Anda di halaman 1dari 21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Sindrom Mata Kering

2.1.1. Definisi Sindrom Mata Kering

Sindrom mata kering merupakan penyakit multifaktorial air mata dan

permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan

kabur dan instabilitas lapisan air mata yang berotensi menimbulkan kerusakan

permukaan okular (American Academy of Opthalmology, Ocular Surface, 2014-

2015a). Menurut The definition and classification of dry eye disease: report of the

definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye workshop

(DEWS) 2007, SMK dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu aqueous deficient dan

evaporative dry eye. SMK tipe aqueous tear deficient adalah kelompok mata kering

yang disebabkan oleh karena kurangnya produksi air mata walaupun proses

evaporasi tetap berjalan normal, sedangkan tipe evaporatif adalah kelompok mata

kering yang disebabkan karena penguapan berlebihan air mata walaupun tidak

terjadi gangguan pada proses produksinya.

Sindrom mata kering diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit

menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat kenyamanan,

berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi konjungtiva,

pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi kelenjar

meibom, TBUT, dan nilai tes Schirmer (DEWS., 2007).

7
8

Tabel 2.1
Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)
Derajat
Kriteria 1 2 3 4
Ketidaknyamanan, Ringan Episodik Frekuensi berat dan/atau
berat, dan dan/atau sedang atau berat atau tidak aktif dan
frekuensi episodik; kronis, tetap tanpa tetap
terjadi stress atau stress
dalam tanpa stress
stress
lingkungan

Gejala penglihatan tidak ada episodik Mengganggu, Konstan


atau mengganggu kronik dan/atau tidak
episodik dan/atau dan/atau aktif
ringan membatasi konstan,
aktifitas membatasi
aktifitas

Injeksi tidak ada tidak ada +/- +/++


konjungtiva atau ringan atau ringan

pewarnaan tidak ada Bervariasi sedang hingga Jelas


konjungtiva atau ringan jelas

Pewarnaan kornea tidak ada Bervariasi jelas di sentral


erosi pungtata
atau ringan berat
Tanda pada tidak ada debris Keratitis Keratitis
kornea/ air mata atau ringan ringan, filamentosa, filamentosa,
meniscus penggumpalan penggumpalan
menurun mucus, mucus,
peningkatan peningkatan
debris air debris air
mata mata, ulkus
Kelenjar meibom MGD MGD Sering Trikiasis,
bervariasi bervariasi keratinisasi,
simblefaron

TBUT (detik) Bervariasi ≤ 10 ≤5 Segera

Nilai tes schirmer Bervariasi ≤ 10 ≤5 ≤2


(mm/5 menit)
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015b)
2.1.2. Epidemiologi Sindrom Mata Kering

Epidemiologi SMK meningkat dari tahun ke tahun. SMK merupakan

masalah hampir 35% dari populasi dan dua pertiga penderita adalah wanita dengan

risiko tertinggi pada wanita pasca menopause (Stapleton et al., 2015). Women’s

Health Study dan Physician Health Study memperkirakan sebesar 3,23 juta wanita

dan 1,68 juta pria dari total 4.91 juta masyarakat Amerika berusia 50 tahun ke atas

mengeluh SMK (DEWS, 2007). Penelitian di Iran pada tahun 2014 melaporkan

prevalensi SMK sebesar 8.7% dan prevalensi perempuan mengalami SMK

ditemukan lebih tinggi dibandingkan kejadian SMK pada pria (Hashemi et al.,

2014).

The Beaver Dam population based study menemukan prevalensi SMK

sebesar 14.4% pada populasi berusia di atas 65 tahun (Moss et al., 2004). Insiden

SMK pada pekerja kantor di Jepang mencapai 10.1-21.5%. Suatu studi yang

dilakukan pada 112 pengguna komputer mendapatkan hasil kejadian SMK sebesar

68% pada pria dan 73% pada wanita (Bali et al., 2014).

2.1.3. Faktor risiko Sindrom Mata Kering

Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya SMK telah

teridentifikasi dari berbagai studi, diantaranya usia, jenis kelamin wanita,

penggunaan antihistamin sistemik, pembedahan refraktif, radioterapi, defisiensi

vitamin A, infeksi hepatitis C dan trasplantasi stem cell (Stapleton et al., 2015).

