Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

World Health Organization (WHO) memiliki beberapa istilah berbeda


terkait dengan AKI. Istilah pertama adalah maternal death atau kematian ibu,
yang didefinisikan sebagai kematian yang terjadi saat kehamilan, atau selama 42
hari sejak terminasi kehamilan, tanpa memperhitungkan durasi dan tempat
kehamilan, yang disebabkan atau diperparah oleh kehamilan atau pengelolaan
kehamilan tersebut, tetapi bukan disebabkan oleh kecelakaan atau kebetulan.
Konsep maternal death ini berbeda dengan konsep maternal mortality ratio, atau
yang lebih dikenal sebagai Angka Kematian Ibu (AKI), jika mengacu pada
definisi Badan Pusat Statistik (BPS). Baik BPS maupun WHO
mendefinisikan maternal mortality ratio/AKI sebagai angka kematian ibu per
100.000 kelahiran hidup (WHO, 2004; BPS, 2012).

Kekhawatiran terkait dampak dari tingginya kasus kematian ibu


mendorong WHO dan organisasi-organisasi internasional lain untuk
melahirkan The Safe Motherhood Initiative . Konsep safe motherhood sendiri
mencakup serangkaian upaya, praktik, protokol, dan panduan pemberian
pelayanan yang didesain untuk memastikan perempuan menerima layanan
ginekologis, layanan keluarga berencana, serta layanan prenatal, delivery,
dan postpartum yang berkualitas, dengan tujuan untuk menjamin kondisi
kesehatan sang ibu, janin, dan anak agar tetap optimal pada saat kehamilan,
persalinan, dan pasca-melahirkan . Salah satu dari 6 pilar dari safe motherhood ,
yaitu tentang perawatan antenatal termasuk dalam hal ini pemantauan faktor-
faktor resiko yang dapat menimbulkan komplikasi kehamilan , salah satunya
adalah kasus hipertensi pada kehamilan. (Women & Children First, 2015).

1
Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) tahun
2015 menunjukkan bahwa dari 100.000 kelahiran hidup di Indonesia, 305 di
antaranya berakhir dengan kematian ibu , artinya dalam sehari terdapat 2 ibu
meninggal . Kematian ibu umumnya terjadi akibat komplikasi saat , dan pasca
kehamilan. Adapun jenis-jenis komplikasi yang menyebabkan mayoritas kasus
kematian ibu sekitar 75% dari total kasus kematian ibu adalah pendarahan, infeksi,
tekanan darah tinggi saat kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi yang tidak
aman . Untuk kasus di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Pusat Kesehatan
dan Informasi Kemenkes penyebab utama kematian ibu sampai tahun 2015 adalah
hipertensi pada kehamilan (30.3% ) dan pendarahan (27.1% ) (WHO, 2014;
KEMENKES ,2015).

Lampung merupakan provinsi ke-4 terbanyak setelah provinsi Jawa Barat ,


Sulawesi Selatan , dan Jawa Timur dalam melakukan program Puskesmas yang
bekerjasama dengan Unit Tranfusi Darah (UTD) dalam upaya menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) , yaitu sekitar 223 Puskesmas tersebar di 11 kabupaten/kota
dari 3437 Puskesmas keseluruhan . Artinya upaya dalam menurunkan tingkat
kematian melalui sarana sudah cukup baik . Bila dilihat berdasarkan kasus
kematian yang ada di Provinsi Lampung tahun 2015 , penyebab kasus kematian
ibu di Provinsi lampung tahun 2015 disebabkan oleh perdarahan sebanyak 46
kasus, hipertensi sebanyak 35 kasus, infeksi sebanyak 7 kasus, ganguan sistem
peredaran darah sebanyak 10 kasus, gangguan metabolik sebanyak 3 kasus dan
lain-lain sebanyak 48 kasus. (KEMENKES , 2017;)

Upaya penurunan AKI sangat berhubungan dengan peningkatan cakupan


persalinan oleh tenaga kesehatan. Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di
Provinsi Lampung mengalami kenaikan yang cukup signifikan dimana tahun 2009
cakupan persalinan nakes (Pn) sebesar 84,86 %, tahun 2010 sebesar 82,55%,
tahun 2011 sebesar 87,27%, tahun 2012 sebesar 89,10% dan tahun 2013 sebesar
88,06%, namun angka ini belum mencapai target yang diharapkan yaitu 89%
persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Oleh karena itu tenaga kesehatan harus
lebih jeli dalam menilai faktor-faktor apa saja yang dapat meningkatkan angka

2
kejadian kematian pada ibu khususnya ibu selama kehamilan . (Dinkes Lampung ,
2017)

Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Lampung Selatan pada tahun


2017 lebih rendah dari AKI pada tahun 2016. Hal ini ditandai dengan menurunnya
AKI pada tahun 2017 sebesar 52,68 per 100.000 KH (11 kasus) dari sebelumnya
pada tahun 2016 sebesar 74 per 100.000 KH (15 kasus ), selain itu juga trend
capaian AKI di Kabupaten Lampung Selatan dari tahun 2013 selalu dibawah
target AKI pada Renstra Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung Selatan. Penyebab
kematian ibu pada tahun 2017 berdasarkan hasil Audit Maternal Perinatal (AMP)
adalah pendarahan 81,81% (9 kasus), eklampsia 9,09% (1 kasus) dan Emboli Air
Ketuban 9,09% (1 kasus), penyebaran kasus kematian ibu pada tahun 2017
terdapat di wilayah kerja Puskesmas RI Rajabasa (2 kasus), Puskesmas RI
Katibung, Puskesmas RI Penengahan, Puskesmas Natar, Puskesmas Way Sulan,
Puskesmas Tanjung Agung, Puskesmas Hajimena, Puskesmas Way Panji,
Puskesmas Way Urang, Puskesmas Karang Anyar, dengan masing-masing 1
kasus. ((Dinkes Lampung Selatan , 2017)

Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang


banyak diderita oleh seluruh masyarakat di dunia. Sekitar satu juta orang di
dunia menderita hipertensi dan dua diantara tiga orang tersebut berada di
negara berkembang. Menurut data World Health Organization (WHO) angka
kematian ibu hamil disebabkan oleh hipertensi mencapai 14% dari
keseluruhan kasus kematian ibu hamil, diketahui jumlah kematian ibu hamil
global sekitar 210 kematian pada tahun 2013. Selain di kawasan Benua
Afrika yang mencapai kematian ibu hamil tertinggi di dunia yaitu diatas 410
kematian adapun untuk daerah kawasan Benua Asia khususnya daerah bagian
Asia Tenggara mencapai rata-rata dibawah 100 kematian. Sehingga secara
umum didapatkan bahwa hipertensi pada kehamilan mempunyai pengaruh
yang besar pada penurunan kematian ibu hamil.(Leida , 2015; WHO , 2015)

Hipertensi dalam masa kehamilan atau yang disebut dengan pre-


eklampsia, adalah adanya tekanan darah lebih dari 140 / 90 pada masa
kehamilan. Terdapat klasifikasi yang membagi beberapa jenis hipertensi

3
dalam kehamilan ini. Penyebab terjadinya hipertensi pada kehamilan masih
menjadi perdebatan namun diperkirakan faktor penyebab yang penting adalah
adanya implantasi plasenta yang invasif dan abnormal pada rahim, adanya
reaksi imunologis yang keliru terhadap adanya janin, serta adanya faktor
genetik yang diturunkan. Teori lain menyebutkan adanya kekurangan asupan
beberapa zat gizi dan adanya gangguan dalam pembentukan prostaglandin,
maupun pada zat yang mempengaruhi kekakuan dari pembuluh darah.

Hipertensi dalam kehamilan mencakup 12% dari kematian ibu di


seluruh dunia. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2015 didapatkan
bahwa kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama
kematian yaitu perdarahan, Hipertensi dalam Kehamilan (HDK), dan infeksi.
Namun, proporsinya telah mengalami perubahan, diketahui perdarahan dan
infeksi cenderung mengalami penurunan sedangkan HDK proporsinya
semakin meningkat. Salah satu penyebab kematian ibu hamil yaitu hipertensi
dalam kehamilan. Hipertensi ini terjadi karena berbagai macam faktor yang
sudah dilakukan penelitian dari beberapa penelitian ditemukan faktor-faktor ,
yaitu umur, tingkat pendidikan, dukungan keluarga, stres, penambahan berat
badan dan dukungan keluarga.(Nelawati , 2015)

Berdasarkan uraian di atas, penulis mengemukakan bahwa walaupun


di Kabupaten Lampung Selatan penyebab kematian ibu lebih banyak karena
perdarahan , khususnya di Puskesmas Katibung yang menyumbang 1 dari 11
kasus . Kejadian hipertensi pada ibu hamil (9,09%) di UPT Puskesmas
Rawat Inap Katibung (1 kasus dari 11 kasus kematian ibu di Kabupaten
Lampung Selatan) merupakan salah satu masalah sehingga penulis tertarik
untuk melakukan penelitian mengenai hipertensi pada ibu hamil. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui mengenai faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada ibu hamil di
UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung Selatan .

4
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok


permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran faktor-
faktor kejadian hipertensi pada ibu hamil di UPT Puskesmas Rawat Inap
Katibung Lampung Selatan ?” .

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam kejadian hipertensi


pada ibu hamil di UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung Selatan

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi pada kehamilan dengan


umur pada saat ibu hamil di UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung
Selatan

2. Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi pada kehamilan dengan


paritas di UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung Selatan

3. Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi pada kehamilan dengan


berat badan di UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung Selatan

4. Untuk mengetahui hubungan antara hipertensi pada kehamilan dengan


riwayat kehamilan sebelumnya , faktor keturunan dan penyakit yang diderita
ibu hamil di UPT Puskesmas Rawat Inap Katibung Lampung Selatan

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Agar dapat mengetahui faktor-faktor apa saja yang berperan dalam


kejadian hipertensi khususnya pada ibu hamil .

5
1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan:

1. Dapat memberi informasi kepada masyarakat khususnya ibu


hamil, agar dapat lebih memperhatikan pencegahan terjadinya
hipertensi .
2. Dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam
mempelajari , mengidentifikasi dan mengembangkan teori-teori
tentang hipertensi pada ibu hamil

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi Dalam Kehamilan

2.1.1 Definisi

Hipertensi dalam kehamilan (HDK), adalah suatu suatu keadaan


yang di temukan sebagai komplikasi medic pada wanita hamil dan
sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Secara
umum hipertensi dalam pada kehamilan adalah hipertensi yang terjadi
saat kehamilan berlangsung dan biasanya pada bulan terakhir kehamilan
atau lebih setelah 20 minggu usia kehamilan pada wanita yang
sebelumnya normotensif, tekanan darah mencapai nilai 140/90 mmHg,
atau kenaikan tekanan sistolik 30 mmHg dan tekanan diastolik 15
mmHg di atas nilai normal yang diukur paling kurang 6 jam pada saat
yang berbeda. (Junaidi , 2010)

Hingga saat ini hipertensi dalam kehamilan masih merupakan


salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janinnva.
Upaya pencegahan terhadap penyakit ini dengan sendirinya akan
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Untuk itu
diperlukan bukan hanya pengetahuan mengenai patofsiologi tetapi juga
cara-cara deteksi dini dan cara intervensi terhadap perubahan yang
terjadi dalam proses penyakit tersebut.

