizi buruk.
Mencermati data tersebut tampaknya sudah saatnya kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil
pemerintah juga mempertimbangkan implikasi-implikasinya terhadap sektor kesehatan. Pemukiman
yang sehat, nutrisi yang lebih baik, serta keringanan biaya kesehatan adalah salah satu bentuk
implementasinya.
Karena itu, rumah sakit, baik negeri maupun swasta, harus didorong untuk melaksanakan proyek
penanganan kesehatan khusus di daerah-daerah miskin. Karena itu program Depkes yang
bersinggungan langsung dengan masyarakat kecil seperti program Desa Siaga yang mensyarakatkan
adanya Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) di dalamnya, Program Poskestren (Pos Kesehatan
Pesantren), Musholla Sehat, dan juga Posyandu perlu didorong dan dikawal keberlangsungannya
sebagai bentuk komitmen pada dunia kesehatan.

18
Satu hal yang kira penting diketahui bahwa untuk masyarakat yang tinggal dipedesaan yang
terpencil atau pedalaman akses pada layanan kesehatan adalah barang langka. Karena itu
keberpihakan pemerintah dalam bentuk politik kesehatan untuk mendahulukan serta melindungi
mereka yang kurang mampu kiranya adalah salah satu wujud affirmative action dibidang kesehatan.
Sekali lagi, adalah naïf bila perkara kesehatan lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas.
Maka peran paling minimal yang bisa dilakukan Negara adalah lewat kebijakan publik, yang oleh
Evans (1998) disebut sebagai custodian role. Yakni sebuah peran Negara untuk melindungi,
mengawasi serta mencegah prilaku segelintir kelompok yang dapat merugikan masyarakat banyak.
Dalam konteks kesehatan, maka pemerintah wajib melakukan kontrol atas pelayanan kesehatan yang
merugikan masyarakt miskin.
Status miskin sama sekali tidak bisa menghapus tugas Negara untuk menjamin perlindungan atas
mereka, apalagi jaminan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. Masyarakat miskin akan terus-
menerus menjadi korban bila kesehatan hanya diukur berdasarkan kemampuan seseorang dalam
mengeluarkan biaya. Karenanya keberpihakan Negara yang tegas dan jelas harus dibangun agar
keseimbangan hidup rakyat yang selama ini tersisih dan terkoyak bisa pulih kembali.
Penjelasan diatas secara jelas menunjukkan hubungan yang sangat erat antara poltik kesehatan
dan kemiskinan. Tentu para pemimpin politis baik di tingkat Pusat maupun daerah memahami betul
konteks peran Negara (pemerintah) dalam mencover jaminan kesehatan bagi penduduk miskin
sebagai bentuk tanggung jawab politik, terutama berdasarkan pada isu –isu yang diungkapkan saat
kampanye. Bila ini tidak diperhatikan dan dibenahi, pemerintah akan berutang kepada masyarakat.
Politik kesehatan yang dilaksanakan secara sehat, sistematis, dan sesuai dengan prinsip good
governance tentunya akan selalu menjadi harapan bagi masyarakat yang telah memilihnya sebagai
pemimpin.

5. Dinamika Politik Harus Membangun Kesehatan Bangsa

Secara umum, politik kesehatan itu sendiri merupakan interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang terkait permasalahan
kesehatan. Keputusan yang dihasilkan bersifat mengikat dan bertujuan pada kebaikan bersama
masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu. Tetapi dalam realisasi di lapangan justru selalu
ada pihak yang dikorbankan atau dirugikan. Hal ini akibat dinamika politik berkembang dengan
berbagai cara demi kepentingan satu pihak saja. Tampaknya dinamika politik hingga tahun 2013 ini
justru malah membawa bangsa ini semakin mengesampingkan masalah kesehatan, yang seharusnya
menjadi modal dasar dalam meningkatkan kesejahteraan bangsa.
Berbicara mengenai politik kesehatan di Indonesia tentu tidak bisa terlepas akan adanya
kepentingan dan perkembangan politik di setiap daerah maupun proses kepemimpinan di daerah itu
sendiri. Secara umum perkembangan politik yang membangun kesehatan bangsa di daerah akan