Secara umum terdapat dua penyebab SMK yaitu penurunan cairan aqueous

dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy of Ophthalmology, 2014

2015b; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueous dapat disebabkan oleh
Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan Sindroma

Sjogren, terjadinya penurunan cairan aqueous disebabkan oleh karena gangguan

produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek kelenjar, dan

penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan oleh dua

faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan produksi

kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan reflek

berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan vitamin

A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.3) (American

Academy of Ophthalmology, 2014-2015a).

Gambar 2.1 Klasifikasi Sindrom Mata Kering (SMK)


(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015b)
2.2. Lapisan Air Mata

Permukaan bola mata dilindungi oleh lapisan air mata yang berfungsi

mempertahankan kelembaban permukaan mata, sebagai media pembersih dari

debris, melindungi permukaan mata, dan menyediakan oksigen dan nutrisi kepada

epitel kornea. Lapisan air mata mengangkut zat-zat dan debris kemudian

dikeluarkan melalui pungtum lakrimal, selain itu lapisan air mata juga mengandung

bahan-bahan antimikroba, sebagai lubrikasi antara kornea dan kelopak mata serta

mencegah pengeringan permukaan mata (American Academy of Ophthalmology

Staff, Tear Film, 2014-2015b)

Air mata terdiri dari 98.2% air dan 1.8% zat lainya, dimana dalam keadaan

normal cairan air mata bersifat isotonik dengan osmolalitas 302 mOsm/L (Stahl U

et al., 2012). Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin.

Lapisan air mata memiliki ketebalan sekitar 4-8 µm dan lapisan aqueous

merupakan lapisan paling tebal. Lapisan lipid memiliki ketebalan 0,1-0,2 µm dan

merupakan lapisan yang terletak paling luar yang berfungsi mencegah penguapan

air mata dan mempertahankan stabilitas air mata. Lapisan aqueous di bagian tengah

memiliki ketebalan 7-8 µm merupakan komponen utama lapisan air mata (Holly &

Lemp, 1977). Lapisan aqueous mengandung elektrolit, air, dan protein yang

dihasilkan oleh kelenjar lakrimal utama yang terletak dalam orbita maupun oleh

kelenjar lakrimal tambahan seperti kelenjar Krause dan Wolfring pada konjungtiva.

Protein pada lapisan aqueous meliputi immunoglobulin A (IgA), IgG, IgD dan IgE

yang berperan sebagai mekanisme pertahanan lokal di bagian permukaan mata.

Lapisan aqueous juga berfungsi sebagai pelarut nutrisi, penyedia oksigen, dan

menjaga regularitas kornea. Bagian posterior lapisan air mata adalah lapisan musin
dengan ketebalan 1µm mengandung glikoprotein. Lapisan musin berperan sebagai

barrier dari perlengketan maupun penetrasi partikel asing atau bakteri ke

permukaan bola mata. Lapisan musin ini diproduksi oleh kelenjar goblet

konjungtiva (American Academy of Ophthalmology Staff, Tear Film, 2014-2015a;

American Academy of Ophthalmology Staff, Ocular Surface Disease : Diagnostic

Approach, 2014-2015a).

Lapisan air mata berhubungan langsung dengan lingkungan luar yang dapat

menyebabkan penguapan. Tingkat kelembaban, temperatur dan pergerakan angin

mempengaruhi tingkat penguapan (Borchman et al., 2009; McCulley, 2006).

Penguapan lapisan air mata secara signifikan diperlambat oleh lapisan lipid. Proses

penguapan akan meningkat hingga empat kali jika terdapat gangguan pada lapisan

lipid (Craig & Tomlinson, 1997).

Gambar 2.2 Lapisan air mata manusia (Nichols et al., 2011)


2.3. Anatomi dan Fisiologi Epitel Kornea

Diameter horizontal kornea pada dewasa rata-rata 11.5-12.0 mm (DelMonte et

al., 2011). Bentuk dan kurvatura kornea dipertahankan oleh struktur biomekanik

intrinsik dan lingkungan ekstrinsik. Rigiditas stroma kornea dibagian anterior

mempertahankan bentuk kornea. Kornea manusia terdiri dari 5 lapisan yaitu 3

lapisan selular (epitelium, stroma dan endotelium) dan 2 lapisan antara (lapisan

Bowman dan membran Descemet).