2.1.2 Epidemiologi

Hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan


mortalitas maternal dan perinatal. Hipertensi diperkirakan menjadi
komplikasi sekitar 7-10% seluruh kehamilan. Dari seluruh ibu yang

7
mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai dua pertiganya
didiagnosis mengalami preeklampsi atau eklampsi (Bobak, 2005)

Di Indonesia, mortalitas dan morbiditas hipertensi pada kehamilan


juga masih cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh etiologi yang tidak
jelas, dan juga perawatan dalam persalinan masih ditangani petugas non
medik serta sistem rujukan yang belum sempurna. Hipertensi pada
kehamilan dapat dipahami oleh semua tenaga medik baik di pusat
maupun di daerah ( Prawirohardjo, 2013).

2.1.3 Etiologi

Penyebab Hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum


diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang
terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak
dianut adalah :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel


trofoblas pada sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap
kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relative mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan “remodeling
arteri spiralis”, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas


Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling arteri spiralis”,
dengan akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang

8
mengalami iskemia dan hipoksia akan menghasilkan oksidan
(disebut juga radikal bebas).

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka


terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari
membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi endotel.

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan
ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta,
menghambat invasi trofoblas ke dalam desidua. Invasi trofoblas
sangat penting agar jaringan desidua menjadi lunak, dan gembur
sehingga memudahkan terjadinaya reaksi inflamasi .

4. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter


terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya daya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan
vasopresor pada hipertensi . dalam kehamilan sudah terjadi pada
trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan
pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai
prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori defisiensi gizi

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan


defisiensi gizi berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di inggris ialah
penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu

9
sebelum pecahnya Perang Dunia ke II. Suasana serba sulit mendapat
gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan
insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan
bahwa konsumsi minyak ikan, termaksud minyak hati halibut dapat
mengurangi risiko preeclampsia.

6. Teori inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di
dalam sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses
inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga msih dalam batas
normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana
ada preeklampsia terjadi peningkatan stresoksidatif, sehingga
produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat.
Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta
besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidatif kan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofobls juga makin
meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam
darah ibu menjadi juh lebih besar, dibanding reaksi inflamsi pada
kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan mengaktifasi sel
endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-
gejala pada preeklampsia pada ibu .

2.1.4 Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Klasifikasi yang dipakai di Indonesia adalah berdasarkan The

National High Blood Pressure Education Program Working Group on

High Blood Pressure in Pregnancy (NHBPEP) memberikan suatu

klasifikasi untuk mendiagnosa jenis hipertensi dalam kehamilan,

(NHBPEP, 2000) yaitu :

a. Hipertensi kronik

10
Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur
kehamilan 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
setelah umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi menetap sampai 12
minggu pasca persalinan.

b. Pre Eklampsia

Pre eklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi ,


oedema dan proteuria yang timbul karena kehamilan

c. Preeklampsia pada hipertensi kronik (preeclampsia superimposed


upon chronic hypertension)

Hipertensi kronik disertai tanda-tanda preeklampsi atau hipertensi


kronik disertai proteinuria.

d. Eklampsia

Istilah eklampsia berasal dari bahasa Yunani dan berarti


“halilintar” dipakai karena seolah-olah gejala eklampsia timbul dengan
tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Pada umumnya kejang
didahului makin memburuknya preeclampsia dan terjadinya gejala-
gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri
di epigastrium dan hiperrefleksia .

e. Hipertensi Gestasional
Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang
timbul pada kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi
menghilang setelah 3 bulan pascapersalin, kehamilan dengan
preeklamsi tetapi tanpa proteinuria .

Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis antara hipertensi


kronik, hipertensi gestasional dan preeklampsia

Hipertensi Hipertensi
Gambaran Klinis Preeklampsia
Kronik Gestasional

11
Saatnya Muncul Kehamilan Biasanya Kehamilan <20

Hipertensi <20 minggu trimester III Minggu

Derajat HT Ringan-berat Ringan Ringan-berat

Proteinuria Tidak ada Tidak ada Biasanya ada

Serum Urat > 5,5 Ada padasemua

Jarang Tidak ada


mg/dl kasus

Ada pada kasus


Hemokonsenterasi Tidak ada Tidak ada
preeklampsi berat

Ada pada kasus


Trombositopenia Tidak ada Tidak ada
preeklampsi berat

Ada pada kasus


Disfungsi Hati Tidak ada Tidak ada
preeklampsi berat

2.1.5
Faktor Risiko hipertensi pada ibu hamil

Hiprtensi dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial .


Beberapa faktor risiko dari hipertensi dalam kehamilan adalah (Katsiki N et al.,
2010) :

1. Faktor maternal
a. Usia maternal
Usia yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah usia

20-30 tahun. Komplikasi maternal pada wanita hamil dan

melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih

tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29

tahun. Dampak dari usia yang kurang, dapat menimbulkan

komplikasi selama kehamilan. Setiap remaja primigravida

12
mempunyai risiko yang lebih besar mengalami hipertensi dalam

kehamilan dan meningkat lagi saat usia diatas 35 tahun (Manuaba

C, 2007)

Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang

semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun

mempunyai resiko terkena hipertensi. Risiko tinggi bila ibu berumur

<20 tahun dan > 35 tahun sedangkan risiko rendah bila umur ibu 20

– 35 tahun. Dengan bertambahnya umur, resiko terkena hipertensi

lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut

cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50% diatas

umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya

dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang

hipertensinya meningkat ketika berumur lima puluhan dan enam

puluhan.

b. Paritas (Primigravida)

Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama.


Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari kejadian
preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada grandemultigravida.
Risiko tinggi bila frekuensi kehamilan > 4 kali sedangkan risiko
rendah bila < 4 kali.Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun
juga dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003)

Sekitar 85% hipertensi dalam kehamilan terjadi pada kehamilan


pertama. Jika ditinjau dari kejadian hipertensi dalam kehamilan,
graviditas paling aman adalah kehamilan kedua sampai ketiga (Katsiki
N et al., 2010).