19
sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan pusat, daerah maupun pemimpin di sektor kesehatan
suatu wilayah selain permasalahan anggaran.
Sebuah contoh catatan politik yang mungkin bisa disebut sebagai upaya politik dalam
membangun bangsa melalui sektor kesehatan ialah berubahnya sistem sentralistik menuju
desentralisasi. Di Indonesia sendiri desentralisasi dimulai pasca reformasi sekitar tahun 1999-2000,
yang kini tercatat dalam sejarah penting dan ikut mewarnai dunia perpolitikan Indonesia khususnya
bidang kesehatan. Hal itu ditandai dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang membawa angin baru bagi pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi
desentralisasi. Desentalisasi kesehatan dimana pemerintah daerah diberikan wewenang untuk
mengatur sektor sistem kesehatan di daerahnya. Dalam prosesnya, pemerintah daerah sangat
tergantung pada beberapa faktor, yaitu dukungan pembiayaan, kerja sama lintas sektor, dan berbagai
faktor lainnya yang terkait dalam menyukseskan sistem kesehatan di daerahnya.
Tahun 2004 juga telah dilakukan suatu “penyesuaian” terhadap SKN (Sistem Kesehatan
Nasional) 1982. Di dalam dokumen dikatakan bahwa SKN didefinisikan sebagai suatu tatanan yang
menghimpun upaya bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam
Pembukaan UUD 1945. Baru setelah itu muncul UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan yang
kemudian disempurnakan menjadi UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai aturan dasar
bidang kesehatan di Indonesia.

6. Politisasi Anggaran Kesehatan


Jika kita cermati bersama dari sisi politik anggaran kesehatan, komitmen pemerintah daerah di
Indonesia dibanding negara lain masih jauh ketinggalan. Hal ini terlihat dari alokasi untuk kesehatan
dari total Produk Domestik Bruto (GDP), secara umum Indonesia paling rendah dari beberapa negara
lain yaitu hanya 2-3 %. Sedangkan Laos mendekati 5%, Malaysia 10%, Philipina 15% dan Thailand
hampir 7%. Padahal dalam UU No.36 tentang Kesehatan, besar anggaran kesehatan pemerintah
dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan dan belanja negara di luar
gaji. Sedangkan besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dialokasikan
minimal 10% (sepuluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Besaran
anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang
besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Faktanya politik
anggaran kesehatan hingga tahun ini belum terealisasi sesuai minimal anggaran kesehatan dan hal
inilah yang terlihat bahwa politik Indonesia selama ini belum membangun kesehatan. Sebelumnya,
Nafsiah Mboi, Menteri Kesehatan RI, menjelaskan bahwa untuk tahun 2014, pagu indikatif Kemenkes
sebesar Rp 24,67 triliun. Itu berarti menurun cukup signifikan, hampir mencapai 30 persen
dibandingkan tahun 2013. Kepada siapa lagi mau berharap jika di saat isu BBM naik justru malah

20
anggaran kesehatan bangsa kita semakin anjlok. Kini rakyat semakin jauh dari mimpi dimana visi
Indonesia Sehat akan tercapai dengan anggaran yang semakin menurun dari tahun sebelumnya.
Terlebih di saat harga Bahan Bakar Minyak dan kebutuhan lainya meningkat.