Gambar 2.3 Potongan melintang lapisan sel epitel kornea (DelMonte et al., 2011)

Permukaan epitel kornea merupakan barrier pertama terhadap paparan

lingkungan luar. Lapisan ini tersusun atas 4-6 lapis sel epitel skuamosa non

keratinisasi (40 µm sampai 50 µm) (Farjo et al., 2008). Epitel kornea dan lapisan

air mata diatasnya memiliki hubungan simbiosis baik secara anatomi dan fisiologi.

Lapisan musin yang berhubungan langsung dengan epitel kornea diproduksi oleh

sel goblet konjungtiva dan berinteraksi dengan glikokaliks sel epitel kornea untuk

menciptakan daerah hidrofilik sehingga air mata dapat tersebar secara merata.

Lapisan air mata merupakan pelindung utama kornea dari invasi mikroba dan

mensuplai faktor-faktor imunologi dan pertumbuhan yang penting dalam kesehatan


epitel, proliferasi epitel dan perbaikan epitel (Cameron, 2005). Sel epitel kornea

memiliki masa hidup rata-rata 7-10 hari dan rutin mengalami involusi, apoptosis

dan deskuamasi. Turnover lapisan epitel kornea lengkap terjadi hampir setiap

minggu (Farjo et al., 2008).

2.4. Hubungan Pemakaian Komputer dengan Sindrom Mata Kering

Banyak penelitian yang menunjukkan adanya hubungan erat antara lama

pemakaian komputer terhadap perburukan gejala mata kering. Penelitian University

of South Carolina mengelompokkan penggunaan komputer menjadi ringan (<2 jam

per hari), sedang (2-4 jam per hari) dan berat (> 4 jam per hari). Penelitian Hoesin

pada tahun 2007 menunjukkan rata-rata pemakaian komputer di Indonesia kurang

dari 5 jam per hari pada 16 kota di Indonesia. Penelitian yang dilakukan Dewi

(2009) di Palembang menunjukan 75% pekerja memakai komputer lebih dari 4 jam.

Penelitian Nakazawa (2002) dan Honda (2007) menunjukkan peningkatan

bermakna keluhan mata kering pada pemakai komputer lebih dari 5 jam per hari.

Penelitian Sen (2007) menunjukkan gejala mata kering biasanya dikeluhkan

pemakai komputer setelah pemakain komputer 3 jam terus menerus atau setelah 6

jam pemakaian komputer secara tidak terus menerus (Zubaidah., 2012).

Penelitian oleh Kanitkar (2005) dan Amalia (2010) melaporkan bahwa

SMK dialami oleh pemakai komputer lebih dari 3 jam per hari, sedangkan

penelitian yang dilakukan oleh Fenga (2008) mayoritas SMK dialami oleh pemakai

komputer yang bekerja lebih dari 4 jam per hari. Review oleh Blehm (2005)

mengemukakan bahwa SMK selama pemakaian komputer disebabkan oleh karena

penurunan blink rate atau luasnya paparan kornea akibat dari posisi mata ke
monitor. Proses mengedip merupakan hal yang penting dalam mempertahankan

kondisi fisiologis air mata.

Gambar 2.4 Patofisiologi Sindroma Mata Kering pada Pengguna Komputer

(Zubaidah, 2012)

Frekuensi berkedip normal adalah 16-20 kali per menit. Suatu studi

menunjukkan frekuensi berkedip menurun hingga 6-8 kali per menit pada pemakai

komputer. Studi lainnya melaporkan refleks mengedip saat bekerja di depan

komputer menurun sebesar 66% dibandingkan saat tidak memakai komputer

(Talwar, 2009). Penelitian Tsubota et al. (1993) melaporkan adanya penurunan

refleks mengedip menjadi 7+7 kali per menit. Schlote et al.(2004) juga melaporkan

terjadinya penurunan refleks mengedip yang signifikan pada pemakai komputer


setelah 30 menit berada di depan komputer menjadi 5.9 kali per menit. Faktor pada

komputer seperti pemakaian ukuran huruf yang lebih kecil dan tingkat kontras yang

lebih rendah ternyata juga berpengaruh terhadap penurunan frekuensi berkedip.