13
c. Riwayat keluarga

Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan.


Hal tersebut dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan
hipertensi dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).

Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga


yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi.
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor
keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama
pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan
penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat.

Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki


kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang
tuanya menderita hipertensi. Menurut Sheps, hipertensi cenderung
merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita
mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup kita mempunyai 25%
kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua orang tua kita
mempunyai hipertensi, kemungkunan kita mendapatkan penyakit
tersebut 60%.

d. Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi kronis yang dialami selama kehamilan

dapat meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dalam kehamilan,

dimana komplikasi tersebut dapat mengakibatkan superimpose

preeclampsi dan hipertensi kronis dalam kehamilan (Manuaba,

2007).

e. Tingginya indeks massa tubuh


Tingginya indeks massa tubuh merupakan masalah gizi karena
kelebihan kalori, kelebihan gula dan garam yang bisa menjadi faktor
risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti

14
diabetes melitus, hipertensi dalam kehamilan, penyakit jantung
koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker) dan
gangguan kesehatan lain. Hal tersebut berkaitan dengan adanya
timbunan lemak berlebih dalam tubuh (Muflihan FA, 2012).

f. Obesitas

Obesitas atau kegemukan dimana berat badan mencapai indeks


massa tubuh > 25 (berat badan (kg) dibagi kuadrat tinggi badan (m)
juga merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi.
Obesitas merupakan ciri dari populasi penderita hipertensi. Curah
jantung dan sirkulasi volume darah penderita hipertensi yang obesitas
lebih tinggi dari penderita hipertensi yang tidak obesitas. Pada obesitas
tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf
simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. .

g. Gangguan ginjal
Penyakit ginjal seperti gagal ginjal akut yang diderita pada ibu

hamil dapat menyebabkan hipertensi dalam kehamilan. Hal tersebut

berhubungan dengan kerusakan glomerulus yang menimbulkan

gangguan filtrasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (Muflihan FA,

2012).

2. Faktor kehamilan
Faktor kehamilan seperti molahilatidosa, hydrops fetalis dan

kehamilan ganda berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan.

Preeklampsi dan eklampsi mempunyai risiko 3 kali lebih sering

terjadi pada kehamilan ganda. Dari 105 kasus bayi kembar dua,

didapatkan 28,6% kejadian preeklampsi dan satu kasus kematian ibu

karena eklampsi (Manuaba, 2007).

15
3. Genetik

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti


dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada
kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel
telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi
primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya
berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda
dan gejala.

4. Kebiasaan Merokok

Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara


rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak
dibuktikan. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung
pada jumlah rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu
pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada
mereka yang tidak merokok. Nikotin dalam tembakau merupakan
penyebab meningkatnya tekanan darah segara setelah isapan pertama.
Seperti zat-zat kimia lain dalam asap rokok, nikotin diserap oleh
pembuluh-pembuluh darah amat kecil didalam paru-paru dan
diedarkan ke aliran darah. Hanya dalam beberapa detik nikotin sudah
mencapai otak.

Otak bereaksi terhadap nikotin dengan memberi sinyal pada


kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin (adrenalin). Hormon yang
kuat ini akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung
untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi. Setelah
merokok dua batang saja maka baik tekanan sistolik maupun diastolik
akan meningkat 10 mmHg. Tekanan darah akan tetap pada ketinggian
ini sampai 30 menit setelah berhenti mengisap rokok. Sementara efek
nikotin perlahan-lahan menghilang, tekanan darah juga akan menurun

16
dengan perlahan. Namun pada perokok berat tekanan darah akan
berada pada level tinggi sepanjang hari.

5. Konsumsi Asin/Garam.

Secara umum masyarakat sering menghubungkan antara


konsumsi garam dengan hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat
penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Pengaruh asupan
garam terhadap hipertensi melalui peningkatan volume plasma (cairan
tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan
ekskresi kelebihan garam sehingga kembali pada keadaan
hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi
esensial mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang
berpengaruh.

Reaksi orang terhadap natrium berbeda-beda. Pada beberapa


orang, baik yang sehat maupun yang mempunyai hipertensi, walaupun
mereka mengkonsumsi natrium tanpa batas, pengaruhnya terhadap
tekanan darah sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Pada kelompok
lain, terlalu banyak natrium menyebabkan kenaikan darah yang juga
memicu terjadinya hipertensi.

Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam


patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan
pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam
kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang
rendah, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan
terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume
plasma, curah jantung dan tekanan darah.

Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena


menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada manusia yang
mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah

17
rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan
darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak
lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400
mg/hari.

6. Konsumsi Lemak Jenuh.

Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan


peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi.
Konsumsi lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang
berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak
jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan
dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal
dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari
tanaman dapat menurunkan tekanan darah.

7. Penggunaan Jelantah.

Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali
dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak
yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam
seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun
beragam, secara kimia isi kandungannya sebetulnya tidak jauh
berbeda, yakni terdiri dari beraneka asam lemak jenuh (ALJ) dan asam
lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil terdapat lesitin,
cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen larut
lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan berbeda
adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ
yang didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang
didominasi asam lemak oleat sering juga disebut omega-9. Minyak
kelapa mengadung 80% ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak
zaitun dan minyak biji bunga matahari hampir 90% komposisinya
adalah ALTJ.