7. Politisasi Undang-Undang dan Kebijakan Kesehatan


Selama ini arah pemenuhan kebutuhan tenaga kesehatan masih mengutamakan tenaga kuratif
dibandingkan promotif dan preventif. Hal ini tidak sesuai dengan rencana pembangunan jangka
menengah (RPJMN) 2010-2024, dimana upaya kuratif semakin dikurangi dan upaya promotif dan
preventif semakin ditingkatkan. Faktanya justru kebutuhan tenaga perawat dan dokter yang
merupakan tenaga penunjang saat sakit lebih diutamakan pemerintah dibandingkan tenaga Sarjana
Kesehatan Masyarakat (SKM) yang merupakan ujung tombak kesehatan masyarakat yang bertugas
menyelamatkan yang sehat supaya tidak sakit.
Jadi dari sisi politik anggaran pemerintah daerah dan pusat memang belum berpihak pada
program kesehatan yang telah direncanakan. Minimnya anggaran kesehatan tersebut tentu akan
menimbulkan banyak persoalan seperti kematian ibu dan balita, penyakit menular, penyakit kronik
atau tidak menular, yang secara global akan berdampak kepada menurunya kesehatan masyarakat,
produktifitas manusia, dan angka harapan hidup, distribusi dan kualitas tenaga kesehatan, yang
dampaknya justru akan merugikan negara secara sistemik.
Permasalahan yang terjadi selama ini, telah banyak dilakukan pergantian pemimpin, tetapi
permasalahan kesehatan ibarat jalan ditempat. Padahal sebagian permasalahan kesehatan justru malah
makin meluas dan komplek. Selain hal itu, tidak sedikit pula dalam setiap pergantian pemimpin
daerah yang baru maka muncul pula program baru yang justru kurang mendukung program-program
periode kepemimpinan sebelumnya. Akibatnya fokus penyelesaian masalah kesehatan di daerah tidak
berkembang secara konsisten dan berkelanjutan.
Jika penulis analogikan secara sederhana, bahwa sehat memang bukan segalanya, tetapi jika kita
tidak sehat, maka segalanya akan sia-sia. Oleh karena itu dinamika politik tahun 2018 yang harus
dipersiapkan sejak tahun 2017 ini melalui pencalonan presiden, gubernur/walikota, anggota DPR dan
DPRD haruslah diorientasikan untuk membangun kesehatan bangsa. Sistem kesehatan bangsa dan
daerah yang mudah, efektif dan efisien harus menjadi pondasi sekaligus ujung tombak negara. Hal ini
menjadi sangat penting jika pendapatan daerah dan negara ingin meningkat, begitu pula kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat masih menjadi tujuan utama bangsa, sesuai empat pilar kebangsaan yaitu
Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

21
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Politik dalam arti kepentingan umum adalah suatu rangkaian azas/prinsip, keadaan serta
jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita
kehendaki disertai dengan jalan, cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai tujuan yang
kita inginkan. Politik memiliki pengaruh begitu besar terhadap kebijakan dan pengembangan di
bidang kesehatan.
Politik Kesehatan adalah Ilmu dan seni untuk memperjuangkan derajat kesehatan
masyarakat dalam satu wilayah melalui sebuah sistem ketatanegaraan yang dianut dalam sebuah
wilayah atau negara .
Politik kesehatan atau kebijakan kesehatan memang akhirnya ditentukan oleh keputusan
politik. Kalau kehidupan politik di suatu Daerah tidak sehat, jangan harap kesehatan masyarakat di
daerah itu akan diurus dengan sehat pula. Politik yang sakit akan membiarkan rakyatnya
sakit. Kemiskinan ternyata ikut memperkeruh persoalan kesehatan.
3.2 Saran
Demikian uraian materi tentang Politik dalam Kesehatan, Semoga kebijakan-kebijakan politik
kesehatan di indonesia bisa terlaksana dengan baik dan semua rakyat Indonesia bisa menikmati
haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan layak dan memiliki kesempatan yang
sama untuk mendapatkan jeminan kesehatan pemerintah.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah, S, 2000, Peranan Legislator Dalam Upaya Meningkatkan Pembiayaan Kesehatan


di Indonesia
Aminullah, S,2005, Peranan Anggota Muda IAKMI dalam Mendorong Lahirnya VISI
BARU KESEHATAN INDONESIA untuk mempercepat Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Aminullah, S,2005, Komitmen Politik Oleh ”Aktor-Aktor” Politik Guna Mewujudukan
Indonesia Sehat 2010
http://pcim-rusia.org/dinamika-politik-harus-membangun-kesehatan-bangsa/, akses tgl 25/06/2013.
http://arfandisade-as.blogspot.com/2012/08/politik-kesehatan.html
http://catatanrifki.blogspot.com/2012/12/politik-dan-kesehatan-imu-sosial-dan.html\
http://fujihusada.blogspot.com/p/pengantar-tentang-kebijakan-kesehatan.html

23

Anda mungkin juga menyukai