Penurunan blink rate ini menyebabkan kualitas dan stabilitas dari lapisan air mata

menjadi kurang baik.

Secara kuantitatif, frekuensi berkedip, interval antara dua kedipan, luas permukaan

okular terpapar dan lebar palpebra terpapar sesuai kegiatan akan disajikan sebagai

berikut:

Tabel 2.2 Frekuensi Berkedip, Interval Antara Dua Kedipan, Luas Permukaan
Okular dan Lebar Palpebra pada Saat Istirahat, Berbicara, Membaca, dan
Menggunakan Komputer (Zubaidah, 2012)

Kegiatan Frekuensi berkedip Interval antara 2 Luas permukaan Lebar palpebral


(kali/menit) kedipan (detik) okular (cm2) (mm)
Istirahat 22 ± 9 2,2 ± 0,4
(Tsubota et al., 1993) (Tsubota et al., 1993)
16 ± 4
(AOA, 2007)

Berbicara 16,8 4,9 ± 1.49


(Schlote et al., 2004) (Schaefer et al., 2009)
21,5 ± 10
(Doughty, 2001)
11,62
(Schaefer et al., 2009)

Membaca 10 ± 6 1.2±0.4
(Tsubota et al., 1993) (Tsubota et al., 1993)

Menggunakan 7±7 10.42 ± 7,78 2,3±0,5


komputer (Tsubota et al., 1993) (Schaefer et al., 2009) (Tsubota et al., 1993)
6,6 ± 4,8
(Schlote et al., 2004)
5,75
(Schaefer et al., 2009)
Posisi layar
a. Bawah 1,2±0,27 5,7 ± 0,98
(Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995)
b. Sejajar 2,2 ± 0,39 9,4 ± 0,14
(Tsubota et al., 1995 (Tsubota et al., 1995)
c. Atas 3,0 ± 0,33 12,1 ± 1,2
(Tsubota et al., 1995) (Tsubota et al., 1995)
Faktor lainnya yang berkontribusi terhadap gejala mata kering pada pemakai

komputer adalah kondisi lingkungan yang buruk seperti panas berlebihan atau

pemakaian air conditioning dan kontaminasi oleh zat kimia ataupun biologis

(Portello et al., 2013).

2.5. Diagnosis Sindrom Mata Kering

Nichols (2004) dan DEWS (2007) menyebutkan bahwa SMK dapat

didiagnosis berdasarkan kumpulan gejala yang biasanya dilakukan dengan

menggunakan instrument kuesioner. Tidak ada kesepakatan mengenai gold

standard dan cut-off value tiap-tiap pemeriksaan SMK (Foulks et al., 2003). SMK

yang ringan tidak akan memberikan hasil yang patologis pada tes Schirmer, tes

BUT, mapun tes objektif lain sebab pasien masih dapat mengompensasi dengan

refleks berair sehingga SMK bersifat hilang timbul. Pengelompokkan derajat

keparahan SMK secara umum menurut DEWS (2007) harus memenuhi kriteria tes

subjektif dan tes objektif.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa sindrom

mata kering antara lain pemeriksaan schirmer, TBUT, rose bengal staining,

fluorescein staining (Lee et al., 2002). Fluorescein staining digunakan untuk

melihat kerusakan epitel kornea dimana fluorescein melekat jika terdapat kerusakan

cell to cell junction, namun erosi kornea juga dapat terjadi karena penggunaan lensa

kontak, paparan akibat tiroid orbitopathy, infeksi. Pemeriksaan ini tidak secara

langsung menunjukkan adanya sindrom mata kering sehingga bukan merupakan

pemeriksaan yang sensitif dan spesifik untuk sindrom mata kering (Zeev et al.,

2014).
Rose bengal staining dapat terlihat pada kornea ataupun konjungtiva yang

mengalami kekurangan musin namun pemeriksaan ini memiliki sensitifitas dan

spesifisitas yang rendah. Rose bengal bersifat toksik pada epitel kornea dan

menyebabkan rasa tidak nyaman saat diteteskan (Zeev et al., 2014). Pemeriksaan

tear break-up time (TBUT) dapat digunakan untuk melihat stabilitas air mata.