18
Penggunaan minyak goreng sebagai media penggorengan bisa
menjadi rusak karena minyak goreng tidak tahan terhadap panas.
Minyak goreng yang tinggi kandungan ALTJ-nya pun memiliki nilai
tambah hanya pada gorengan pertama saja, selebihnya minyak
tersebut menjadi rusak. Bahan makanan kaya omega-3 yang diketahui
dapat menurunkan kadar kolesterol darah, akan tidak berkasiat bila
dipanaskan dan diberi kesempatan untuk dingin kemudian dipakai
untuk menggoreng kembali, karena komposisi ikatan rangkapnya telah
rusak.

8. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol.

Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum


alkohol berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya
hipertensi belum diketahui secara pasti. Orang-orang yang minum
alkohol terlalu sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang
lebih tinggi dari pada individu yang tidak minum atau minum sedikit.

Menurut Ali Khomsan, konsumsi alkohol harus diwaspadai


karena survei menunjukkan bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan
dengan konsumsi alkohol. Mekanisme peningkatan tekanan darah
akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar
kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan
darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah.

9. Stres.

Hubungan antara stres dengan hipertensi dalam kehamilan


diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan
tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan
dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara pasti
belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan
pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi
hipertensi.

19
1.1.6 Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum

diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang

terjadinya hipertensi dalam kehamilan, tetapi tidak ada satu pun teori

yang dianggap mutlak benar. Teori-teori yang sekarang banyak dianut

adalah ( Prawirohardjo, 2013) :

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta


Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat
aliran darah dari cabang-cabang arteri uterina dan arteri ovarika.
Kedua pembuluh darah tersebut menembus miometrium berupa
arteri arkuata dan arteri arkuata memberi cabang arteri radialis.
Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan
memberi cabang arteri spiralis .

Pada kehamilan normal, dengan sebab yang belum jelas,


terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri spiralis yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut, sehingga terjadi
dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan
sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur
dan memudahkan lumen spiralis mengalami distensi dan dilatasi.
Distensi dan vasodilatasi lumen arteri apiralis ini memberi dampak
penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada utero plasenta. Akibatnya, aliran
darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga dapat menjamin pertumbuhna janin dengan baik. Proses
ini dinamakan “remodeling arteri spiralis” yang dapat dilihat pada
Gambar 1.

20
Gambar 2.1 Remodeling pembuluh darah pada kehamilan normal dan hipertensi
dalam kehamilan (Powe CE, et al., 2014)

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-

sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks

sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis tidak memungkinkan

mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis

relatif mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan

“remodeling arteri spiralis”, sehingga aliran darah utero plasenta

menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak

iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang

dapat menjelaskan patogenesis hipertensi dalam kehamilan

selanjutnya.

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel


a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas

Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada

hipertensi dalam kehamilan terjadi kegagalan “remodeling

arteri spiralis”, dengan akibat plasenta mengalami iskemia.

21
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan

menghasilkan oksidan (radikal bebas).

b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam

kehamilan
3.

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar

oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan

antioksidan, misalnya vitamin E pada hipertensi dalam

kehamilan menurun, sehingga terjadi dominan kadar oksidan

peroksida lemak yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai

oksidan/radikal bebas yang sangat toksik ini akan beredar di

seluruh tubuh melalui aliran darah dan akan merusak

membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah

mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya

langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung

banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh

sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan

berubah menjadi peroksida lemak.

c. Disfungsi sel endotel


Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka

terjadi kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai

dari membran sel endotel. Kerusakan membran sel endotel

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan

22
rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut

“disfungsi endotel” (endothelial disfunction).

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Faktor imunologik berperan terhadap terjadinya

hipertensi dalam kehamilan dengan fakta sebagai berikut :

a. Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi

dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.

b. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai resiko

lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan

dengan suami yang sebelumnya.

c. Seks oral mempunyai resiko lebih rendah terjadinya hipertensi

dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat

kehamilan ialah makin lama periode ini, makin kecil terjadinya

hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respon imun tidak menolak

adanya “hasil konsepsi” yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya

human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting

dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi

(plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi trofoblas

janin dari lisis oleh natural killer cell (NK) ibu.

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel

trofoblas kadalam jaringan desidua ibu, jadi HLA-G merupakan

prokondisi untuk terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua

ibu disamping untuk menghadapi sel natural killer. Pada plasenta

23
hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan HLA-G. Berkurngnya

HLA-G di desidua didaerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke

dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua

menjadi lunak, dan gembur sehingga mepermudah terjadinya reaksi

inflamasi kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada

preeklampsia.

Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yang

mempunyai kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai

proporsi sel yang lebih rendah di banding pada normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada hamil normal pembulu darah refrakter tehadap bahan-bahan


vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka tehadap
rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang
lebih tinggi untuk menimbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan
normal terjadinya refrakter pembuluh daerah terhadap bahan vasopresor
adalah akibat dilindungi oleh adanya sitensis prostaglandin pada sel
endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa daya rafrakter terhadap
bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin sintensa inhibitor
(bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di
kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.
Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap
bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap
bahan vasopresor hilang sehingga pembuluh darah menjadi peka terhadap
bahan vasopresor. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan
kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam
kehamilan sudah terjadi pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan
pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah

24
dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat
dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

1.1.7 Manifestasi Klinis

Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyakit teoritis,

sehingga terdapat berbagai usulan mengenai pembagian kliniknya.

Pembagian klinik hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai berikut

(Manuaba, 2007) :

1. Hipertensi dalam kehamilan sebagai komplikasi kehamilan

a. Preeklampsi
Preeklampsi adalah suatu sindrom spesifik kehamilan berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi

endotel. Diagnosis preeklampsi ditegakkan jika terjadi hipertensi

disertai dengan proteinuria dan atau edema yang terjadi akibat

kehamilan setelah minggu ke-20.