TBUT merupakan interval waktu yang diperlukan setelah mata berkedip untuk

terlihatnya kekeringan mata (black spot) yang pertama pada mata yang telah

diteteskan fluorescein. Pemeriksaan ini murah dan mudah dikerjakan namun

memerlukan sinar cobalt blue (Tomlinson et al., 2011; Zeev et al., 2014).

Gejala sindrom mata kering dapat diketahui melalui wawancara dengan

pedoman kuisioner sindrom mata kering. Salah satu kuisioner yang sering

digunakan adalah kuisioner dengan enam pertanyaan yang berhubungan dengan

gejala sindrom mata kering. Kuisioner ini dibuat dan divalidasi pada penelitian

berbasis populasi di Salisbury, Maryland, Amerika Serikat. Pertanyaan dalam

kuisioner ini mudah dimengerti, mudah dikerjakan dan secara sosiokultural dapat

diterima. Kuisioner ini pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan

digunakan pada penelitian berbasis populasi di Provinsi Riau pada tahun 2002 (Lee

et al., 2002).

Penderita dikatakan menderita gejala sindrom mata kering jika terdapat > 1

gejala dengan jawaban sering atau selalu. Adanya gejala mata kering berdasar

kuisioner tersebut dijabarkan dalam 4 kelompok yaitu jarang (setidaknya 1x dalam

3-4 bulan), kadang (setidaknya 1x dalam 2-4 minggu), sering (setidaknya 1x dalam

1 minggu) dan selalu (Lee et al., 2002).


Tabel 2.3. Contoh Kuesioner Sindrom Mata Kering (Lee et al., 2000)

1. Do your eyes ever feel dry?

2. Do you ever feel a gritty or sandy sensation in your eye?

3. Do your eyes have a burning sensation?

4. Are your eyes ever red?

5. Do you notice much crusting onyour lashes?

6. Do your eyes ever get stuck shut in the mornig

Possible answer to the question were ‘none’, ‘rarely or sometimes’, and ‘often or
all the time. Subjectively dry eye define as having one or more symptom ‘often or
all time’.

Penelitian membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara gejala dan

tanda klinis sindrom mata kering sehingga beberapa penelitian sebelumnya

menggunakan kuisioner saja untuk menegakkan diagnosa sindrom mata kering.

Metode subyektif untuk mendiagnosa sindrom mata kering juga memiliki nilai

klinis karena gejala sindrom mata kering secara langsung mempengaruhi kualitas

hidup seseorang (Um et al., 2014).

2.6. Central Corneal Thickness (CCT)

Central Corneal Thickness (CCT) merupakan parameter yang esensial dalam

pengukuran tekanan intraokular pada pasien glaukoma serta pasien yang akan

menjalani pembedahan refraktif (Valdez et al., 2016). Rata-rata ketebalan kornea

bagian sentral yang normal berkisar 540 µm. Bagian paling tipis di kornea terletak

1.5 mm temporal dari bagian tengah dan menebal di bagian parasentral dan perifer.

The Ocular Hypertension Treatment Study (OHTS) melaporkan bahwa

rerata ketebalan kornea sentral sebesar 573 ± 39 µm (Brandt et al., 2001). Penelitian
meta analisis dari 300 artikel oleh Doughty dan Zaman melaporkan nilai rerata CCT

mata normal adalah 534 µm (Doughty et al., 2000). Ketebalan kornea sentral

dipengaruhi oleh banyak hal. Penelitian oleh Garcia (2016) melaporkan rerata CCT

pada umur < 20 tahun berkisar 558.82 µm, diantara umur 20 tahun dan 40 tahun

berkisar 545.84 µm dan diatas 40 tahun berkisar 536.93 µm.

Penelitian sebelumnya meunjukkan bahwa nilai CCT menurun sejalan

dengan peningkatan umur (Alsbirk, 1978; Foster et al., 1998). OHTS mendapatkan

hasil bahwa umur dan nilai CCT memiliki nilai korelasi negatif yang signifikan dan

penipisan yang terjadi adalah sebesar 6,3 µm per dekade (Brandt et al., 2001).

Penelitian oleh Foster juga mendapatkan nilai yang sama yaitu terjadi penipisan

sebesar 10 µm per dekade (Foster et al., 1998).

OHTS mendapatkan nilai CCT pada wanita lebih tebal sekitar 5 µm

daripada CCT pria (Brandt et al., 2001). Penelitian Leksul et al mendapatkan hasil

terdapat korelasi yang signifikan antara nilai CCT dengan jenis kelamin, sedangkan

penelitian Mohamed menemukan sebaliknya yaitu tidak adanya korelasi yang

signifikan antara nilai CCT dengan jenis kelamin (Mohamed et al., 2009).

Penelitian yang dilakukan oleh Mohamed melaporkan nilai rerata CCT

pada mata miopia adalah 449 µm ± 39.26, emmetropia 542 µm ±46.35 dan pada

hipermetropia 557 µm ± 41,83 (Mohamed et al., 2009). Hasil tersebut konsisten

dengan penelitian yang dilakukan oleh Nemesure et al yang menyimpulkan bahwa

nilai CCT memiliki hubungan dengan kelainan refraksi (Nemesure et al., 2003).

Penelitian Price et al menemukan hal berbeda yaitu nilai CCT tidak berkorelasi

dengan kelainan refraksi (Price et al., 1999).


Penyakit sistemik seperti hiperglikemia maupun diabetes juga

mempengaruhi nilai CCT. Penelitian Daniel yang dilakukan untuk mengetahui

hubungan antara diabetes dan hiperglikemia dengan CCT pada penduduk Melayu

di Singapura setelah melakukan kontrol terhadap umur dan jenis kelamin

mendapatkan nilai CCT pada penderita diabetes secara signifikan lebih tebal

dibandingkan yang tidak mengalami diabetes (Su et al., 2008). Hasil penelitian

tersebut sejalan dengan hasil OHTS yang mendapatkan perbedaan ketebalan kornea

±10 µm lebih tebal pada penderita diabetes (Brandt et al., 2001)

2.7. Central Corneal Thickness Pada Sindrom Mata Kering

Penurunan frekuensi berkedip dan memanjangnya interval antara dua kedipan

saat menggunakan komputer menyebabkan luasnya permukaan okular yang

terpapar sehingga memperpanjang waktu paparan permukaan okular terhadap

evaporasi (Doughty, 2001; Schaefer et al., 2009). Peningkatan evaporasi dan waktu

pembentukan tear film (TF) yang tidak dapat mengimbangi cepatnya ruptur TF

menyebabkan munculnya gejala SMK (Wolkoff et al., 2005). Evaporasi yang

berlebihan dapat berkontribusi terhadap peningkatan osmolaritas mata kering

(Craig et al., 2000). Peningkatan osmoralitas air mata menyebabkan aktivasi jalur

inflamasi MAP kinase dan NFkB (Li et al., 2004) dan dilepaskannya sitokin

inflamasi (IL-1α;IL-1ß) dan MMP-9 (De Paiva et al., 2006). Pelepasan dari sitokin

tersebut menstimulasi sel inflamatori pada permukaan okular (Baudouin, 2007).

Rangkaian pelepasan sitokin inflamasi ini menyebabkan kematian dari sel epitel

pada permukaan okular, termasuk sel goblet (Yeh et al., 2003). Penurunan jumlah

sel goblet menyebabkan berkurangnya produksi musin (Argueso et al., 2002).


Kondisi ini menyebabkan penurunan stabilitas dari air mata. (DEWS, 2007).

Mediator inflamatori seperti tumor necrosis factor A dan interleukin-1 akibat dari

kondisi hiperosmolar menyebabkan gangguan pada suplai saraf kornea (Acosta et

al., 2007) sehingga terjadi penurunan aliran air mata.