Proteinuria didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau

lebih protein dalam urin 24 jam atau 30 mg/dl (+1 dipstik) secara

menetap pada sampel acak urin (Cunningham G, 2013).

Preeklampsi dibagi menjadi dua berdasarkan derajatnya yang

dapat dilihat pada tabel 2.

Proteinuria yang merupakan tanda diagnostik preeklampsi

dapat terjadi karena kerusakan glomerulus ginjal.

25
Tabel 2. Derajat Preeklampsi

Derajat Preeklampsi

Ringan Berat

1. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg 1. Hipertensi ≥ 160/110 mmHg

2. Proteinuria ≥ 300 mg/24 jam 2. Proteinuria ≥ 500 mg/24 jam

atau ≥ +1 dipstik atau > +3 disptik

3. Oliguria kurang dari 500

ml/24 jam

4. Gangguan penglihatan dan

serebral

5. Edema paru dan sianosis

6. Nyeri epigastrium atau

kuadran kanan atas

7. Trombositopenia

8. Pertumbuhan janin terganggu

Dalam keadaan normal, proteoglikan dalam membran dasar

glomerulus menyebabkan muatan listrik negatif terhadap protein,

sehingga hasil akhir filtrat glomerulus adalah bebas protein. Pada

penyakit ginjal tertentu, muatan negatif proteoglikan menjadi

hilang sehingga terjadi nefropati dan proteinuria atau albuminuria.

Salah satu dampak dari disfungsi endotel yang ada pada

preeklampsi adalah nefropati ginjal karena peningkatan

permeabilitas vaskular. Proses tersebut dapat menjelaskan

26
terjadinya proteinuria pada preeklampsi. Kadar kreatinin plasma

pada preeklampsi umumnya normal atau naik sedikit (1,0-

1,5mg/dl). Hal ini disebabkan karena preeklampsi menghambat

filtrasi, sedangkan kehamilan memacu filtrasi sehingga terjadi

kesimpangan (Guyton, 2007).

b. Eklampsia

Eklampsia adalah terjadinya kejang pada seorang wanita

dengan preeklampsia yang tidak dapat disebabkan oleh hal lain.

Kejang bersifat grand mal atau tonik-klonik generalisata dan

mungkin timbul sebelum, selama atau setelah persalinan.

Eklampsia paling sering terjadi pada trimester akhir dan menjadi

sering mendekati aterm. Pada umumnya kejang dimulai dari makin

memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala nyeri kepala

daerah frontal, gangguan penglihatan, mual, nyeri epigastrium dan

hiperrefleksia.

2. Hipertensi dalam kehamilan sebagai akibat dari hipertensi

menahun

a. Hipertensi kronik

Hipertensi kronik dalam kehamilan adalah tekanan darah

≥140/90 mmHg yang didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum

umur kehamilan 20 minggu dan hipertensi tidak menghilang

setelah 12 minggu pasca persalinan. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi kronis dibagi menjadi dua, yaitu hipertensi primer dan

27
sekunder. Pada hipertensi primer penyebabnya tidak diketahui

secara pasti atau idiopatik. Hipertensi jenis ini terjadi 90-95% dari

semua kasus hipertensi. Sedangkan pada hipertensi sekunder,

penyebabnya diketahui secara spesifik yang berhubungan dengan

penyakit ginjal, penyakit endokrin dan penyakit kardiovaskular

(Manuaba, 2007).

b. Superimposed preeclampsia

Pada sebagian wanita, hipertensi kronik yang sudah ada

sebelumnya semakin memburuk setelah usia gestasi 24 minggu.

Apabila disertai proteinuria, diagnosisnya adalah superimpose

preeklampsi pada hipertensi kronik (superimposed preeclampsia).

Preeklampsia pada hipertensi kronik biasanya muncul pada usia

kehamilan lebih dini daripada preeklampsi murni, serta cenderung

cukup parah dan pada banyak kasus disertai dengan hambatan

pertumbuhan janin (Manuaba, 2007).

3. Hipertensi gestasional

Hipertensi gestasional didapat pada wanita dengan tekanan

darah ≥140/90 mmHg atau lebih untuk pertama kali selama

kehamilan tetapi belum mengalami proteinuria. Hipertensi

gestasional disebut transien hipertensi apabila tidak terjadi

preeklampsi dan tekanan darah kembali normal dalam 12 minggu

postpartum. Dalam klasifikasi ini, diagnosis akhir bahwa yang

bersangkutan tidak mengalami preeklampsi hanya dapat dibuat

28
saat postpartum. Namun perlu diketahui bahwa wanita dengan

hipertensi gestasional dapat memperlihatkan tanda-tanda lain yang

berkaitan dengan preeklampsi, misalnya nyeri kepala, nyeri

epigastrium atau trombositopenia yang akan mempengaruhi

penatalaksanaan (Cunningham G, 2013).

2.1.7 Diagnosis

1. Anamnesis
Dilakukan anamnesis pada pasien/keluarganya mengenai

adanya gejala, penyakit terdahulu, penyakit keluarga dan gaya

hidup sehari-hari. Gejala dapat berupa nyeri kepala, gangguan

visus, rasa panas dimuka, dispneu, nyeri dada, mual muntah dan

kejang. Penyakit terdahulu seperti hipertensi dalam kehamilan,

penyulit pada pemakaian kontrasepsi hormonal, dan penyakit

ginjal. Riwayat gaya hidup meliputi keadaan lingkungan sosial,

merokok dan minum alkohol (POGI, 2010).

2. Pemeriksaan Fisik
Evaluasi tekanan darah dilakukan dengan cara meminta

pasien dalam posisi duduk di kursi dengan punggung bersandar

pada sandaran kursi, lengan yang akan diukur tekanan darahnya,

diletakkan setinggi jantung dan bila perlu lengan diberi

penyangga. Lengan atas harus dibebaskan dari baju yang terlalu

ketat melingkarinya. Pada wanita hamil bila tidak memungkinkan

duduk, dapat miring kearah kiri. Pasien dalam waktu 30 menit

sebelumnya tidak boleh minum kopi dan obat dan tidak minum

29
obat-obat stimulant adrenergik serta istirahat sedikitnya 5
menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah (POGI, 2010).

Alat yang dipakai untuk mengukur tekanan darah adalah


sphygmomanometer. Letakkan manset atau bladder cuff di tengah
arteri brachialis pada lengan kanan, sisi bawah manset kurang lebih
2,5 cm diatas fosa antecubital. Manset harus melingkari sekurang-
kurangnya 80% dari lingkaran lengan atas dan menutupi 2/3 lengan
atas. Menentukan tekanan sistolik palpasi dengan cara palpasi pada
arteri radialis dekat pergelangan tangan dengan dua jari sambil
pompa cuff sampai denyut nadi arteri radialis menghilang. Baca
berapa nilai tekanan ini pada manometer, kemudian buka kunci
pompa. Selanjutnya untuk mengukur tekanan darah, cuff dipompa
secara cepat sampai melampaui 20-30 mmHg diatas tekanan sistolik
palpasi. Pompa dibuka untuk menurunkan mercury dengan
kecepatan 2-3 mmHg/detik. Tentukan tekanan darah sistolik dengan
terdengarnya suara pertama (Korotkoff I) dan tekanan darah diastolik
pada waktu hilangnya denyut arteri brakhialis (POGI, 2010).

Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk sangat praktis,


untuk skrining. Namun pengukuran tekanan darah dengan posisi
berbaring, lebih memberikan hasil yang bermakna, khususnya untuk
melihat hasil terapi. Pengukuran tekanan darah tersebut dilakukan
dalam dua kali atau lebih (POGI, 2010).

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang perlu dilakukan dalam kasus hipertensi
sebagai komplikasi kehamilan adalah proteinuria, untuk diagnosis dini
preeklampsi yang merupakan akibat dari hipertensi kehamilan.
2006)..

30
Gambar 2.2 Alur Penilaian Klinik Hipertensi Dalam Kehamilan
(Prawirohardjo S, 2006)

2.1.8 Penatalaksanaan

Penanganan umum, meliputi :

1. Perawatan selama kehamilan


Jika tekanan darah diastolik >110 mmHg, berikan obat

antihipertensi sampai tekanan darah diastolik diantara 90-100

mmHg. Obat pilihan antihipertensi adalah hidralazin yang

diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama 5 menit sampai tekanan

darah turun. Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan

nifedipin 5 mg sublingual dan tambahkan 5 mg sublingual jika

31
respon tidak membaik setelah 10 menit. Selain itu labetolol

juga dapat diberikan sebagai alternatif hidralazin. Dosis

labetolol adalah 10 mg, jika respon tidak baik setelah 10

menit, berikan lagi labetolol 20 mg. Pasang infus Ringer

Laktat dengan jarum besar (16 gauge atau lebih). Ukur

keseimbangan cairan, jangan sampai overload. Auskultasi

paru untuk mencari tanda-tanda edema paru. Adanya krepitasi

menunjukkan edema paru, maka pemberian cairan dihentikan.

Perlu kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan

proteinuria. Jika jumlah urin <30 ml per jam, infus cairan

dipertahankan sampai 1 jam dan pantau kemungkinan edema

paru. Observasi tanda-tanda vital ibu dan denyut jantung janin

dilakukan setiap jam (Prawirohardjo S, 2006).

Untuk hipertensi dalam kehamilan yang disertai kejang,

dapat diberikan Magnesium sulfat (MgSO4). MgSO4

merupakan obat pilihan untuk mencegah dan menangani

kejang pada preeklampsi dan eklampsi.

2. Perawatan persalinan
Pada preeklampsi berat, persalinan harus terjadi dalam

24 jam, sedang pada eklampsi dalam 12 jam sejak gejala

eklampsi timbul. Jika terdapat gawat janin, atau persalinan

tidak terjadi dalam 12 jam pada eklampsi, lakukan seksio

sesarea (Mustafa R et al., 2012).

32
3. Perawatan pospartum
Antikonvulsan diteruskan sampai 24 jam postpartum atau

kejang terakhir. Teruskan pemberian obat antihipertensi jika

tekanan darah diastolik masih >110 mmHg dan pemantauan

urin (Mustafa R et al., 2012).

2.1.9 Pencegahan
Strategi yang dilakukan guna mencegah hipertensi dalam

kehamilan meliputi upaya nonfarmakologi dan farmakologi. Upaya

nonfarmakologi meliputi edukasi, deteksi prenatal dini dan

manipulasi diet. Sedangkan upaya farmakologi mencakup

pemberian aspirin dosis rendah dan antioksidan (Cunningham G,

2013).

1. Penyuluhan untuk kehamilan berikutnya


Wanita yang mengalami hipertensi selama kehamilan harus

dievaluasi pada masa postpartum dini dan diberi penyuluhan

mengenai kehamilan mendatang serta risiko kardiovaskular mereka

pada masa yang akan datang. Wanita yang mengalami preeklampsi-

eklampsia lebih rentan mengalami penyulit hipertensi pada

kehamilan berikutnya (James R dan Catherine N, 2004). Edukasi

mengenai beberapa faktor risiko yang memperberat kehamilan dan

pemberian antioksidan vitamin C pada wanita berisiko tinggi dapat

menurunkan angka morbiditas hipertensi dalam kehamilan

(Cunningham G, 2013).

33
2. Deteksi pranatal dini
Selama kehamilan, waktu pemeriksaan pranatal dijadwalkan 1

kali saat trimester pertama, 1 kali saat trimester kedua dan 2 kali

pada trimester ketiga. Kunjungan dapat ditambah tergantung pada

kondisi maternal. Dengan adanya pemeriksaan secara rutin selama

kehamilan dapat dilakukan deteksi dini hipertensi dalam kehamilan.