Etiologi dari berkurangnya ketebalan kornea pada SMK masih belum

sepenuhnya dimengerti. Faktor yang terlibat dalam penipisan ketebalan kornea

meliputi peningkatan evaporasi dari lapisan air mata yang menyebabkan

peningkatan osmolaritas dari air mata sehingga terjadi penurunan ketebalan lapisan

air mata. Proses apoptosis juga masih menjadi hipotesis yang dapat mengakibatkan

penurunan ketebalan kornea pada SMK. Suatu penelitian dengan menggunakan

tikus sebagai subyek percobaan menunjukkan bahwa suatu kondisi kering

menstimulasi sel untuk berproliferasi akibat kerusakan dari epitelium (Fabiani et

al., 2009). Penelitian Yeh et al menemukan proses apoptosis berperan dalam

patogenesis epiteliopati akibat SMK. Apoptosis yang berlebihan atau lepasnya

jaringan epitel yang tidak dapat dikompensasi dapat menyebabkan penipisan epitel

pada SMK berat. Penurunan ketebalan stroma kornea pada pasien SMK dengan

Sjogren syndrome melalui pemeriksaan confocal microscopy menyimpulkan bahwa

aktivitas proteolitik juga berperan dalam penurunan tersebut (Villani et al., 2007).

Penurunan ketebalan kornea sentral juga dilaporkan pada pasien SMK tipe

aqueous tear deficiency yang diperiksa dengan menggunakan alat dengan orbscan

pachymetry (Liu et al., 1999). Ketebalan kornea pada penelitian terhadap wanita

postmenopause dengan SMK ditemukan lebih tipis dibandingkan wanita

postmenopause tanpa SMK (Sanchis et al., 2005). Penelitian lainnya menemukan

bahwa hasil pemeriksaan ketebalan kornea dengan menggunakan ultrasonic


pachymetry didapatkan tidak berbeda antara pasien dengan Disfungsi Kelenjar

Meibom (DKM) dibandingkan dengan subjek sehat (Salman et al., 2011). Dayanir

(2004) melaporkan adanya penurunan ketebalan kornea yang signifikan jika kornea

mengalami kekeringan selama 1 menit.

2.8. Air Mata Buatan

Tetes air mata buatan (artificial tears) masih menjadi lini pertama dalam terapi

pasien dengan SMK. Tetes mata ini biasanya terbuat dari cairan yang bersifat

hipotonik atau isotonik yang mengandung elektrolit, surfaktan dan agen viskositas.

Tetes mata ini idealnya tanpa mengandung pengawet dan terdapat potassium,

bikarbonat dan elektrolit lainnya yang dapat meningkatkan waktu retensi.

Kandungannya seharusnya memiliki pH yang netral atau sedikit basa. Osmolaritas

tetes air mata buatan sebaiknya berkisar 181 to 354 mOsm/L sehingga integritas

kornea dan conjunctival epithelial cell-to-cell junction terjaga (DEWS, 2007).

Polyvinylpyrolidone (PVP) memiliki sifat pelarut, dapat membentuk suatu film

dan mempertebal sehingga dapat meningkatkan ketersediaan bioavailabilitas pada

permukaan okular (Folttmann et al., 2008). PVP memiliki molekul bipolar dengan

polaritas yang tinggi sehingga dapat berikatan dengan lapisan musin melalui ikatan

hidrogen atau elektrostatis (Saraswati et al., 2013). Sifat bipolar dan polaritas yang

tinggi juga memungkinkan PVP berikatan dengan air. Ikatannya pada lapisan musin

pada satu sisi dan ikatannya dengan air di sisi lain dapat menjaga stabilitas dari

lapisan air mata (Haaf et al., 1985).

2.9. Asam Lemak Omega 3


Omega-3 dan omega-6 merupakan lemak esensial yang diperlukan pada proses

pertumbuhan dan perkembangan. Asam lemak omega-3 terdiri atas 2 subkelas pada

dalam diet manusia yang bersumber dari tumbuhan dan makanan laut. Subkelas

pertama yang lebih dahulu diketahui terdiri dari 1 asam lemak omega-3 yaitu α-

linolenic acid (ALA) dan subkelas kedua terdiri dari 3 asam lemak omega-3 yaitu

eicosapentaenoic acid (EPA), docosapentaenoic acid (DPA) dan docosahexaenoic

acid (DHA) (Macsai, 2008; Harris & Jacobson, 2009).