Wanita dengan hipertensi yang nyata (≥140/90mmHg) sering

dirawat inapkan selama 2 sampai 3 hari untuk dievaluasi keparahan

hipertensi kehamilannya yang baru muncul. Meskipun pemilihan

pemeriksaan laboratorium dan tindakan tambahan tergantung pada

sifat keluhan utama dan biasanya merupakan bagian rencana

diagnostik, pemeriksaan sel darah lengkap dengan asupan darah,

urinalisis serta golongan darah dan rhesus menjadi tiga tes dasar

yang memberikan data objektif untuk evaluasi sebenarnya pada

setiap kedaruratan obstetri ginekologi. Hal tersebut berlaku pada

hipertensi dalam kehamilan, urinalisis menjadi pemeriksaan utama

yang dapat menegakkan diagnosis dini pada preeklampsi .

3. Manipulasi diet
Salah satu usaha awal yang ditujukan untuk mencegah

hipertensi sebagai penyulit kehamilan adalah pembatasan asupan

garam. Diet tinggi kalsium dan pemberian kapsul dengan

kandungan minyak ikan dapat menyebabkan penurunan bermakna

tekanan darah serta mencegah hipertensi dalam kehamilan

(Cunningham G, 2013).

34
4. Aspirin dosis rendah
Penelitian pada tahun 1986, melaporkan bahwa pemberian

aspirin 60 mg atau placebo pada wanita primigravida mampu

menurunkan kejadian preeklampsi. Hal tersebut disebabkan karena

supresi selektif sintesis tromboksan oleh trombosit serta tidak

terganggunya produksi prostasiklin (Cunningham G, 2013).

5. Antioksidan
Terapi antioksidan secara bermakna menurunkan aktivasi sel

endotel dan mengisyaratkan bahwa terapi semacam ini bermanfaat

dalam pencegahan hipertensi kehamilan, terutama preeklampsi.

Antioksidan tersebut dapat berupa vitamin C dan E (Cunningham G,

2013).

35
Penelitian yang dilakukan oleh Yudhaputra Setiadhi , Shirley E. S.
Kawengian dan Nelly Mayulu tentang Analisis faktor yang berhubungan
dengan kejadian hipertensi pada kehamilan di Kota Manado tentang adakah
pengaruh antara faktor riwayat keturunan hipertensi keluarga dengan kejadian
kejadian hipertensi pada kehamilan . Yudha menyebutkan bahwa dari hasil
penelitian tidak mempengaruhi angka kejadian hipertensi pada kehamilan .

Penelitian yang dilakukan oleh Aviana dkk dengan judul Faktor Resiko
Kejadian Hipertensi dalam Kehamilan , bahwa variabel graviditas
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan dengan kejadian hipertensi dalam
kehamilan(p=0,077). Sedangkan variabel usia maternal (OR=2,774; p = 0,004)
dan indeks massa tubuh (OR = 2,602; p = 0,005) menunjukkan bahwa ada
hubungan dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan. Hasil analisis
multivariat menunjukan bahwa variabel usia maternal) merupakan faktor risiko
paling dominan (p=0,003) terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Kesimpulan
dalam penelitian bahwa terdapat hubungan antara usia maternal dan indeks
massa tubuh dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan dan tidak ada
hubungan antara graviditas dengan kejadian hipertensi dalam kehamilan.
(Rohmani , 2015)

Jurnal penelitian Sri Rejeki dan Nikmatul Hayati yang berjudul perilaku
patuh perawatan ibu primigravida dengan kejadian preeklamsia berat eklamsi
di RSUD Soewondo kendal 2006 dengan menggunakan analisa Xa diperoleh
hasil ada hubungan faktor usia kehamilan ibu, riwayat preeklamsia
sebelumnya, riwayat penyakit ginjal dan hipertensi dengan kejadian hipertensi
dengan kejadian preeklamsia berat. Selain itu ada hubungan yang signifikan
antara kepatuhan ibu hamil primigravida dalam melaksanakan nasehat yang
diberikan oleh tenaga kesehatan dengan kejadian preeklamsia berat (Po: 0,001)
(Rejeki, 2006).

Faktor-Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi


Pada Ibu Hamil Di Poli Klinik Obs-Gin Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. V. L.
Ratumbuysang Kota Manado yang di teliti oleh Nelawati menunjukkan Hasil
bivariat yaitu terdapat hubungan antara umur dengan kejadian hipertensi pada ibu

36
hamil (p=0,002), terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian hipertensi
pada ibu hamil dengan nilai p=0,000 dan terdapat hubungan antara riwayat
hipertensi dengan kejadian hipertensi pada ibu hamil dengan nilai
p=0,002 .Kesimpulan : faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian
hipertensi pada ibu hamil yaitu umur, paritas dan riwayat hipertensi (preeklamsi-
eklamsi) . (Rajamuda , 2014)

2.10 Kerangka Teori

1. Faktor Maternal :
- Umur
- Paritas
- Riwayat Keluarga
- Riwayat Hipertensi
- IMT Faktor
Obesitas Resiko
2. Faktor Kehamilan Terjadinya
- molahilatidosa, hydrops Hipertensi
fetalis dan kehamilan
ganda
3. Faktor Genetik
4. Pola Hidup
5. Stres
6. Sosial Ekonomi

Gambar 2.3 Kerangka Teori

37
2.11 Kerangka Konsep

Input Proses Output

 Umur Kejadian
 Paritas Hipertensi Pada
Ibu  Obesitas Kehamilan
Hamil  Riwayat Kehamilan
 Riwayat Penyakit

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

38
39

Anda mungkin juga menyukai