Omega-3 dan omega-6 bersaing untuk enzim yang sama untuk akhirnya akan

dikonversi menjadi prostaglandin anti inflamasi (PGE3) dan leukotrin inflamasi

rendah pada omega-3 dan omega-6 dikonversi mejadi prostaglandin pro inflamasi

(PGE2) dan leukotrin dengan inflamasi lebih banyak. Calder (2003)

mendemontrasikan bahwa produksi berlebihan dari PGE2 dan produksi yang

rendah dari PGE1 dan PGE3 yang bersifat anti infalmasi terjadi pada perbandingan

omega-6 dan omega-3 yang tinggi (Macsai, 2008; Calder, 2003).

Omega-3 memodulasi metabolisme prostaglandin melalui sintesis PGE3

sebagai inhibitor kompetitif pada jalur asam arakidonat. Pada fase awal terjadinya

inflamasi, sejumlah besar interleukin dan mediator lipid dilepaskan. Eikosanoid

proinflamasi dari metabolism arakhidonat dilepaskan dari membran fosfolipid di

tempat inflamasi diaktifkan. Eicosapentaenoic acid berkompetisi dengan asam

arachidonat untuk sintesis prostaglansin dan leukotriene antiinflamasi oleh EPA

dan proinflamasi oleh asam arakidonat pada tingkat siklooksigenasi dan

lipooksigenasi (Macsai, 2008).

Peningkatan jumlah EPA dan DHA sistemik menyebabkan: (1). penurunan

produksi prostaglandin E2, (2). penurunan thromboxane A2, platelet aggregator dan
vasokonstriktor poten, (3). penurunan pembentukan leukotriene B4, pemicu

inflamasi, kemotaksis leukosit dan aderen, (4). Peningkatan thromboxane A3,

platelet aggregator dan vasokontriktor lemah, (5) peningkatan prostasiklin PGI3,

inhibitor agregasi platelet (6). Peningkatan leukotriene B5, pemicu inflamasi dan

agen kemotaksis yang lemah (Macsai, 2008).

Gambar 2.5 Jalur metabolik omega-3 dan omega-6 (Macsai, 2008)

Efek samping yang bisa terjadi bila mengkonsumsi omega-3 adalah alergi

terhadap omega-3, rasa tidak nyaman seperti mual, peningkatan terjadinya

perdarahan dan peningkatan risiko kanker prostat pada laki-laki. Perdarahan terjadi

karena omega-3 menghambat fungsi platelet melalui mekanisme kompetisi dengan

asam arachidonat yang berperan pada pembentukan eikosanoid pada

siklooksigenase (Harris & Jacobson, 2009). Pasien yang mendapat dosis omega-3
dengan rentang 2-5 gram per hari tidak ditemukan bukti adanya peningkatan

tendensi terjadinya perdarahan (Macsai, 2008).

Hubungan antara konsumsi omega-3 dengan kejadian kanker prostat masih

menjadi kontroversi. Peningkatan risiko terjadinya kanker prostat diketahui

berdasarkan peningkatan kadar serum prostat spesifik antigen (PSA) pada subyek

yang mendapatkan suplemen omega-3 (Brouwer et al., 2013). Kadar PSA pada

pasien yang mengkonsusi omega-3 didapatkan sebesar 0,52 ng/mL dibandingkan

dengan placebo sebesar 0,42 ng/mL namun secara statistik tidak bermakna

(Brouwer et al., 2013).

Mekanisme kerja omega 3 pada penanganan disfungsi kelenjar meibom

diantaranya pemecahan dari omega-3 sebagai molekul anti inflamasi yang dapat

menekan jalur inflamasi dan mengubah komposisi dari asam lemak yang disekresi

oleh kelenjar meibom menjadi asam lemak tidak jenuh dimana berada dalam

kondisi cair pada temperatur tubuh yang dapat mencegah terjadinya sumbatan pada

duktus kelenjar meibom (Epitropoulos et al., 2016). Penelitian pemakaian omega-

3 pada SMK menunjukkan perbaikan yang signifikan pada gejala SMK, penurunan

dari tingkat evaporasi air mata, meningkatkan densitas dari sel goblet dan perbaikan

morfologi epitel selular (Bhargava et al., 2005).

Anda mungkin juga menyukai